gambar ilustrasi |
Diceritakan
kembali oleh Siswanto
Nara Sumber
Timotius Marweri (Ondoporo Waibu Iwa Iwa Yonokhong)
Pada
zaman dahulu di gunung Robongholo hiduplah seorang dewa. Ia merupakan dewa yang
menjaga gunung Robongholo. Ia hidup di gung Robongholo bersama istri dan dua
anak perempuannya. Dewa yang menjaga Gunung Robongholo memiliki sebuah tifa
ajaib. Tifa ini bernama Obomuru Pimuru Temuru Teramuru. Artinya
tifa ini dapat mendatangkan banyak manfaat bagi siapa saja yang menabuhnya,
terutama yang berkaitan dengan kebutuhan pokok manusia. Orang yang sedang
memiliki hajat dan tidak punya apa-apa jika menabuh tifa ini maka baginya akan
berdatangan berbagai macam keperluan yang diperlukan. Tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru dapat mendatangkan obo
(babi), pi (sagu), atau tera (manik-manik). Maksudnya jika orang
yang mempunyai hajat menabuh tifa ini maka orang-orang akan datang membawa
semua keperluan yang diperlukan si penabuh. Orang yang mendengar suara tifa ini
tidak dapat menahan hartanya berupa obo,
pi, maupun tera untuk diberikan pada si penabuh tifa.
Keajaiban tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru sudah tersebar luas di kawasan Sembuykha Ayakha. Dari Ralibu (danau sebelah timur) hingga
Waibu (danau sebelah barat) telah mendengar tentang kehebohan tifa ini. Ondofolo
Marweri dari Yonokhong sangat berminat untuk memiliki tifa itu. Maka ia
berencana untuk menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan Dewa Penunggu
Gunung Robongholo. Maka ia segera mengirim anak laki-lakinya pergi ke gunung
Robongholo. Dewa Penunggu Gunung Robongholo sangat senang ada seorang pemuda
tampan yang melamar anaknya untuk dijadikan istri. Maka ia segera menikahkan
anak perempuan sulungnya dengan anak ondoporo Marweri. Selang beberapa hari
kemudian Ondoporo Ohee juga mengutus anak laki-lakinya untuk melamar anak
perempuan Dewa Penunggu Gunung Robongholo. Dewa Penunggu Gunung Robongholo juga
dengan senang hati menikahkan putrid bungsunya dengan anak laki-laki ondoporo
Ohee. Dua pasangan pengantin baru ini hidup bahagia di gunung Robongholo. Semua
kebutuhan hidup mereka telah tercukupi oleh alam yang ada di gunung Robongholo.
Mau makan apapun dapat tersedia berkat kemampuan Dewa Penunggu Gunung
Robongholo.
Suatu hari anak laki-laki ondoporo
Marweri turun gunung karena ada sedikit keperluan di pulau Yonokhong. Ketika ia
sampai di Yonokhong terdengar kabar bahwa tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru
telah diberikan pada putra ondoporo Ohee. Tifa itu kini telah berada di pulau
Ohee. Terdengar desas-desus pula bahwa Dewa Penunggu Gunung Robongholo telah
dihasut oleh putra ondoporo Ohee agar segera menyerahkan tifa Obomuru Pimuru
Temuru Teramuru. Hasutan ini berupa cerita tentang kejelekan-kejelekan putra
ondoporo Marweri. Walaupun ini hanya desas-desus nyatanya tifa itu kini telah
berada di tangan putra ondoporo Ohee.
Desas-desus yang menyesatkan itu
akhirnya sampai pula ke telinga ondoporo Marweri. Ia memerintahkan pesuruhnya
yang bernama Banepoi untuk menyelidiki ini. Berdasarkan penyelidikan yang
dilakukan tenyata benar bahwa tifa itu sudah berada di pulau Ohee.
“Coba Kau ceritakan tentang tifa
itu” tanya ondoporo Marweri pada Banepoi.
“Baiklah, Bapa Ondoporo. Saya
benar-benar menyaksikan kehebatan tifa itu. Ketika tifa itu ditabuh oleh
laki-laki maka itu akan menyebut nama kemaluan laki-laki yang menabuh itu, jika
yang menabuh perempuan maka tifa itu juga akan menyebut nama kemaluan perempuan
itu. Selain itu, itu tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru juga dapat memanggil
obo, pi, dan tera.” terang Banepoi.
“Benar sekali, itulah tifa yang
bernama Obomuru Pimuru Temuru Teramuru itu. Banepoi, sekarang bawa beberapa
orang rekanmu yang tangguh untuk mengambil tifa itu. Ketahuilah bahwa
penyerahan tifa pada putranya Ohee melalui proses yang tidak benar. Seharusnya
tifa itu diberikan pada anakku karena ia yang menikahi putrid sulung Dewa
Penunggu Gunung Robongholo. Malam nanti mereka (orang-orang kampung Ohee/Asei)
mengadakan pesta. Gunakan hobatan untuk
menyirep mereka. Setelah itu bawa tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru ke pulau
Yonokhong.” kata ondoporo Marweri membenarkan semua informasi Banepoi sekaligus
memberi perintah lanjutan.
Sore hari para prajurit yang
dipimpin Banepoi melakukan ritual perang melalui Batu Perang di pulau Mantai.
Ketika hari sudah gelap Banepoi dan pasukannya bergerak perlahan menuju Rali Bu
(bagian sebelah timur danau Sembuyakha Ayakha). Sesampainya mereka di Netar,
mereka sudah melihat cahaya terang dari pulau Asei/Ohee dan telah terdengar
pula tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru yang ditabuh bertalu-talu. Banepoi
segera merapal mantra hobatan untuk menidurkan semua penghuni pulau Asei
tanpa terkecuali. Suasana malam yang tenang dan hanya ditemani oleh gemerlap
milyaran bintang sangat membantu proses hobatan.
Angin berhembus semilir membawa kekuatan hobatan yang sangat dasyat menuju
pulau Ohee.
Sementara itu masyarakat pulau Ohee
yang tengah mengadakan pesta adat tidak menyadari ada kekuatan yang dasyat
tengah mendatangi mereka melalui hembusan angin yang sepoi-sepoi pada malam
yang cerah itu. Satu persatu yang namanya makhluk bernyawa yang berada di
sebelah barat pulau Ohee mulai jatuh bergelimpangan karena diserang kantuk yang
luar biasa. Mulai dari ikan di danau sampai babi, anjing, dan manusia tidak ada
yang luput dari hobatan ini. Angin hobatan penidur terus
bergerak ke arah timur dan menghampiri siapa saja. Para penari, penabuh tifa
Obomuru Pimuru Temuru Teramuru, ondoporo Ohee, semua tanpa kecuali jatuh
bergelimangan di serang kantuk yang tiba-tiba datang. Angin hobatan akhirnya menyelimuti kampung
Asei/Ohee sepenuhnya. Tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru tergeletak di bawah
kepala putra ondoporo Ohee. Seolah-olah tifa itu dijadikan bantal yang
mengantarkannya menuju tidur yang sangat nyenyak (sono). Suasana pesta yang tadinya hingar-bingar kini berganti
dengan kesunyian.
Banepoi bersama pasukannya mendayung
perlahan mendekati pulau Asei/Ohee. Ia melihat keadaan di pulau Asei/Ohee dari
atas perahu. Hobatannya berhasil
dengan sempurna ia kemudian menyuruh salah satu dari pasukannya untuk mengambil
tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru yang dijadikan bantal oleh anak ondoporo
Ohee.
“Ambil tifa yang dijadikan bantal
putra ondoporo Ohee itu! Lalu coba tabuh tifa itu, apa reaksi selanjutnya?” kata
Banepoi.
Orang yang disuruh Banepoi itu
segera mengambil tifa, namun sebelumnya ia mencoba untuk menyakinkan dirinya
apakah hobatan penidur itu telah
bekerja dengan baik. Ia memegang bahu putra ondoporo Ohee dan mengguncangnya
perlahan. Tidak ada reaksi. Lalu ia menggoncang lebih kuat lagi. Jangankan
bangun tidur, menggeraknya biji mata saja putra ondoporo Ohee itu tidak
samggup. Benar-benar pulas. Akhirnya orang yang ditugasi itu mengambil tifa
Obomuru Pimuru Temuru Teramuru dari bawah kepala putra ondoporo. Kemudian ia
menabuh tifa seperti yang diperintahkan Banepoi. Seperti bernyawa tifa itu
segera menjawab tabuhan yang dilakukan oleh anak buah Banepoi dengan menyebut
nama kemaluan laki-laki yang telah menabuhnya. Banepoi dan pasukannya tertawa
mendengan jawaban dari tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru. Setelah berhasil
mengambil tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru Banepoi dan pasukannya segera
meninggalkan pulau Asei/Ohee. Saat itu sang waktu telah merambat menuju dini
hari.
Sang Maha Penguasa Waktu terus
memutar waktu hingga fajar mulai menyingsing di ufuk timur. Sang surya mulai
mengintip di balik perbukitan Yoka. Cahaya pagi itu mulai menembus pepohonan
dan dadaunan yang ada di pulau Asei/Ohee. Sinar mentari pagi itu pertama kali
menerpa wajah manis putri bungsu ondoporo Ohee. Ia mengeliat perlahan karena
cahaya matahari yang mulai memanas menimpa tubuhnya. Ia kemudian membuka mata.
Ia masih dalam keadaan berbaring dan mencoba untuk mengais-ngais ingatan
mengapa ia sampai tertidur di tempat dansa. Ia segera bangkit dan memandang
sekeliling. Semua orang masih tertidur pulas di tempat dansa itu. Ayahnya,
saudara laki-lakinya, teman-teman perempuannya juga masih tertidur. Rupanya ia
adalah orang pertama yang terbangun. Ia mencoba untuk mengingat kejadian
semalam. Ketika ia tengah menari dan menyanyi, tiba-tiba ia diserang rasa
kantuk yang luar biasa. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Setelah lama
sekali mengamati keadaan ia baru menyadari ada yang tidak beres dengan keadaan
yang terjadi semalam. Ia menengok ke arah saudara laki-lakinya yang semalam
menabuh tifa Hamang Wakhu (sebutan tifa Obomuru Bimuru
Temuru Teramuru bagi masyarakat pulau Asei/Ohee. Hamang Wakhu tidak berada di
dekat kakaknya, lalu ia melihat di sekitar kakaknya, namun tifa tersebut tidak
ada.
“Hamang Wakhu hilang! Hamang Wakhu
hilang. Ayah! Kakak! Bangun!” putri bungsu ondoporo Ohee berteriak-teriak
mebangunkan semua oaring yang masih tertidur.
Ondoporo Ohee terbangun seketika
mendengar teriakan putrinya. Ia bertanya mengapa putrinya berteriak-terik di
hari yang masih sepagi itu.
“Ayah, Hamang Wakhu hilang. Apakah
ayah tidak menyadari ada yang aneh dengan pesta adat kita semalam. Tiba-tiba
semua orang merasa mengantuk dan tertidur pulas hingga pagi hari. Lalu sekarang
Hamang Wakhu Hilang. Pasti ada orang
yang melakukukan hobatan untuk
mencuri tifa itu.” kata putrid ondoporo Ohee
memberikan jawaban.
“Tepat sekali penjelasanmu pencuri
itu pasti belum jauh meninggalkan Asei. Siapa kira-kira yang mencuri tifa itu?
tanya ondoporo Ohee.
“Hanya keluarga Marweri di pulau
Yonokhong yang tahu tentang keajaiban Hamang Wakhu. Tentu merekalah yang
mencuri tifa itu.” kata putra ondoporo Ohee.
“Kalau begitu mari kita kejar
mereka” kata ondoporo Ohee.
Ondoporo Ohee memimpin langsung
pengejaran terhadap para pencuri tifa. Dengan menggunakan hobatan perahu dapat
meluncur di atas permukaan danau dengan sangat cepat. Hanya beberapa menit saja
mereka telah melihat bayangan hitam disebelah barat danau. Perahu ondoporo Ohee
semakin dekat dengan perahu Banepoi dari Yonokhong yang telah berhasil membawa
Tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru. Ondoporo Ohee dan pasukannya meneriakkan
yel-yel perang untuk menakut-nakuti rombongan pencuri tifa. Suara pekikkan itu
keras sekali hingga terdengar oleh rombongan Banepoi. Mendengar pekikkan itu
Banepoi menyuruh pasukannya untuk menambah kekuatan dalam mendayung. Sekuat
apapun pasukan Banepoi mendayung perahu ondoporo Ohee justru semakin dekat. Kedua rombongan
yang saling kejar mengejar ini telah sampai di sebuat selat yang berada di
dekat kampung Babrongko. Berarti pulau Yonokhong sudah dekat. Ondoporo Ohee
tidak menginginkan tifa itu jatuh ke tangan keluarga Marweri. Ia segera
mengerahkan hobatan berupa angin yang
berkekuatan dasyat untuk menengelamkan perahu para pencuri Hamang Wakhu.
Angin menderu kencang dari arah
timur menuju perahu Banepoi. Angin itu bergulung-gulung bagaikan badai tornado
yang siap menggilas apa saja yang merintanginya. Angin itu kemudian
mengombang-ambingkan perahu Banepoi. Kekuatan angin yang menderu-deru itu
menimbulkan pusaran air yang sangat mengerikan. Puasaran air itu menyedot
perahu Banepoi hingga hilang ke dalam dasar danau. Perahu Banepoi dan
pasukannya beserta Tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru karam di dasar danau
Sembuyakha Ayakha. Karamnya perahu
Banepoi beserta tifa itu berada di sekitar Batu Beranak (Ainining Duka), semua
berubah menjadi batu. Hingga saat ini tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru
meskipun telah menjadi batu masih berada di sekitar Batu Beranak.
No comments:
Post a Comment