Saturday, September 24, 2011

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SASTRA LISAN PAPUA


Siswanto
Abstrak
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-mana. Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebab musababnya dan mencari pemecahannya. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap  pentingnya   menggalakkan pendidikan karakter. Karya sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam pendidikan karakter. Dalam makalah ini akan dibahas berbagai macam pendidikan karakter yang terdapat dalam sastra lisan Papua.
Kata kunci: kemerosotan akhlak, pendidikan karakter, pembelajaran sastra lisan
1.        Pendahuluan
Dari hari ke hari kita menyaksikan betapa merosotnya harga diri bangsa ini karena mengalami krisis. Di mata dunia internasional bangsa Indonesia sering dicap buruk sebagai teroris, yang membuat pandangan orang luar begitu negatif. Indonesia juga dikenal gudang TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang mengandung konotasi pabrik pekerja rendahan. Negeri nin juga berkali-kali dikategorikan sebagai negara paling korup dalam urutan antara peringkat satu hingga tiga. Banyak hal buruk yang melekat di tubuh bangsa ini, hingga orang luar melihat dengan sebelah mata, kadang merendahkan.
 Alih-alih harus menegakkan kepala ke pihak luar, sebenarnya kita juga makin prihatin terhadap karakter (mudah-mudahan bukan cerminan seutuhnya) orang Indonesia. Para elitnya, termasuk pucuk pemerintahan dan politisi, selain di institusi-institusi negara lainnya, terkesan lemah karakter, ternyata juga bebal. Apa-apa seperti berlalu begitu saja di negeri ini. Semakin banyak elite atau orang terkena kasus korupsi, seperti tak menimbulkan efek jera, bahkan mereka yang terlibat seperti biasa saja seolah bukan aib atau kejahatan. Para wakil rakyat juga terkesan gampang saja melakukan apapun demi meraih tujuan dan ambisi hidupnya.
Bagaimana dengan anggota masyarakat? Kita juga prihatin, mentalitas menerabas juga mengidap bangsa ini. Hanya karena ingin memenuhi keperluan hidup dengan mudah, muncul berbagai kasus kejahatan, kekerasan, penculikan, perdangangan manusia, narkoba, dan sebagainya. Aib menjadi dagangan publik di media elektronik melalui berbagai tayangan infotainment. Sementara tayangan pornoaksi dan pornografi bukan kian surut, tetapi kian menjadi-jadi di tengah ketidakpastian RUU Antipornoaksi dan Pornografi yang menjadi korban tidak seriusnya para anggota legeslatif di Senayan. Mengurus moral dan hajat hidup publik rupanya tak begitu menjadi prioritas utama, dikalahkan oleh kegemaran “studi banding” dan melancong ke luar negeri.
Bangsa ini telah kehilangan banyak hal yang mulia dalam kehidupannya. Menjadi bangsa yang lembek. Mudah membolehkan apa saja. Gemar terhadap hal-hal yang menggiurkan. Menerabas. Buta-tuli terhadap suara moral dan kepentingan publik.
   Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebab musababnya dan mencari pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai masalah itu telah berkali-kali yang diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap  pentingnya   menggalakkan pendidikan karakter.
Respon masyarakat terhadap pendidikan karakter berbeda-beda. Di kalangan kelompok pendidik  muncul pendapat tentang perlunya pendidikan budi pekerti, sedangkan  agamawan memandang perlunya  penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang politik mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila.  Dalam hal ini, Kemendiknas telah merespon berbagai pendapat itu dengan membentuk Tim Pengembang Pendidikan Karakter.
Selanjutnya, para guru tertutama guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai ujung tombak pendidikan di Indonesia ingin menyumbangkan pemikiran tentang ”Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter”. Topik ini memunculkan permasalahan (1) Apakah pendidikan karakter itu?; (2) Bagaimana menanamkan pendidikan karakter di kalangan anak didik?; (3) Adakah relevansi  antara  sastra dan pendidikan karakter?; (4) Bagaimana memberdayakan sastra dalam pembentukan karakter?.

2.        Landasan Teori
2.1         Pengertian Pendidikan Karakter
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di sekolah sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:623) menjelaskan bahwa karakter adalah sifat atau ciri kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak. Karakter merupakan nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter juga merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat suatu keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dibuatnya. Berkaitan dengan karakter, Saryono (2009:52—186) mengemukakan bahwa genre sastra yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter bangsa, antara lain, genre sastra yang mengandung nilai atau aspek (1) literer-estetis, (2) humanistis, (3) etis dan moral, dan (4) religius- sufistis-profetis. Keempat nilai sastra tersebut dipandang mampu mengoptimalkan peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan  harus berkarakter.

2.2         Sastra dan Pendidikan Karakter
Sastra secara etimologis berasal dari kata sas dan tra. Akar kata sas- berarti mendidik, mengajar, memberikan instruksi, sedangkan akhiran –tra menunjuk pada alat. Jadi, sastra secara etimologis berarti alat untuk mendidik, alat untuk mengajar, dan alat untuk memberi petunjuk.  Oleh karena itu, sastra pada masa lampau bersifat edukatif (mendidik).
Banyak hal yang dapat diperoleh dari sastra.  Tjokrowinoto (Haryadi, 1994) memperkenalkan istilah ”pancaguna” untuk menjelaskan  manfaat  sastra lama, yaitu (1)  mempertebal pendidikan agama dan budi pekerti, (2) meningkatkan rasa cinta tanah air, (3) memahami pengorbanan pahlawan bangsa, (4) menambah pengetahuan sejarah, (5) mawan diri dan menghibur. Haryadi (1994) mengemukakan sembilan manfaat yang dapat diambil dari sastra lama, yaitu (1) dapat perperan sebagai hiburan dan media pendidikan, (2) isinya dapat menumbuhkan kecintaan, kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur, (3) isinya dapat memperluas wawasan tentang kepercayaan, adat-istiadat, dan peradaban bangsa, (4) pergelarannya dapat menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan, (5) proses penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan dinamis, (6) sumber inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain, (7) proses penciptaannya merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun, profesional, dan rendah hati, (8) pergelarannya memberikan teladan kerja sama yang kompak dan harmonis, (9) pengaruh asing yang ada di dalamnya memberi gambaran tentang tata pergaulan dan pandangan hidup yang luas.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra sangat relevan dengan pendidikan karakter. Karya sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam pendidikan karakter.  Cerita rakyat ”Jaka Tarubmengajarkan anak mengenai pentingnya menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kepercayaan. Cerita binatang ”Pelanduk Jenaka” mengandung pendidikan tentang harga diri, sikap kritis, dan protes sosial. Sementara itu, bentuk puisi seperti pepatah,  pantun, dan bidal penuh dengan nilai pendidikan.

3.        Pembahasan
3.1         Pembelajaran Sastra
Belajar sastra adalah salah satu keterampilan yang imajinatif dan komunikatif bagi anak sebagai pencipta maupun penikmat sastra. Di dalamnya terdapat muatan mendidik yang tersirat dan tidak bersifat doktrin. Anak juga bisa mencerna sesuai dengan perkembangan jiwanya dan membuatnya sangat peka terhadap karya sastra itu sendiri.
Namun minat terhadap sastra kini mengalami degradasi. Hal ini disebabkan oleh tuntutan jaman yang serba instan dan serba cepat. Karya sastra anak didominasi oleh komik-komik dari luar negeri seperti Spongebob, Dora the Explorer, Naruto, dan sebagainya. Bahkan tradisi mendongeng untuk peninabobokan anak sebagai pengantar tidur sang anak menurut tidak menarik lagi bagi seorang anak dan menjadi sesuatu yang sangat asing.
Dalam pembelajaran sastra ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehingga karya sastra itu dapat merebut penikmatnya. Karya sastra yang dapat diterima harus sesuai dengan kontek misalnya dari segi umur bahwa karya sastra yang dapat di konsumsi oleh anak-anak, orang dewasa, atau orang tua.
Sastra anak dapat diartikan sebagai karya seni yang imajinatif dengan unsur estetisnya yang dominan melalui bahasa baik lisan ataupun tertulis yang secara khusus dapat dapat dasarnya perbedaan karya sastra menurut umur terletak pada isi yang sesuai dengan tingkat pemahaman bahasa atau psikologi.
Selain hal di atas retorika atau keindahan bahasa dalam memilih diksi atau pilihan kata, penggunaan bahasa kiasan harus tepat sehingga unsur estetis dapat dicapai karena retorika berusaha untuk mempengaruhi sikap dan perasaan orang, maka ia dapat mempergunakan semua unsur yang bertahan dengan kaidah-kaidah keefektifan dan keindahan gaya bahasa misalnya, ketepatan pengungkapan, keefektifan struktur kalimat, penggunaan bahasa kiasan yang serasi, penampilan yang sesuai dengan situasi dan sebagainya. (Keraf 1991:3) Pernyataan tersebut hanya dapat terwujud bila pemilihan kata atau diksinya tepat. Jadi pemilihan kata atau diksi yang tepat mutlak diperlukan untuk mengungkapkan perasaan dan rangkuman pikiran kepada masyarakat pembaca.
Penanaman pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai strategi. Strategi yang dapat dilakukan antara lain (1) memasukkan pendidikan karakter ke dalam semua mata pelajaran di sekolah, (2) membuat slogan-slogan atau yel-yel yang dapat menumbuhkan kebiasaan semua masyarakat sekolah untuk bertingkah laku yang baik,(3) membiasakan perlaku yang positif di kalangan warga sekolah, dan  (4) melakukan pemantauan secara kontinyu, (5)  memberikan hadiah (reward) kepada warga sekolah yang selalu berkarakter baik.

3.2         Pendidikan Karakter dalam Sastra Lisan Papua
Berikut ini adalah nilai dasar yang terdapat dalam sastra lisan papua yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan di sekolah-sekolah kita. Ke-13 nilai dasar itu dapat diintegrasikan dalam berbagai kegiatan akademik dan kesiswaan. Dari sanalah kita dapat  melakukan pembinaan peserta didik.
Nilai-nilai dasar pendidikan karakter yang harus diajarkan adalah:

3.2.1        Bertakwa (religious)
Para guru harus mampu mengarahkan anak didiknya menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mampu melaksanakan perintah-Nya, dan mampu pula menjauhkan segala larangan-Nya. Orang yang bertakwa akan sadar-sesadarnya bahwa dirinya hanya hamba Tuhan yang harus bertanggungjawab dengan apa yang telah dilakukannya di dunia. Berikut ini adalah beberapa kutipan cerita rakyat yang berkaitan dengan nilai ketakwaan.
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang laki-laki yang taat beribadah dan taat peraturan pemerintah bernama woiram. Woiram tinggal di sebuah kampung bernama Merem, Kecamatan Kemtuk Gresi. Dia mempunyai seorang istri bernama Bonadebu.
(Woiram, cerita rakyat Kemtuk Gresi)

Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan memiliki fitrah yaitu beribadah kepada Tuhan Sang Pencipta. Demikian pula masyarakat zaman dahulu seperti yang digambarkan dalam cerita rakyat Kemtuk Gresi yang berjudul Woiram. Meskipun belum mengenal tentang tuhan seperti saat ini merekapun tetap beribadah menurut keyakinan mereka pada saat itu.
Hal senada juga terdapat dalam cerita Seranawakokoy yang berasal dari kabupaten Waropen berikut ini.
Sebelum berangkat Seranawakokoy beserta kawan-kawannya berdoa kepada nenek moyang agar mereka dilindungi dalam perjalanan.
(Seranawakokoy,  Kumpulan Cerita Rakyat Waropen. hlm. 77)

3.2.2        Bertanggung jawab (responsible)
Para guru harus mampu mengajak para peserta didiknya untuk menjadi manusia yang bertanggungjawab. Mampu mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya dan berani menanggung segala resiko dari apa yang telah diperbuatnya. Rasa tanggung jawab ini harus ada dalam diri para peserta didik kita. Perhatikan kutipan berikut ini.
Mereka ditangkap oleh burung Garuda dan dibawa ke pohon kayu besi. Mereka diminta untuk tinggal bersama sang burung. Burung Garuda mencarikan mereka rumah untuk dibawa naik dan ditaruh di pohon kayu besi sebagai tempat tinggal mama dan anak. Selama tinggal bersama burung Garuda di pohon besi semua kebutuhan mama dan anak dipenuhi olehnya. Sang burung mencarikan makanan dan minuman dari bawah, membuatkan anak perempuan sebuah ayunan, serta masih banyak lagi.
(Burung Garuda, Cerita Rakyat Namblong)

Rasa tanggung jawab tetap ditunjukkan oleh burung Garuda saat suami dalam kisah itu yang meminta istrinya kembali padanya, tidak serta merta burung memperbolehkan istri tersebut kembali kepada suaminya, akan tetapi ia terlebih dahulu menanyakan kesanggupan suami bahwa mereka (ibu dan anak perempuan) akan dirawat dengan sebaik-baiknya.
3.2.3        Berdisiplin (dicipline)
Para guru harus mampu menamkan disiplin yang tinggi kepada para peserta didiknya. Kedisiplinan harus dimulai pada saat masuk sekolah. Budaya tepat waktu harus ditegakkan. Siapa yang terlambat datang ke sekolah harus terkena sanksi atau hukuman sesuai dengan peraturan tata tertib yang berlakuk di sekolah. Siswa harus diajarkan disiplin, dengan demikian dia kan terbiasa disiplin dalam kehidupannya. Contoh yang paling mudah adalah tepat waktu. Siswa harus dididik untuk mampu tepat waktu.
Pagi-pagi sekali burung murai telah berkicau, berlompatan di dahan, dan menyerukan kepada seluruh alam tentang munculnya semburat fajar di ufuk timur. Dengan suaranya yang indah burung murai membangunkan masyarakat di sekitar danau Sentani untuk bersiap-siap pergi ke kebun atau ke danau untuk menjala ikan.
(Burung Murai dan Ikan Gabus, cerita rakyat Sentani)

Cermin sikap disiplin nampak pada kebiasaan masyarakat yang selalu bangun setelah burung murai berkicau. Setiap hari burung murai berkicau menjelang munculnya fajar sehingga masyarakat harus segera bersiap-siap melaksanakan segala aktivitas dan usaha agar dapat memperoleh hasil yang maksimal. Burung murai juga menunjukkan perhitungan waktu, sehingga manusia diharapkan dapat mengatur waktu yang diberikan Tuhan untuk hal-hal bermanfaat agar memperoleh banyak berkat.

3.2.4        Jujur (honest)
Kejujuran saat ini merupakan hal yang langka. Para guru harus mampu memberikan contoh kepada para peserta didiknya untuk mampu berlaku jujur. Ketika jujur diajarkan di sekolah-sekolah kita, maka para peserta didik tak akan berani berbohong karena telah terbiasa jujur. Kebiasaan jujur ini jelas harus menjadi fokus utama dalam pendidikan di sekolah. Sebab kejujuran telah menjadi barang langka di negeri ini. Timbulnya korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah akibat dari karakter jujur yang kurang terpelihara dengan baik.
Sebuah cerita rakyat dari Tobatti Enggros Jayapura yang menceritakan sepasang suami istri, yaitu Haro dan Aihoi yang merupakan satu-satunya pemilik ikan yang diam-diam tidak  diketahui oleh masyarakat. Bahwa mereka menyimpan ikan untuk keperluan mereka sendiri. Namun, karena sering disajikan kepada tamu-tamu yang datang mengunjungi pondok  keduanya, maka akhirnya diketahuilah bahwa Haro dan Aihoi menyembunyikan sesuatu di dalam rumahnya. Dan tentu saja benar, di rumah milik sepasang suami istri itu terdapat sebuah kolam yang berisi air dan ikan-ikan yang menggemaskan damn membuat kebahagiaan bila terus dipandang . Sehari-harinya, Haro memandang kolam dimana bersemayamnya ikan-ikan yang ia cintai itu, hingga terkadang Aihoi merasa cemburu lantaran Haro hanya menaruh
perhatian pada ikan-ikannya itu. Pada suatu saat Haro dan Aihoi sedang tidak ada di rumahnya, akhirnya datanglah dua orang tuan tanah yang menghancurkan kolam yang berisi
ikan-ikan dan rumah milik Haro dan Aihoi, sehingga ikan-ikan dapat dimiliki oleh masyarakat.
Sebenarnya, adapun amanat ataupun pesan moral yang terkandung dari cerita rakyat diatas adalah mengenai kejujuran dan kebersamaan. Pasangan suami istri, Haro dan Aihoi cenderung serakah dengan tidak membiarkan masyarakat mengetahui perihal ikan-ikan yang ada di kolam di rumah mereka. Dengan kata lain, ikan-ikan menjadi rahasia pribadi keduanya saja. Namun, ketidaksengajaan menyuguhkan ikan- iakn pada setiap tamu yang dating berkunjung ke kediaman mereka mengantarkan keduanya memperoleh akibat dari dihancurkannya kolam di rumah mereka oleh dua orang tuan tanah yang merangkap sebagai anggota masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari.

3.2.5        Sopan (polite)
Mampu berperilaku sopan adalah dambaan setiap insan. Dengan berlaku sopan orang lain akan segan kepada kita. Karakter sopan ini harus dilatihkan kepada peserta didik, dan dicontohkan bagaimana cara berlaku sopan kepada orang lain. Terutama kepada mereka yang telah lebih tua daripadanya. Tentu karakter kesopanan harus diperlihatkan dan dijunjung tinggi. Seringkali kita melihat karkater anak sekolahan yang kurang sopan. Baik dalam berbicara mamupun bertindak. Hal inilah yang harus kita rubah dalam pendidikan karakter bangsa.
Rega adalah adik Ara yang berusia dua tahun lebih muda, tetapi secara fisik, Rega memiliki ketampanan yang lebih dibandingkan kakaknya, Ara. Namun, Rega tidak pernah merasa bangga karena hal itu. Ketampanan yang ia miliki tidak lantas membuatnya sombong dan menjadi pemuda yang tidak baik. Ia tetap menaruh rasa hormat dan kasih sayang yang tulus kepada mama dan kakaknya. Ia amat mencintai keluarganya.
(Musnahnya Kampung Habele di Gunung Abepura, cerita rakyat Abepura)

Seseorang yang mempunyai berbagai kelebihan secara fisik seperti tinggi, tampan, atau kaya raya tidak seharusnya membuat seseorang tersebut menjadi tinggi hati atau sombong. Kelebihan yang dimiliki harus membuat seseorang tersebut pandai untuk bersyukur atas segala karunia yang telah diberikan oleh Tuhan. Kelebihan tersebut harus membuat seseorang tersebut menjadi orang yang sopan dan ramah kepada sesama sehingga orang-orang akan menghargai dan menghormati kita.

3.2.6        Peduli (care)
Peserta didik harus dilatih untuk peduli kepada sesama. Belajar melakukan empati kepada orang lain dengan rasa kepedulian yang tinggi. Ketika kita mau peduli, maka saudara-saudara kita yang sedang mengalami kesulitan akan terbantu. Di situlah akhirnya jiwa kepedulian kita teruji. Banyaknya musibah yang silih berganti di negeri ini, baik musibah bencana alam maupun bencana lainnya harus membuat kita semakin peduli dengan bangsa sendiri.
Pada saat mereka mendapatkan penyu dari laut, penyu itu langsung dibawa ke rumah ondoafi. Lalu pembantu-pembantu ondoafi itulah yang akan memotong dan membagi daging penyu itu kepada semua masyarakat kampung, semua masyarakat kampung juga harus mendapatkan bagian yang sama. Pembagian itu menggunakan ukuran batang lidi. Batang lidi dipotong-potong sebanyak jumlah masyarakat yang ada. Lalu dijadikan ukuran dalam pembagian daging penyu itu. Walaupun pembagian itu sedikit, tapi yang terpenting semua masyarakat mendapatkan bagian yang sama. Itulah tradisi yang dilakukan Suku Norotoy di Kampung Neichebe sampai sekarang.
(Hubungan Putri Laut dengan Suku Norotoy, cerita rakyat Suku Ormu)

Petikan cerita rakyat di atas memberikan gambaran bahwa dalam keadaan bagaimanapun kita dituntut untuk memiliki rasa kepedulian terhadap sesama. Benar kata pepatah bahwa dicubit paha kiri maka paha kanan turut merasakan sakitnya.
3.2.7        Kerja keras (Hard work)
Peserta didik harus dilatih untuk mampu bekerja keras. Bukan hanya mampu bekerja keras, tetapi juga mampu bekerja cerdas, ikhlas, dan tuntas. Dengan begitu kerja keras yang dilakukannya akan bernilai ibadah di mata Tuhan pemilik langit dan bumi. Orang yang senang bekerja keras pastilah akan menuai kesuksesan dari apa yang telah dikerjakannya. Orang yang bekerja keras pasti mampu meujudkan impiannya menjadi kenyataan.
Pada  zaman dahulu di pesisir pantai tepatnya  di kabupaten  Fakfak, ada seorang pemuda  yang berasal dari suku  Onim  bernama Karwata.  Karwata adalah seorangt pemuda yang bertabiat 6epuji , sopan suka menolong dan  berpengetahuan luas. Ia tinggal disebuah perkampungan  yang jauh dari  keramaian yakni dipinggiran pantai.  Pada sebuah pondok Ia tinggal seorang diri,dalam hidupnya sehari-hari Ia berkebun dan memelihara bermacam-macam hewan. Betapa senangnya hati sang pemuda karena semua yang ia tanamami  serta pelihara tumbuh dengan subur dan menyenangkan hatinya,sebab hewan piaraannya sangat pandai dan jerdik. Dari sekian binatang piaraannya Ia sangat  tertarik dan menyayangi seekor ikan pari yamh hidup dalam sebuah empang di pinggir pantai.
(Karwata dan Ikan Pari, cerita rakyat suku Onim, Fakfak)

Makanan tidak akan masuk sendiri ke dalam mulut kita, memerlukan tangan untuk menyuapkan agar dapat dinikmati. Demikian pula dalam hidup ini, rezeki tidak akan datang dengan sendiri jika kita tidak bekerja keras untuk mendapatkannya. Kerja keras, pantang menyerah, dan menyerahkan usaha kita kepada tuhan, merupakan ikhtiar kita dalam mencari rezeki. Kerja keras itu jangan dibubuhi dengan menghalalkan segala cara atau memakai jalan pintas untuk menggapai tujuan. Rezeki yang halal dan baik akan membuat hidup kita menjadi baik pula. Cerita Karwata dan Ikan Pari merupakan cerminan masyarakat Papua yang selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup.

3.2.8        Sikap yang baik (good attitude)
Peserta didik harus memiliki sikap yang baik. Dengan sikap yang baik akan terlihat karakter dari peserta didik tersebut. Sikap yang baik kepada orang lain harus dicontohkan oleh guru kepada para peserta didiknya. Dengan begitu orang lain akan menaruh hormat kepadanya karena sikapnya yang baik. Perilaku orang dapat dilihat dari sikap baik yang dimunculkannya. Oleh karenanya sikap yang baik harus diajarkan para guru dalam pendidikan karakter di sekolah.
Hari-hari berlalu, kandey tidak canggung lagi untuk mendekati sang penguasa danau itu. Setiap hari kandey membersihkan janggut buaya besar itu. Sang buaya tidak memangsa kandey yang berada tepat di mulutnya karena buaya sudah menganggap kandey seperti cucunya. Buaya tidak memangsa atau menerkam kandey karena kandey begitu sabar membersihkan janggut dan melayani buaya tanpa rasa takut sehingga timbullah rasa kasih sayang di hati Sang buaya. Begitupun sebaliknya, kandey samasekali tidak merasa takut untuk mendekati buaya karena dia menganggap buaya itu bagaikan kakek baginya. Kandey membersihkan janggut buaya setelah dia puas bermain dengan ikan-ikan lain di danau.
(Burung Murai dan Ikan Gabus, cerita rakyat Sentani)

Kandey merupakan lambang dari masyarakat kebanyakan sedangkan buaya mewakili orang yang kuat dan berpengaruh. Cerita tentang kebaikan kandey terhadap buaya juga dapat menjadi cermin masyarakat kecil yang tunduk kepada penguasa. Jika pemegang kekuasaan dapat mengendalikan diri dalam segala tindakan, niscaya akan timbul keharmonisan dengan masyarakat kecil. Dengan demikian akan muncul rasa percaya dari masyarakat kepada orang yang dituakan sehingga rakyat dengan sukarela akan berbakti dan melayani.

3.2.9        Toleransi (tolerate)
Peserta didik harus dilatih agar mampu bertoleransi dengan baik kepada orang lain. Toleransi harus dipupuk sejak dini, apalagi kepada hal-hal yang bernuansa Suku, agama, Ras, dan antar golongan (SARA). Perlu tolerasi yang tinggi agar mampu memahami kalau kita berbeda tetapi hakekatnya tetap satu juga. Toleransi antar umat beragama adalah salah satu bentuk toleransi yang paling jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
Pada zaman antah berantah di suatu tempat di selatan Kota Genyem, Ibukota Distrik Nimboran, Papua, ada sebuah dusun yang disebut orang Sublub. Pada dusun itu hiduplah Ikan-ikan Ketimbang, Kepiting darat, Udang dan Ikan Gabus. Makhluk-makhluk air ini hidup bersahabat dan akrab dalam kolam-kolam air yang membatasi ruang gerak mereka dengan memelihara anak bersama dan mencari makan bersama secara adil dan merata.
(Ikan Ketimbang dan Kepiting Darat, cerita rakyat suku Namblong, Genyem)


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Al quran surat Ar Rum ayat 22). Tuhan menciptakan manusia dalam berbagai suku, ras, agama, ataupun golongan secara berbeda dengan tujuan untuk saling mengenal dan untuk hidup berdampingan secara harmonis. Hal ini juga terlihat dalam cerita rakyat dalam petikan berikut ini.

Saat itu suwanggi dan manusia masih satu, akan tetapi masih bisa dibedakan antara suwanggi dengan manusia…
Mereka (suwanggi dan manusia)  membuat perjanjian untuk tetap hidup berdampingan satu sama lain.
(Persaingan Antara Suwanggi Dengan Manusia, Cerita rakyat Namblong)

3.2.10    Kreatif (Creative)
Peserta didik harus diajarkan agar mampu kreatif. Dengan begitu dia telah terbiasa menciptakan sesuatu yang baru. Guru kreatif akan menghasilkan peserta didik yang kreatif pula. Ajarkan peserta didik kita agar mampu kreatif dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. Anak kreatif tidak lahir begitu saja. Dia lahir dari proses pendidikan yang berkelanjutan. Tuhan membekali manusia yang hidup di dunia ini dengan berbagai macam keahlian dan kreatifitas. Bekal yang diberikan Tuhan ini membuat manusia dapat bertahan hidup dan meneruskan regenerasi. Berikut ini adalah penggalan cerita yakyat yang berkaitan dengan keahlian dan kreatifitas tersebut.
Mereka kini tiba di hutan dan mulai memilih pohon yang baik. Selain kulitnya untuk pakaian, kayunya juga dapat untuk membangun rumah. Akhirnya, mereka menemukan pohon yang lurus dan cukup tinggi.
(Simunopendi, Dharmojo. Kumpulan Cerita Rakyat Waropen. hlm. 130)

Karena hasil buruan telah berkurang, Sai dan Reri berpikir tentang tempat baru yang bisa diperoleh hasil buruan untuk kebutuhan hidup mereka. Sai dan Reri sepakat untuk membuat jembatan yang dapat menghubungkan Pulau Yapen dengan daratan Waropen. Dengan adanya jembatan tersebut, setiap hari Sai dan Reri pergi ke daratan Waropen untuk berburu.
(Asal-Usul Selat Saireri, cerita rakyat Kepulauan Yapen)
Dengan bekal dan kreatifitas ini kita tidak memiliki alasan untuk berpangku tangan dan bermalas-malasan dalam bekerja. Apalagi tanah Papua yang penuh berkah Tuhan ini masih memerlukan tangan-tangan kreatif dan terampil untuk memakmurkannya.
3.2.11     Mandiri (independent)
Anak yang terbiasa mandiri biasanya akan jauh lebih berhasil hidupnya daripada anak yang kurang mandiri. Mandiri bukan hanya mampu berdiri di atas kakinya sendiri, tetapi juga mampu membawa dirinya untuk tidak bergantung penuh kepada orang lain. Kemandirian harus ditanamkan kepada para peserta didik kita bila ingin anak menjadi mandiri. Perhatikan petikan cerita di bawah ini.
Hari berganti hari tak lama kemudian laki-laki angkasa itupun terbiasa dengan kehidupan manusia. Bahkan dalam banyak hal ia nampak lebih cerdik dan banyak akal dalam memecahkan masalah dan mengatasi kesulitan. Sachman merasa beruntung mendapat sahabat sekaligus menjadi saudara yang cerdik dan dapat membantu mengatasi segala kesulitan hidupnya. Ia memanggilnya dengan nama “Sarwanik” yang berarti pencetus ide gagasan. Setelah beberapa waktu lamanya Sarwanik berada di rumah Sachman mengundang banyak orang kampung datang ke rumah untuk meminta bantuan untuk memecahkan segala  permasalahan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Sebagian masyarakat kampung masih takut kepada laki-laki dari angkasa itu. Sebenarnya setelah banyak bergaul dengan masyarakat banyak, Sarwanik sudah sama seperti orang biasa. Kini timbullah keinginan Sarwanik untuk membina keluarga, beristri seperti orang kampung lainnya
(Asal Mula Sungai Kohoin Teminabuan, cerita rakyat Suku Tehit)

Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Artinya siapa yang memberi lebih terhormat dan lebih berwibawa daripada yang menerima.
Selama ini kita kebanyakan memang masih berstatus sebagai penerima batuan orang lain. Namun suatu saat kita harus tampil sebagai pemberi bantuan atau pinjaman kepada orang lainnya. Obsesi tersebut akan terwujud jika kemadirian hidup telah terealisasikan.
Bagaimanapun “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. Orang yang mandiri tak lain merupakan orang yang mampu memenuhi berbagai keperluannya secara mandiri, tidak mengandalkan bantuan orang lainnya. Namun kondisi yang demikian memerlukan kerja keras dalam jangka panjang.
Hanya orang yang mandirilah yang bisa tampil dalam kancah pergaulan dunia dengan posisi terhormat. Dalam pergaulan antar masyarakat dengan prinsip saling menghormati.

3.2.12    Menghargai (Respect)
Peserta didik harus mampu menghargai hasil karya orang lain yang dilihatnya. Dengan begitu ada penghargaan yang diberikan olehnya kepada orang lain. Saling menghargai merupakan cerminan budaya bangsa yang harus dilestarikan secara turuh temurun. Mengharagai pendapat orang lain adalah salah satu contoh dari karakter saling menghargai sesama. Berikut ini adalah petikan cerita rakyat suku Kayu Batu yang mengambarkan rasa hormat dan menghargai tamu. Memuliakan tamu adalah perbuatan mulia, dengan meghargai orang lain berarti kita telah menghargai diri kita sendiri.
Abo mengantarkan Cabo dan memperkenalkan pada istrinya. Setelah itu Abo mengatakan sesuatu kepada istrinya, lalu istrinya pergi ke pondok yang terletak di pojok kebun. Kemudian Abo bersama Cabo mengikuti istrinya. Pada cabang kayu di pondok itu tergantung satu noken. Si istri mengangkat noken dan mengeluarkannya sagu bakar dari dalamnya. Sagu bakar itu dihidangkan di atas selembar daun pisang, lalu Abo mengajak Cabo untuk makan bersama. Dengan perasaan syukur Cabo memakan beberapa potong sagu bakar. Abo menjamunya dengan penuh keramahan.
(Cabo dan Batu Ajaib, cerita rakyat Kayu Batu, Jayapura)

3.2.13    Bersahabat (Friendly)
Ketika peserta didik sudah terbiasa bersahabat, maka akan terasalah pentingnya sebuah persahabatan. Bersahabat adalah karakter penting yang harus dimiliki oleh para peserta didik. Kita harus memupuk rasa persaudaraan yang tinggi. Bila kita saling bersahabat, maka kita akan semakin dekat dan akrab. Dengan begitu akan semakin dekatlah hati kita masing-masing. Persahabatan bagai kepompong yang akan mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Sungguh indahnya sebuah persahabatan.
Di kebun ia dengan teman-temannya sedang mendapati  seekor burung cenderawasih. Salah satu temannya bermaksud hendak memanah si burung cenderawasih. Namun olehnya, mereka dilarang karena burung itu berjasa terhadapnya ketika ia kecil atau masih bayi. Diceritakannyalah kepada teman-temannya bahwa ia  pernah disusui oleh si burung dengan air liurnya. Mendengar penjelasannya  merekapun  sangat terharu, diurungkannyalah niatnya untuk memanah si burung cenderawasih. Dalam sekejab semua anak panah mereka disimpan di dalam tas noken tidak jadi dilesatkan ke arah burung cenderawasih.  Mulai saat itu, mereka semua sepakat dan berjanji akan menjaga burung cenderawasih dengan penuh kasih sayang dan juga akan melestarikannya sepanjang hayat hidup mereka.
(Persahabatan Burung Cenderawasih dengan Manusia, cerita rakyat Sentani)  

Petikan cerita Persahabatan Burung Cenderawasih dengan Manusia di atas memberikan suntikan nilai persahabatan yang telah lama hampir pudar. Dengan membaca cerita rakyat mengajak kita untuk kembali merenungi arti sebuah persahabatan.

3.2.14    Semangat Kebangsaan (Nationality Spirit)
Para peserta didik harus didorong memiliki semangat kebangsaan. Dengan begitu akan ada rasa bangga kepada bangsanya sendiri.
Saat-saat seperti itu, ketua adat akan bercerita tentang kejayaan-kejayaan nenek moyang mereka dalam peperangan, menceritakan dongeng-dongeng atau legenda-legenda rahasia tentang nenek moyang yang tidak boleh tersebar ke suku lain. Di rumah jew pula orang-orang tua mengajarkan orang-orang muda tentang teknik berperang, merencanakan pembalasan kepada suku lain atau pengayauan (pembalasan dengan membunuh lawan). Sekali-sekali tetua adat juga mengajarkan anak-anak muda tentang tata cara memahat patung, membuat patung mbis, membuat panah, dan bagaimana cara menggunakannya. Pendek kata, di dalam jew anak muda diajar agar tumbuh menjadi pemuda yang tangguh, gagah berani, dan siap melindungi kampungnya bila diserang oleh kampung lain.
(Legenda Terjadinya Pohon Kelapa di Asmat, Mitos suku Asmat)
Dalam masyarakat Papua juga dikenal kata-kata:
Nai hawolok ...
nai hawolok ...
nai hawolok ...
Damai negeriku ...
damai tanahku ...
tenteram alamku ...

Makna dari ungkapan masyarakat Papua ini sesungguhnya bukan saja untuk mengundang Tuhan, arwah para leluhur dan semua manusia yang hidup untuk segera datang untuk turut pembela, melindungi dan mempertahankan diri dari serangan musuh. Dalam konsepsi kepercayaan masyarakat Papua, kata-kata  “nai waholok”  selalu ada di Lembah Balim, terutama diucapkan oleh mereka yang diserang secara tiba-tiba dalam perang antar suku di daerah Wamena. Seorang tokoh yang disebut  “Ap Tugi Metek”  (kepala suku perang) akan mengucapkan kata-kata ini sebagai undangan kepada semua mahluk hidup, tumbuhtumbuhan, mahluk halus dan semua manusia untuk hadir mempertahankan wilayahnya dengan tenang dan tidak panik dalam menghadapi musuh yang berada dihadapannya.

4.        Penutup
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai media yang memberitakan tentang keborokan moral. Untuk mengatasi hal itu muncul pemikiran untuk memperkuat pendidikan karakter yang dapat dilakukan melalui berbagai media, termasuk sastra.
Peran sastra dalam pembentukan  karakter  bangsa tidak hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra  yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter. Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya menanamkan  karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran.
Demikianlah nilai-nilai dasar pendidikan karakter bangsa yang dapat diterapkan di sekolah-sekolah kita. Semoga kita semua dapat menyiapkan para generasi penerus bangsa menjadi calon pemimpin masa depan yang memiliki karakter yang penulis jabarkan di atas serta mempunyai kemampuan intektual yang tinggi. Kita pun berharap akan muncul pemimpin masa depan yang berkarakter, berintegrasi yang tinggi dan cerdas dalam melihat perkembangan sejarah bangsa.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/
Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama .  Jakarta
Haryadi. 1994. Sastra Melayu. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. http:// www. mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html.

Yuga, Surya. 2010. Bunga Rampai dalam Ungkapan Budaya Nilai-Nilai Etika: Seri Pranata Sosial. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.

Zuhlan, Najib. 2011. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media Utama.