Friday, December 7, 2012

BHUYAKHALA –BHU


BHUYAKHALA –BHU

                        Bhuyakh’la bhu yayole
                        Yakhama  hay neayouwnge
                        Makhen-sim bheyouwnge
                        Robhonsolo ra            
                        O – khuy khembo h reayyouwnge

                                    Bhu-yo a yo hokhoymiyeuwnge
                                    Na – imea obhe r bh’lu holo re
                                    Na khelu omi reymay khate
                                    Ateay wembay walilo (back to…. )

                        Akho wembay mokhowoyea
                        H’mungga fauwnge kh’la khanine
                        Na – bhun’ yauwnge wali r’ iuwgamea
                        Bhuma khabhang kholawale

                                    Holiyo randahebhale R’ohey jo r’ hilawale
                                    Wa khouw foy yebhey foy nandolo bheyjete
                                    Bhu nim bhu moyny’ yaijeyea
           
                        Ma wali re fea woungele ma yo hena nukhewauwnge
                        Rokho mbay ema bhembonde
                        Nembayny’ reymay khomale

                                                BHUYAKHALA – BHU
                                                      (Danau Sentani)

                        Danau Sentani Terhampar
                        Disinari oleh (sunset) semburat merah (senja)
                        Dihembus semilir angin
                        Gunung Ciklop
                        Semerbak wangi bunga

                                    Orang ladang yang pulang ke kampong
                           Ke rumah tempat tinggalnya
                           Anak-anak bersuka ria
                           (Tuhan) Bapak Engkau pemberi kehidupan (back to….)

              
Bapak (Tuhan) hanya Engkau yang menciptakan
               Gunung dan Lembah, tanah (bumi) dan dusun
               Di darat dan laut Kau karunia akan untuk kehidupan kami
               Kuagungkan kebesaranMu

Saya berdiri di atas bukit Holiyo menatap kampungku Ohey
Telukmu dan tanjungmu yang indah dialiri arus yang deras
Kau terhampar di air yang sejuk
                          
                        Kamu ke luar demi kehidupanmu tinggalkan tempat lahirmu
                        Suatu saat kita akan bersua
                        Dan kita bersuka cita bersama

Perjalanan Masyarakat Heram Ke Pulau Ohei/Asei


Informan Nomensen Ongge
Diceritakan kembali oleh Siswanto

honong yo honong yo honong wauw gauw yora mewande
mewande mewande honong wauw gauw yo ra mewande
iuwga yo rayjo iuwga neay ray neay yo ra mewande
mewande mewande iuwga neay ray neay yo ra mewande

kami datang dari kampung honong wauw gauw
kami datang kami datang dari kampung honong
iuwga yo ray jo kami datang
iuwga ray ray neay kami datang

Menurut cerita turun temurun bahwa pada zaman dahulu berdiamlah satu suku terbesar di kaki gunung Fonong/Honong di Timur PNG. Suku terebut adalah suku Heram yang dikepalai oleh seorang ondofolo.
Pada suatu ketika ondofolo menghimpun seluruh suku dan berkata “sudah lama bahkan bertahun-tahun kita hidup di ini tetapi kita belum tahu pasti berapa jumlah penduduk kita. Untuk mengetahuinya, kita harus adakan pesta adat yang sangat besar. Semua kepala suku harus mengerahkan semua masyarakatnya untuk menyiapkan atribut tarian. Kecil-besar, tua muda harus menghias diri dengan atribut terebut. Putra tertua dan putri tertua harus memakai bulu burung cendrawasih di kepalanya”.
Semua persiapan sudah dilakukan, para kepala suku melaporkan kepada ondofolo bahwa pesta adat sudah bisa dimulai. Hari untuk merayakannya disepakati bersama dan pesta adatpun dirayakan. Selama pesta ini dirayakan semua kepala suku harus menghitung jumlah anggota keluarganya kemudian melaporkannya kepada ondofolo.
Bertepatan dengan dimulainya pesta adat, putra ondofolo jatuh sakit sehingga tidak melihat atribut tarian seperti apa yang dipakai oleh kawan laki-laki dan perempuan.
Putra ondofolo tidak bisa jalan karena sakit bisul di pahanya, membuat dia demam dan menahan sakit di kamarnya. Karena ingin melihat pagelaran tarian adat dan pesta adat yang sangat ramai, terpaksa ia merayap keluar dari kamarnya ke pintu depan. Begitu dia melihat perhiasan bulu burung kuning di kepala setiap anak sulung, iapun ingin memilikinya. Ia minta tolong teman-temannya untuk mencarikan burung cenderawasih untuknya, tetapi tidak ada yang mau mencarikannya. Akhirnya dengan kekecewaan yang sangat dalam ia memanggil pelayan datang padanya, iapun memerintahkan pelayan untuk membuat busur dan panah yang berukuran kecil/sedang. Sesudah siap dikerjakan pelayan membawanya dan menyerahkan kepada putra ondofolo.
Pada hari berikutnya, ia meminta bantuan ibunya untuk membakar sagu untuknya. Ibunya heran dan bertanya kepadanya “Untuk apa ibu membakar sagu tersebut?”
Dengan kecewa ia menjawab bahwa teman-temannya tidak mencarikan burung kuning untuknya, jadi ia sendiri yang harus mencari burung kuning tersebut.
Hari masih subuh ia merayap mengambil busur dan anak panah kemudian duduk dan melukai/memanah bisul besar di pahanya sehingga pecah. Sesudah darah dan nanah mengering, kakinyapun terasa ringan dan bisa berjalan, ia pun memanggil ibunya. Katanya kepada ibunya, “Berikan busur dan panah saya serta umumkan kepada masyarakat yang mau mengikuti saya ke arah barat. Saya dan pengikut saya akan membuat pemukiman baru di sana”.
Dengan kepemimpinan putra ondofolo sekumpulan masyarakat mulai berjalan bergerak ke arah barat. Dalam perjalanan putra ondofolo bertemu dengan seekor ular naga yang sangat besar. Waktu hendak membunuhnya, ia mengatakan pada putra ondofolo bahwa dia bisa menjadi petunjuk jalan. Mereka berjalan mengikuti ular naga dan sampai di tepi danau Sentani. Setibanya di pinggir  danau mereka duduk di punggung ular naga kemudian menyeberang mengarungi danau.
Akhirnya dalam perjalanan, ular naga kelelahan,  mulai lemas dan akhirnya tenggelam antara kampung Asei dan Ayapo. Dalam peritiwa ini ada yang tenggelam dan meninggal dunia tetapi ada pula yang selamat sampai di pulau dan bermukim di sana.
Menurut kepercayaan daerah setempat, lokasi tenggelamnya ular naga dianggap sebagai tempat keramat. Sudah menjadi tradisi, kalau ada buih putih berbentuk ular naga mengapung dilokasi tersebut pertanda bahwa salah satu ondofolo Heram akan meninggal dunia. Sesudah ondofolo meninggal dunia, buih putih yang berbentuk ular naga dengan sendirinya hilang.
Perlu diketahui bahwa yang termasuk suku Heram adalah Masyarakat kampung Asei, Ayapo, Asei Kecil (Kleublouw), Kampung Harapan, Waena dan Yoka.

Asal Usul Pulau Ohei/Asei


Informan Demas Asabo
Diceritakan kembali oleh Siswanto

Pada zaman dahulu kala ketika suku Heram (sebutan untuk masyarakat Sentani bagian timur) bermigrasi dari Honong menuju Sentani mereka langsung menuju bukit Yomokho yang berada di sebelah utara danau Sentani.Saat itu bukit Yomokho telah dihuni oleh dua marga asli yaitu marga Asabo dan marga Pouw.Kedatangan suku Heram ke bukit Yomokho ditentang oleh marga Pouw. Marga Pouw hendak memerangi suku Heram karena mereka khawatir suku Heram akan menguasai ulayat marga Pouw di bukit Yomokho dan sekitarnya.
Setelah melalui perundingan yang alot akhirnya marga Pouw setuju mereka tinggal di tempat ulayat mereka, akan tetapi tidak di Yomokho melainkan di tengah Danau Sentani. Pada saat itu pulau Ohei (Asei) belum ada di tengah danau Sentani, yang ada hanyalah gundukan tanah yang muncul di atas permuakaan danau.Marga Asabo dan marga Pepuho merencanakan membuat pulau dengan memanfaatkan gundukan tanah yang muncul di atas permukaan danau tersebut.Asabo dan Pepuho kemudian menebang pepohonan dan mengangkutnya menggunakan perahu menuju gundukan tanah yang ada di tengah danau.Mereka menancapkan pohon-pohon yang telah ditebang tersebut menyerupai pagar yang mengelilingi gundukan tanah.
Kayu-kayu yang ditancapkan berubah menjadi pagar yang rapat dan kuat sehingga gundukan tanah tesebut mulai naik dan membentuk sebuah pulau.Selain kekuatan gaib yang menyebabkan terjadinya pulau tersebut, Asabo dan Pepuho juga berusaha menyempurnakan terjadinya pulau dengan membuang segala jenis kotoran berupa potongan kayu, rumput, kotoran babi, kotoran manusia, atau juga limbah keluarga.
Beberapa waktu kemudian gundukan tanah yang berpagar kayu-kayu itu telah sempuarna menjadi pulau.Masyarakat Heram menyebut pulau Asei dengan Ohey Yohena. Suku Heram di bantu oleh marga Asabo dan Pepuho pindah dan menetap ke pulau Ohei. Mereka menempati pulau dengan komposisi berdasarkan urutan kepangkatan dalam ke-Ondofolo-an dalam adat Sentani.Berikut adalah komposisi tempat tinggal masyarakat di Pulau ohei berdasarkan marga.