Thursday, November 18, 2010

REVITALISASI MITOS GUNUNG SIKLOP (CYCLOOP): SEBUAH ALTERNATIF KONSERVASI DANAU SENTANI

REVITALISASI MITOS GUNUNG SIKLOP (CYCLOOP):
SEBUAH ALTERNATIF KONSERVASI DANAU SENTANI
(sriyono)
Demi air…
Yang memancar dari pori-pori bumi
Ajari aku membaca isyarat-Mu
(Rmn. Kindy)

1. PENDAHULUAN
Berbicara tentang sastra lisan berarti kita berbicara tentang identitas suatu masyarakat. Kesastraan suatu masyarakat tidak lain adalah rekaman pikiran, renungan, dan nilai–nilai masyarakat pada masa tertentu. Gagasan atau nilai–nilai itu menjadi landasan perilaku masyarakat yang kehadirannya masih dapat diamati dan dipahami. Hal tersebut, misalnya, terwujud dalam bentuk doa, upacara-upacara adat, upacara keagamaan, cerita rakyat, dan adat - istiadat.
Bentuk-bentuk sastra lisan yang ada dalam masyarakat menurut Tarigan dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk, yakni: bahasa rakyat (folkspeech), seperti: logat, julukan, pangkat tradisional, dan gelar kebangsawanan, ungkapan, sindiran, dan bahasa rahasia. Ungkapan tradisional, seperti: peribahasa, pepatah, dan pemeo, ibarat serta kata-kata arif. Pertanyaan tradisional, seperti: teka-teki. Puisi rakyat, seperti: ratapan kematian dan ratapan perpisahan. Cerita prosa rakyat, seperti: mite, legenda, dan dongeng. Bentuk sastra lisan yang lainnya adalah nyanyian rakyat (folk song).
Tiga istilah yang sering kita dengar atau kita baca, berkaitan dengan masalah yang akan kita bicarakan ini adalah mite, mitologi, dan mitos. Mereka yang awam dengan pengetahuan makna bahasa, tentu ketiga kata atau istilah itu dianggapnya sama saja artinya. Sebagai manusia yang diberi seperangkat pengetahuan tentang makna sebuah bahasa, tentu kita pun mencoba mendalami dan memahami pengertian ketiga istilah tersebut. Untuk memudahkan memahami ketiga istilah tersebut mari kita buka saja Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang juga sudah daring (dalam jejaring), dan Ensiklopedi Sastra Indonesia (ESI).
Kata “mite” dalam KBBI (2008:921) berarti “cerita yang mempunyai latar belakang sejarah yang dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa” atau “cerita tradisional, bukan cerita zaman sekarang dan diwariskan dari generasi ke generasi” (ESI, 2004:514). Sementara itu, kata “mitologi” dalam KBBI (2008:922) berarti “ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus di suatu kebudayaan”. Sementara itu, Dananjaya (2002:50) menyebutkan mite sebagai cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau.
Kata “mitos” dalam KBBI (2008:922) berarti “cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib”. Sementara itu, dalam Kamus Besar Melayu Nusantara (2003:1802) disebutkan bahwa “mitos” adalah “1) cerita zaman dahulu yang dianggap benar, terutamanya yang mengandungi unsur-unsur, konsep, atau kepercayaan tentang sejarah awal kewujudan sesuatu suku bangsa, kejadian-kejadian alam, dan sebagainya; 2) cerita sesuatu suku bangsa mengenai dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal-usul alam semesta, manusia, dan bangsa itu sendiri yang mengandungi arti mendalam yang diungkapkan secara gaib; 3) cerita tentang seseorang atau sesuatu yang tidak benar atau direka-reka; dongeng”
Dari penjelasan di atas diperoleh pemahaman mengenai perbedaan dan persamaan makna mite, mitos, dan mitologi. Makna kata mite lebih menekankan pada cerita atau kisah masa lalu, masa purba, dengan latar belakang sejarah dan kejadian-kejadian ajaibnya. Makna kata mitos, meskipun juga cerita masa lalu, lebih menekankan pada tokoh atau bendanya yang dianggap keramat, memiliki tuah, suci, sakti, sakral, dan seperti dewa. Sementara itu, kata mitologi lebih menekankan pada kajian, ilmu pengetahuan tentangnya, atau kumpulan mite atau mitos.

2. FUNGSI MITOS
Mitos tidak hanya sebuah reportase tentang apa yang telah terjadi saja, tetapi mitos itu memberikan semacam arah kepada kelakuan manusia dan digunakan sebagai pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos manusia mengambil bagian (berpartisipasi). Partisipasi manusia dalam alam pikiran mistis ini dilukiskan sederhana sebagai berikut: terdapat subjek, yaitu manusia (S) yang dilingkari oleh dunia, objek (O), tetapi subjek itu tidak bulat sehingga daya-daya kekuatan alam dapat menerobosnya. Manusia (S) itu terbuka dan dengan demikian berpartisipasi dengan daya-daya kekuatan alam (O). Partisipasi tersebut berarti bahwa manusia belum mempunyai identitas atau individualitas yang bulat, masih sangat terbuka dan belum merupakan suatu subjek yang berdikari sehingga dunia sekitarnya pun belum dapat disebut objek (O) yang sempurna dan utuh. Fungsi-fungsi mitos adalah: pertama, menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Kedua, memberi jaminan bagi masa kini bahwa usaha manusia dalam mengukir sejarah hidupnya akan terus terjadi dan akan ada keberhasilan yang terus berulang-ulang (retardasi). Ringkasnya mitos berfungsi menampakkan kekuatan-kekuatan, menjamin hari ini, memberi pengetahuan tentang dunia bahwa manusia berada dalam lingkaran kekuatan alam. Di sinilah kemudian tampak geliat tarik menarik antara imanensi dan transendensi. Jangan salah, ketika dalam alam pikiran mitis pun manusia telah memiliki norma/ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia. Norma atau ketentuan inilah yang kemudian akan terus berubah entah mengalami kemajuan ataupun dekandensi. Sebut saja dahulu ada ketentuan anak banyak maka banyak pula rezekinya. Orang zaman dulu tak malu memiliki banyak anak. Namun, seiring bergesernya peradaban banyak anak menjadi suatu aib bahkan dilarang oleh pemerintah. Kemudian muncullah tindakan abortus. Begitulah, norma pun akan berjalan seiring perkembangan manusia dalam berpikirnya.
Kata “mitos” lekat pula dengan kata “magi”. Namun keduanya sangat bertentangan. Mitos lebih dekat dengan suatu pujian religius kepada sang transenden, sedangkan magi lebih dekat dengan kekaguman kepada diri sendiri (sang imanen). Ketegangan ini juga akan tampak dalam fenomena budaya. Lihat saja patung-patung zaman Yunani kuno yang sebelumnya didominasi oleh patung dewa-dewi tradisional akan beralih didominasi oleh para raja yang mengaku sebagai dewa demi mengultuskan dirinya sendiri.
3. CAGAR ALAM CYCLOOP, RIWAYATMU KINI
GUNUNG CYCLOOP, DOBONSOLO, ROBONG HOLO, DI JAYAPURA KINI TELAH DIAMBANG KEHANCURAN. MUNGKINKAH INI AWAL DARI “TUTUP USIANYA” CYCLOOP? Pegunungan Cycloop ditetapkan menjadi cagar alam pada Tahun 1995. Digunakan pula sebagai pusat penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Di sana terdapat berbagai jenis tumbuhan, hewan endemik dan serangga khas Papua. Sayangnya, dari waktu ke waktu, cagar alam ini semakin berada diambang “tutup usia”.
Cycloop merupakan nama yang diberikan oleh seorang tentara kolonial. Cycloop atau Robong Holo mempunyai makna yang berarti daerah atau hutan air (bahasa Sentani). Secara psikis nama ini bertujuan untuk membangkitkan niat menjaga daerah pegunungan Robong Holo dari kerusakan hutan yang akan berdampak terhadap siklus air. Kerusakan ini memang telah terasa memasuki paruh 2000 an, hutan di wilayah ini telah dibabat habis.
Perubahan dan kerusakan hutan di Cycloop telah semakin mengkhawatirkan. Jika tidak ditangani secara serius, maka kerusakan hutan di Cycloop akan menggangu kehidupan masyarakat Sentani yang tinggal di kawasan kaki Gunung Cycloop. Apabila tidak ditangani secara serius dengan peraturan dan pelaksanaan yang sungguh-sungguh, kerusakan Gunung Cycloop ini akan menjadi ancaman serius bagi Kota Sentani. Kerusakan lingkungan hutan ini sudah terasa pada hampir semua sungai. Airnya mulai mengering dan meluap saat terjadi hujan. Dalam beberapa waktu, meski hujan sebentar, air yang meluap telah membuat sumber air minum keruh oleh endapan lumpur. Hal ini akibat aktivitas penebangan hutan dan pembukaan kebun secara liar di kawasan Cagar Alam Gunung Cycloop. Menurunnya tingkat kejernihan air bersih serta berkurangnya volume sumber air di daerah hilir, di Sentani, diakibatkan adanya potensi kerusakan lingkungan alam di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS), utamanya di kawasan Cagar Alam Cycloop Sentani.
DAS adalah suatu wilayah daratan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut, yang pengairannya sangat tergantung aktivitas daratan. Jika DAS kondisinya telah mengalami kerusakan, maka yang terjadi adalah titik-titik potensi penampungan atau penyimpanan air berkurang. Akibat yang terjadi adalah penurunan sumber-sumber air di kawasan hilir.
Menurut anggota Forum DAS Pemprov Papua, J.P Satsuitubun mengungkapkan, berdasarkan data yang diperoleh, luas lahan kritis di Sub. DAS Sentani (Hubay) adalah 819 ha atau 49,3% dari luas Sub DAS. Untuk mengatasi lahan kritis itu, berbagai upaya telah dilakukan tetapi hasilnya belum maksimal. “Kekeruhan air sungai Hubay atau Jembatan Dua Sentani juga dipicu oleh aktivitas pendulangan emas di bagian Sub. DAS serta penggalian batu pada lereng-lereng gunung,” sebut Satsuitubun dalam presentasinya.
Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jayapura, Gading Butar-butar mengatakan, saat ini kawasan Pegunungan Cycloop yang menjadi sumber mata air bagi PDAM guna memenuhi kebutuhan air bersih di seluruh Kota Jayapura dan sekitarnya sudah kritis. “Kritis dalam hal ini maksudnya adalah kondisi alam dan hutannya yang sudah banyak yang dirusak oleh oknum yang bermukim di sekitar areal tersebut,” kata Gading di Jayapura.
Ia menjelaskan, saat ini kawasan yang sebenarnya merupakan areal konservasi tersebut telah berubah menjadi permukiman warga yang berdampak pada dibukanya lahan baru sehingga mengakibatkan sumber air menjadi terganggu.Kebanyakan warga yang bermukim di areal Gunung Cycloop, yang membongkar hutan, adalah mereka yang sehari-harinya bekerja sebagai petani. “Menurut data terakhir yang kami miliki, saat ini tercatat kurang lebih 5.230 orang yang sudah bermukim di sana,” ujarnya.
Gading mengungkapkan, jumlah debit air yang ada di Gunung Cycloop sebenarnya hanya sedikit, tetapi sangat terbantu dengan banyaknya pepohonan di sana yang berfungsi menyimpan air, sehingga selama ini bisa dioptimalkan untuk mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat. Sekarang ini, pepohonan sudah banyak yang ditebang, kalau kondisi ini terus terjadi, dikhawatirkan masyarakat akan kehilangan sumber air bersih utama selama ini. Dari 38 sungai kecil yang ada di Gunung Cycloop, saat ini yang terus mengalirkan air tinggal 4 sungai saja. “Ini sudah jadi satu bukti nyata yang sangat membahayakan,” ungkap Gading. Gading meminta perhatian semua pihak terutama Pemerintah Daerah Papua, dan Kabupaten Jayapura, untuk segera memberikan pemahaman atau relokasi kepada warga yang bermukim di kaki Gunung Cycloop. “Bagaimana penataan kota, ini menjadi sangat berperan penting,” ujarnya.
Untuk mengatasi kritisnya Cycloop, pernah sekali waktu, pada pertengahan Agustus kemarin, sebagai wujud kepedulian terhadap kondisi Cagar Alam Cycloop, sejumlah mahasiswa Universitas Yapis Papua, Kampus Sentani Angkatan VI Tahun Akademik 2009/2010 mengadakan penghijauan. Mereka menanam 500 pohon rambutan di lereng Gunung Cycloop. Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang diikuti 78 mahasiswa dari beberapa Fakultas Uniyap seperti, Hukum, Ekonomi, Fisip dan Agama Islam. Menurut Ketua Panitia KKL, Yosep Jek, kegiatan KKL yang diikuti Mahasiswa semester VII tersebut bertujuan untuk membangkitkan kembali Cycloop yang dilanda masalah. “Kita berharap dengan gerakan mahasiswa menanam pohon ini, warga lain di Jayapura juga dapat mengikutinya. Ini bertujuan untuk melindungi dan menyegarkan kembali Cycloop yang telah rusak,” ujarnya.
Penyegaran kembali Cycloop memang perlu sedini mungkin dilakukan. Jika tidak, ancaman atasnya tentu tidak akan berkesudahan. Sudah menjadi tanggung jawab dari semua warga di Papua untuk melindungi Cycloop dari kerusakan hutan.

4. DANAU SENTANI TEMPAT SAMPAH RAKSASA
Alam kebanggaan Papua, Danau Sentani di Jayapura perlahan namun pasti sedang menuju kerusakannya. Danau dengan pulau-pulau kecil di dalamnya ini terancam oleh sedimentasi/pendangkalan akibat aktivitas di Pegunungan Cagar Alam Cycloops, sampah rumah tangga, hingga sampah bahan beracun berbahaya.
"Danau Sentani ini juga sudah mirip dengan septictank besar, tempat pembuangan kotoran manusia yang tinggal di tepi-tepi danau," ujar Franz Albert Yoku, Ketua Umum Badan Otorita Adat Sentani (BOAS), Selasa (19/1/2010) di Sentani Kabupaten Jayapura Papua.
Ini diungkapkannya dalam peresmian BOAS yang dilakukan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Franz menuturkan, kondisi Danau Sentani semakin terancam oleh pertambahan penduduk yang tidak memiliki keterampilan. Ini membuat warga cenderung mengambil cara gampang untuk mengeksploitasi alam.
Franz Albert menargetkan agar penduduk Sentani memperoleh pendidikan serta keahlian untuk mengelola dan menjaga alamnya. Lebih lanjut, ia pun berusaha agar Pegunungan Cycloop bebas dari permukiman penduduk, ladang/kebun, dan berbagai aktivitas manusia.
Aktivitas di Cycloop menyebabkan tanah tergerus sehingga turun ke sungai dan terbawa ke Danau Sentani. Kondisi yang berlangsung terus menerus ini dikhawatirkan menyebabkan pendangkalan danau. Sementara itu, Gubernur Papua Barnabas Suebu meminta agar BOAS menjaga adat istiadat serta budaya dan kearifan lokal masyarakat Sentani.
Bas yang juga asli dari suku di Sentani mengatakan nilai-nilai moral, sosial, serta etika bermasyarakat dalam masyarakat adat harus diperhatikan. Ia mencontohkan, kini banyak anak-anak suku di Sentani yang tak bisa lagi berbicara dalam bahasa lokal suku.
"Ini yang danung sipat menjadi kepunahan," ujar Bas. Ihwal kerusakan alam Hutan Lindung Cycloop, Bas mengatakan Pemprov Papua telah menyiapkan strategi pembangunan kota baru yang menjauhi Cycloop yaitu ke arah selatan-barat Danau Sentani. Ini diharapkan dapat mengendalikan kegiatan ke arah Cycloop.
5. REVITALISASI MITOS: SEBUAH ALTERNATIF KONSERVASI

A. Konsep Konservasi dalam Cerita Rakyat Sentani

1. Kesinambungan Hubungan antara Asal Mula Danau Sentani dengan Gunung Siklop

Dalam pendahuluan telah disebutkan bahwa sastra lisan merupakan identitas suatu masyarakat. Kesastraan suatu masyarakat tidak lain adalah rekaman pikiran, renungan, dan nilai–nilai masyarakat pada masa tertentu. Gagasan atau nilai–nilai itu menjadi landasan perilaku masyarakat yang kehadirannya masih dapat diamati dan dipahami. Hal tersebut, misalnya, terwujud dalam bentuk doa, upacara-upacara adat, upacara keagamaan, cerita rakyat, dan adat istiadat.
Dari beberapa sastra lisan dalam bentuk prosa mengenai asal-usul terjadinya Danau Sentani (Fatubun: 2000), telah ditemukan adanya konsep (pemahaman) tentang Gunung Cycloop sebagai sumber mata air. Berikut adalah petikan dari beberapa versi asal mula terjadinya Danau Sentani:
Terjadinya Danau Sentani (versi 1)
Konon dulu di Sentani tidak ada air. Masyarakat hanya minum air hujan. Wali dan Hoboye yang berasal dari kampung Yomokowaliyau berusaha mencari air ke Gunung Siklop,ke tempat Holodoponoe, penghuni gunung itu. Setelah mengutarakan maksud dan menyerahkan gelang berharga (eba) kepadanya, mereka diberi air dengan pesan agar disiram di halaman rumah dan dijual kepada orang lain yang datang dari tempat jauh. Ia juga berpesan agar air itu tidak diletakkan di tanah dalam perjalanan pulang……………….
(Fatubun: 28)

Asal Mula Danau Sentani (versi 2)
Konon,belum ada Danau Sentani. Ada sebuah keluarga yang cukup bahagia tinggal di Gunung Siklop. Suatu hari sang anak mendaki Gunung Siklop. Ia bertemu seekor ular. Ia kembali dan bercerita kepada ayahnya tentang hal itu. Kemudian, ayah dan anak tersebut pergi mendaki. Mereka bertemu dengan ular itu, namun ia telah berubah jumlah kepalanya sesuai dengan jumlah gunung yang didatanginya, dari satu sampai tujuh. Di gunung ke-tujuh sang ayah mengambil parang dan memotong ular tersebut. Namun, tiba-tiba datang angin kencang. Hari menjadi gelap, dan turunlah banjir besar. Banjir itu menghanyutkan ayah, ibu, serta anak-anaknya. Kemudian banjir itu mengumpul membentuk sebuah danau besar…….
(Fatubun: 29)

Asal Mula Danau Sentani (versi 3)
Dahulu, tempat yang sekarang menjadi Danau Sentani adalah sebuah dataran rendah yang dipenuhi hutan belantara. Beberapa orang tinggal di tempat itu. Mereka sangat menderita, terlebih pada musim kemarau karena tidak ada air. Mereka memutuskan untuk mendaki Gunung Siklop karena mereka percaya bahwa di atas gunung itu ada sumber mata air. Ternyata, dugaan mereka benar. Setelah sampai di atas, mereka diberi air oleh penghuni gunung tersebut yang menampakkan diri sebagai orang yang sangat tua…
(Fatubun: 30)

Asal Mula Danau Sentani (versi 4)
Pada Jaman dahulu ada sebuah negeri yang terletak di sebuah dataran yang luas. Negeri itu dikelilingi oleh pegunungan dengan puncak yang tinggi disebut Dobonsolo (sebelah utara) dan Ebungholo (sebelah selatan). Negeri ini dipimpin seorang bangsawan dan hartawan yang beristrikan wanita keturunan dewa pembawa air dari puncak Gunung Dobonholo (sekarang Dofonsolo).
Ketika pergi ke kebun, mereka kekurangan air untuk diminum. Bahkan anaknya sampai pingsan. Setelah sadar, anak itu pergi ke puncak gunung Dobonholo hendak meminta air kepada kakeknya (dewa pembawa air)………………….
(Fatubun: 31)

Asal Mula Danau Sentani (versi 5)
Pada Zaman dahulu orang Sentani hidup di sebuah padang yang kini sebuah danau. Mereka susah mendapatkan air.
Pada suatu hari ada sebuah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak laki-laki hendak pergi ke kebun untuk membersikhan rumput dan menanam bibit. Mereka lupa membawa air minum, kecuali sang ayah. Karena udara sangat panas, kedua anak itu haus dan meminum air ayahnya sampai habis. Mengetahui hal itu sang ayah sangat marah.
Sang ibu menyuruh mereka untuk mencari air sebagai pengganti air ayahnya ke puncak Gunung Siklop, kepada kakek Hollo Rombay…..
(Fatubun: 32)

2. Pelanggaran berarti bencana

Gunung siklop yang oleh penduduk lokal disebut dengan Dobonsolo memiliki arti gunung ibu. Menurut Ramses Ohee, seorang Ondoafi dari Kampung Waena, Gunung Siklop adalah representasi dari air susu ibu. Ibu yang dengan setia memberikan air kehidupan kepada manusia. Sudah sepatutnya keselamatannya dijaga. Sekarang air susu ibu sudah berkurang. Apa yang terjadi? Apakah ibu sudah lanjut usia, sehingga produksi air susunya sudah berkurang, ataukah kita yang terlalu rakus meminumnya tanpa memperhatikan keselamatannya?
Dari semua cerita Asal Mula danau Sentani disebutkan adanya amanat yang harus diemban oleh para pencari air untuk mentaati peraturan. Tetapi, semua perintah dan larangan yang diberikan kesemuanya dilanggar, dan berakibat datangnya bencana. Berikut adalah petikan dari beberapa versi asal mula terjadinya Danau Sentani mengenai pelanggaran tersebut:
Terjadinya Danau Sentani (versi 1)
……….Setelah mengutarakan maksud dan menyerahkan gelang berharga (eba) kepadanya, mereka diberi air dengan pesan agar disiramkan di halaman rumah dan dijual kepada orang lain yang datang dari tempat jauh. Ia juga berpesan agar air itu tidak diletakkan di tanah dalam perjalanan pulang.
Mereka tidak patuh pada pesan itu dan diletakkannya air itu di tanah karena mereka tergoda seekor babi. Air tersebut tumpah dan sehingga mengakibatkan hujan deras disertai banjir…..
(Fatubun: 28)



Asal Mula Danau Sentani (versi 2)
…………….Di gunung ke-tujuh sang ayah mengambil parang dan memotong ular tersebut. Namun, tiba-tiba datang angin kencang. Hari menjadi gelap, dan turunlah banjir besar. Banjir itu menghanyutkan ayah, ibu, serta anak-anaknya. Kemudian banjir itu mengumpul membentuk sebuah danau besar…….
(Fatubun: 29)

Asal Mula Danau Sentani (versi 3)
….Syarat yang harus mereka penuhi adalah jangan sampai air itu jatuh atau tumpah ke tanah. Namun mereka tidak tahan uji. Setelah melihat seekor kuskus di tengah perjalanan pulang, mereka mengejar hendak menangkapnya. Mereka lupa akan air yang mereka bawa. Karena kelalaian mereka, air itu tumpah ke tanah dan berubah menjadi air bah. Mereka tenggelam ke dalam air bah itu……….
(Fatubun: 30)

Asal Mula Danau Sentani (versi 4)
Maksud anak itu dikabulkan oleh kakeknya dengan memberikan air pada sebuah tabung dan berpesan agar ia tidak membuka tabung itu dalam perjalanan. Namun anak itu tidak tahan uji. Dibukanya tabung itu. Apa yang terjadi?
Dua ekor ular air (phuehekhai, yang artinya dewa pembawa air) segera meloncat dari tabung itu dan meluncur dengan cepat. Ular itu menyemburkan airnya yang mengalir dengan deras. Akhirnya air itu berubah menjadi air bah yang menenggelamkan anak itu. ………..

(Fatubun: 31)

Asal Mula Danau Sentani (versi 5)
Sang ibu menyuruh mereka untuk mencari air sebagai pengganti air ayahnya ke puncak gunung Siklop, kepada kakek hollo Rombay. Kakek itu memberikan air kepada mereka dengan syarat, yaitu mereka tidak boleh meletakkan air itu ke tanah. Kalau hal itu dilakukan, air akan keluar dan mengejar mereka. Mereka lupa akan pesan itu. Dan terjadilah apa yang dikatakan kakek tersebut. Akhirnya, air itu lama-kelamaan menjadi banyak dan membentuk sebuah danau, yaitu Danau Sentani yang kita kenal sekarang.
(Fatubun: 32)
Dari cuplikan cerita di atas maka telah ditemukan tentang konsep pentingnya menjaga amanah (menepati peraturan). Konsep menjaga kelestarian lingkungan direpresentasikan dalam bentuk anjuran untuk menjaga air yang dititipkan. Ketika amanah ini diabaikan maka bencana yang akan dituai.

Sehubungan dengan konsep pelestarian lingkungan ini Masyarakat Sentani mempunyai pantangan yang disebut dengan “a kangging” yang berarti tangan siapapun tidak boleh menyentuh tempat itu. Tuhan mempunyai rencana tentang penciptaan sesuatu, sehingga adanya gunung Siklop beserta flora dan fauna telah direncanakan tuhan untuk kepentingan umat-Nya. Sebatang pohon dan batu pun tidak boleh diambil dari tempat larangan tersebut. Pelanggaran terhadap pantangan ini akan mengakibatkan “a kela-kela” yang berarti hancurnya kehidupan (tidak ada kehidupan)

B. Strategi Revitalisasi
Revitalisasi adalah proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menguatkan kembali. Inti dari revitalisasi mitos Gunung Siklop adalah menghidupkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut yang bermuara pada timbulnya kesadaran. Sebuah kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian Gunung Siklop sebagai sumber air. Dobon Solo adalah Gunung Ibu yang senantiasa mengucurkan air susu bagi anak-anaknya. Karena kesastraan suatu masyarakat tidak lain adalah rekaman pikiran, renungan, dan nilai–nilai masyarakat pada masa tertentu. Gagasan atau nilai–nilai itu menjadi landasan perilaku masyarakat yang kehadirannya masih dapat diamati dan dipahami, maka aktivitas bersastra tidak boleh padam. Apresiasi positif masyarakat terhadap sastra dan aktivitas bersastra harus terus dipertahankan, dibina, dan dikembangkan. Berikut ini diperikan strategi revitalisasi mitos gunung Siklop


1. Pembentukan Kantong-Kantong Budaya

Pembentukan kantong-kantong budaya merupakan salah satu upaya untuk menghidupkan kembali gairah bersastra masyarakat. Kantong-kantong budaya ini dibentuk dari hulu sampai hilir. Hulu adalah masyarakat di sekitar Gunung Siklop, sedangkan hilir adalah masyarakat yang mendapatkan kemanfaatan aliran air dari Gunung Siklop yang bermuara ke Danau Sentani. Dalam kantong- kantong budaya ini cerita rakyat yang banyak mengandung kearifan lokal diceritakan kembali, dipentaskan, dinyanyikan, dan didiskusikan. Selain sebagai tempat untuk revitalisasi, kantong-kantong budaya ini juga dapat difungsikan sebagai sarana sosialisasi program-program pelestarian alam, ekologi, ekowisata. Peran serta dari para ketua adat, kepala suku, dan ondofolo sangat diperlukan, karena dari mereka kearifan-kearifan lokal yang ada akan diteruskan kepada generasi pelapis.

2. Mengemas Folklor dalam Bentuk yang Lebih Pop

Adanya anggapan bahwa folklore kurang menarik dari segi cerita maupun bentuk. Selain itu ada beberapa faktor luar yang menyebabkan sastra lisan semakin dijauhi, misalnya munculnya tayangan televisi yang sudah bisa dinikmati oleh hampir seluruh lapisan massyarakat, konser musik, pertandingan olah raga, pembangunan mal-mal. Semua fenomena tersebut mendorong munculnya budaya pop di tengah-tengah masyarakat. Untuk mendekatkan minat masyarakat terhadap sastra lisan maka dibutuhkan terobosan baru dalam mengemas folklore dalam bentuk yang lebih pop. Misalnya folklor yang berbentuk cerita rakyat dikemas dalam bentuk komik atau dalam bentuk kartun, dan untuk folklor yang berbentuk nyanyian rakyat diiringi dengan instrumen yang lebih pop atau sinetron berlatar kearifan lokal.

3. Pementasan Drama /Sandiwara

Acara pertunjukan seni dan sastra sebaiknya dilaksanakan secara berkala. Penyelenggaraannya tidak hanya disponsori oleh pemerintah kota, tetapi juga perguruan tinggi dan kelompok masyarakat tetapi dari ketiga komponen tersebut peran masyarakatlah yang lebih ditekankan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa keberlangsungan sebuah kebudayaan ditentukan oleh pendukung kebudayaan itu sendiri . Memang, strategi ini dilakukan untuk melibatkan peran masyarakat sebanyak mungkin dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerahnya. Selain dari karya sastra modern, peristiwa budaya seperti itu menampilkan atraksi pementasan cerita rakyat. Penyelenggaraan acara ini seyogyanya melibatkan televisi swasta lokal maupun televisi pemerintah sehingga pagelaran ini dapat dinikmati dan diapresiasi oleh banyak orang. Ide-ide kreatif yang biasanya disuguhkan oleh para penampil diharapkan mampu menarik minat masyarakat sehingga pada giliranya nanti acara pertunjukan ini selalu dinantikan oleh masyarakat dengan bersemangat.

4. Wisata Sastra
Ide ini bermula dari suksesnya novel dan film Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2005. Novel ini bercerita tentang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang bersekolah (SD dan SMP) di sebuah sekolah Muhammadiyah di Belitung yang penuh dengan keterbatasan. Filem dan novel ini menuai sukses dan mendapatkan berbagai penghargaan. Keunikan dari dari novel ini terletak pada kemampuan si pengarang untuk mengangkat warna lokal, yaitu masyarakat Belitung. Kesuksesan novel dan film Laskar Pelangi tidak hanya berhenti sampai di sini, setting atau latar pembuatan film ini sekarang dijadikan tempat tujuan wisata oleh pemda setempat. Ide ini bisa diadopsi untuk mengangkat cerita rakyat Sentani dan menjadikan latar cerita sebagai tempat tujuan wisata sastra. Dengan menjadikan latar cerita sebagai tempat tujuan wisata diharapkan akan timbul kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menjaga kelestarian tempat tersebut.

5. Pemanfaatan Karya Sastra untuk Menyosialisasikan Program Pemerintah
Masyarakat Papua memiliki spontanitas dan kreativitas yang tercermin dalam cerita MOP (cerita anekdot). Cerita Mop ini selalu membawa kesegaran ketika ditampilkan dalam berbagai kegiatan. Sebagai salah satu aset sastra lisan yang hanya dimiliki oleh masyarakat Papua, seyogyanya pemerintah menggunakan mop ini sebagai sarana untuk menyosialisasikan program pemerintah yang berhubungan dengan program kelestarian lingkungan khususnya, dan program umum lainnya.
Sudah disebutkan di muka bahwa masyarakat Papua umumnya mempunyai apresiasi yang baik terhadap Mop, oleh karena itu perilaku yang baik itu disalurkan dengan memanfaatkan sastra lisan, khususnya mop untuk mendukung pelestarian lingkungan. Sosialisasi program pemerintah itu ditulis pada baliho dan/atau kain rentang dan ditempatkan di tempat-tempat strategis seperti di pinggir jalan-jalan utama, di pusat perbelanjaan, di pusat-pusat keramaian masyarakat, dan hotel-hotel. Sedangkan secara lisan dapat dilakukan pada saat rapat, sidang, seminar, dll.
6. Perlombaan Cipta dan Baca Karya Sastra
Lomba cipta karya sastra meliputi cerita rakyat dan karya sastra modern. Untuk lomba membaca karya sastra, yang diperlombakan adalah membaca cerita rakyat dan membaca karya sastra modern seperti puisi dan cerpen. Para pesertanya terdiri atas para siswa dari semua peringkat sekolah, para mahasiswa, dan masyarakat umum. Biasanya, perlombaan seperti ini diikuti oleh banyak sekali peserta, yang membuktikan bahwa minat masyarakat terhadap karya sastra cukup tinggi.
7. Pemberian Bantuan Dana Pembinaan kepada Sanggar Sastra dan Seni
Keberlangsungan sebuah aktivitas dan kreativitas bersastra tentunya harus didukung dengan pendanaan. Kadang-kadang dana yang diperlukan itu tak sedikit. Menyadari hal itu, dalam perencanaan anggaran daerah, hendaknya hal itu mendapatkan perhatian. Pemerintah Kota dan Kabupaten Jayapura berkewajiban memberikan bantuan dana pembinaan kepada sanggar sastra dan seni yang terdaftar di Kota dan Kabupaten Jayapura. Diharapkan dengan pemberian bantuan dana pembinaan itu, sanggar-sangar yang ada dapat terus melakukan aktivitas mereka dalam menjaga dan meningkatkan fungsi sastra, yang bermuara pada tumbuhnya apresiasi dan kesadaran kolektif.
8. Pemberian Penghargaan kepada Seniman
Seniman atau sastrawanlah yang menjadi mata tombak pembinaan dan pengembangan sastra. Umumnya mereka bekerja karena panggilan jiwa untuk mempertahankan jati diri bangsa, tanpa merisaukan imbalan yang mereka peroleh dari menekuni profesi yang sangat berat itu. Walau umumnya para seniman tak pernah merisaukan apakah menekuni profesi itu mereka memperoleh penghargaan atau tidak karena hal itu memang bukan tujuan utamanya, pemerintah seyogyanya mengupayakan pemberian penghargaan kepada seniman yang dianggap patut menerimanya. Hal itu dilakukan karena para seniman sangat berjasa dalam mengembangkan kesusastraan di dalam masyarakat. Dengan penghargaan itu, diharapkan seniman yang menerimanya dapat terus meningkatkan kinerjanya dalam menekuni profesi yang menjadi pilihannya sebagai wujud tanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa.
9. Penggunaan Karya Sastra dalam Pembukaan Acara dan Pidato
Memanfaatkan jumlah audiens yang cukup banyak dalam sebuah acara, baik formal maupun non formal, ada baiknya menggunakan medium sastra dalam pembukaan acara atau pidato.Penempatan petikan sastra dalam pidato dapat diletakkan di awal, tengah, dan atau yang paling sering dilakukan di akhir pidato. Siapa pun yang berpidato baik pejabat, tokoh masyarakat, maupun panitia, melakukan ini sebagai suatu tradisi. Pidato atau sambutan tanpa karya sastra, ibarat gulai tanpa garam, yang dapat membuat bosan, hadirin untuk menyimaknya. Tak jarang terjadi, entah karena persoalan yang disampaikan dalam pidato terlalu berat atau sebaliknya remeh, hadirin bersikap negatif ketika menyimaknya seperti mengantuk atau bahkan tertidur. Akan tetapi, begitu pembicara menyelipkan sastra dalam pidatonya itu, yang mengantuk jadi segar kembali dan yang tertidur akan terjaga. Sebagai imbalannya, si pembicara akan mendapatkan tepuk tangan yang bergemuruh. Sambutan atau pidato yang diakhiri dengan menyelipkan sastra pasti mendapat tepukan yang panjang dan hadirin akan merasa terpuaskan.

C. Penanganan dari hulu ke hilir

1. Pengertian secara geografis

Dalam ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.


2. Pengertian secara penanganan

Upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan harus dilakukan. Pengelolaan DAS melibatkan multi-sektor, multi-disiplin ilmu, lintas wilayah administrasi, terjadi interaksi hulu hilir, sehingga harus terpadu.Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat.

Pengelolaan DAS terpadu meliputi :
• Keterpaduan dalam proses perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalam penyusunan dan penetapan rencana kegiatan di daerah aliran sungai.
• Keterpaduan dalam program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunan program-program kegiatan di daerah aliran sungai, termasuk memadukan waktu pelaksanaan, lokasi dan pendanaan serta mekanismenya.
• Keterpaduan program-program kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan dengan daerah aliran sungai, sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah.
• Keterpaduan dalam pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi proses evaluasi dan monitoring.
• Keterpaduan dalam pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan.
Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.

Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama.
Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir.


Daftar Pustaka
Dananjaya, James. 1984. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.
Dananjaya, James. 1997. Folklor Jepang, Dilihat dari Kacamata Indonesia. Jakarta: Grafiti Press.
Dananjaya, James. 2003. Folklor Amerika,Cermin Multikultural yang Manunggal. Jakarta: Grafiti Press.
Fatubun, R. 200. Struktur Sastra Lisan Sentani: Prosa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Finnegan, Ruth. 1979. Oral Poetry, Its Nature, Significance and Social context. London: Cambridge University Press.
Hasanuddin W.S. (pemimpin redaksi). 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu.
(Jerry Omone dalam situs “Freedom, Blog Berita terdepan di Papua”, yang dipublikasikan tanggal 22 Juli 2010)
Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press.
Vansina, Jan. 1973. Oral Tradition, A Study in Historical Methodology. England: Penguin Books.