Friday, September 12, 2014

Tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru

gambar ilustrasi

Diceritakan kembali oleh Siswanto
Nara Sumber Timotius Marweri (Ondoporo Waibu Iwa Iwa Yonokhong)

Pada zaman dahulu di gunung Robongholo hiduplah seorang dewa. Ia merupakan dewa yang menjaga gunung Robongholo. Ia hidup di gung Robongholo bersama istri dan dua anak perempuannya. Dewa yang menjaga Gunung Robongholo memiliki sebuah tifa ajaib. Tifa ini bernama Obomuru Pimuru Temuru Teramuru. Artinya tifa ini dapat mendatangkan banyak manfaat bagi siapa saja yang menabuhnya, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan pokok manusia. Orang yang sedang memiliki hajat dan tidak punya apa-apa jika menabuh tifa ini maka baginya akan berdatangan berbagai macam keperluan yang diperlukan. Tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru dapat mendatangkan obo (babi), pi (sagu), atau tera (manik-manik). Maksudnya jika orang yang mempunyai hajat menabuh tifa ini maka orang-orang akan datang membawa semua keperluan yang diperlukan si penabuh. Orang yang mendengar suara tifa ini tidak dapat menahan hartanya berupa obo, pi, maupun tera untuk diberikan pada si penabuh tifa.
            Keajaiban tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru sudah tersebar luas di kawasan Sembuykha Ayakha. Dari Ralibu (danau sebelah timur) hingga Waibu (danau sebelah barat) telah mendengar tentang kehebohan tifa ini. Ondofolo Marweri dari Yonokhong sangat berminat untuk memiliki tifa itu. Maka ia berencana untuk menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan Dewa Penunggu Gunung Robongholo. Maka ia segera mengirim anak laki-lakinya pergi ke gunung Robongholo. Dewa Penunggu Gunung Robongholo sangat senang ada seorang pemuda tampan yang melamar anaknya untuk dijadikan istri. Maka ia segera menikahkan anak perempuan sulungnya dengan anak ondoporo Marweri. Selang beberapa hari kemudian Ondoporo Ohee juga mengutus anak laki-lakinya untuk melamar anak perempuan Dewa Penunggu Gunung Robongholo. Dewa Penunggu Gunung Robongholo juga dengan senang hati menikahkan putrid bungsunya dengan anak laki-laki ondoporo Ohee. Dua pasangan pengantin baru ini hidup bahagia di gunung Robongholo. Semua kebutuhan hidup mereka telah tercukupi oleh alam yang ada di gunung Robongholo. Mau makan apapun dapat tersedia berkat kemampuan Dewa Penunggu Gunung Robongholo.
            Suatu hari anak laki-laki ondoporo Marweri turun gunung karena ada sedikit keperluan di pulau Yonokhong. Ketika ia sampai di Yonokhong terdengar kabar bahwa tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru telah diberikan pada putra ondoporo Ohee. Tifa itu kini telah berada di pulau Ohee. Terdengar desas-desus pula bahwa Dewa Penunggu Gunung Robongholo telah dihasut oleh putra ondoporo Ohee agar segera menyerahkan tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru. Hasutan ini berupa cerita tentang kejelekan-kejelekan putra ondoporo Marweri. Walaupun ini hanya desas-desus nyatanya tifa itu kini telah berada di tangan putra ondoporo Ohee.
            Desas-desus yang menyesatkan itu akhirnya sampai pula ke telinga ondoporo Marweri. Ia memerintahkan pesuruhnya yang bernama Banepoi untuk menyelidiki ini. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan tenyata benar bahwa tifa itu sudah berada di pulau Ohee.
            “Coba Kau ceritakan tentang tifa itu” tanya ondoporo Marweri pada Banepoi.
            “Baiklah, Bapa Ondoporo. Saya benar-benar menyaksikan kehebatan tifa itu. Ketika tifa itu ditabuh oleh laki-laki maka itu akan menyebut nama kemaluan laki-laki yang menabuh itu, jika yang menabuh perempuan maka tifa itu juga akan menyebut nama kemaluan perempuan itu. Selain itu, itu tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru juga dapat memanggil obo, pi, dan tera.” terang Banepoi.
            “Benar sekali, itulah tifa yang bernama Obomuru Pimuru Temuru Teramuru itu. Banepoi, sekarang bawa beberapa orang rekanmu yang tangguh untuk mengambil tifa itu. Ketahuilah bahwa penyerahan tifa pada putranya Ohee melalui proses yang tidak benar. Seharusnya tifa itu diberikan pada anakku karena ia yang menikahi putrid sulung Dewa Penunggu Gunung Robongholo. Malam nanti mereka (orang-orang kampung Ohee/Asei) mengadakan pesta. Gunakan hobatan untuk menyirep mereka. Setelah itu bawa tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru ke pulau Yonokhong.” kata ondoporo Marweri membenarkan semua informasi Banepoi sekaligus memberi perintah lanjutan.
            Sore hari para prajurit yang dipimpin Banepoi melakukan ritual perang melalui Batu Perang di pulau Mantai. Ketika hari sudah gelap Banepoi dan pasukannya bergerak perlahan menuju Rali Bu (bagian sebelah timur danau Sembuyakha Ayakha). Sesampainya mereka di Netar, mereka sudah melihat cahaya terang dari pulau Asei/Ohee dan telah terdengar pula tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru yang ditabuh bertalu-talu. Banepoi segera merapal mantra hobatan  untuk menidurkan semua penghuni pulau Asei tanpa terkecuali. Suasana malam yang tenang dan hanya ditemani oleh gemerlap milyaran bintang sangat membantu proses hobatan. Angin berhembus semilir membawa kekuatan hobatan yang sangat dasyat menuju pulau Ohee.
            Sementara itu masyarakat pulau Ohee yang tengah mengadakan pesta adat tidak menyadari ada kekuatan yang dasyat tengah mendatangi mereka melalui hembusan angin yang sepoi-sepoi pada malam yang cerah itu. Satu persatu yang namanya makhluk bernyawa yang berada di sebelah barat pulau Ohee mulai jatuh bergelimpangan karena diserang kantuk yang luar biasa. Mulai dari ikan di danau sampai babi, anjing, dan manusia tidak ada yang luput dari hobatan ini. Angin hobatan  penidur terus bergerak ke arah timur dan menghampiri siapa saja. Para penari, penabuh tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru, ondoporo Ohee, semua tanpa kecuali jatuh bergelimangan di serang kantuk yang tiba-tiba datang. Angin hobatan akhirnya menyelimuti kampung Asei/Ohee sepenuhnya. Tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru tergeletak di bawah kepala putra ondoporo Ohee. Seolah-olah tifa itu dijadikan bantal yang mengantarkannya menuju tidur yang sangat nyenyak (sono). Suasana pesta yang tadinya hingar-bingar kini berganti dengan kesunyian.
            Banepoi bersama pasukannya mendayung perlahan mendekati pulau Asei/Ohee. Ia melihat keadaan di pulau Asei/Ohee dari atas perahu. Hobatannya berhasil dengan sempurna ia kemudian menyuruh salah satu dari pasukannya untuk mengambil tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru yang dijadikan bantal oleh anak ondoporo Ohee.
            “Ambil tifa yang dijadikan bantal putra ondoporo Ohee itu! Lalu coba tabuh tifa itu, apa reaksi selanjutnya?” kata Banepoi.
            Orang yang disuruh Banepoi itu segera mengambil tifa, namun sebelumnya ia mencoba untuk menyakinkan dirinya apakah hobatan penidur itu telah bekerja dengan baik. Ia memegang bahu putra ondoporo Ohee dan mengguncangnya perlahan. Tidak ada reaksi. Lalu ia menggoncang lebih kuat lagi. Jangankan bangun tidur, menggeraknya biji mata saja putra ondoporo Ohee itu tidak samggup. Benar-benar pulas. Akhirnya orang yang ditugasi itu mengambil tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru dari bawah kepala putra ondoporo. Kemudian ia menabuh tifa seperti yang diperintahkan Banepoi. Seperti bernyawa tifa itu segera menjawab tabuhan yang dilakukan oleh anak buah Banepoi dengan menyebut nama kemaluan laki-laki yang telah menabuhnya. Banepoi dan pasukannya tertawa mendengan jawaban dari tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru. Setelah berhasil mengambil tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru Banepoi dan pasukannya segera meninggalkan pulau Asei/Ohee. Saat itu sang waktu telah merambat menuju dini hari.
            Sang Maha Penguasa Waktu terus memutar waktu hingga fajar mulai menyingsing di ufuk timur. Sang surya mulai mengintip di balik perbukitan Yoka. Cahaya pagi itu mulai menembus pepohonan dan dadaunan yang ada di pulau Asei/Ohee. Sinar mentari pagi itu pertama kali menerpa wajah manis putri bungsu ondoporo Ohee. Ia mengeliat perlahan karena cahaya matahari yang mulai memanas menimpa tubuhnya. Ia kemudian membuka mata. Ia masih dalam keadaan berbaring dan mencoba untuk mengais-ngais ingatan mengapa ia sampai tertidur di tempat dansa. Ia segera bangkit dan memandang sekeliling. Semua orang masih tertidur pulas di tempat dansa itu. Ayahnya, saudara laki-lakinya, teman-teman perempuannya juga masih tertidur. Rupanya ia adalah orang pertama yang terbangun. Ia mencoba untuk mengingat kejadian semalam. Ketika ia tengah menari dan menyanyi, tiba-tiba ia diserang rasa kantuk yang luar biasa. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Setelah lama sekali mengamati keadaan ia baru menyadari ada yang tidak beres dengan keadaan yang terjadi semalam. Ia menengok ke arah saudara laki-lakinya yang semalam menabuh tifa Hamang Wakhu (sebutan tifa Obomuru Bimuru Temuru Teramuru bagi masyarakat pulau Asei/Ohee. Hamang Wakhu tidak berada di dekat kakaknya, lalu ia melihat di sekitar kakaknya, namun tifa tersebut tidak ada.
            “Hamang Wakhu hilang! Hamang Wakhu hilang. Ayah! Kakak! Bangun!” putri bungsu ondoporo Ohee berteriak-teriak mebangunkan semua oaring yang masih tertidur.
            Ondoporo Ohee terbangun seketika mendengar teriakan putrinya. Ia bertanya mengapa putrinya berteriak-terik di hari yang masih sepagi itu.
            “Ayah, Hamang Wakhu hilang. Apakah ayah tidak menyadari ada yang aneh dengan pesta adat kita semalam. Tiba-tiba semua orang merasa mengantuk dan tertidur pulas hingga pagi hari. Lalu sekarang Hamang  Wakhu Hilang. Pasti ada orang yang melakukukan hobatan untuk mencuri tifa itu.” kata putrid ondoporo Ohee   memberikan jawaban.
            “Tepat sekali penjelasanmu pencuri itu pasti belum jauh meninggalkan Asei. Siapa kira-kira yang mencuri tifa itu? tanya  ondoporo Ohee.
            “Hanya keluarga Marweri di pulau Yonokhong yang tahu tentang keajaiban Hamang Wakhu. Tentu merekalah yang mencuri tifa itu.” kata putra ondoporo Ohee.
            “Kalau begitu mari kita kejar mereka” kata ondoporo Ohee.
            Ondoporo Ohee memimpin langsung pengejaran terhadap para pencuri tifa. Dengan menggunakan hobatan perahu dapat meluncur di atas permukaan danau dengan sangat cepat. Hanya beberapa menit saja mereka telah melihat bayangan hitam disebelah barat danau. Perahu ondoporo Ohee semakin dekat dengan perahu Banepoi dari Yonokhong yang telah berhasil membawa Tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru. Ondoporo Ohee dan pasukannya meneriakkan yel-yel perang untuk menakut-nakuti rombongan pencuri tifa. Suara pekikkan itu keras sekali hingga terdengar oleh rombongan Banepoi. Mendengar pekikkan itu Banepoi menyuruh pasukannya untuk menambah kekuatan dalam mendayung. Sekuat apapun pasukan Banepoi mendayung perahu ondoporo  Ohee justru semakin dekat. Kedua rombongan yang saling kejar mengejar ini telah sampai di sebuat selat yang berada di dekat kampung Babrongko. Berarti pulau Yonokhong sudah dekat. Ondoporo Ohee tidak menginginkan tifa itu jatuh ke tangan keluarga Marweri. Ia segera mengerahkan hobatan berupa angin yang berkekuatan dasyat untuk menengelamkan perahu para pencuri Hamang Wakhu.
            Angin menderu kencang dari arah timur menuju perahu Banepoi. Angin itu bergulung-gulung bagaikan badai tornado yang siap menggilas apa saja yang merintanginya. Angin itu kemudian mengombang-ambingkan perahu Banepoi. Kekuatan angin yang menderu-deru itu menimbulkan pusaran air yang sangat mengerikan. Puasaran air itu menyedot perahu Banepoi hingga hilang ke dalam dasar danau. Perahu Banepoi dan pasukannya beserta Tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru karam di dasar danau Sembuyakha Ayakha. Karamnya  perahu Banepoi beserta tifa itu berada di sekitar Batu Beranak (Ainining Duka), semua berubah menjadi batu. Hingga saat ini tifa Obomuru Pimuru Temuru Teramuru meskipun telah menjadi batu masih berada di sekitar Batu Beranak.



Asal Mula Sagu di Pulau Yonokhong


Diceritakan kembali oleh Siswanto
Nara Sumber Timotius Marweri (Ondoporo Waibu Iwa Iwa Yonokhong)

Pada zaman dahulu kala di pulau Yonokhong dan sekitarnya tidak ada sagu. Masyarakat pulau Yonokhong hanya memakan ikan umbi-umbian yang tumbuh di pulau dan sekitarnya. Masyarakat pulau Yonokhong merasa ada yang kurang dengan hidup mereka. Mereka ingin merasakan menu makanan yang berbeda selain umbi-umbian tersebut.  Ada alasan lain yang menyebabkan mereka ingin mencari sumber makanan lain.
            Sumber makanan yang berupa umbi-umbian hampir habis karena jumlah masyarakat yang tinggal di Yonokhong semakin banyak. Beberapa perwakilan masyarakat menghadap ondoporo Marweri untuk membicarakan sumber makanan mereka yang hamper habis. Setelah pertemuan dengan masyarakat selesai, ondoporo Marweri berusaha untuk memecahkan masalah yang tengah dihadapi oleh masyarakat di pulau Yonokhong. Ondoporo Marweri menggunakan hobatan yang dimilikinya menggundang seekor Kasuari raksasa untuk membawa bibit makanan yang berasal dari daerah sebelah barat. Kasuari raksasa itu bernama Mangkung Borakoi. Kasuari ini tinggal di daerah Sekori, Genyem.
            Kasuari Mangkung Borakoi merasa ada yang memanggilnya dengan kekuatan yang luar biasa. Kekuatan itu memanggilnya untuk membawa bibit makanan yang akan digunakan oleh masyarakat di sekitar danau. Kemudian Mangkung Borakoi mencabut bibit sagu yang banyak tumbuh di wilayah Sekori lembah Grime. Ada dua jenis sagu yang terdapat di Sekori ini. Pertama, sagu dengan kualitas tinggi dan berwarna putih bersih bernama sagu yeba poro. Yang kedua, sagu dengan kualitas kurang bagus karena batang dan pelepahnya banyak ditumbuhi duri. Bibit sagu yang telah berhasil dicabut itu kemudian ditaruh di atas punggung Kasuari. Mangkung Borakoi menempuh jalan sesuai dengan keinginan ondoporo Marweri.
            Mangkung Borakoi berlari dengan kecepatan yang luar biasa. Sambil berlari ia menjatuhkan satu per satu bibit sagu yang berada di punggungnya. Ia mulai menjatuhkan bibit sagu ketia ia sudah berada di daerah Borawai.   Sagu yang jatuh disertai dengan makhluk halus yang menunggu sagu. Kelak jika ada masyarakat yang hendak menokok sagu maka masyarakat harus berkomunikasi dengan makhluk halus penunggu sagu. Semakin baik komunikasi yang dilakukan maka semakin banyak sagu yang dapat di tokok oleh masyarakat.
            Mangkung Borakoi melanjutkan perjalanannya menuju Yakonde, Sosori, Dondai, dan Yonokhong. Sagu yang berada di punggung kasuari satu persatu dijatuhkan ke tempat-tempat yang banyak mengandung air di sekitar danau. Ketika sampai di Yonokhong ia juga menjatuhkan banyak sekali bibit sagu. Ia sempat berhenti sejenak di Butouw Pataouw, ia kemudian berlari kencang menuju Toware. Berat badan Mangkung Borakoi yang diikuti dengan kecepatan larinya menyebabkan terjadinya cekungan yang memanjang antara Butouw Patouw hingga pertengahan Toware. Cekungan itu dengan cepat terisi oleh air danau dan menyebabkan terjadinya kali Denggui.
            Mangkung Borakoi terus berlari menuju ke arah timur melalui Netar dan Asei. Bibit sagu dengan kualitas terbaik (yeba poro) habis ketika ia hendak meninggalkan Netar. Bibit sagu yang tersisa hanya bibit sagu dengan kualitas kedua yaitu sagu duri. Ia akan terus berlari hingga semua bibit sagu yang berada di punggungnya habis. Rute yang dilalui oleh mangkung borakoi yaitu Borawai, Yakonde, Sosiri, Dondai, Yonokhong, Toware, Netar, Asei, Melai, Isele (Waena), Yoka, Nafri, Injros, Tobadij, Kajopulow, hingga ke Fonong.
            Demikianlah kisah tentang asal mula sagu di Pulau Yonokhong. Mangkung Borakoi yang telah berjasa menyebarkan bibit sagu ini akhirnya menghilang tanpa diketahui ke mana rimbanya setelah tugas yang diembannya selesai.