Tuesday, April 6, 2010

Citra Perempuan Dalam Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani

Siswanto

Abstrak
This paper give reflection to the reader about the image of women and injustice experienced by women in the Dani tribe without being able to defend against the injustices suffered by the female characters in the novel. For example, when a wife asks her husband's responsibility to work to meet the needs of family life, but received the invective, scolding, and even violence from their husband. In addition, women also serve as sexual objects by men without being able to provide resistance, causing a prolonged trauma. Injustices experienced by women is also still frequently occur until now, whether it is injustice in the menage, sexual or economy. This makes the speaker choose the topic of gender inequality against women in the novel Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani by Dewi Linggasari. In his paper, the speaker uses feminist literary studies, by considering the aspects of feminism.

Kata Kunci: citra perempuan dan ketimpangan gender

1. Pendahuluan
Ketimpangan nasib kaum hawa di bawah dominasi laki-laki sudah dapat dilihat dari sejak puluhan tahun yang silam. Hal ini dapat kita runut dari munculnya roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang terbit pada masa pra Pujangga Baru. Tentu saja hal ini menjadi representasi dari keadaan zaman itu. Dalam roman itu digambarkan dalam posisi lemah dan menjadi korban kepentingan orang tua, adat, dan nafsu lelaki.
Potret buram ketimpangan nasib kaum hawa yang terentang dari roman Siti Nurbaya di zaman pra Pujangga Baru hingga hingga novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. di zaman sastra modern saat ini. Walaupun tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam novel maupun roman ini dilukiskan sebagai perempuan yang tegar, namun kaum perempuan ini masih cenderung digambarkan bodoh, miskin, dan di bawah bayang-bayang ketiak kaum lelaki.
Demikian pula, sastra lisan Papua tidak terlepas dari problematika ketimpangan gender. Ketimpangan yang mengarah pada tetidakadilan gender disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu faktor adalah adanya budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai orang kedua dalam rumah tangga. Ketimpangan gender dapat menimbulkan trejadinya kekerasan terhadap perempuan. Dalam budaya suku Moi (Sorong) sebagai contoh adalah kekerasan kultural, Pelaku kekerasan kultural kerap kali tidak menyadari kekerasan yang dilakukannya. Sebabnya, kekerasan ini sudah dilestarikan dalam budaya dan turun menurun. Pun dengan kekerasan terhadap perempuan dalam budaya suku Moi di Papua.
Nilai-nilai kekerasan diimplementasikan dalam berbagai aturan, norma dan pantangan terhadap kondisi dan keberadaan perempuan. Kaum perempuan sendiri merasakannya sebagai hal yang biasa, sudah takdir dan tidak merasa terpaksa melakukan segala aktivitasnya. Namun, bila dilihat menggunakan kacamata hak asasi manusia, maka akan ditemukan banyak sekali praktek yang mengarah pada pelanggaran hak-hak asasi manusia atau hak-hak asasi perempuan.
Salah satu bentuk kekerasan kultural terhadap perempuan adalah adanya seperangkat aturan budaya yang dikenakan pada ibu hamil. Aturan-aturan ini berbentuk mitos dan pantangan terhadap makanan serta minuman bagi seorang perempuan yang sedang hamil. Seorang perempuan hamil, membutuhkan waktu untuk istirahat, makanan yang bergizi dan akses akan informasi yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak. Sedangkan dalam suku Moi, hamil adalah sesuatu yang biasa, sehingga perempuan hamil tetap bekerja sebagaimana biasanya.
Perempuan hamil suku Moi tetap melakukan kegiatan seperti menimba air di kali, mengambil sagu dan berkebun, mencari ikan di laut dan mencari kayu bakar dihutan. Akibatnya, rata-rata ibu hamil perempuan Moi menderita anemia, kurang kalori karena hanya memakan 64 % kalori. Selain itu, perempuan hamil tidak boleh makan ikan sembilan dan kepiting karena akan mengalami perdarahan. Hal ini juga berlaku pada daging babi, daging diburu dengan menggunakan magig sehingga dilarang untuk dimakan, karena terdapat mitos nanti melahirkan akan mengalami kesukaran. Aturan tersebut membuat rata-rata perempuan Moi yang hamil kekurangan gizi, anak yang lahir mengalami kekurangan berat badan sehingga mempunyai harapan hidup yang tipis.
Aturan yang memiliki nilai kekerasan juga diberlakukan pada saat akan melahirkan, ibu hamil harus menunggu keputusan dari mertuanya baru boleh dibawa ke dukun atau klinik. Hal ini sering membuat proses persalinan terlambat ditolong. Selain itu, mereka juga belum mengenal tanda-tanda kelahiran. Kemudian, seorang perempuan yang telah melahirkan dilarang keluar dari rumah selama empat puluh hari. Rata-rata perempuan Moi yang melahirkan mati, karena infeksi dan perdarahan.
Dalam satu survey cepat (rapid ethnographie Assessment) tentang peranan institusi lokal dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak pada 6 kecamatan Suku Moi di Sorong, dilakukan oleh Unicef bekerja sama dengan Bappeda TK I Papua didapat, dari 1000 perempuan Moi yang hamil, 8 meninggal karena perdarahan dan infeksi waktu melahirkan (2 kali lipat lebih tinggi dari angka nasional). Karena ibu hamil sibuk dengan rutinitasnya sepanjang hari, maka jarang memeriksakan kehamilannya ke klinik. Akibatnya hanya 1 dari 3 perempuan Moi yang memeriksakan kehamilannya secara lengkap. Dan hanya 1 dari 3 perempuan Moi yang melahirkan pada tenaga bidan, minum tablet zat besi (penambah darah) dan mendapatkan imunisasi tetanus lengkap.
Pada suku Moi kebiasaan tersebut merupakan tradisi yang digunakan secara turun temurun, dan perempuan sebagai pendukung kebudayaan Moi sendiri tidak merasa bahwa praktek-praktek ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasinya sebagai perempuan. Praktek-praktek ini sangat membatasi hak perempuan hamil untuk memperoleh kesehatan yang layak. Faktor budaya menjadi salah satu hambatan dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak.
Fakta di atas hanya merupakan satu dari jutaan kasus ketimpangan gender yang terjadi di Papua. Pola-pola budaya kekerasan kultural ini membawa pengaruh terhadap karya sastra yang mengangkat tema problematika perempuan papua yang berupa ketimpangan gender dan kekerasan dalam rumah tangga. Novel Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani, menceritakan problematika perempuan Dani yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Sali merupakan deskripsi keadaan suku Dani secara geografis, yang bersifat psikologis. Novel ini menyajikan dua lapis kandungan. Yang pertama adalah uraian geografis tentang keadaan komunitas suku Dani di lembah Baliem-Wamena. Lapis kedua adalah mitos. Di sana, dalam mitos itu orang bisa mendengarkan dendang penulis tentang derita perempuan di lembah Baliem-Wamena.
Karena kuatnya semangat budaya suku Dani, perempuan-perempuan dipandang sebagai makhluk perkasa di bawah naungan suami. Tidaklah mengherankan, para perempuan harus melakukan apa saja, bukan pertama-tama untuk keluarga tetapi untuk lelakinya. Ia tak sekadar, misalnya: umbah-umbah, olah-olah, momong bocah, dan njrebabah saja, seperti dibayangkan tugas perempuan Jawa pada masa-masa lalu, tetapi juga pekerjaan di luar rumah: mencari kayu bakar dan makanan serta, atau mungkin yang penting adalah menyediakan tembakau untuk suami dalam segala keadaan, baik sehat maupun sakit.
Bagi perempuan Dani hidup ini adalah kekalahan, bahkan setelah perempuan Dani memberikan segalanya bagi perkawinannya. Setelah dibayar dengan babi-babi pada hari perkawinan, maka seorang perempuan Dani hanyalah Budak. Perempuan Dani harus bekerja sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan makan. Tak ada waktu istirahat, demikian pula ketika berada dalam keadaan lemah karena kehamilan. Perempuan Dani harus tetap bekerja di kebun, membelah kayu bakar, sehingga bara api menyala dan ubi manis tetap masak sebagai bahan makanan. Bila tak ada makanan, maka suami akan mengamuk dan memukul (Linggasari, 2007: 6-7).
2. Pemahaman Ideology Gender dan Feminisme
2.1 Konsep Gender
Gender berasal dari kata gender (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai jenis kelamin, tetapi bukan jenis kelamin secara biologis, melainkan secara sosial budaya dan psikologis. Konsep gender diartikan sebagai suatu konsep hubungan sosial yang membedakan peranan antara pria dengan wanita, yang dibentuk oleh norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat. Dengan demikian seperti telah dikemukakan sebelumnya, peran gender adalah peran pria dan wanita yang tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti halnya peran kodrat. Berdasarkan pemahaman itu, maka peran gender dapat berbeda di antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan, dapat berubah dan diubah dari masa ke masa sesuai dengan kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi dan sebagainya, dan dapat ditukarkan antara pria dengan wanita. Hal ini berarti, peran gender bersifat dinamis. Berkaitan dengan hal tersebut, dikenal ada tiga jenis peran gender sebagai berikut. (1) Peran produktif (peran di sektor publik) adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, pria atau wanita, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. (2) Peran reproduktif (peran di sektor domestik), adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, pria atau wanita, untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, membantu anak belajar, berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari, membersihkan rumah, mencuci alat-alat rumah tangga, mencuci pakaian dan lainnya. (3) Peran sosial adalah peran yang dijalankan oleh seseorang, pria atau wanita, untuk berpartisipasi di dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama.
2.2 Feminisme
Menurut Wolf dalam Sugihastuti mengartikan feminism sebagai sebuah teori yang mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan. Istilah “menjadi feminis”, bagi Wolf, harus diartikan dengan “menjadi manusia”. Pada pemahaman yang demikian, seorang perempuan akan percaya pada diri mereka sendiri. Sementara itu, Budianta (2002: 201) mengartikan feminism sebagai suatu kritik ideologis terhadap cara pandang yang mengabaikan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas social berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Istilah feminism dalam penelitian ini berarti kesadaran akan adanya ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Kesadaran itu harus diwujudkan dalam tindakan yang dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.
Dengan demikian, feminism dalam penelitian ini lebih luas dari makna emansipasi. Emansipasi cenderung digunakan sebagai istilah yang berarti pembebasan dari perbudakan yang sesungguhnya dan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian, emansipasi tidak mutlak sebagai persamaan hak perempuan. Jika kata emansipasi dilekatkan pada kata perempuan, emansipasi cenderung lebih menekankan pada partisipasi perempuan tanpa mempersoalkan ketidakadilan gender, sedangkan feminism sudah mempersoalkan hak serta kepentingan perempuan yang selama ini tidak adil. Perempuan dalam pandangan feminism mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam gerakan untuk menuntuk haknya sebagai manusia secara penuh (Kridalaksana, 1999: 258).
2.3 Kritik Sastra feminis
Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respons atas berkembang luasnya feminisme yang berkembang di berbagai penjuru dunia. Menurut Moeliono (1993:241) feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Persamaan hak itu meliputi semua aspek kehidupan baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dengan kata lain, feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau menentukan kebebasan menentukan dirinya sendiri.
Jika selama ini ada anggapan bahwa yang mewakili penciptaan dan pembacaan karya sastra adalah kaum laki-laki, menurut Sholwater dalam Sugihastuti, (1991:29) kritik sastra feminis mencoba menunjukkan bahwa pembaca perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya.
Feminisme adalah kritik sastra feminis mengarah pada studi sastra yang memusatkan analisis pada wanita. Sementara itu telah dianggap biasa bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam karya sastra Barat adalah kaum pria sehingga kritik sastra feminis menunjuk gejala bahwa wanita membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya. Culler (1983:43) menyatakan bahwa kritik sastra feminisme adalah suatu usaha sadar para women scholar untuk merubah tirani kritik andosentris yang sangat male oriented dan cenderung mempengaruhi pembaca wanita untuk mengidentifikasikan diri dengan tokoh pria.
Dalam usahanya mengukuhkan kedudukan sastra wanita pada tempat yang selayaknya, feminist criticism merangkum berbagai pendekatan yang ada seperti sosiologi sastra, resepsi strukturalisme, tekstual, semiotik, juga psikologi, sosiologi, antropolgi (Winata dalam Tome, 2002:6).
2.4 Pengungkapan Citra
Sastra adalah salah satu dari berbagai bentuk representasi budaya yang menggambarkan relasi dan rutinitas gender. Selain itu, teks sastra juga dapat memperkuat dan membuat stereotipe gender baru yang lebih mempresentasikan kebebasan gender. Oleh karena itu, kritik sastra feminis membantu membangun studi gender yang dipresentasikan dalam sastra (Goodman, 2001: 2). Peta pemikiran feminisme hingga kritik sastra feminis di atas diharapkan mampu memberikan pandangan-pandangan baru terutama yang berkaitan bagaimana kerakter-karakter perempuan diwakili dalam karya sastra. Dalam hal ini, para feminis menggunakan kritik sastra feminis untuk menunjukkan citra perempuan dalam menampilkan perempuan sebagai makhluk yang ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarki yang dominan. Di pihak lain, kajian tentang perempuan dalam tulisan ini juga menunjukkan tokoh-tokoh perempuan yang kuat dan justru mendukung nilai-nilai feminis.
Penelitian citra perempuan atau images of woman ini merupakan suatu jenis sosialogi yang menganggap teks-teks sastra dapat digunakan sebagai bukti adanya berbagai jenis peranan perempuan (Ruthven, 1990: 70).
3. Pembahasan
3.1 Ringkasan Cerita
Cerita diawali dengan kematian ibunya Liwa yang bernama Aburah bersama calon adiknya yang masih dalam kandungan sang ibu. Sepeninggal Aburah, ayahnya yang bernama Kugara menikah dengan adik Aburah bernama Lapina. Adat memperkenankan seorang duda yang ditinggal mati istri menikahi adik iparnya. Beruntung Liwa mendapatkan ibu tiri yang baik. Lapina menyayanginya tak ubahnya anak kandung sendiri. Namun setelah Kugara meninggal dalam perang dengan suku lain, Liwa mulai merasakan kekejaman adat. Bagaimana tidak, sebagai tanda berduka cita ia harus merelakan ruas jarinya dipotong ketua adat.
Liwa tidak pernah merasakan bahagia dalam hidupnya. Kecuali sekali. Saat ia mengenal Ibarak kemudian menikah dengannya. Tapi kebahagiaan itu tidak lama. Sebagaimana lelaki suku Dani lainnya, kerja Ibarak hanya makan, tidur, dan merokok. Liwa yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Sepasang suami istri dan tujuh orang anak. Bahkan saat tubuhnya lemah karena mengandung atau sehabis melahirkan ia tetap harus bekerja di kebun dan memberi makan babi-babi peliharaan mereka. Juga memenuhi hasrat birahi Ibarak. Jika ia menolak, Ibarak tidak segan-segan memukulinya. ‘Aku telah membayarmu dengan dua puluh ekor babi. Kau harus menuruti semua permintaanku,’ begitu selalu Ibarak memberi alasan.
Kenapa Ibarak dan lelaki suku Dani lainnya tidak bekerja? Karena dulu adat membagi tugas yang berbeda untuk lelaki dan perempuan. Laki-laki tugasnya berperang dan berburu. Perempuan tugasnya mengurus rumah dan keluarga. Setelah pemerintah RI melarang perang antar suku dan lahan berburu berkurang, lelaki suku Dani tidak memiliki tugas lagi. Tapi mereka juga tidak mengambil alih tugas perempuan yang sejak dulu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Karena adat tidak menyuruh mereka berlaku begitu.
Adat pula yang memperkenankan seorang suami beristri lebih dari satu. Kesal karena merasa Liwa seringkali menentang perintahnya, Ibarak memutuskan menikah lagi. Tentunya dengan seorang gadis yang masih ranum. Jija namanya. Dan Liwa tidak bisa menolak. Namun Liwa menolak mentah-mentah saat Ibarak menyuruhnya berselingkuh. Ibarak menginginkan lebih banyak babi sebagai ukuran kekayaan. Jika ia memergoki pria lain menyentuh Liwa, maka ia bisa menagih sejumlah babi sebagai denda yang harus dibayar pria tersebut. Harta telah membutakan mata hati Ibarak. Manusia macam apa dia itu ya, tega-teganya memperlakukan istrinya begitu keji.
Liwa tetap menolak tiap kali Ibarak memerintahkannya mendekati Lopes, lelaki yang menunjukkan ketertarikan padanya. Ia makin membenci suaminya. Ingin rasanya ia pergi jauh meninggalkan Ibarak. Tapi bagaimana dengan anak-anaknya? Akhirnya keragu-raguan Liwa pupus sudah. Suatu malam terjadi kebakaran di pilamo – honai tempat tinggal kaum lelaki. Seluruh anak lelaki Liwa meninggal terbakar. Liwa merasa sedih. Kini tidak ada lagi alasannya untuk tetap hidup. Liwa memutuskan untuk pergi. Sepeninggalnya nanti anak-anak perempuannya akan diasuh Jija, sang istri muda.
Ke mana Liwa pergi? Di Fugima, ada sebuah sungai yang amat dalam, wanita yang sudah tidak mampu menanggung beban hidup akan datang ke tempat itu, meninggalkan sali (pakaian perempuan suku Dani yang menutupi tubuh bagian bawah) pada bebatuan, memberati tubuhnya dengan batu, kemudian menceburkan diri ke dalam sungai. Ke sanalah Liwa pergi.
Saat Gayatri menemukan sali yang terakhir dikenakan Liwa tersangkut pada bebatuan di tepi jurang dengan air sungai yang dalam, tahulah ia bahwa Liwa telah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Suatu cara yang menyakitkan untuk mengakhiri permasalahan.
3.2 Citra Perempuan
Menurut Sugihastuti pembicaraan mengenai tokoh dalam novel khususnya dalam kritik sastra feminis dituntut melibatkan dua pihak yang beroposisi yakni laki-laki dan perempuan. Dalam rangka mengungkap prasangka gender dalam novel, pada tahapan ini dikemukakan dua bagian yang melibatkan citra tokoh perempuan dan analisis mengenai ketimpangan gender.
Bagian pertama menganalisis citra tokoh perempuan dalam novel. Analisis pada bagian ini mengutamakan tokoh yang berperan penting dalam pembentukan citra inferioritas perempuan. Berdasarkan pembacaan yang dilakukan terhadap novel, dipilih tiga tokoh perempuan yang akan diidentifikasi yakni Liwa, Lapina, dan Gayatri. Bagian kedua menganalisis ketimpangan gender yang terjadi pada tokoh perempuan.
Menurut Lokobal, suku Dani di Lembah Baliem dan pegunungan di sekitarnya menggunakan beberapa istilah untuk menunjukkan kaum perempuan. Istilah tersebut serentak menunjuk status mereka. He diartikan sebagai seorang ibu (bentuk tunggal) yang sudah berkeluarga. Humi diartikan sebagai kaum ibu (bentuk jamak) yang sudah berkeluarga. Holak sebagai seorang gadis remaja (bentuk tunggal), dan holak yekerek diartikan sebagai anak gadis kecil (bentuk tunggal). Dari beberapa istilah tersebut ternyata tiadak ada satupun istilah yang dapat merangkum pengertian dan konsep tentang secara menyeluruh.
Selain itu ada beberapa istilah yang sebenarnya netral sifatnya namun dalam pemakaian sehari-hari cenderung diasosiasikan kepada kaum laki-laki saja. Apuni (manusia), elege (anak-anak), dan elege yekerek (anak kecil). Dalam istilah-istilah netral ini paham laki-laki ditonjolkan sedangkan kaum perempuan dianggap termasuk dalam kelompok laki-laki. Ada istilah lain yang lebih mencerminkan integrasi perempuan di dalam kelompok laki-laki, yakni ap logalek (secara harfiah berarti kelompok laki-laki). Pemahaman dari konsep ini adalah:
1. Perempuan temasuk dalam perhitungan laki-laki
2. Perempuan tidak disebut secara khusus karena diketahui keberadaannya, entah karena melingkup keseluruhan atau melebur di dalam laki-laki.
3. Perempuan tidak ditampilkan tetapi cukup laki-laki saja, sebab perempuan dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari laki-laki.
3.2.1 Pencitraan Liwa
Liwa mengalami perlakuan buruk dan ketidakfair-an adat istiadat terhadap perempuan. Kutukan sebagai perempuan, awalnya dia terima ketika dia ditinggal mati oleh ibunya, yang kemudian membuatnya berpikir tentang ketidakadilan yang terjadi terhadap perempuan (yang mengakibatkan kematian ibunya) yang selanjutnya diikuti pemotongan ruas jarinya ketika bapaknya meninggal di medan peperangan. Dan puncak dari kutukan itu adalah ketika perkawinannya dengan Ibarak, yang membawanya pada kejenuhan terhadap adat istiadat sukunya dan kehidupannya. Liwa sudah tahan dengan segala macam bentuk adat sukunya yang selalu mensubordinatkan perempuan di bawah laki-laki dan ketidakadilan perlakuan lelaki kepada perempuan seperti yang Ibarak lakukan kepada dirinya dan seperti apa yang bapaknya lakukan kepada ibunya dan Lapina dulu. Dia tidak bisa menerima itu semua, tapi disatu sisi dia juga tidak kuasa untuk menolaknya.
3.2.2 Pencitraan Lapina
Lapina digambarkan sebagai perempuan Dani yang tegar dan kuat. Kekarasan fisik yang dilakukan suaminya membuat Lapina menjadi wanita yang perkasa. Lapina bekerja keras membanting tulang demi memenuhi kebutuhan keluarga, terutama suaminya. Ia tidak pernah mengeluh meskipun beban berat menindih tubuhnya yang ringkih. Ia menerima semua konsekuensi yang diakibatkan oleh perkawinannya dengan Kugara. Meskipun Kugara sering memperlakukan Lapina secara kasar ia tetap bersedih hati dan menangis ketika Kugara tewas dalam perang suku. Pengalaman pahit dalam berkeluarga membuat Lapina hidup menjada pasca kematian Kugara.
3.2.3 Pencitraan Gayatri
Gayatri, seorang dokter muda bergumul dengan perubahan yang sedang berjangkit dalam kehidupan suku Dani. Liwa diperkenalkannya dengan pilihan rasional sebagai jalan keluar kakunya aturan adat. Gayatri menyelamatkan Liwa dan seorang anaknya yang menurut adat Dani harus dibunuh atau dihanyutkan karena terlahir kembar.
Gayatri terhenyak, dalam pandangannya segera tampak seorang bayi tak bersalah tergulung arus sungai dan menghilang sebagai suatu tragedi. Tidak! Hal itu tidak bboleh terjadi. Ia telah berjuang demi kelahiran bayi itu, ia harus bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelangsungan hidupnya. Dokter itu terdiam dalam waktu yang cukup lama sebelum akhirnya berkata. “Hanyutkan bayi itu dalam sungai, biar saya yang akan mengambilnya”. (hlm. 175-176)

Meskipun bukan pemain utama, Gayatri ada dalam pertentangan budaya Dani dan budaya negara. Perang suku memang menghilang, namun digantikan perang negara dengan masyarakat yang dulu gemar berperang. Perang yang akhirnya merenggut kekasihnya. Dia menyaksikan sendiri bahwa terkadang modernitas tak lebih baik dibandingkan dengan tradisionalitas, malah bisa lebih buruk.
Tokoh Gayatri dalam novel ini digambarkan sebagai perempuan yang memiliki tekad dan kemauan tinggi. Berawal ketika kisah cintanya yang kandas di ambang perkawinan membawa Gayatri seorang dokter muda untuk akhirnya menentukan pilihan menjadi dokter PTT di Wamena Papua. Pada awalnya kepergiannya ke Wamena adalah salah satu upaya untuk menghilangan kesedihan dan kegundahan hatinya. Namun setelah sekian lama tinggal dan menjadi dokter PTT di Wamena panggilan jiwa untuk mengabdi kepada masyarakat telah menjadi tekad hatinya.
Ia hanyalah seorang yang kalah dan hangat sebagai bahan pembicaraan. Sekarang Gayatri mengerti bahwa hidup ini hanya ada tempat untuk orang yang menang dan kuat, ia tersisih jauh ke tepian dalam sebuah perkawinan agung, karena tidak terpilih. Ia merasa menjadi lemah, hancur berkeping-keping tak berbentuk. Tak ada tempat untuk membangun kembali kekuatan. (hlm.118)

Keesokan harinya ketika duduk di meja makan Gayatri telah sampai pada sebuah keputusan. “Saya haurs mengambil PTT untuk memulai karir, tak bisa saya berdiam diri dalam situasi seperti ini”, Gayatri membuka pembicaraan.

3.3 Ketimpangan Gender
3.3.1 Peran Tradisional Perempuan Sebagai Istri, Ibu, dan Ibu Rumah Tangga
Menurut Soenarjati-Djajanegara dalam Sugihastuti (2007: 280) definisi peran tradisional perempuan pertama kali dikenal akibat gelombang feminisme yang muncul di Amerika pada abad ke-19. Kemunculan gelombang feminisme ini merupakan reaksi atas hegemoni dan kekuasaan pihak laki-laki yang dengan mutlak melabeli sifat, sikap, maupun aktifitas kaum perempuan. Sebagai pihak yang berkuasa, laki-laki melegitimasikan kekuasaannya dalam berbagai institusi seperti negara, hukum, moralitas, agama, dan ilmu pengetahuan. Kekuasaan pihak laki-laki tersebut, salah satunya memunculkan citra tentang peran perempuan tradisional.
Kemunculan kekuasaan laki-laki berakar pada anggapan bahwa laki-laki adalah manusia yang besar, kuat, keras, dan berat, sedangkan perempuan merupakan manusia yang kecil, lemah, lembut, dan ringan. Sebagai pihak yang lebih kuat, laki-laki dengan demikian dianggap sebagai pihak yang lebih berkuasa dibandingkan dangan perempuan. Kekuasaan yang dimiliki tersebut membuat laki-laki cenderung memandang rendah perempuan. Hal ini berimbas kepada jenis dan kadar pekerjaan yang dilimpahkan kepada kaum perempuan.
Menurut kebudayaan suku Dani, perempuan memiliki kedudukan penting dalam adat. Karena begitu penting, maka kaum perempuan di bawah naungan laki-laki. Perlindungan itu bukan karena alasan biologis dan psikologis saja, melainkan karena nilai religius yang dihadirkannya, yakni nilai-nilai kehidupan yang baik. Ada ungkapan suku Dani bumi-bumiat, artinya perempuan ya tetap perempuan. Maksudnya perempuan harus tetap terikat dan tinggal dalam lingkungan adat sesuai dengan kode etik moral. Karena itu, biarpun perempuan telah menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu, mereka tidak dapat menolak keharusan tunduk dan menyesuaikan diri terhadap status dan peranan laki-laki, terutama jika suaminya memiliki peranan penting dan utama dalam struktur adat (Lokobal, 2006: 128).
Peran tradisional perempuan dalam novel Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani pertama kali tergambar jelas pada kutipan berikut.
… ia harus bangun pagi, menyediakan makanan bagi Kugara, pergi ke kebun sambil menjaga Liwa, memberi makan babi-babi, dan bersikap sebagai layaknya seorang istri. (hlm. 32)

Peran sebagai istri yang diterima Lapina tersebut menunjukkan sikapnya yang seolah-olah mendukung domestika kaum perempuan. Akan tetapi, lingkup domestik yang terjadi pada diri Lapina membuatnya terkungkung dalam lingkaran tanpa ada jalan keluar.
Demikian berhari-hari, Lapina menghabiskan waktu di kebun dengan berbaring menatap biru langit, ia mencoba memahami persoalan hidupnya, tapi ia terlalu dungu sekadar untuk menjawab pertanyaannya. (hlm. 33)

Sebagai seorang istri dan calon ibu, Lapina menyandang peran yang besar dan penting. Lapina harus selalu bekerja keras memenuhi kebutuhan keluarga dalam berbagai keadaan, sementara Kugara sang suami hanya bersantai ria dengan kegiatan yang sia-sia.
Lapina adalah seorang gadis belia, tetapi ia harus siap menjadi seorang ibu. Semakin hari perut lapina semakin membesar, badannya kian lemah, tetapi Kugara tak peduli, Lapina harus terus bekerja di kebun, memberi makan seisi honai dan babi-babi serta membelah kayu bakar hingga hari kelahiran itupun tiba. (hlm. 35)

Peran tradisional perempuan juga menimpa Liwa. Nasib Liwa tak lebih beruntung jika dibandingkan dengan ibu tirinya Lapina. Justru penderitaan hidup akibat peran tradisional perempuan selalu mendera Liwa sepanjang hayatnya. Liwa tidak pernah merasakan bahagia dalam hidupnya. Kecuali sekali. Saat ia mengenal Ibarak kemudian menikah dengannya.
Keduanya seakan dihantui rindu seribu tahun, Liwa segera melupakan hasil kebun yang telah dicucinya dengan bersih. Ia tak lagi melawan ketika Ibarak menariknya di antara semak-semak, di bawah sebatang pohon yang rindang. Keduanya tak banyak lagi bicara, bunga-bunga liar di tepi hutan itu adalah saksinya. (hlm. 72)

Ketika telah resmi menjadi istri Ibarak, peran domestik perempuan yang melekat pada Liwa secara otomatis melakat. Kedudukan Liwa sebagai istri lak-laki Dani mengharuskannya melakukan segala kegiatan domestik maupun kegiatan yang biasanya dilakukan oleh laki-laki.
Liwa telah berpindah ke silimo Ibarak, babi-babi telah menjadi milik Liwa, wanita itu harus memelihara bagi anak laki-lakinya, suatu saat anak itu akan melamar gadis bagi kehidupan perkawinannya. Liwa harus memelihara taman pada kebun keluarga Ibarak. Semula Liwa melakukannya dengan senang hati dalam usia perkawinannya yang masih sangat muda. (hlm. 76-77)

Selain bekerja di kebun dan memelihara babi, Liwa juga mengasuh anak-anaknya yang berjumlah tujuh orang.
Beban hidupnyapun kian bertambah, ia tak dapat membagi beban hidup dengan ibarak, karena bekerja di kebun dan merawat anak adalah tugas perempuan. (hlm. 78)

Setiap malam Ibarak selalu mengunjunginya di dalam honai dan akibatnya Liwa terus mengandung, hingga tak terasa akhirnya ia memiliki tujuh orang anak. (hlm. 79)

3.3.2 Perempuan Sebagai Objek Seks
Menurut Kalyanamitra dan Prasetyo dalam Sugihastuti (2007: 204), dalam intensitas yang paling ringan, kekerasan seksual disebut sebagai pelecehan seksual. Bentuk-bentuk pelecehan seksual dapat berupa siulan nakal, kerdipan mata, gurauan nakal dan olok-olok yang menjerumus pada seks, memandangi tubuh mulai ujung rambut sampai mata kaki, pernyataan mengenai tubuh atau penampilan fisik, memberikan bahasa isyarat yang berkonotasi seksual, memperlihatkan gambar-gambar porno, memperlihatkan organ seks, mencolek, serta meraba, atau mencubit.
Laki-laki bertelanjang dada hanya memakai koteka, perempuan juga bertelanjang dada hanya memakai Sali, adalah pemandangan yang biasa terjadi di Lembah Baliem. Semua itu merupakan pakaian adat masyarakat suku Dani yang sampai sekarang masih ada yang memakainya. Namun lain halnya jika terjadi pelecehan seksual terhadap perempuan yang bertelanjang dada tersebut. Kasus pelecehan seksual terhadap Lapina pertama kali berlangsung ketika Lapina berada dalam silimo beberasa hari setelah kematian Aburah kakaknya. Berikut adalah kutipan tentang pelecehan seksual terhadap Lapina yang dilakukan oleh Kugara.
Kugara masih memperhatikan Lapina dengan dadanya yang telanjang. Wajahnya yang muda remaja, sungguh merupakan daya tarik tiada tara. Sepasang bukit kembar yang mencuat dangan Sali melilit pada pinggangnyayang ramping dan pemandangan dibalik Sali itu, Kugara menelan ludah. (hlm. 26)

Dari kutipan tersebut, dijelaskan bahwa Kugara tergoda dengan bentuk tubuh Lapina. Bentuk tubuh Lapina yang proporsional dengan bertelanjang dada dan sali yang melilit dipinggangnya menjadi bahan perhatian Kugara dengan cara terus memandangi tubuh Lapina.
Demikian pula dengan kugara, sambil menyantap hidangan lezat, matanya mengawasi Lapina. Dalam pandangan Kugara, gadis itu tiba-tiba menjelma menjadi setangkai bunga liar yang telah mekar dan penuh daya pikat. Ia sungguh-sungguh tak dapat lagi menguasai diri. Semenjak kematian Aburah, ia harus melewatkan malam yang membeku di honai laki-laki. (hlm. 27)

3.3.3 Perempuan Sebagai Objek Kekerasan Fisik dan Non Fisik
Terdapat beberapa definisi yang menjelaskan mengenai kekerasan fisik, salah satunya dari La Pona (2002: 7) yang mengatakan bahwa kekerasan fisik adalah segala macam tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik pada korbannya. Selain itu, beberapa definisi yang lain menyatakan bahwa tindakan kekerasan fisik melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh. Salah satunya ialah Meiyenti (1996: 6-7) yang menjelaskan jenis-jenis kekerasan fisik yang melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh seperti memukul, menampar, meludahi, menjabak, menendang, menyulut dengan rokok, serta melukai dengan barang atau senjata.
Kekerasan fisik dalam Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani, merupakan gabungan kekarasan fisik seperti yang telah didefinisikan oleh Meiyenti di atas. Terdapat pula kekerasan non fisik terhadap perempuan yang ada dalam novel ini. Tokoh perempuan pertama yang akan dibahasa dalam kesempatan ini adalah Lapina.
Lapina sebagai seorang istri yang masih belia harus bekerja keras dalam keadaan sehat maupun tidak sehat. Bahkan ketika ia dalam keadaan hamil dan sakit ia masih mendapatkan kekerasan non fisik dari Kugara.
“Aku tidak mau tahu, kau harus pulang dengan hasil kebun yang lebih banyak, bila tidak kau akan tahu akibatnya!” Kugara mengancam, ia berlalu pergi sambil menyambar pisak masak dan mengunyahnya dengan lahap. (hlm. 34)

“Bekerja di kebun dan mencari makan adalah urusanmu. Maaf sekali, aku tak dapat menggantikanmu. Kalau kau tak segera pergi ke kebun untuk mencari makanan, kau akan tahu akibatnya”, Kugara menyatakan ancaman. (hlm. 38)

Kekerasan fisik yang dilakukan oleh Kugara terhadap Lapina yaitu berupa eksploitasi tenaga. Kugara menghendaki agar Lapina selalu bekerja baik dalam keadaan sehat ataupun sakit agar kebutuhan makan dalam silimo selalu tersedia.
Suatu hari Lapina tak dapat bangkit, ia terbaring dan terus muntah. Perutnya mual, kepalanya pening, raut wajahnya pucat menguning. Demikian berhari-hari hingga persediaan makanan habis dan ia harus pergi ke kebun untuk merawat tanaman dan memetiknya. (hlm. 32)

Akibat kekarasan fisik dan non fisik, Lapina meraskan kebencian terhadap Kugara dan keadaan yang menimpa dirinya. Pernikahan yang diharapkan untuk membina keluarga yang bahagia ternyata jauh dari harapan.
Seketika Lapina merasa kebencian semakin menggumpal di dadanya, napasnya mendadak sesak dan memburu, matanya yang sayu sekejab berkilat. Beban hidupnya nyata-nyata semakin bertambah. Ia harus menikah dengan Kugara karena adat, babi-babi memang telah dimiliki sebagai mas kawin, tetapi ia harus memberi makan babi-babi setiap hari, juga laki-aki yang telah membayarnya dengan mas kawin itu. Ketika ia semakin lemah, karena kehamilan dan melahirkan ia harus tetap bekerja di kebun. (hlm. 38)

Berbagai perlakuan dan tindakan kekerasan yang diterima membuat Lapina tersadar bahwa perkawinannya dengan pembayaran babi-babi telah menjerumuskan dirinya dalam perbudakan adat.
Tapi perkawinannya dengan Kugara telah membuatnya mengerti, babi-babi yang dibayarkan pada hari perkawinannya dengan Kugara telah membuat dirinya diperlakukan sebagai budak. (hlm. 55)

Tokoh perempuan kedua yang menerima tindak kekerasan fisik dan non fisik adalah Liwa. Kekerasan fisik pertama kali dialami oleh Liwa ketika ia masih seorang gadis kecil. Ketika itu, bapaknya Kugara meninggal akibat perang suku. Adat mengajarkan untuk berbela sungkawa dengan memotong satu ruas jari ketika orang yang kita sayangi meninggal dunia. Sebagai anak kecil ia tidak bisa menerima aturan adat ini dengan ikhlas.
“Saya takut mama!” Liwa memeluk Lapina erat-erat dalam rasa takut yang amat sangat. (hlm. 50)

Tidak jauh dari Lapina, Liwa tengah berperang melawan sakit tak terperi. Sebuah kapak batu diayunkan berulang kali oleh tangan yang perkasa tanpa kenal ampun. Ia tak pernah mengerti tentang adat, ia tak dapat melawan ia cuma seorang bocah yang terjebak ke dalam tatanan nilai yang mengerikan. Bocah itu semakin tak dapat mengusasi kesadarannya. Darah telah mengucur, membasahi tanah, rasa pedih yang dalam mendorong Liwa menjerit, menjerit. (hlm. 53)

Selanjutnya, kekerasan fisik dan non fisik kerap mendera Liwa dalam perjalanan perkawinannya dengan Ibarak. Seperti halnya laki-laki suku Dani lainnya Ibarak pun digambarkan sebagai lelaki yang malas bekerja dan selalu tergantung pada Liwa.
Liwa hanya bagian yang sangat kecil dari arus perubahan itu, ia harus membesarkan tujuh orang anaknya, dan tugas rutin sehari-hari yang melelahkan. Sementara kemauan Ibarak membuat Liwa seakan tak memiliki hak dalam hidupnya, ia harus melupakan adanya hak, karena hal penting yang harus diselesaikan setiap hari adalah kewajiban.
Perselisihan hampir selalu terjadi setiap hari, dan Liwa selalu sebagai pihak yang kalah. (hlm. 82)

“Berani benar engkau Liwa!” tangan Ibarak terayun dengan amat kuat, mendarat di pipi Liwa.

Ibarak tak terdiam lama, ia segera bangkit dan menatap Liwa dengan geram. Ibarak tak berpikir lebih lama lagi, ia menghajar Liwa.

3.3.4 Perempuan dan Anak-anak Menjadi Bagian Kedua dalam Urusan Pembagian Makanan
Menurut suku Dani, hidup dalam rumah tanpa kamar adalah hidup di pusat hati. Kehidupan bersama sebagai saudara sebenarnya tidak perlu kubu persembunyian di balik kamar-kamar. Tak ada suatu rahasia, kecuali rahasia umum yang dijaga bersama. Hidup dalam silimo tanpa kamar membuat orang akan tahu tentang siapa makan apa, pada waktu kapan, dengan siapa, dan di mana, juga tentang siapa berbuat/berkata apa, kepada siapa, dan untuk apa. Dalam honai misalnya, pria selalu membawa makanan dari dapur dan ditempatkan di pusat, di bagian depan antara pintu masuk dan tiang-tiang penopang utama. Dari sini orang lalu membagikan kepada sesama hadirin dalam honai. Setiap orang mendapat bagian, walau kecil sekalipun, dan dinikmati secara merata. Rokok pun selalu ditaruh di pusat, siapa yang hendak merokok mendapat perhatian dari sesamanya (Mulait dan Alua, 2006: 49)
Konsep kebudayaan suku Dani yang berkaitan tentang pembagian makanan ini secara teori memang baik. Namun pada tataran penerapan perempuan dan anak-anak sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Perempuan dan anak-anak hanya mendapatkan bagian sedikit. Hal ini terjadi karena adanya alasan bahwa adat memuliakan laki-laki dengan memberikan makanan yang terbaik yang dimasak oleh istri.
Makanan yang tampak dalam ukuran besar dibagikan kepada pihak laki-laki, sedangkan yang berukuran kecil diberikan kepada perempuan dan anak-anak. Adat selalu menempatkan laki-laki sebagai pihak yang harus dihormati, sehingga mereka selalu mendapatkan makanan yang terbaik. (hlm. 27)

4. Simpulan
Novel Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani merupakan novel yang menceritakan problematika perempuan Dani yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Sali merupakan deskripsi keadaan suku Dani secara geografis, yang bersifat psikologis. Novel ini menyajikan dua lapis kandungan. Yang pertama adalah uraian geografis tentang keadaan komunitas suku Dani di lembah Baliem-Wamena. Lapis kedua adalah mitos.
Novel Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani bercerita tentang perjalanan hidup Liwa, Lapina, dan sepenggal kisah milik Gayatri. Di lain sisi novel ini juga mengambarkan pencitraan perempuan sebagai tokoh utama yaitu Liwa, Lapina, dan Gayatri. Perempuan dicitrakan sebagai perempuan yang memiliki peran tradisional sebagai istri, ibu, dan ibu rumah tangga.
Novel Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani juga menggambarkan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan tersebut diantaranya adalah kekerasan fisik dan nonfisik, kekerasan seksual, dan eksploitasi terhadap tenaga perempuan.

Daftar Pustaka
Budianta, Melanie. 2002. “Pendekatan Feminis terhadap Wacana: Sebuah Pengantar” dalam Budiman, Kris. (ed). Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal.
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics. London: Roudlege & Kegan Paul.
Goodman, Lisbeth. 2002. Literary and Gender. New York. The Open University.
Kridalaksana, Harimurti, dkk. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
La Pona dkk. 2002. Menggagas Tempat yang Aman Bagi Perempuan: Kasus di Papua. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.
Linggasari, Dewi. 2007. Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani: Novel Etnografi. Yogyskarta. Penerbit Kunci Ilmu.
Lokobal, Nico A. 2006. Nilai-nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua: Keadaan dan Peranan Perempuan-Laki-laki pada Suku Dani di Irian Jaya. Jayapura. Biro Penelitian STFT Fajar Timur.
Meiyenti, Sri. 1999. Kekerasan terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Moeliono, Anton M. (Penyunting), 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
Ruthven, K.K. 1990. Feminist Literary Studies: An Introduction. Cambridge. Cambridge University Press.
Sugihastuti dan Saptiawan, Itsna Hadi. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Offset.
Sugihastuti. 1991. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Tome, Sariyati N. 2000. Permasalahan Wanita dalam Novel N.H Dini: Analisis Kritik sastra