Berikut adalah ceritera turun temurun,
yang diceriterakan kembali oleh Drs. Amos Mambrasar, sulung dari Keluarga Besar
Jamora (Ari Mambrasar Omka), mewakili keluarga besar Jamora dan
Fakriba atau keluarga besar masyarakat Betew di kampung Awaiwepyar,
kampung pertama orang Betew di pulau Gam, sebuah pulau yang terletak di muara
teluk Wawiyai di pulau Waigeo. Kisah ini selama berabad-abad ditutupi dan tidak
pernah diceriterakan kepada orang asing, hanya diceriterakan secara turun
temurun dari sulung ke sulung dilingkungan keluarga besar Betew Omka, terutama
dilingkungan keluarga besar Jomora dan Fakriba. Jamora dan Fakriba, keduanya
masih berkerabat dekat, sama-sama berasal dari kampung Wawiyai, dari suku Omka.
Moyang dari kedua bersaudara ini berasal dari keluarga besar Omka di teluk
Manyalibit, tepatnya di kampung Waifoi. Kedua moyang inilah yang pertama kali
mendirikan kampung Awaiwepyar bersama orang Omka dari Wawiyai, orang Biak dan
orang Waropen. Ketiga suku ini berkolaborasi membentuk satu perkumpulan antar
suku yang disebut kelompok Be-Oser (bahasa Biak), yang artinya
kelompok Bersatu, yang kemudian
dikenal dengan nama Beser atau Betew (dalam lafal bahasa Omka). Kelompok Betew ini berkembang-biak dan
menduduki wilayah Waigeo barat, kepulauan Pam, pulau Kofiau, Wejim bahkan
sampai ke pulau Misool.
Tujuan utama
dibentuknya kelompok ini adalah untuk menjaga keutuhan wilayah Papua Gamsio
yang waktu itu merupakan salah satu Gama (wilayah kekuasaan) dari tiga Gama
yang dibentuk oleh kesultanan Tidore di wilayah Papua, yaitu Kolano Fat, Papua
Gamsio dan Mafor Soa Raha. Ada tujuh bersaudara Omka yang bermigrasi dari teluk
Manyalibit, di kampung Waifoi, pindah ke
arah barat dan akhirnya membangun sebuah kampung baru di Wawiyai (kampung
Wawiyai yang sekarang), terletak diteluk Kabui. Dari ketujuh bersaudara
tersebut, enam diantaranya adalah laki-laki, sedangkan yang paling bungsu
merupakan satu-satunya perempuan diantara ketujuh bersaudara tersebut, bernama
Pinthe atau Pintake. Setelah membangun kampung Wawiyai, Jamora dan Fakriba
bersama kelompok Be-Oser membangun
sebuah kampung baru di pulau Gam, yaitu kampung Awaiwepyar yang merupakan
kampung pertama orang Beser atau Betew. Berikut adalah garis besar kisah
keluarga yang diceriterakan secara turun-temurun dari sulung ke sulung
dilingkungan keluarga besar Jamora dan Fakriba, atau versi orang Betew, tentang
asal-mula Raja Ampat.
Pada zaman dahulu kala
hidup dan tinggal di pulau Waigeo, tepatnya di kampung Wawiyai di teluk Wawiyai
yang sekarang, tujuh orang bersaudara dari suku Omka (mereka berasal dari
Waifoi di teluk Manyilibit) Dari tujuh bersaudara tersebut, enam diantaranya
adalah laki-laki, sedangkan sibungsu yang terakhir adalah perempuan satu-satunya
bernama Pinthe atau Pintake, dikenal dengan panggilan
nenek Pinthe dilingkungan masyarakat Betew yang sekarang. Suatu hari diketahui
bahwa Pinthe telah hamil padahal dia belum bersuami, dengan kata lain, hamil
diluar nikah. Kejadian ini menggemparkan seisi rumah dan sudah tentu sangat
memalukan bagi keluarga besar, sehingga tanpa melalui suatu musyawarah yang
baik, Pinthe diusir oleh saudara-saudaranya dari kampung Wawiyai. Beliau naik
sebuah sampan kecil (menurut ceritera keluarga, Pinthe ditempatkan dalam
sebuah piring) keluar dari teluk Kabui
menuju muara. Sesampainya dimuara ia bertemu dengan orang-orang Biak yang baru
datang dari arah Barat hendak pulang ke Gelvink Bay atau Teluk Cenderawasih.
Pinthe ikut serta dengan mereka yang kemudian
membawanya ke Waropen, bukan ke
Biak atau ke Numfor. Selanjutnya Pinthe tinggal di Waropen dengan orang-orang
Biak tersebut sampai beliau melahirkan
seorang anak laki-laki yang kemudian dikenal dengan nama Kurawesi. Masa
kecil sampai remajanya, Kurawesi tinggal dengan ibunya Pinthe di Waropen,
setelah remaja Kurawesi berpacaran dengan seorang gadis Waropen yang kemudian
dihamilinya sebelum menikah. Rupanya sejarah berulang, perbuatan yang memalukan
ini menyebabkan Pinthe menyuruh anaknya Kurawesi pulang ke om-om dan saudara-saudaranya
di pulau Waigeo.
Kurawesi pulang ke
Waigeo, selain ke keluarganya juga disertai niat untuk mengantar upeti kepada
sultan Tidore. Beliau berangkat dari Waropen diantar oleh orang-orang Biak,
mereka inilah yang pertama kali memberikan nama Kurawesi kepadanya. Nama Kurawesi terdiri dari dua kata, yaitu : kura dan wesi yang berasal dari bahasa Biak (kura = kita berangkat, wesi =
kepada mereka) yang artinya : kita pergi
kepada mereka, yang dimaksud ‘mereka’
disini adalah keluarga Kurawesi, yaitu ke Om-om dan saudara-saudaranya yang
tinggal di pulau Waigeo yaitu di kampung Wawiyai, tempat asal ibunya.
Kurawesi dan rombongan
berangkat dari Waropen menuju Waigeo, dari Waropen menyusuri pulau Biak sampai
ke pulau Numfor terus ke pulau Mansinam dan pulau Lemon di teluk Doreri
(Manokwari). Di pulau Mansinam, Kurawesi menangkap seekor burung cenderawasih
yang diberi nama ‘mambefor’, berasal dari kata ‘man-wefor’ (dalam bahasa Biak)
yang artinya ‘burung yang ditangkap’ (itulah sebabnya orang Beser atau
Betew-Biak di Raja Ampat menyebut burung cenderawasih dengan nama ‘mambefor’,
dan bukan ‘mambesak’). Kurawesi
bermaksud mempersembahkan burung tersebut sebagai upeti kepada sultan
Tidore agar beliau juga bisa mendapat gelar dari sultan, suatu ambisi yang
wajar di lingkungan masyarakat Papua pada saat itu karena gelar-gelar tersebut
(seperti : sengaji, gimakha/dimara, mayor, dan kapitan laut) dapat mengangkat
status sosial seseorang sekembalinya
dari Tidore.
Dari Mansinam, Kurawesi
dan rombongannya melanjutkan perjalanan sampai ke daerah Sausapor dan Werur.
Disini Kurawesi membeli seekor burung kasuari yang maksudnya akan diberikan
sebagai upeti kepada sultan Tidore bersama burung cenderawasih yang dibawa dari
pulau Mansinam (apakah kedua burung tersebut akhirnya sampai ketangan sultan
Tidore atau tidak, hal tersebut kurang jelas).
Selanjutnya, rombongan malanjutkan perjalanan sampai ke pulau Waigeo,
dimana Kurawesi bertemu dengan om-omnya di kampung Wawiyai. Beliau tinggal
disana bersama keluarga besarnya dari suku Omka, sambil belajar ilmu kanuragan
untuk pembekalan diri menuju Tidore. Kebiasaannya tiap hari selalu pergi
berburu ke hutan dengan menggunakan panah, itulah sebabnya dikemudian hari ia
terkenal sebagai seorang pemanah ulung. Keahlian inilah yang digunakan pada
saat bertempur di Jailolo membantu sultan Tidore dalam peperangan sultan Tidore
melawan sultan Jailolo. Selama tinggal di Waigeo, Kurawesi banyak terlibat
dalam pertempuran-pertempuran lokal melawan orang-orang Sawai yang hendak
berusaha menguasai kepulauan Raja Ampat. Beliau memimpin pasukannya yang
terdiri dari orang-orang Biak dan orang-orang Omka di Waigeo, mereka berperang
melawan orang-orang Sawai yang dikejarnya sampai ke Patani di Halmahera.
Berdasarkan pengalaman
perangnya inilah kemudian sultan Tidore meminta bantuannya untuk membantu
Tidore pada saat Kesultanan Tidore berperang melawan Kesultanan Jailolo dimana
Kesultanan Tidore memenangkan peperangan tersebut atas bantuan Kurawesi dan
pasukannya.
Setelah beberapa lama
tinggal di Wawiyai, Kurawesi pamit kepada Om-om dan keluarga besarnya di
Wawiyai untuk malanjutkan perjalanannya mengantar upeti kepada sultan Tidore
sesuai rencana semula waktu berangkat dari Waropen. Beliau dan rombongannya
keluar dari teluk Wawiyai menyusuri pesisir pantai pulau Waigeo ke arah barat
menuju kepulauan Sain. Di kepulauan Sain, rombongan Kurawesi bertemu dengan dua
orang Sawai, masing-masing bernama Odi dan Diki, keduanya (kemungkinan) merupakan utusan
sultan Tidore yang bertujuan mencari bantuan tentara ke tanah Papua untuk
membantu sultan Tidore yang sudah hampir kalah perang melawan sultan Jailolo
pada saat itu. Kedua orang inilah yang kemudian mengantar Kurawesi menghadap
sultan Tidore yang pada waktu itu dijabat oleh sultan Jamal ud-din, beliau
merupakan sultan pertama yang berkuasa di Tidore pada tahun 1495 – 1512. Nama
asli sultan Jamal ud-din adalah kaicil atau kolano (raja) Ciriliatu atau
disebut juga kaicil Tiliatu, yang kemudian bergelar Sultan Jamal ud-din setelah memeluk agama Islam. Pada masa
pemerintahan sultan inilah, menurut
De Clerk (1888), hidup
dan tinggal di Tidore seorang papua bernama Kurabesi (Kurawesi).
Rombongan Kurawesi bertolak dari kepulauan Sain menuju ke pulau
Sayafi di Patani dan terakhir sampai ke Tidore menghadap sultan Jamal ud-din.
Di depan Sultan, Kurawesi menyampaikan niatnya untuk membantu Sultan.
Sultan Jamal ud-din
menerima niat baik Kurawesi untuk membantu beliau berperang melawan kesultanan
Jailolo. Odi dan Diki seterusnya ikut membantu berperang dengan Kurawesi di
Jailolo bersama pasukan Sultan Tidore. Berkat bantuan Kurawesi dan rombongannya
yang terdiri dari orang-orang Biak, kesultanan Tidore memenangkan peperangan
melawan kesultanan Jailolo dan sebagai imbal jasa serta untuk menjalin hubungan
yang lebih erat dengan pihak Papua, sultan Tidore, yaitu sultan Jamal ud-din, mengawinkan
puteri bungsunya yang bernama Boki Thoibha dengan Kurawesi. Dilingkungan
masyarakat Beser/Betew, nama Boki Thoibha biasa disebut dengan nama Boki Taiba
atau Boki Tabai sampai sekarang. Kurawesi dan keluarga beserta para
pengikutnya tinggal di Tidore selama masa pemerintahan sultan Jamal ud-din yang
berlangsung dari tahun 1495 – 1512. Selama di Tidore, dari hasil perkawinannya
dengan Boki Thoibha, lahirlah empat orang anak laki-laki, masing-masing diberi nama dengan
gelar kolano (raja), yaitu kolano War, kolano Betani, kolano Dohar, dan yang
bungsu bernama kolano Mohamad.
Setelah sultan Jamal ud-din (mertua Kurawesi) meninggal pada
tahun 1512, sebagai penggantinnya adalah Sultan Syech Mansyur,
seorang keturunan Arab, yang memerintah di Tidore pada tahun 1512 – 1526. Pada
masa pemerintahan sultan Syech Mansur inilah, Kurawesi beserta istri dan anak-anaknya yaitu kolano War,
kolano Betani, kolano Dohar, dan kolano Mohammad, pulang ke Waigeo. Mereka
diantar oleh para pengikutnya (kelompok hulubalang) yang berasal dari Tidore.
Orang-orang Tidore pengikut Kurawesi dan istrinya Boki Thoibha, kebanyakan
berasal dari pulau Makian, mereka merupakan orang Makian Dalam yang berbahasa
Gani dan Taba. Mereka inilah yang kemudian oleh De Clerk disebut sebagai orang Maya. Istilah Maya kemudian diganti oleh van der Leeden dengan istilah Ma’ya
dari kata Makya atau
Makia/Makian. Istilah Ma’ya ini digunakan untuk membedakan dari nama suku Indian Maya di Amerika Selatan. Orang
Ma’ya ini sampai sekarang masih tinggal di Raja Ampat, dan berbicara dalam bahasa yang oleh peneliti-peneliti Belanda
disebut sebagai bahasa Ma’ya atau Makya
Sebelum kepulangan Kurawesi dan keluarganya ke tanah Papua,
diadakan suatu pertemuan antara sultan Syech Mansur dengan Kapitan Kurawesi dimana
pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan politik sebagai berikut :
1.
Kurawesi
diangkat oleh sultan sebagai Kapitan, yang kemudian dikenal
dengan nama Kapitan Kurawesi atau disebut juga Kapitan Waigeo. Sedangkan
Keempat orang anak Kurawesi, masing-masing diberi gelar Kolano atau Korano
atau Raja, yaitu Kolano War, Kolano Betani, Kolano
Dohar dan Kolano Muhammad.
2. Kurawesi diberi tugas oleh sultan
untuk mendirikan satu wilayah pemerin tahan
setingkat Gama di Papua. Disepakati pula bahwa keempat cucu sultan Jamal
ud-din, yaitu kalano War, kolano Betani, Kolano Dohar dan kolano Muhammad,
sepulangnya dari Tidore, masing-masing akan diberi wilayah kekuasaan di tanah
Papua. Itulah sebabnya wilayah Raja Ampat yang sekarang, pada masa kesultanan Tidore
dibagi menjadi dua, yaitu:
a)
wilayah
Papua Gamsio, yang merupakan wilayah kekuasaan
Kapitan Kurawesi,
terdiri dari sembilan daerah Omka yang meliputi : kepulauan Ayau, Waigeo Utara,
Waigeo Selatan, Pam-Meosmanggara, Kofiau, Wejim dan daerah daratan kepala burung pulau Irian
mulai dari Sausapor di utara sampai ke Teminabuan di pantai selatan. Wilayah
Papua Gamsio disebut juga “Sembilan Daerah Omka” karena Kurawesi sendiri
berasal dari suku Omka, penduduk asli pulau Waigeo. Sedangkan sembilan daerah
yang dimaksud adalah karena wilayah Papua Gamsio terdiri dari lima
sangaji dan empat Gimlaha.
b)
wilayah
Kolano Ngaruha/Kolano Fat atau wilayah Empat
Raja atau Raja Ampat, yang merupakan wilayah
kekuasaan Empat Kolano, terdiri dari daerah Teluk Kabui dengan pusat kekuasaan
di Wawiyai ditempati oleh Kolano War, daerah Salawati dengan
pusat kekuasaan di Samate,ditempati oleh Kolano Betani, daerah Misol Timur
dengan pusat kekuasaan di Lilinta ditempati oleh Kolano Dohar dan daerah
Misol Barat dengan pusat kekuasaan di Waigama ditempati oleh Kolano
Muhammad. Disinilah untuk pertama kali secara resmi digunakan istilah “Raja
Ampat”, jadi yang dimaksud dengan Raja Ampat/ Empat Raja yang
sesungguhnya adalah Empat orang anak Kurawesi tersebut di atas.
3. Batas wilayah antara Nyili Maluku
atau Nyili Gama dengan Nyili Papua atau Nyili Gulu-gulu, ditetapkan antara
pulau Gebe dan pulau Gag. Pulau Gebe termasuk penduduknya yang sebagian berasal
dari Biak, masuk wilayah Maluku Utara, sedangkan pulau Gag dan kepulauan Sain
termasuk pulau Wayak, masuk dalam wilayah Papua Gamsio.
4. Nyili Papua dibagi kedalam tiga
wilayah kekuasaan atau tiga Gama, yaitu (1) Wilayah Mafor Soa Raha, (2) Wilayah
Papua Papua Gamsio, dan (3) Wilayah Kolano Ngaruha/Kolano Fat atau Raja Ampat.
Penduduk dari ketiga wilayah ini harus membayar upeti sebagai tanda taklukan
kepada sultan Tidore setiap tahunnya.
Setelah mengadakan kesepakatan dengan sultan Tidore,
Kurawesi dan para pengikutnya tersebut pulang ke tanah Papua, melewati Patani, Gebe, terus ke pulau Waigeo dan tinggal di
kampung Wawiyai. Dari Wawiyai kemudian menyebar, sebagian mengikuti perpindahan
Kolano Betani ke Samete di Salawati, sebagian lagi ikut Kolano Dohar ke Lilinta
di Misol Timur, dan yang lain ikut Kolano Mohammad ke Waigama di Misol Barat.
No comments:
Post a Comment