Tuesday, November 11, 2014

Asal Mula Raja Ampat Menurut Orang Biak/Beser/Betew


Berikut adalah ceritera turun temurun, yang diceriterakan kembali oleh Drs. Amos Mambrasar, sulung dari Keluarga Besar Jamora (Ari Mambrasar Omka), mewakili keluarga besar Jamora dan Fakriba atau keluarga besar masyarakat Betew di kampung Awaiwepyar, kampung pertama orang Betew di pulau Gam, sebuah pulau yang terletak di muara teluk Wawiyai di pulau Waigeo. Kisah ini selama berabad-abad ditutupi dan tidak pernah diceriterakan kepada orang asing, hanya diceriterakan secara turun temurun dari sulung ke sulung dilingkungan keluarga besar Betew Omka, terutama dilingkungan keluarga besar Jomora dan Fakriba. Jamora dan Fakriba, keduanya masih berkerabat dekat, sama-sama berasal dari kampung Wawiyai, dari suku Omka. Moyang dari kedua bersaudara ini berasal dari keluarga besar Omka di teluk Manyalibit, tepatnya di kampung Waifoi. Kedua moyang inilah yang pertama kali mendirikan kampung Awaiwepyar bersama orang Omka dari Wawiyai, orang Biak dan orang Waropen. Ketiga suku ini berkolaborasi membentuk satu perkumpulan antar suku yang disebut kelompok Be-Oser (bahasa Biak), yang artinya kelompok Bersatu,  yang kemudian dikenal dengan nama Beser atau Betew (dalam lafal bahasa Omka).  Kelompok Betew ini berkembang-biak dan menduduki wilayah Waigeo barat, kepulauan Pam, pulau Kofiau, Wejim bahkan sampai ke pulau Misool.
Tujuan utama dibentuknya kelompok ini adalah untuk menjaga keutuhan wilayah Papua Gamsio yang waktu itu merupakan salah satu Gama (wilayah kekuasaan) dari tiga Gama yang dibentuk oleh kesultanan Tidore di wilayah Papua, yaitu Kolano Fat, Papua Gamsio dan Mafor Soa Raha. Ada tujuh bersaudara Omka yang bermigrasi dari teluk Manyalibit, di  kampung Waifoi, pindah ke arah barat dan akhirnya membangun sebuah kampung baru di Wawiyai (kampung Wawiyai yang sekarang), terletak diteluk Kabui. Dari ketujuh bersaudara tersebut, enam diantaranya adalah laki-laki, sedangkan yang paling bungsu merupakan satu-satunya perempuan diantara ketujuh bersaudara tersebut, bernama Pinthe atau Pintake. Setelah membangun kampung Wawiyai, Jamora dan Fakriba bersama kelompok Be-Oser  membangun sebuah kampung baru di pulau Gam, yaitu kampung Awaiwepyar yang merupakan kampung pertama orang Beser atau Betew. Berikut adalah garis besar kisah keluarga yang diceriterakan secara turun-temurun dari sulung ke sulung dilingkungan keluarga besar Jamora dan Fakriba, atau versi orang Betew, tentang asal-mula Raja Ampat.  
Pada zaman dahulu kala hidup dan tinggal di pulau Waigeo, tepatnya di kampung Wawiyai di teluk Wawiyai yang sekarang, tujuh orang bersaudara dari suku Omka (mereka berasal dari Waifoi di teluk Manyilibit) Dari tujuh bersaudara tersebut, enam diantaranya adalah laki-laki, sedangkan sibungsu yang terakhir adalah perempuan satu-satunya bernama Pinthe atau Pintake, dikenal dengan panggilan nenek Pinthe dilingkungan masyarakat Betew yang sekarang. Suatu hari diketahui bahwa Pinthe telah hamil padahal dia belum bersuami, dengan kata lain, hamil diluar nikah. Kejadian ini menggemparkan seisi rumah dan sudah tentu sangat memalukan bagi keluarga besar, sehingga tanpa melalui suatu musyawarah yang baik, Pinthe diusir oleh saudara-saudaranya dari kampung Wawiyai. Beliau naik sebuah sampan kecil (menurut ceritera keluarga, Pinthe ditempatkan dalam sebuah  piring) keluar dari teluk Kabui menuju muara. Sesampainya dimuara ia bertemu dengan orang-orang Biak yang baru datang dari arah Barat hendak pulang ke Gelvink Bay atau Teluk Cenderawasih. Pinthe ikut serta dengan mereka yang kemudian  membawanya ke Waropen,  bukan ke Biak atau ke Numfor. Selanjutnya Pinthe tinggal di Waropen dengan orang-orang Biak tersebut sampai beliau melahirkan  seorang anak laki-laki yang kemudian dikenal dengan nama Kurawesi. Masa kecil sampai remajanya, Kurawesi tinggal dengan ibunya Pinthe di Waropen, setelah remaja Kurawesi berpacaran dengan seorang gadis Waropen yang kemudian dihamilinya sebelum menikah. Rupanya sejarah berulang, perbuatan yang memalukan ini menyebabkan Pinthe menyuruh anaknya Kurawesi pulang ke om-om dan saudara-saudaranya di pulau Waigeo.
Kurawesi pulang ke Waigeo, selain ke keluarganya juga disertai niat untuk mengantar upeti kepada sultan Tidore. Beliau berangkat dari Waropen diantar oleh orang-orang Biak, mereka inilah yang pertama kali memberikan nama Kurawesi kepadanya. Nama Kurawesi terdiri dari dua kata, yaitu : kura dan wesi yang berasal dari bahasa Biak (kura = kita berangkat, wesi = kepada mereka) yang artinya : kita pergi kepada mereka, yang dimaksud ‘mereka’ disini adalah keluarga Kurawesi, yaitu ke Om-om dan saudara-saudaranya yang tinggal di pulau Waigeo yaitu di kampung Wawiyai, tempat asal ibunya.
Kurawesi dan rombongan berangkat dari Waropen menuju Waigeo, dari Waropen menyusuri pulau Biak sampai ke pulau Numfor terus ke pulau Mansinam dan pulau Lemon di teluk Doreri (Manokwari). Di pulau Mansinam, Kurawesi menangkap seekor burung cenderawasih yang diberi nama ‘mambefor’, berasal dari kata ‘man-wefor’ (dalam bahasa Biak) yang artinya ‘burung yang ditangkap’ (itulah sebabnya orang Beser atau Betew-Biak di Raja Ampat menyebut burung cenderawasih dengan nama ‘mambefor’, dan bukan ‘mambesak’). Kurawesi  bermaksud mempersembahkan burung tersebut sebagai upeti kepada sultan Tidore agar beliau juga bisa mendapat gelar dari sultan, suatu ambisi yang wajar di lingkungan masyarakat Papua pada saat itu karena gelar-gelar tersebut (seperti : sengaji, gimakha/dimara, mayor, dan kapitan laut) dapat mengangkat status sosial seseorang  sekembalinya dari Tidore.
Dari Mansinam, Kurawesi dan rombongannya melanjutkan perjalanan sampai ke daerah Sausapor dan Werur. Disini Kurawesi membeli seekor burung kasuari yang maksudnya akan diberikan sebagai upeti kepada sultan Tidore bersama burung cenderawasih yang dibawa dari pulau Mansinam (apakah kedua burung tersebut akhirnya sampai ketangan sultan Tidore atau tidak, hal tersebut kurang jelas).  Selanjutnya, rombongan malanjutkan perjalanan sampai ke pulau Waigeo, dimana Kurawesi bertemu dengan om-omnya di kampung Wawiyai. Beliau tinggal disana bersama keluarga besarnya dari suku Omka, sambil belajar ilmu kanuragan untuk pembekalan diri menuju Tidore. Kebiasaannya tiap hari selalu pergi berburu ke hutan dengan menggunakan panah, itulah sebabnya dikemudian hari ia terkenal sebagai seorang pemanah ulung. Keahlian inilah yang digunakan pada saat bertempur di Jailolo membantu sultan Tidore dalam peperangan sultan Tidore melawan sultan Jailolo. Selama tinggal di Waigeo, Kurawesi banyak terlibat dalam pertempuran-pertempuran lokal melawan orang-orang Sawai yang hendak berusaha menguasai kepulauan Raja Ampat. Beliau memimpin pasukannya yang terdiri dari orang-orang Biak dan orang-orang Omka di Waigeo, mereka berperang melawan orang-orang Sawai yang dikejarnya sampai ke Patani di Halmahera.
Berdasarkan pengalaman perangnya inilah kemudian sultan Tidore meminta bantuannya untuk membantu Tidore pada saat Kesultanan Tidore berperang melawan Kesultanan Jailolo dimana Kesultanan Tidore memenangkan peperangan tersebut atas bantuan Kurawesi dan pasukannya.
Setelah beberapa lama tinggal di Wawiyai, Kurawesi pamit kepada Om-om dan keluarga besarnya di Wawiyai untuk malanjutkan perjalanannya mengantar upeti kepada sultan Tidore sesuai rencana semula waktu berangkat dari Waropen. Beliau dan rombongannya keluar dari teluk Wawiyai menyusuri pesisir pantai pulau Waigeo ke arah barat menuju kepulauan Sain. Di kepulauan Sain, rombongan Kurawesi bertemu dengan dua orang Sawai, masing-masing bernama Odi dan Diki,  keduanya (kemungkinan) merupakan utusan sultan Tidore yang bertujuan mencari bantuan tentara ke tanah Papua untuk membantu sultan Tidore yang sudah hampir kalah perang melawan sultan Jailolo pada saat itu. Kedua orang inilah yang kemudian mengantar Kurawesi menghadap sultan Tidore yang pada waktu itu dijabat oleh sultan Jamal ud-din, beliau merupakan sultan pertama yang berkuasa di Tidore pada tahun 1495 – 1512. Nama asli sultan Jamal ud-din adalah kaicil atau kolano (raja) Ciriliatu atau disebut juga kaicil Tiliatu, yang kemudian bergelar Sultan Jamal ud-din setelah memeluk agama Islam. Pada masa pemerintahan sultan inilah, menurut De Clerk (1888), hidup dan tinggal di Tidore seorang papua bernama Kurabesi (Kurawesi).
Rombongan Kurawesi  bertolak dari kepulauan Sain menuju ke pulau Sayafi di Patani dan terakhir sampai ke Tidore menghadap sultan Jamal ud-din. Di depan Sultan, Kurawesi menyampaikan niatnya untuk membantu Sultan.
Sultan Jamal ud-din menerima niat baik Kurawesi untuk membantu beliau berperang melawan kesultanan Jailolo. Odi dan Diki seterusnya ikut membantu berperang dengan Kurawesi di Jailolo bersama pasukan Sultan Tidore. Berkat bantuan Kurawesi dan rombongannya yang terdiri dari orang-orang Biak, kesultanan Tidore memenangkan peperangan melawan kesultanan Jailolo dan sebagai imbal jasa serta untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan pihak Papua, sultan Tidore, yaitu sultan Jamal ud-din, mengawinkan puteri bungsunya yang bernama Boki Thoibha dengan Kurawesi. Dilingkungan masyarakat Beser/Betew, nama Boki Thoibha biasa disebut dengan nama Boki Taiba atau Boki Tabai sampai sekarang. Kurawesi dan keluarga beserta para pengikutnya tinggal di Tidore selama masa pemerintahan sultan Jamal ud-din yang berlangsung dari tahun 1495 – 1512. Selama di Tidore, dari hasil perkawinannya dengan Boki Thoibha, lahirlah empat orang anak laki-laki, masing-masing diberi nama dengan gelar kolano (raja), yaitu kolano War, kolano Betani, kolano Dohar, dan yang bungsu bernama kolano Mohamad.
Setelah sultan Jamal ud-din (mertua Kurawesi) meninggal pada tahun 1512, sebagai penggantinnya adalah Sultan Syech Mansyur, seorang keturunan Arab, yang memerintah di Tidore pada tahun 1512 – 1526. Pada masa pemerintahan sultan Syech Mansur inilah, Kurawesi beserta istri dan anak-anaknya yaitu kolano War, kolano Betani, kolano Dohar, dan kolano Mohammad, pulang ke Waigeo. Mereka diantar oleh para pengikutnya (kelompok hulubalang) yang berasal dari Tidore. Orang-orang Tidore pengikut Kurawesi dan istrinya Boki Thoibha, kebanyakan berasal dari pulau Makian, mereka merupakan orang Makian Dalam yang berbahasa Gani dan Taba. Mereka inilah yang kemudian oleh De Clerk disebut sebagai orang Maya. Istilah Maya kemudian diganti oleh van der Leeden dengan istilah Ma’ya dari kata Makya atau Makia/Makian. Istilah Ma’ya ini digunakan untuk membedakan dari nama suku Indian Maya di Amerika Selatan. Orang Ma’ya ini sampai sekarang masih tinggal di Raja Ampat, dan berbicara dalam  bahasa yang oleh peneliti-peneliti Belanda disebut sebagai bahasa Ma’ya atau Makya
Sebelum kepulangan Kurawesi dan keluarganya ke tanah Papua, diadakan suatu pertemuan antara sultan Syech Mansur dengan Kapitan Kurawesi dimana pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan politik sebagai berikut :
1.        Kurawesi diangkat oleh sultan sebagai Kapitan, yang kemudian dikenal dengan nama Kapitan Kurawesi atau disebut juga Kapitan Waigeo. Sedangkan Keempat orang anak Kurawesi, masing-masing diberi gelar Kolano atau Korano atau Raja, yaitu Kolano War, Kolano Betani, Kolano Dohar dan Kolano Muhammad.
2.    Kurawesi diberi tugas oleh sultan untuk mendirikan satu wilayah pemerin tahan  setingkat Gama di Papua. Disepakati pula bahwa keempat cucu sultan Jamal ud-din, yaitu kalano War, kolano Betani, Kolano Dohar dan kolano Muhammad, sepulangnya dari Tidore, masing-masing akan diberi wilayah kekuasaan di tanah Papua. Itulah sebabnya wilayah Raja Ampat yang sekarang, pada masa kesultanan Tidore dibagi menjadi dua, yaitu:
a)      wilayah Papua Gamsio, yang merupakan wilayah kekuasaan Kapitan Kurawesi, terdiri dari sembilan daerah Omka yang meliputi : kepulauan Ayau, Waigeo Utara, Waigeo Selatan, Pam-Meosmanggara, Kofiau, Wejim dan  daerah daratan kepala burung pulau Irian mulai dari Sausapor di utara sampai ke Teminabuan di pantai selatan. Wilayah Papua Gamsio disebut juga “Sembilan Daerah Omka” karena Kurawesi sendiri berasal dari suku Omka, penduduk asli pulau Waigeo. Sedangkan sembilan daerah yang dimaksud adalah karena wilayah Papua Gamsio terdiri dari lima sangaji dan empat Gimlaha.
b)      wilayah Kolano Ngaruha/Kolano Fat atau wilayah Empat Raja atau Raja Ampat, yang merupakan wilayah kekuasaan Empat Kolano, terdiri dari daerah Teluk Kabui dengan pusat kekuasaan di Wawiyai ditempati oleh Kolano War, daerah Salawati dengan pusat kekuasaan di Samate,ditempati oleh Kolano Betani, daerah Misol Timur dengan pusat kekuasaan di Lilinta ditempati oleh Kolano Dohar dan daerah Misol Barat dengan pusat kekuasaan di Waigama ditempati oleh Kolano Muhammad. Disinilah untuk pertama kali secara resmi digunakan istilah “Raja Ampat”, jadi yang dimaksud dengan Raja Ampat/ Empat Raja yang sesungguhnya adalah Empat orang anak Kurawesi tersebut di atas.
3.    Batas wilayah antara Nyili Maluku atau Nyili Gama dengan Nyili Papua atau Nyili Gulu-gulu, ditetapkan antara pulau Gebe dan pulau Gag. Pulau Gebe termasuk penduduknya yang sebagian berasal dari Biak, masuk wilayah Maluku Utara, sedangkan pulau Gag dan kepulauan Sain termasuk pulau Wayak, masuk dalam wilayah Papua Gamsio.
4.    Nyili Papua dibagi kedalam tiga wilayah kekuasaan atau tiga Gama, yaitu (1) Wilayah Mafor Soa Raha, (2) Wilayah Papua Papua Gamsio, dan (3) Wilayah Kolano Ngaruha/Kolano Fat atau Raja Ampat. Penduduk dari ketiga wilayah ini harus membayar upeti sebagai tanda taklukan kepada sultan Tidore setiap tahunnya.
Setelah mengadakan kesepakatan dengan sultan Tidore, Kurawesi dan para pengikutnya tersebut pulang ke tanah Papua, melewati Patani, Gebe, terus ke pulau Waigeo dan  tinggal di kampung Wawiyai. Dari Wawiyai kemudian menyebar, sebagian mengikuti perpindahan Kolano Betani ke Samete di Salawati, sebagian lagi ikut Kolano Dohar ke Lilinta di Misol Timur, dan yang lain ikut Kolano Mohammad ke Waigama di Misol Barat.

No comments:

Post a Comment