Thursday, November 18, 2010

REVITALISASI MITOS GUNUNG SIKLOP (CYCLOOP): SEBUAH ALTERNATIF KONSERVASI DANAU SENTANI

REVITALISASI MITOS GUNUNG SIKLOP (CYCLOOP):
SEBUAH ALTERNATIF KONSERVASI DANAU SENTANI
(sriyono)
Demi air…
Yang memancar dari pori-pori bumi
Ajari aku membaca isyarat-Mu
(Rmn. Kindy)

1. PENDAHULUAN
Berbicara tentang sastra lisan berarti kita berbicara tentang identitas suatu masyarakat. Kesastraan suatu masyarakat tidak lain adalah rekaman pikiran, renungan, dan nilai–nilai masyarakat pada masa tertentu. Gagasan atau nilai–nilai itu menjadi landasan perilaku masyarakat yang kehadirannya masih dapat diamati dan dipahami. Hal tersebut, misalnya, terwujud dalam bentuk doa, upacara-upacara adat, upacara keagamaan, cerita rakyat, dan adat - istiadat.
Bentuk-bentuk sastra lisan yang ada dalam masyarakat menurut Tarigan dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk, yakni: bahasa rakyat (folkspeech), seperti: logat, julukan, pangkat tradisional, dan gelar kebangsawanan, ungkapan, sindiran, dan bahasa rahasia. Ungkapan tradisional, seperti: peribahasa, pepatah, dan pemeo, ibarat serta kata-kata arif. Pertanyaan tradisional, seperti: teka-teki. Puisi rakyat, seperti: ratapan kematian dan ratapan perpisahan. Cerita prosa rakyat, seperti: mite, legenda, dan dongeng. Bentuk sastra lisan yang lainnya adalah nyanyian rakyat (folk song).
Tiga istilah yang sering kita dengar atau kita baca, berkaitan dengan masalah yang akan kita bicarakan ini adalah mite, mitologi, dan mitos. Mereka yang awam dengan pengetahuan makna bahasa, tentu ketiga kata atau istilah itu dianggapnya sama saja artinya. Sebagai manusia yang diberi seperangkat pengetahuan tentang makna sebuah bahasa, tentu kita pun mencoba mendalami dan memahami pengertian ketiga istilah tersebut. Untuk memudahkan memahami ketiga istilah tersebut mari kita buka saja Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang juga sudah daring (dalam jejaring), dan Ensiklopedi Sastra Indonesia (ESI).
Kata “mite” dalam KBBI (2008:921) berarti “cerita yang mempunyai latar belakang sejarah yang dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa” atau “cerita tradisional, bukan cerita zaman sekarang dan diwariskan dari generasi ke generasi” (ESI, 2004:514). Sementara itu, kata “mitologi” dalam KBBI (2008:922) berarti “ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus di suatu kebudayaan”. Sementara itu, Dananjaya (2002:50) menyebutkan mite sebagai cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau.
Kata “mitos” dalam KBBI (2008:922) berarti “cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib”. Sementara itu, dalam Kamus Besar Melayu Nusantara (2003:1802) disebutkan bahwa “mitos” adalah “1) cerita zaman dahulu yang dianggap benar, terutamanya yang mengandungi unsur-unsur, konsep, atau kepercayaan tentang sejarah awal kewujudan sesuatu suku bangsa, kejadian-kejadian alam, dan sebagainya; 2) cerita sesuatu suku bangsa mengenai dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal-usul alam semesta, manusia, dan bangsa itu sendiri yang mengandungi arti mendalam yang diungkapkan secara gaib; 3) cerita tentang seseorang atau sesuatu yang tidak benar atau direka-reka; dongeng”
Dari penjelasan di atas diperoleh pemahaman mengenai perbedaan dan persamaan makna mite, mitos, dan mitologi. Makna kata mite lebih menekankan pada cerita atau kisah masa lalu, masa purba, dengan latar belakang sejarah dan kejadian-kejadian ajaibnya. Makna kata mitos, meskipun juga cerita masa lalu, lebih menekankan pada tokoh atau bendanya yang dianggap keramat, memiliki tuah, suci, sakti, sakral, dan seperti dewa. Sementara itu, kata mitologi lebih menekankan pada kajian, ilmu pengetahuan tentangnya, atau kumpulan mite atau mitos.

2. FUNGSI MITOS
Mitos tidak hanya sebuah reportase tentang apa yang telah terjadi saja, tetapi mitos itu memberikan semacam arah kepada kelakuan manusia dan digunakan sebagai pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos manusia mengambil bagian (berpartisipasi). Partisipasi manusia dalam alam pikiran mistis ini dilukiskan sederhana sebagai berikut: terdapat subjek, yaitu manusia (S) yang dilingkari oleh dunia, objek (O), tetapi subjek itu tidak bulat sehingga daya-daya kekuatan alam dapat menerobosnya. Manusia (S) itu terbuka dan dengan demikian berpartisipasi dengan daya-daya kekuatan alam (O). Partisipasi tersebut berarti bahwa manusia belum mempunyai identitas atau individualitas yang bulat, masih sangat terbuka dan belum merupakan suatu subjek yang berdikari sehingga dunia sekitarnya pun belum dapat disebut objek (O) yang sempurna dan utuh. Fungsi-fungsi mitos adalah: pertama, menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Kedua, memberi jaminan bagi masa kini bahwa usaha manusia dalam mengukir sejarah hidupnya akan terus terjadi dan akan ada keberhasilan yang terus berulang-ulang (retardasi). Ringkasnya mitos berfungsi menampakkan kekuatan-kekuatan, menjamin hari ini, memberi pengetahuan tentang dunia bahwa manusia berada dalam lingkaran kekuatan alam. Di sinilah kemudian tampak geliat tarik menarik antara imanensi dan transendensi. Jangan salah, ketika dalam alam pikiran mitis pun manusia telah memiliki norma/ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia. Norma atau ketentuan inilah yang kemudian akan terus berubah entah mengalami kemajuan ataupun dekandensi. Sebut saja dahulu ada ketentuan anak banyak maka banyak pula rezekinya. Orang zaman dulu tak malu memiliki banyak anak. Namun, seiring bergesernya peradaban banyak anak menjadi suatu aib bahkan dilarang oleh pemerintah. Kemudian muncullah tindakan abortus. Begitulah, norma pun akan berjalan seiring perkembangan manusia dalam berpikirnya.
Kata “mitos” lekat pula dengan kata “magi”. Namun keduanya sangat bertentangan. Mitos lebih dekat dengan suatu pujian religius kepada sang transenden, sedangkan magi lebih dekat dengan kekaguman kepada diri sendiri (sang imanen). Ketegangan ini juga akan tampak dalam fenomena budaya. Lihat saja patung-patung zaman Yunani kuno yang sebelumnya didominasi oleh patung dewa-dewi tradisional akan beralih didominasi oleh para raja yang mengaku sebagai dewa demi mengultuskan dirinya sendiri.
3. CAGAR ALAM CYCLOOP, RIWAYATMU KINI
GUNUNG CYCLOOP, DOBONSOLO, ROBONG HOLO, DI JAYAPURA KINI TELAH DIAMBANG KEHANCURAN. MUNGKINKAH INI AWAL DARI “TUTUP USIANYA” CYCLOOP? Pegunungan Cycloop ditetapkan menjadi cagar alam pada Tahun 1995. Digunakan pula sebagai pusat penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Di sana terdapat berbagai jenis tumbuhan, hewan endemik dan serangga khas Papua. Sayangnya, dari waktu ke waktu, cagar alam ini semakin berada diambang “tutup usia”.
Cycloop merupakan nama yang diberikan oleh seorang tentara kolonial. Cycloop atau Robong Holo mempunyai makna yang berarti daerah atau hutan air (bahasa Sentani). Secara psikis nama ini bertujuan untuk membangkitkan niat menjaga daerah pegunungan Robong Holo dari kerusakan hutan yang akan berdampak terhadap siklus air. Kerusakan ini memang telah terasa memasuki paruh 2000 an, hutan di wilayah ini telah dibabat habis.
Perubahan dan kerusakan hutan di Cycloop telah semakin mengkhawatirkan. Jika tidak ditangani secara serius, maka kerusakan hutan di Cycloop akan menggangu kehidupan masyarakat Sentani yang tinggal di kawasan kaki Gunung Cycloop. Apabila tidak ditangani secara serius dengan peraturan dan pelaksanaan yang sungguh-sungguh, kerusakan Gunung Cycloop ini akan menjadi ancaman serius bagi Kota Sentani. Kerusakan lingkungan hutan ini sudah terasa pada hampir semua sungai. Airnya mulai mengering dan meluap saat terjadi hujan. Dalam beberapa waktu, meski hujan sebentar, air yang meluap telah membuat sumber air minum keruh oleh endapan lumpur. Hal ini akibat aktivitas penebangan hutan dan pembukaan kebun secara liar di kawasan Cagar Alam Gunung Cycloop. Menurunnya tingkat kejernihan air bersih serta berkurangnya volume sumber air di daerah hilir, di Sentani, diakibatkan adanya potensi kerusakan lingkungan alam di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS), utamanya di kawasan Cagar Alam Cycloop Sentani.
DAS adalah suatu wilayah daratan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut, yang pengairannya sangat tergantung aktivitas daratan. Jika DAS kondisinya telah mengalami kerusakan, maka yang terjadi adalah titik-titik potensi penampungan atau penyimpanan air berkurang. Akibat yang terjadi adalah penurunan sumber-sumber air di kawasan hilir.
Menurut anggota Forum DAS Pemprov Papua, J.P Satsuitubun mengungkapkan, berdasarkan data yang diperoleh, luas lahan kritis di Sub. DAS Sentani (Hubay) adalah 819 ha atau 49,3% dari luas Sub DAS. Untuk mengatasi lahan kritis itu, berbagai upaya telah dilakukan tetapi hasilnya belum maksimal. “Kekeruhan air sungai Hubay atau Jembatan Dua Sentani juga dipicu oleh aktivitas pendulangan emas di bagian Sub. DAS serta penggalian batu pada lereng-lereng gunung,” sebut Satsuitubun dalam presentasinya.
Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jayapura, Gading Butar-butar mengatakan, saat ini kawasan Pegunungan Cycloop yang menjadi sumber mata air bagi PDAM guna memenuhi kebutuhan air bersih di seluruh Kota Jayapura dan sekitarnya sudah kritis. “Kritis dalam hal ini maksudnya adalah kondisi alam dan hutannya yang sudah banyak yang dirusak oleh oknum yang bermukim di sekitar areal tersebut,” kata Gading di Jayapura.
Ia menjelaskan, saat ini kawasan yang sebenarnya merupakan areal konservasi tersebut telah berubah menjadi permukiman warga yang berdampak pada dibukanya lahan baru sehingga mengakibatkan sumber air menjadi terganggu.Kebanyakan warga yang bermukim di areal Gunung Cycloop, yang membongkar hutan, adalah mereka yang sehari-harinya bekerja sebagai petani. “Menurut data terakhir yang kami miliki, saat ini tercatat kurang lebih 5.230 orang yang sudah bermukim di sana,” ujarnya.
Gading mengungkapkan, jumlah debit air yang ada di Gunung Cycloop sebenarnya hanya sedikit, tetapi sangat terbantu dengan banyaknya pepohonan di sana yang berfungsi menyimpan air, sehingga selama ini bisa dioptimalkan untuk mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat. Sekarang ini, pepohonan sudah banyak yang ditebang, kalau kondisi ini terus terjadi, dikhawatirkan masyarakat akan kehilangan sumber air bersih utama selama ini. Dari 38 sungai kecil yang ada di Gunung Cycloop, saat ini yang terus mengalirkan air tinggal 4 sungai saja. “Ini sudah jadi satu bukti nyata yang sangat membahayakan,” ungkap Gading. Gading meminta perhatian semua pihak terutama Pemerintah Daerah Papua, dan Kabupaten Jayapura, untuk segera memberikan pemahaman atau relokasi kepada warga yang bermukim di kaki Gunung Cycloop. “Bagaimana penataan kota, ini menjadi sangat berperan penting,” ujarnya.
Untuk mengatasi kritisnya Cycloop, pernah sekali waktu, pada pertengahan Agustus kemarin, sebagai wujud kepedulian terhadap kondisi Cagar Alam Cycloop, sejumlah mahasiswa Universitas Yapis Papua, Kampus Sentani Angkatan VI Tahun Akademik 2009/2010 mengadakan penghijauan. Mereka menanam 500 pohon rambutan di lereng Gunung Cycloop. Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang diikuti 78 mahasiswa dari beberapa Fakultas Uniyap seperti, Hukum, Ekonomi, Fisip dan Agama Islam. Menurut Ketua Panitia KKL, Yosep Jek, kegiatan KKL yang diikuti Mahasiswa semester VII tersebut bertujuan untuk membangkitkan kembali Cycloop yang dilanda masalah. “Kita berharap dengan gerakan mahasiswa menanam pohon ini, warga lain di Jayapura juga dapat mengikutinya. Ini bertujuan untuk melindungi dan menyegarkan kembali Cycloop yang telah rusak,” ujarnya.
Penyegaran kembali Cycloop memang perlu sedini mungkin dilakukan. Jika tidak, ancaman atasnya tentu tidak akan berkesudahan. Sudah menjadi tanggung jawab dari semua warga di Papua untuk melindungi Cycloop dari kerusakan hutan.

4. DANAU SENTANI TEMPAT SAMPAH RAKSASA
Alam kebanggaan Papua, Danau Sentani di Jayapura perlahan namun pasti sedang menuju kerusakannya. Danau dengan pulau-pulau kecil di dalamnya ini terancam oleh sedimentasi/pendangkalan akibat aktivitas di Pegunungan Cagar Alam Cycloops, sampah rumah tangga, hingga sampah bahan beracun berbahaya.
"Danau Sentani ini juga sudah mirip dengan septictank besar, tempat pembuangan kotoran manusia yang tinggal di tepi-tepi danau," ujar Franz Albert Yoku, Ketua Umum Badan Otorita Adat Sentani (BOAS), Selasa (19/1/2010) di Sentani Kabupaten Jayapura Papua.
Ini diungkapkannya dalam peresmian BOAS yang dilakukan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Franz menuturkan, kondisi Danau Sentani semakin terancam oleh pertambahan penduduk yang tidak memiliki keterampilan. Ini membuat warga cenderung mengambil cara gampang untuk mengeksploitasi alam.
Franz Albert menargetkan agar penduduk Sentani memperoleh pendidikan serta keahlian untuk mengelola dan menjaga alamnya. Lebih lanjut, ia pun berusaha agar Pegunungan Cycloop bebas dari permukiman penduduk, ladang/kebun, dan berbagai aktivitas manusia.
Aktivitas di Cycloop menyebabkan tanah tergerus sehingga turun ke sungai dan terbawa ke Danau Sentani. Kondisi yang berlangsung terus menerus ini dikhawatirkan menyebabkan pendangkalan danau. Sementara itu, Gubernur Papua Barnabas Suebu meminta agar BOAS menjaga adat istiadat serta budaya dan kearifan lokal masyarakat Sentani.
Bas yang juga asli dari suku di Sentani mengatakan nilai-nilai moral, sosial, serta etika bermasyarakat dalam masyarakat adat harus diperhatikan. Ia mencontohkan, kini banyak anak-anak suku di Sentani yang tak bisa lagi berbicara dalam bahasa lokal suku.
"Ini yang danung sipat menjadi kepunahan," ujar Bas. Ihwal kerusakan alam Hutan Lindung Cycloop, Bas mengatakan Pemprov Papua telah menyiapkan strategi pembangunan kota baru yang menjauhi Cycloop yaitu ke arah selatan-barat Danau Sentani. Ini diharapkan dapat mengendalikan kegiatan ke arah Cycloop.
5. REVITALISASI MITOS: SEBUAH ALTERNATIF KONSERVASI

A. Konsep Konservasi dalam Cerita Rakyat Sentani

1. Kesinambungan Hubungan antara Asal Mula Danau Sentani dengan Gunung Siklop

Dalam pendahuluan telah disebutkan bahwa sastra lisan merupakan identitas suatu masyarakat. Kesastraan suatu masyarakat tidak lain adalah rekaman pikiran, renungan, dan nilai–nilai masyarakat pada masa tertentu. Gagasan atau nilai–nilai itu menjadi landasan perilaku masyarakat yang kehadirannya masih dapat diamati dan dipahami. Hal tersebut, misalnya, terwujud dalam bentuk doa, upacara-upacara adat, upacara keagamaan, cerita rakyat, dan adat istiadat.
Dari beberapa sastra lisan dalam bentuk prosa mengenai asal-usul terjadinya Danau Sentani (Fatubun: 2000), telah ditemukan adanya konsep (pemahaman) tentang Gunung Cycloop sebagai sumber mata air. Berikut adalah petikan dari beberapa versi asal mula terjadinya Danau Sentani:
Terjadinya Danau Sentani (versi 1)
Konon dulu di Sentani tidak ada air. Masyarakat hanya minum air hujan. Wali dan Hoboye yang berasal dari kampung Yomokowaliyau berusaha mencari air ke Gunung Siklop,ke tempat Holodoponoe, penghuni gunung itu. Setelah mengutarakan maksud dan menyerahkan gelang berharga (eba) kepadanya, mereka diberi air dengan pesan agar disiram di halaman rumah dan dijual kepada orang lain yang datang dari tempat jauh. Ia juga berpesan agar air itu tidak diletakkan di tanah dalam perjalanan pulang……………….
(Fatubun: 28)

Asal Mula Danau Sentani (versi 2)
Konon,belum ada Danau Sentani. Ada sebuah keluarga yang cukup bahagia tinggal di Gunung Siklop. Suatu hari sang anak mendaki Gunung Siklop. Ia bertemu seekor ular. Ia kembali dan bercerita kepada ayahnya tentang hal itu. Kemudian, ayah dan anak tersebut pergi mendaki. Mereka bertemu dengan ular itu, namun ia telah berubah jumlah kepalanya sesuai dengan jumlah gunung yang didatanginya, dari satu sampai tujuh. Di gunung ke-tujuh sang ayah mengambil parang dan memotong ular tersebut. Namun, tiba-tiba datang angin kencang. Hari menjadi gelap, dan turunlah banjir besar. Banjir itu menghanyutkan ayah, ibu, serta anak-anaknya. Kemudian banjir itu mengumpul membentuk sebuah danau besar…….
(Fatubun: 29)

Asal Mula Danau Sentani (versi 3)
Dahulu, tempat yang sekarang menjadi Danau Sentani adalah sebuah dataran rendah yang dipenuhi hutan belantara. Beberapa orang tinggal di tempat itu. Mereka sangat menderita, terlebih pada musim kemarau karena tidak ada air. Mereka memutuskan untuk mendaki Gunung Siklop karena mereka percaya bahwa di atas gunung itu ada sumber mata air. Ternyata, dugaan mereka benar. Setelah sampai di atas, mereka diberi air oleh penghuni gunung tersebut yang menampakkan diri sebagai orang yang sangat tua…
(Fatubun: 30)

Asal Mula Danau Sentani (versi 4)
Pada Jaman dahulu ada sebuah negeri yang terletak di sebuah dataran yang luas. Negeri itu dikelilingi oleh pegunungan dengan puncak yang tinggi disebut Dobonsolo (sebelah utara) dan Ebungholo (sebelah selatan). Negeri ini dipimpin seorang bangsawan dan hartawan yang beristrikan wanita keturunan dewa pembawa air dari puncak Gunung Dobonholo (sekarang Dofonsolo).
Ketika pergi ke kebun, mereka kekurangan air untuk diminum. Bahkan anaknya sampai pingsan. Setelah sadar, anak itu pergi ke puncak gunung Dobonholo hendak meminta air kepada kakeknya (dewa pembawa air)………………….
(Fatubun: 31)

Asal Mula Danau Sentani (versi 5)
Pada Zaman dahulu orang Sentani hidup di sebuah padang yang kini sebuah danau. Mereka susah mendapatkan air.
Pada suatu hari ada sebuah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak laki-laki hendak pergi ke kebun untuk membersikhan rumput dan menanam bibit. Mereka lupa membawa air minum, kecuali sang ayah. Karena udara sangat panas, kedua anak itu haus dan meminum air ayahnya sampai habis. Mengetahui hal itu sang ayah sangat marah.
Sang ibu menyuruh mereka untuk mencari air sebagai pengganti air ayahnya ke puncak Gunung Siklop, kepada kakek Hollo Rombay…..
(Fatubun: 32)

2. Pelanggaran berarti bencana

Gunung siklop yang oleh penduduk lokal disebut dengan Dobonsolo memiliki arti gunung ibu. Menurut Ramses Ohee, seorang Ondoafi dari Kampung Waena, Gunung Siklop adalah representasi dari air susu ibu. Ibu yang dengan setia memberikan air kehidupan kepada manusia. Sudah sepatutnya keselamatannya dijaga. Sekarang air susu ibu sudah berkurang. Apa yang terjadi? Apakah ibu sudah lanjut usia, sehingga produksi air susunya sudah berkurang, ataukah kita yang terlalu rakus meminumnya tanpa memperhatikan keselamatannya?
Dari semua cerita Asal Mula danau Sentani disebutkan adanya amanat yang harus diemban oleh para pencari air untuk mentaati peraturan. Tetapi, semua perintah dan larangan yang diberikan kesemuanya dilanggar, dan berakibat datangnya bencana. Berikut adalah petikan dari beberapa versi asal mula terjadinya Danau Sentani mengenai pelanggaran tersebut:
Terjadinya Danau Sentani (versi 1)
……….Setelah mengutarakan maksud dan menyerahkan gelang berharga (eba) kepadanya, mereka diberi air dengan pesan agar disiramkan di halaman rumah dan dijual kepada orang lain yang datang dari tempat jauh. Ia juga berpesan agar air itu tidak diletakkan di tanah dalam perjalanan pulang.
Mereka tidak patuh pada pesan itu dan diletakkannya air itu di tanah karena mereka tergoda seekor babi. Air tersebut tumpah dan sehingga mengakibatkan hujan deras disertai banjir…..
(Fatubun: 28)



Asal Mula Danau Sentani (versi 2)
…………….Di gunung ke-tujuh sang ayah mengambil parang dan memotong ular tersebut. Namun, tiba-tiba datang angin kencang. Hari menjadi gelap, dan turunlah banjir besar. Banjir itu menghanyutkan ayah, ibu, serta anak-anaknya. Kemudian banjir itu mengumpul membentuk sebuah danau besar…….
(Fatubun: 29)

Asal Mula Danau Sentani (versi 3)
….Syarat yang harus mereka penuhi adalah jangan sampai air itu jatuh atau tumpah ke tanah. Namun mereka tidak tahan uji. Setelah melihat seekor kuskus di tengah perjalanan pulang, mereka mengejar hendak menangkapnya. Mereka lupa akan air yang mereka bawa. Karena kelalaian mereka, air itu tumpah ke tanah dan berubah menjadi air bah. Mereka tenggelam ke dalam air bah itu……….
(Fatubun: 30)

Asal Mula Danau Sentani (versi 4)
Maksud anak itu dikabulkan oleh kakeknya dengan memberikan air pada sebuah tabung dan berpesan agar ia tidak membuka tabung itu dalam perjalanan. Namun anak itu tidak tahan uji. Dibukanya tabung itu. Apa yang terjadi?
Dua ekor ular air (phuehekhai, yang artinya dewa pembawa air) segera meloncat dari tabung itu dan meluncur dengan cepat. Ular itu menyemburkan airnya yang mengalir dengan deras. Akhirnya air itu berubah menjadi air bah yang menenggelamkan anak itu. ………..

(Fatubun: 31)

Asal Mula Danau Sentani (versi 5)
Sang ibu menyuruh mereka untuk mencari air sebagai pengganti air ayahnya ke puncak gunung Siklop, kepada kakek hollo Rombay. Kakek itu memberikan air kepada mereka dengan syarat, yaitu mereka tidak boleh meletakkan air itu ke tanah. Kalau hal itu dilakukan, air akan keluar dan mengejar mereka. Mereka lupa akan pesan itu. Dan terjadilah apa yang dikatakan kakek tersebut. Akhirnya, air itu lama-kelamaan menjadi banyak dan membentuk sebuah danau, yaitu Danau Sentani yang kita kenal sekarang.
(Fatubun: 32)
Dari cuplikan cerita di atas maka telah ditemukan tentang konsep pentingnya menjaga amanah (menepati peraturan). Konsep menjaga kelestarian lingkungan direpresentasikan dalam bentuk anjuran untuk menjaga air yang dititipkan. Ketika amanah ini diabaikan maka bencana yang akan dituai.

Sehubungan dengan konsep pelestarian lingkungan ini Masyarakat Sentani mempunyai pantangan yang disebut dengan “a kangging” yang berarti tangan siapapun tidak boleh menyentuh tempat itu. Tuhan mempunyai rencana tentang penciptaan sesuatu, sehingga adanya gunung Siklop beserta flora dan fauna telah direncanakan tuhan untuk kepentingan umat-Nya. Sebatang pohon dan batu pun tidak boleh diambil dari tempat larangan tersebut. Pelanggaran terhadap pantangan ini akan mengakibatkan “a kela-kela” yang berarti hancurnya kehidupan (tidak ada kehidupan)

B. Strategi Revitalisasi
Revitalisasi adalah proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menguatkan kembali. Inti dari revitalisasi mitos Gunung Siklop adalah menghidupkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut yang bermuara pada timbulnya kesadaran. Sebuah kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian Gunung Siklop sebagai sumber air. Dobon Solo adalah Gunung Ibu yang senantiasa mengucurkan air susu bagi anak-anaknya. Karena kesastraan suatu masyarakat tidak lain adalah rekaman pikiran, renungan, dan nilai–nilai masyarakat pada masa tertentu. Gagasan atau nilai–nilai itu menjadi landasan perilaku masyarakat yang kehadirannya masih dapat diamati dan dipahami, maka aktivitas bersastra tidak boleh padam. Apresiasi positif masyarakat terhadap sastra dan aktivitas bersastra harus terus dipertahankan, dibina, dan dikembangkan. Berikut ini diperikan strategi revitalisasi mitos gunung Siklop


1. Pembentukan Kantong-Kantong Budaya

Pembentukan kantong-kantong budaya merupakan salah satu upaya untuk menghidupkan kembali gairah bersastra masyarakat. Kantong-kantong budaya ini dibentuk dari hulu sampai hilir. Hulu adalah masyarakat di sekitar Gunung Siklop, sedangkan hilir adalah masyarakat yang mendapatkan kemanfaatan aliran air dari Gunung Siklop yang bermuara ke Danau Sentani. Dalam kantong- kantong budaya ini cerita rakyat yang banyak mengandung kearifan lokal diceritakan kembali, dipentaskan, dinyanyikan, dan didiskusikan. Selain sebagai tempat untuk revitalisasi, kantong-kantong budaya ini juga dapat difungsikan sebagai sarana sosialisasi program-program pelestarian alam, ekologi, ekowisata. Peran serta dari para ketua adat, kepala suku, dan ondofolo sangat diperlukan, karena dari mereka kearifan-kearifan lokal yang ada akan diteruskan kepada generasi pelapis.

2. Mengemas Folklor dalam Bentuk yang Lebih Pop

Adanya anggapan bahwa folklore kurang menarik dari segi cerita maupun bentuk. Selain itu ada beberapa faktor luar yang menyebabkan sastra lisan semakin dijauhi, misalnya munculnya tayangan televisi yang sudah bisa dinikmati oleh hampir seluruh lapisan massyarakat, konser musik, pertandingan olah raga, pembangunan mal-mal. Semua fenomena tersebut mendorong munculnya budaya pop di tengah-tengah masyarakat. Untuk mendekatkan minat masyarakat terhadap sastra lisan maka dibutuhkan terobosan baru dalam mengemas folklore dalam bentuk yang lebih pop. Misalnya folklor yang berbentuk cerita rakyat dikemas dalam bentuk komik atau dalam bentuk kartun, dan untuk folklor yang berbentuk nyanyian rakyat diiringi dengan instrumen yang lebih pop atau sinetron berlatar kearifan lokal.

3. Pementasan Drama /Sandiwara

Acara pertunjukan seni dan sastra sebaiknya dilaksanakan secara berkala. Penyelenggaraannya tidak hanya disponsori oleh pemerintah kota, tetapi juga perguruan tinggi dan kelompok masyarakat tetapi dari ketiga komponen tersebut peran masyarakatlah yang lebih ditekankan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa keberlangsungan sebuah kebudayaan ditentukan oleh pendukung kebudayaan itu sendiri . Memang, strategi ini dilakukan untuk melibatkan peran masyarakat sebanyak mungkin dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerahnya. Selain dari karya sastra modern, peristiwa budaya seperti itu menampilkan atraksi pementasan cerita rakyat. Penyelenggaraan acara ini seyogyanya melibatkan televisi swasta lokal maupun televisi pemerintah sehingga pagelaran ini dapat dinikmati dan diapresiasi oleh banyak orang. Ide-ide kreatif yang biasanya disuguhkan oleh para penampil diharapkan mampu menarik minat masyarakat sehingga pada giliranya nanti acara pertunjukan ini selalu dinantikan oleh masyarakat dengan bersemangat.

4. Wisata Sastra
Ide ini bermula dari suksesnya novel dan film Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2005. Novel ini bercerita tentang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang bersekolah (SD dan SMP) di sebuah sekolah Muhammadiyah di Belitung yang penuh dengan keterbatasan. Filem dan novel ini menuai sukses dan mendapatkan berbagai penghargaan. Keunikan dari dari novel ini terletak pada kemampuan si pengarang untuk mengangkat warna lokal, yaitu masyarakat Belitung. Kesuksesan novel dan film Laskar Pelangi tidak hanya berhenti sampai di sini, setting atau latar pembuatan film ini sekarang dijadikan tempat tujuan wisata oleh pemda setempat. Ide ini bisa diadopsi untuk mengangkat cerita rakyat Sentani dan menjadikan latar cerita sebagai tempat tujuan wisata sastra. Dengan menjadikan latar cerita sebagai tempat tujuan wisata diharapkan akan timbul kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menjaga kelestarian tempat tersebut.

5. Pemanfaatan Karya Sastra untuk Menyosialisasikan Program Pemerintah
Masyarakat Papua memiliki spontanitas dan kreativitas yang tercermin dalam cerita MOP (cerita anekdot). Cerita Mop ini selalu membawa kesegaran ketika ditampilkan dalam berbagai kegiatan. Sebagai salah satu aset sastra lisan yang hanya dimiliki oleh masyarakat Papua, seyogyanya pemerintah menggunakan mop ini sebagai sarana untuk menyosialisasikan program pemerintah yang berhubungan dengan program kelestarian lingkungan khususnya, dan program umum lainnya.
Sudah disebutkan di muka bahwa masyarakat Papua umumnya mempunyai apresiasi yang baik terhadap Mop, oleh karena itu perilaku yang baik itu disalurkan dengan memanfaatkan sastra lisan, khususnya mop untuk mendukung pelestarian lingkungan. Sosialisasi program pemerintah itu ditulis pada baliho dan/atau kain rentang dan ditempatkan di tempat-tempat strategis seperti di pinggir jalan-jalan utama, di pusat perbelanjaan, di pusat-pusat keramaian masyarakat, dan hotel-hotel. Sedangkan secara lisan dapat dilakukan pada saat rapat, sidang, seminar, dll.
6. Perlombaan Cipta dan Baca Karya Sastra
Lomba cipta karya sastra meliputi cerita rakyat dan karya sastra modern. Untuk lomba membaca karya sastra, yang diperlombakan adalah membaca cerita rakyat dan membaca karya sastra modern seperti puisi dan cerpen. Para pesertanya terdiri atas para siswa dari semua peringkat sekolah, para mahasiswa, dan masyarakat umum. Biasanya, perlombaan seperti ini diikuti oleh banyak sekali peserta, yang membuktikan bahwa minat masyarakat terhadap karya sastra cukup tinggi.
7. Pemberian Bantuan Dana Pembinaan kepada Sanggar Sastra dan Seni
Keberlangsungan sebuah aktivitas dan kreativitas bersastra tentunya harus didukung dengan pendanaan. Kadang-kadang dana yang diperlukan itu tak sedikit. Menyadari hal itu, dalam perencanaan anggaran daerah, hendaknya hal itu mendapatkan perhatian. Pemerintah Kota dan Kabupaten Jayapura berkewajiban memberikan bantuan dana pembinaan kepada sanggar sastra dan seni yang terdaftar di Kota dan Kabupaten Jayapura. Diharapkan dengan pemberian bantuan dana pembinaan itu, sanggar-sangar yang ada dapat terus melakukan aktivitas mereka dalam menjaga dan meningkatkan fungsi sastra, yang bermuara pada tumbuhnya apresiasi dan kesadaran kolektif.
8. Pemberian Penghargaan kepada Seniman
Seniman atau sastrawanlah yang menjadi mata tombak pembinaan dan pengembangan sastra. Umumnya mereka bekerja karena panggilan jiwa untuk mempertahankan jati diri bangsa, tanpa merisaukan imbalan yang mereka peroleh dari menekuni profesi yang sangat berat itu. Walau umumnya para seniman tak pernah merisaukan apakah menekuni profesi itu mereka memperoleh penghargaan atau tidak karena hal itu memang bukan tujuan utamanya, pemerintah seyogyanya mengupayakan pemberian penghargaan kepada seniman yang dianggap patut menerimanya. Hal itu dilakukan karena para seniman sangat berjasa dalam mengembangkan kesusastraan di dalam masyarakat. Dengan penghargaan itu, diharapkan seniman yang menerimanya dapat terus meningkatkan kinerjanya dalam menekuni profesi yang menjadi pilihannya sebagai wujud tanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa.
9. Penggunaan Karya Sastra dalam Pembukaan Acara dan Pidato
Memanfaatkan jumlah audiens yang cukup banyak dalam sebuah acara, baik formal maupun non formal, ada baiknya menggunakan medium sastra dalam pembukaan acara atau pidato.Penempatan petikan sastra dalam pidato dapat diletakkan di awal, tengah, dan atau yang paling sering dilakukan di akhir pidato. Siapa pun yang berpidato baik pejabat, tokoh masyarakat, maupun panitia, melakukan ini sebagai suatu tradisi. Pidato atau sambutan tanpa karya sastra, ibarat gulai tanpa garam, yang dapat membuat bosan, hadirin untuk menyimaknya. Tak jarang terjadi, entah karena persoalan yang disampaikan dalam pidato terlalu berat atau sebaliknya remeh, hadirin bersikap negatif ketika menyimaknya seperti mengantuk atau bahkan tertidur. Akan tetapi, begitu pembicara menyelipkan sastra dalam pidatonya itu, yang mengantuk jadi segar kembali dan yang tertidur akan terjaga. Sebagai imbalannya, si pembicara akan mendapatkan tepuk tangan yang bergemuruh. Sambutan atau pidato yang diakhiri dengan menyelipkan sastra pasti mendapat tepukan yang panjang dan hadirin akan merasa terpuaskan.

C. Penanganan dari hulu ke hilir

1. Pengertian secara geografis

Dalam ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.


2. Pengertian secara penanganan

Upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan harus dilakukan. Pengelolaan DAS melibatkan multi-sektor, multi-disiplin ilmu, lintas wilayah administrasi, terjadi interaksi hulu hilir, sehingga harus terpadu.Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat.

Pengelolaan DAS terpadu meliputi :
• Keterpaduan dalam proses perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalam penyusunan dan penetapan rencana kegiatan di daerah aliran sungai.
• Keterpaduan dalam program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunan program-program kegiatan di daerah aliran sungai, termasuk memadukan waktu pelaksanaan, lokasi dan pendanaan serta mekanismenya.
• Keterpaduan program-program kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan dengan daerah aliran sungai, sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah.
• Keterpaduan dalam pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi proses evaluasi dan monitoring.
• Keterpaduan dalam pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan.
Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.

Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama.
Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir.


Daftar Pustaka
Dananjaya, James. 1984. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.
Dananjaya, James. 1997. Folklor Jepang, Dilihat dari Kacamata Indonesia. Jakarta: Grafiti Press.
Dananjaya, James. 2003. Folklor Amerika,Cermin Multikultural yang Manunggal. Jakarta: Grafiti Press.
Fatubun, R. 200. Struktur Sastra Lisan Sentani: Prosa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Finnegan, Ruth. 1979. Oral Poetry, Its Nature, Significance and Social context. London: Cambridge University Press.
Hasanuddin W.S. (pemimpin redaksi). 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu.
(Jerry Omone dalam situs “Freedom, Blog Berita terdepan di Papua”, yang dipublikasikan tanggal 22 Juli 2010)
Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press.
Vansina, Jan. 1973. Oral Tradition, A Study in Historical Methodology. England: Penguin Books.

Tuesday, April 6, 2010

Citra Perempuan Dalam Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani

Siswanto

Abstrak
This paper give reflection to the reader about the image of women and injustice experienced by women in the Dani tribe without being able to defend against the injustices suffered by the female characters in the novel. For example, when a wife asks her husband's responsibility to work to meet the needs of family life, but received the invective, scolding, and even violence from their husband. In addition, women also serve as sexual objects by men without being able to provide resistance, causing a prolonged trauma. Injustices experienced by women is also still frequently occur until now, whether it is injustice in the menage, sexual or economy. This makes the speaker choose the topic of gender inequality against women in the novel Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani by Dewi Linggasari. In his paper, the speaker uses feminist literary studies, by considering the aspects of feminism.

Kata Kunci: citra perempuan dan ketimpangan gender

1. Pendahuluan
Ketimpangan nasib kaum hawa di bawah dominasi laki-laki sudah dapat dilihat dari sejak puluhan tahun yang silam. Hal ini dapat kita runut dari munculnya roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang terbit pada masa pra Pujangga Baru. Tentu saja hal ini menjadi representasi dari keadaan zaman itu. Dalam roman itu digambarkan dalam posisi lemah dan menjadi korban kepentingan orang tua, adat, dan nafsu lelaki.
Potret buram ketimpangan nasib kaum hawa yang terentang dari roman Siti Nurbaya di zaman pra Pujangga Baru hingga hingga novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. di zaman sastra modern saat ini. Walaupun tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam novel maupun roman ini dilukiskan sebagai perempuan yang tegar, namun kaum perempuan ini masih cenderung digambarkan bodoh, miskin, dan di bawah bayang-bayang ketiak kaum lelaki.
Demikian pula, sastra lisan Papua tidak terlepas dari problematika ketimpangan gender. Ketimpangan yang mengarah pada tetidakadilan gender disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu faktor adalah adanya budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai orang kedua dalam rumah tangga. Ketimpangan gender dapat menimbulkan trejadinya kekerasan terhadap perempuan. Dalam budaya suku Moi (Sorong) sebagai contoh adalah kekerasan kultural, Pelaku kekerasan kultural kerap kali tidak menyadari kekerasan yang dilakukannya. Sebabnya, kekerasan ini sudah dilestarikan dalam budaya dan turun menurun. Pun dengan kekerasan terhadap perempuan dalam budaya suku Moi di Papua.
Nilai-nilai kekerasan diimplementasikan dalam berbagai aturan, norma dan pantangan terhadap kondisi dan keberadaan perempuan. Kaum perempuan sendiri merasakannya sebagai hal yang biasa, sudah takdir dan tidak merasa terpaksa melakukan segala aktivitasnya. Namun, bila dilihat menggunakan kacamata hak asasi manusia, maka akan ditemukan banyak sekali praktek yang mengarah pada pelanggaran hak-hak asasi manusia atau hak-hak asasi perempuan.
Salah satu bentuk kekerasan kultural terhadap perempuan adalah adanya seperangkat aturan budaya yang dikenakan pada ibu hamil. Aturan-aturan ini berbentuk mitos dan pantangan terhadap makanan serta minuman bagi seorang perempuan yang sedang hamil. Seorang perempuan hamil, membutuhkan waktu untuk istirahat, makanan yang bergizi dan akses akan informasi yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak. Sedangkan dalam suku Moi, hamil adalah sesuatu yang biasa, sehingga perempuan hamil tetap bekerja sebagaimana biasanya.
Perempuan hamil suku Moi tetap melakukan kegiatan seperti menimba air di kali, mengambil sagu dan berkebun, mencari ikan di laut dan mencari kayu bakar dihutan. Akibatnya, rata-rata ibu hamil perempuan Moi menderita anemia, kurang kalori karena hanya memakan 64 % kalori. Selain itu, perempuan hamil tidak boleh makan ikan sembilan dan kepiting karena akan mengalami perdarahan. Hal ini juga berlaku pada daging babi, daging diburu dengan menggunakan magig sehingga dilarang untuk dimakan, karena terdapat mitos nanti melahirkan akan mengalami kesukaran. Aturan tersebut membuat rata-rata perempuan Moi yang hamil kekurangan gizi, anak yang lahir mengalami kekurangan berat badan sehingga mempunyai harapan hidup yang tipis.
Aturan yang memiliki nilai kekerasan juga diberlakukan pada saat akan melahirkan, ibu hamil harus menunggu keputusan dari mertuanya baru boleh dibawa ke dukun atau klinik. Hal ini sering membuat proses persalinan terlambat ditolong. Selain itu, mereka juga belum mengenal tanda-tanda kelahiran. Kemudian, seorang perempuan yang telah melahirkan dilarang keluar dari rumah selama empat puluh hari. Rata-rata perempuan Moi yang melahirkan mati, karena infeksi dan perdarahan.
Dalam satu survey cepat (rapid ethnographie Assessment) tentang peranan institusi lokal dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak pada 6 kecamatan Suku Moi di Sorong, dilakukan oleh Unicef bekerja sama dengan Bappeda TK I Papua didapat, dari 1000 perempuan Moi yang hamil, 8 meninggal karena perdarahan dan infeksi waktu melahirkan (2 kali lipat lebih tinggi dari angka nasional). Karena ibu hamil sibuk dengan rutinitasnya sepanjang hari, maka jarang memeriksakan kehamilannya ke klinik. Akibatnya hanya 1 dari 3 perempuan Moi yang memeriksakan kehamilannya secara lengkap. Dan hanya 1 dari 3 perempuan Moi yang melahirkan pada tenaga bidan, minum tablet zat besi (penambah darah) dan mendapatkan imunisasi tetanus lengkap.
Pada suku Moi kebiasaan tersebut merupakan tradisi yang digunakan secara turun temurun, dan perempuan sebagai pendukung kebudayaan Moi sendiri tidak merasa bahwa praktek-praktek ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasinya sebagai perempuan. Praktek-praktek ini sangat membatasi hak perempuan hamil untuk memperoleh kesehatan yang layak. Faktor budaya menjadi salah satu hambatan dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak.
Fakta di atas hanya merupakan satu dari jutaan kasus ketimpangan gender yang terjadi di Papua. Pola-pola budaya kekerasan kultural ini membawa pengaruh terhadap karya sastra yang mengangkat tema problematika perempuan papua yang berupa ketimpangan gender dan kekerasan dalam rumah tangga. Novel Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani, menceritakan problematika perempuan Dani yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Sali merupakan deskripsi keadaan suku Dani secara geografis, yang bersifat psikologis. Novel ini menyajikan dua lapis kandungan. Yang pertama adalah uraian geografis tentang keadaan komunitas suku Dani di lembah Baliem-Wamena. Lapis kedua adalah mitos. Di sana, dalam mitos itu orang bisa mendengarkan dendang penulis tentang derita perempuan di lembah Baliem-Wamena.
Karena kuatnya semangat budaya suku Dani, perempuan-perempuan dipandang sebagai makhluk perkasa di bawah naungan suami. Tidaklah mengherankan, para perempuan harus melakukan apa saja, bukan pertama-tama untuk keluarga tetapi untuk lelakinya. Ia tak sekadar, misalnya: umbah-umbah, olah-olah, momong bocah, dan njrebabah saja, seperti dibayangkan tugas perempuan Jawa pada masa-masa lalu, tetapi juga pekerjaan di luar rumah: mencari kayu bakar dan makanan serta, atau mungkin yang penting adalah menyediakan tembakau untuk suami dalam segala keadaan, baik sehat maupun sakit.
Bagi perempuan Dani hidup ini adalah kekalahan, bahkan setelah perempuan Dani memberikan segalanya bagi perkawinannya. Setelah dibayar dengan babi-babi pada hari perkawinan, maka seorang perempuan Dani hanyalah Budak. Perempuan Dani harus bekerja sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan makan. Tak ada waktu istirahat, demikian pula ketika berada dalam keadaan lemah karena kehamilan. Perempuan Dani harus tetap bekerja di kebun, membelah kayu bakar, sehingga bara api menyala dan ubi manis tetap masak sebagai bahan makanan. Bila tak ada makanan, maka suami akan mengamuk dan memukul (Linggasari, 2007: 6-7).
2. Pemahaman Ideology Gender dan Feminisme
2.1 Konsep Gender
Gender berasal dari kata gender (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai jenis kelamin, tetapi bukan jenis kelamin secara biologis, melainkan secara sosial budaya dan psikologis. Konsep gender diartikan sebagai suatu konsep hubungan sosial yang membedakan peranan antara pria dengan wanita, yang dibentuk oleh norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat. Dengan demikian seperti telah dikemukakan sebelumnya, peran gender adalah peran pria dan wanita yang tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti halnya peran kodrat. Berdasarkan pemahaman itu, maka peran gender dapat berbeda di antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan, dapat berubah dan diubah dari masa ke masa sesuai dengan kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi dan sebagainya, dan dapat ditukarkan antara pria dengan wanita. Hal ini berarti, peran gender bersifat dinamis. Berkaitan dengan hal tersebut, dikenal ada tiga jenis peran gender sebagai berikut. (1) Peran produktif (peran di sektor publik) adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, pria atau wanita, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. (2) Peran reproduktif (peran di sektor domestik), adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, pria atau wanita, untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, membantu anak belajar, berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari, membersihkan rumah, mencuci alat-alat rumah tangga, mencuci pakaian dan lainnya. (3) Peran sosial adalah peran yang dijalankan oleh seseorang, pria atau wanita, untuk berpartisipasi di dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama.
2.2 Feminisme
Menurut Wolf dalam Sugihastuti mengartikan feminism sebagai sebuah teori yang mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan. Istilah “menjadi feminis”, bagi Wolf, harus diartikan dengan “menjadi manusia”. Pada pemahaman yang demikian, seorang perempuan akan percaya pada diri mereka sendiri. Sementara itu, Budianta (2002: 201) mengartikan feminism sebagai suatu kritik ideologis terhadap cara pandang yang mengabaikan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas social berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Istilah feminism dalam penelitian ini berarti kesadaran akan adanya ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Kesadaran itu harus diwujudkan dalam tindakan yang dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.
Dengan demikian, feminism dalam penelitian ini lebih luas dari makna emansipasi. Emansipasi cenderung digunakan sebagai istilah yang berarti pembebasan dari perbudakan yang sesungguhnya dan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian, emansipasi tidak mutlak sebagai persamaan hak perempuan. Jika kata emansipasi dilekatkan pada kata perempuan, emansipasi cenderung lebih menekankan pada partisipasi perempuan tanpa mempersoalkan ketidakadilan gender, sedangkan feminism sudah mempersoalkan hak serta kepentingan perempuan yang selama ini tidak adil. Perempuan dalam pandangan feminism mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam gerakan untuk menuntuk haknya sebagai manusia secara penuh (Kridalaksana, 1999: 258).
2.3 Kritik Sastra feminis
Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respons atas berkembang luasnya feminisme yang berkembang di berbagai penjuru dunia. Menurut Moeliono (1993:241) feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Persamaan hak itu meliputi semua aspek kehidupan baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dengan kata lain, feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau menentukan kebebasan menentukan dirinya sendiri.
Jika selama ini ada anggapan bahwa yang mewakili penciptaan dan pembacaan karya sastra adalah kaum laki-laki, menurut Sholwater dalam Sugihastuti, (1991:29) kritik sastra feminis mencoba menunjukkan bahwa pembaca perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya.
Feminisme adalah kritik sastra feminis mengarah pada studi sastra yang memusatkan analisis pada wanita. Sementara itu telah dianggap biasa bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam karya sastra Barat adalah kaum pria sehingga kritik sastra feminis menunjuk gejala bahwa wanita membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya. Culler (1983:43) menyatakan bahwa kritik sastra feminisme adalah suatu usaha sadar para women scholar untuk merubah tirani kritik andosentris yang sangat male oriented dan cenderung mempengaruhi pembaca wanita untuk mengidentifikasikan diri dengan tokoh pria.
Dalam usahanya mengukuhkan kedudukan sastra wanita pada tempat yang selayaknya, feminist criticism merangkum berbagai pendekatan yang ada seperti sosiologi sastra, resepsi strukturalisme, tekstual, semiotik, juga psikologi, sosiologi, antropolgi (Winata dalam Tome, 2002:6).
2.4 Pengungkapan Citra
Sastra adalah salah satu dari berbagai bentuk representasi budaya yang menggambarkan relasi dan rutinitas gender. Selain itu, teks sastra juga dapat memperkuat dan membuat stereotipe gender baru yang lebih mempresentasikan kebebasan gender. Oleh karena itu, kritik sastra feminis membantu membangun studi gender yang dipresentasikan dalam sastra (Goodman, 2001: 2). Peta pemikiran feminisme hingga kritik sastra feminis di atas diharapkan mampu memberikan pandangan-pandangan baru terutama yang berkaitan bagaimana kerakter-karakter perempuan diwakili dalam karya sastra. Dalam hal ini, para feminis menggunakan kritik sastra feminis untuk menunjukkan citra perempuan dalam menampilkan perempuan sebagai makhluk yang ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarki yang dominan. Di pihak lain, kajian tentang perempuan dalam tulisan ini juga menunjukkan tokoh-tokoh perempuan yang kuat dan justru mendukung nilai-nilai feminis.
Penelitian citra perempuan atau images of woman ini merupakan suatu jenis sosialogi yang menganggap teks-teks sastra dapat digunakan sebagai bukti adanya berbagai jenis peranan perempuan (Ruthven, 1990: 70).
3. Pembahasan
3.1 Ringkasan Cerita
Cerita diawali dengan kematian ibunya Liwa yang bernama Aburah bersama calon adiknya yang masih dalam kandungan sang ibu. Sepeninggal Aburah, ayahnya yang bernama Kugara menikah dengan adik Aburah bernama Lapina. Adat memperkenankan seorang duda yang ditinggal mati istri menikahi adik iparnya. Beruntung Liwa mendapatkan ibu tiri yang baik. Lapina menyayanginya tak ubahnya anak kandung sendiri. Namun setelah Kugara meninggal dalam perang dengan suku lain, Liwa mulai merasakan kekejaman adat. Bagaimana tidak, sebagai tanda berduka cita ia harus merelakan ruas jarinya dipotong ketua adat.
Liwa tidak pernah merasakan bahagia dalam hidupnya. Kecuali sekali. Saat ia mengenal Ibarak kemudian menikah dengannya. Tapi kebahagiaan itu tidak lama. Sebagaimana lelaki suku Dani lainnya, kerja Ibarak hanya makan, tidur, dan merokok. Liwa yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Sepasang suami istri dan tujuh orang anak. Bahkan saat tubuhnya lemah karena mengandung atau sehabis melahirkan ia tetap harus bekerja di kebun dan memberi makan babi-babi peliharaan mereka. Juga memenuhi hasrat birahi Ibarak. Jika ia menolak, Ibarak tidak segan-segan memukulinya. ‘Aku telah membayarmu dengan dua puluh ekor babi. Kau harus menuruti semua permintaanku,’ begitu selalu Ibarak memberi alasan.
Kenapa Ibarak dan lelaki suku Dani lainnya tidak bekerja? Karena dulu adat membagi tugas yang berbeda untuk lelaki dan perempuan. Laki-laki tugasnya berperang dan berburu. Perempuan tugasnya mengurus rumah dan keluarga. Setelah pemerintah RI melarang perang antar suku dan lahan berburu berkurang, lelaki suku Dani tidak memiliki tugas lagi. Tapi mereka juga tidak mengambil alih tugas perempuan yang sejak dulu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Karena adat tidak menyuruh mereka berlaku begitu.
Adat pula yang memperkenankan seorang suami beristri lebih dari satu. Kesal karena merasa Liwa seringkali menentang perintahnya, Ibarak memutuskan menikah lagi. Tentunya dengan seorang gadis yang masih ranum. Jija namanya. Dan Liwa tidak bisa menolak. Namun Liwa menolak mentah-mentah saat Ibarak menyuruhnya berselingkuh. Ibarak menginginkan lebih banyak babi sebagai ukuran kekayaan. Jika ia memergoki pria lain menyentuh Liwa, maka ia bisa menagih sejumlah babi sebagai denda yang harus dibayar pria tersebut. Harta telah membutakan mata hati Ibarak. Manusia macam apa dia itu ya, tega-teganya memperlakukan istrinya begitu keji.
Liwa tetap menolak tiap kali Ibarak memerintahkannya mendekati Lopes, lelaki yang menunjukkan ketertarikan padanya. Ia makin membenci suaminya. Ingin rasanya ia pergi jauh meninggalkan Ibarak. Tapi bagaimana dengan anak-anaknya? Akhirnya keragu-raguan Liwa pupus sudah. Suatu malam terjadi kebakaran di pilamo – honai tempat tinggal kaum lelaki. Seluruh anak lelaki Liwa meninggal terbakar. Liwa merasa sedih. Kini tidak ada lagi alasannya untuk tetap hidup. Liwa memutuskan untuk pergi. Sepeninggalnya nanti anak-anak perempuannya akan diasuh Jija, sang istri muda.
Ke mana Liwa pergi? Di Fugima, ada sebuah sungai yang amat dalam, wanita yang sudah tidak mampu menanggung beban hidup akan datang ke tempat itu, meninggalkan sali (pakaian perempuan suku Dani yang menutupi tubuh bagian bawah) pada bebatuan, memberati tubuhnya dengan batu, kemudian menceburkan diri ke dalam sungai. Ke sanalah Liwa pergi.
Saat Gayatri menemukan sali yang terakhir dikenakan Liwa tersangkut pada bebatuan di tepi jurang dengan air sungai yang dalam, tahulah ia bahwa Liwa telah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Suatu cara yang menyakitkan untuk mengakhiri permasalahan.
3.2 Citra Perempuan
Menurut Sugihastuti pembicaraan mengenai tokoh dalam novel khususnya dalam kritik sastra feminis dituntut melibatkan dua pihak yang beroposisi yakni laki-laki dan perempuan. Dalam rangka mengungkap prasangka gender dalam novel, pada tahapan ini dikemukakan dua bagian yang melibatkan citra tokoh perempuan dan analisis mengenai ketimpangan gender.
Bagian pertama menganalisis citra tokoh perempuan dalam novel. Analisis pada bagian ini mengutamakan tokoh yang berperan penting dalam pembentukan citra inferioritas perempuan. Berdasarkan pembacaan yang dilakukan terhadap novel, dipilih tiga tokoh perempuan yang akan diidentifikasi yakni Liwa, Lapina, dan Gayatri. Bagian kedua menganalisis ketimpangan gender yang terjadi pada tokoh perempuan.
Menurut Lokobal, suku Dani di Lembah Baliem dan pegunungan di sekitarnya menggunakan beberapa istilah untuk menunjukkan kaum perempuan. Istilah tersebut serentak menunjuk status mereka. He diartikan sebagai seorang ibu (bentuk tunggal) yang sudah berkeluarga. Humi diartikan sebagai kaum ibu (bentuk jamak) yang sudah berkeluarga. Holak sebagai seorang gadis remaja (bentuk tunggal), dan holak yekerek diartikan sebagai anak gadis kecil (bentuk tunggal). Dari beberapa istilah tersebut ternyata tiadak ada satupun istilah yang dapat merangkum pengertian dan konsep tentang secara menyeluruh.
Selain itu ada beberapa istilah yang sebenarnya netral sifatnya namun dalam pemakaian sehari-hari cenderung diasosiasikan kepada kaum laki-laki saja. Apuni (manusia), elege (anak-anak), dan elege yekerek (anak kecil). Dalam istilah-istilah netral ini paham laki-laki ditonjolkan sedangkan kaum perempuan dianggap termasuk dalam kelompok laki-laki. Ada istilah lain yang lebih mencerminkan integrasi perempuan di dalam kelompok laki-laki, yakni ap logalek (secara harfiah berarti kelompok laki-laki). Pemahaman dari konsep ini adalah:
1. Perempuan temasuk dalam perhitungan laki-laki
2. Perempuan tidak disebut secara khusus karena diketahui keberadaannya, entah karena melingkup keseluruhan atau melebur di dalam laki-laki.
3. Perempuan tidak ditampilkan tetapi cukup laki-laki saja, sebab perempuan dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari laki-laki.
3.2.1 Pencitraan Liwa
Liwa mengalami perlakuan buruk dan ketidakfair-an adat istiadat terhadap perempuan. Kutukan sebagai perempuan, awalnya dia terima ketika dia ditinggal mati oleh ibunya, yang kemudian membuatnya berpikir tentang ketidakadilan yang terjadi terhadap perempuan (yang mengakibatkan kematian ibunya) yang selanjutnya diikuti pemotongan ruas jarinya ketika bapaknya meninggal di medan peperangan. Dan puncak dari kutukan itu adalah ketika perkawinannya dengan Ibarak, yang membawanya pada kejenuhan terhadap adat istiadat sukunya dan kehidupannya. Liwa sudah tahan dengan segala macam bentuk adat sukunya yang selalu mensubordinatkan perempuan di bawah laki-laki dan ketidakadilan perlakuan lelaki kepada perempuan seperti yang Ibarak lakukan kepada dirinya dan seperti apa yang bapaknya lakukan kepada ibunya dan Lapina dulu. Dia tidak bisa menerima itu semua, tapi disatu sisi dia juga tidak kuasa untuk menolaknya.
3.2.2 Pencitraan Lapina
Lapina digambarkan sebagai perempuan Dani yang tegar dan kuat. Kekarasan fisik yang dilakukan suaminya membuat Lapina menjadi wanita yang perkasa. Lapina bekerja keras membanting tulang demi memenuhi kebutuhan keluarga, terutama suaminya. Ia tidak pernah mengeluh meskipun beban berat menindih tubuhnya yang ringkih. Ia menerima semua konsekuensi yang diakibatkan oleh perkawinannya dengan Kugara. Meskipun Kugara sering memperlakukan Lapina secara kasar ia tetap bersedih hati dan menangis ketika Kugara tewas dalam perang suku. Pengalaman pahit dalam berkeluarga membuat Lapina hidup menjada pasca kematian Kugara.
3.2.3 Pencitraan Gayatri
Gayatri, seorang dokter muda bergumul dengan perubahan yang sedang berjangkit dalam kehidupan suku Dani. Liwa diperkenalkannya dengan pilihan rasional sebagai jalan keluar kakunya aturan adat. Gayatri menyelamatkan Liwa dan seorang anaknya yang menurut adat Dani harus dibunuh atau dihanyutkan karena terlahir kembar.
Gayatri terhenyak, dalam pandangannya segera tampak seorang bayi tak bersalah tergulung arus sungai dan menghilang sebagai suatu tragedi. Tidak! Hal itu tidak bboleh terjadi. Ia telah berjuang demi kelahiran bayi itu, ia harus bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelangsungan hidupnya. Dokter itu terdiam dalam waktu yang cukup lama sebelum akhirnya berkata. “Hanyutkan bayi itu dalam sungai, biar saya yang akan mengambilnya”. (hlm. 175-176)

Meskipun bukan pemain utama, Gayatri ada dalam pertentangan budaya Dani dan budaya negara. Perang suku memang menghilang, namun digantikan perang negara dengan masyarakat yang dulu gemar berperang. Perang yang akhirnya merenggut kekasihnya. Dia menyaksikan sendiri bahwa terkadang modernitas tak lebih baik dibandingkan dengan tradisionalitas, malah bisa lebih buruk.
Tokoh Gayatri dalam novel ini digambarkan sebagai perempuan yang memiliki tekad dan kemauan tinggi. Berawal ketika kisah cintanya yang kandas di ambang perkawinan membawa Gayatri seorang dokter muda untuk akhirnya menentukan pilihan menjadi dokter PTT di Wamena Papua. Pada awalnya kepergiannya ke Wamena adalah salah satu upaya untuk menghilangan kesedihan dan kegundahan hatinya. Namun setelah sekian lama tinggal dan menjadi dokter PTT di Wamena panggilan jiwa untuk mengabdi kepada masyarakat telah menjadi tekad hatinya.
Ia hanyalah seorang yang kalah dan hangat sebagai bahan pembicaraan. Sekarang Gayatri mengerti bahwa hidup ini hanya ada tempat untuk orang yang menang dan kuat, ia tersisih jauh ke tepian dalam sebuah perkawinan agung, karena tidak terpilih. Ia merasa menjadi lemah, hancur berkeping-keping tak berbentuk. Tak ada tempat untuk membangun kembali kekuatan. (hlm.118)

Keesokan harinya ketika duduk di meja makan Gayatri telah sampai pada sebuah keputusan. “Saya haurs mengambil PTT untuk memulai karir, tak bisa saya berdiam diri dalam situasi seperti ini”, Gayatri membuka pembicaraan.

3.3 Ketimpangan Gender
3.3.1 Peran Tradisional Perempuan Sebagai Istri, Ibu, dan Ibu Rumah Tangga
Menurut Soenarjati-Djajanegara dalam Sugihastuti (2007: 280) definisi peran tradisional perempuan pertama kali dikenal akibat gelombang feminisme yang muncul di Amerika pada abad ke-19. Kemunculan gelombang feminisme ini merupakan reaksi atas hegemoni dan kekuasaan pihak laki-laki yang dengan mutlak melabeli sifat, sikap, maupun aktifitas kaum perempuan. Sebagai pihak yang berkuasa, laki-laki melegitimasikan kekuasaannya dalam berbagai institusi seperti negara, hukum, moralitas, agama, dan ilmu pengetahuan. Kekuasaan pihak laki-laki tersebut, salah satunya memunculkan citra tentang peran perempuan tradisional.
Kemunculan kekuasaan laki-laki berakar pada anggapan bahwa laki-laki adalah manusia yang besar, kuat, keras, dan berat, sedangkan perempuan merupakan manusia yang kecil, lemah, lembut, dan ringan. Sebagai pihak yang lebih kuat, laki-laki dengan demikian dianggap sebagai pihak yang lebih berkuasa dibandingkan dangan perempuan. Kekuasaan yang dimiliki tersebut membuat laki-laki cenderung memandang rendah perempuan. Hal ini berimbas kepada jenis dan kadar pekerjaan yang dilimpahkan kepada kaum perempuan.
Menurut kebudayaan suku Dani, perempuan memiliki kedudukan penting dalam adat. Karena begitu penting, maka kaum perempuan di bawah naungan laki-laki. Perlindungan itu bukan karena alasan biologis dan psikologis saja, melainkan karena nilai religius yang dihadirkannya, yakni nilai-nilai kehidupan yang baik. Ada ungkapan suku Dani bumi-bumiat, artinya perempuan ya tetap perempuan. Maksudnya perempuan harus tetap terikat dan tinggal dalam lingkungan adat sesuai dengan kode etik moral. Karena itu, biarpun perempuan telah menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu, mereka tidak dapat menolak keharusan tunduk dan menyesuaikan diri terhadap status dan peranan laki-laki, terutama jika suaminya memiliki peranan penting dan utama dalam struktur adat (Lokobal, 2006: 128).
Peran tradisional perempuan dalam novel Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani pertama kali tergambar jelas pada kutipan berikut.
… ia harus bangun pagi, menyediakan makanan bagi Kugara, pergi ke kebun sambil menjaga Liwa, memberi makan babi-babi, dan bersikap sebagai layaknya seorang istri. (hlm. 32)

Peran sebagai istri yang diterima Lapina tersebut menunjukkan sikapnya yang seolah-olah mendukung domestika kaum perempuan. Akan tetapi, lingkup domestik yang terjadi pada diri Lapina membuatnya terkungkung dalam lingkaran tanpa ada jalan keluar.
Demikian berhari-hari, Lapina menghabiskan waktu di kebun dengan berbaring menatap biru langit, ia mencoba memahami persoalan hidupnya, tapi ia terlalu dungu sekadar untuk menjawab pertanyaannya. (hlm. 33)

Sebagai seorang istri dan calon ibu, Lapina menyandang peran yang besar dan penting. Lapina harus selalu bekerja keras memenuhi kebutuhan keluarga dalam berbagai keadaan, sementara Kugara sang suami hanya bersantai ria dengan kegiatan yang sia-sia.
Lapina adalah seorang gadis belia, tetapi ia harus siap menjadi seorang ibu. Semakin hari perut lapina semakin membesar, badannya kian lemah, tetapi Kugara tak peduli, Lapina harus terus bekerja di kebun, memberi makan seisi honai dan babi-babi serta membelah kayu bakar hingga hari kelahiran itupun tiba. (hlm. 35)

Peran tradisional perempuan juga menimpa Liwa. Nasib Liwa tak lebih beruntung jika dibandingkan dengan ibu tirinya Lapina. Justru penderitaan hidup akibat peran tradisional perempuan selalu mendera Liwa sepanjang hayatnya. Liwa tidak pernah merasakan bahagia dalam hidupnya. Kecuali sekali. Saat ia mengenal Ibarak kemudian menikah dengannya.
Keduanya seakan dihantui rindu seribu tahun, Liwa segera melupakan hasil kebun yang telah dicucinya dengan bersih. Ia tak lagi melawan ketika Ibarak menariknya di antara semak-semak, di bawah sebatang pohon yang rindang. Keduanya tak banyak lagi bicara, bunga-bunga liar di tepi hutan itu adalah saksinya. (hlm. 72)

Ketika telah resmi menjadi istri Ibarak, peran domestik perempuan yang melekat pada Liwa secara otomatis melakat. Kedudukan Liwa sebagai istri lak-laki Dani mengharuskannya melakukan segala kegiatan domestik maupun kegiatan yang biasanya dilakukan oleh laki-laki.
Liwa telah berpindah ke silimo Ibarak, babi-babi telah menjadi milik Liwa, wanita itu harus memelihara bagi anak laki-lakinya, suatu saat anak itu akan melamar gadis bagi kehidupan perkawinannya. Liwa harus memelihara taman pada kebun keluarga Ibarak. Semula Liwa melakukannya dengan senang hati dalam usia perkawinannya yang masih sangat muda. (hlm. 76-77)

Selain bekerja di kebun dan memelihara babi, Liwa juga mengasuh anak-anaknya yang berjumlah tujuh orang.
Beban hidupnyapun kian bertambah, ia tak dapat membagi beban hidup dengan ibarak, karena bekerja di kebun dan merawat anak adalah tugas perempuan. (hlm. 78)

Setiap malam Ibarak selalu mengunjunginya di dalam honai dan akibatnya Liwa terus mengandung, hingga tak terasa akhirnya ia memiliki tujuh orang anak. (hlm. 79)

3.3.2 Perempuan Sebagai Objek Seks
Menurut Kalyanamitra dan Prasetyo dalam Sugihastuti (2007: 204), dalam intensitas yang paling ringan, kekerasan seksual disebut sebagai pelecehan seksual. Bentuk-bentuk pelecehan seksual dapat berupa siulan nakal, kerdipan mata, gurauan nakal dan olok-olok yang menjerumus pada seks, memandangi tubuh mulai ujung rambut sampai mata kaki, pernyataan mengenai tubuh atau penampilan fisik, memberikan bahasa isyarat yang berkonotasi seksual, memperlihatkan gambar-gambar porno, memperlihatkan organ seks, mencolek, serta meraba, atau mencubit.
Laki-laki bertelanjang dada hanya memakai koteka, perempuan juga bertelanjang dada hanya memakai Sali, adalah pemandangan yang biasa terjadi di Lembah Baliem. Semua itu merupakan pakaian adat masyarakat suku Dani yang sampai sekarang masih ada yang memakainya. Namun lain halnya jika terjadi pelecehan seksual terhadap perempuan yang bertelanjang dada tersebut. Kasus pelecehan seksual terhadap Lapina pertama kali berlangsung ketika Lapina berada dalam silimo beberasa hari setelah kematian Aburah kakaknya. Berikut adalah kutipan tentang pelecehan seksual terhadap Lapina yang dilakukan oleh Kugara.
Kugara masih memperhatikan Lapina dengan dadanya yang telanjang. Wajahnya yang muda remaja, sungguh merupakan daya tarik tiada tara. Sepasang bukit kembar yang mencuat dangan Sali melilit pada pinggangnyayang ramping dan pemandangan dibalik Sali itu, Kugara menelan ludah. (hlm. 26)

Dari kutipan tersebut, dijelaskan bahwa Kugara tergoda dengan bentuk tubuh Lapina. Bentuk tubuh Lapina yang proporsional dengan bertelanjang dada dan sali yang melilit dipinggangnya menjadi bahan perhatian Kugara dengan cara terus memandangi tubuh Lapina.
Demikian pula dengan kugara, sambil menyantap hidangan lezat, matanya mengawasi Lapina. Dalam pandangan Kugara, gadis itu tiba-tiba menjelma menjadi setangkai bunga liar yang telah mekar dan penuh daya pikat. Ia sungguh-sungguh tak dapat lagi menguasai diri. Semenjak kematian Aburah, ia harus melewatkan malam yang membeku di honai laki-laki. (hlm. 27)

3.3.3 Perempuan Sebagai Objek Kekerasan Fisik dan Non Fisik
Terdapat beberapa definisi yang menjelaskan mengenai kekerasan fisik, salah satunya dari La Pona (2002: 7) yang mengatakan bahwa kekerasan fisik adalah segala macam tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik pada korbannya. Selain itu, beberapa definisi yang lain menyatakan bahwa tindakan kekerasan fisik melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh. Salah satunya ialah Meiyenti (1996: 6-7) yang menjelaskan jenis-jenis kekerasan fisik yang melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh seperti memukul, menampar, meludahi, menjabak, menendang, menyulut dengan rokok, serta melukai dengan barang atau senjata.
Kekerasan fisik dalam Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani, merupakan gabungan kekarasan fisik seperti yang telah didefinisikan oleh Meiyenti di atas. Terdapat pula kekerasan non fisik terhadap perempuan yang ada dalam novel ini. Tokoh perempuan pertama yang akan dibahasa dalam kesempatan ini adalah Lapina.
Lapina sebagai seorang istri yang masih belia harus bekerja keras dalam keadaan sehat maupun tidak sehat. Bahkan ketika ia dalam keadaan hamil dan sakit ia masih mendapatkan kekerasan non fisik dari Kugara.
“Aku tidak mau tahu, kau harus pulang dengan hasil kebun yang lebih banyak, bila tidak kau akan tahu akibatnya!” Kugara mengancam, ia berlalu pergi sambil menyambar pisak masak dan mengunyahnya dengan lahap. (hlm. 34)

“Bekerja di kebun dan mencari makan adalah urusanmu. Maaf sekali, aku tak dapat menggantikanmu. Kalau kau tak segera pergi ke kebun untuk mencari makanan, kau akan tahu akibatnya”, Kugara menyatakan ancaman. (hlm. 38)

Kekerasan fisik yang dilakukan oleh Kugara terhadap Lapina yaitu berupa eksploitasi tenaga. Kugara menghendaki agar Lapina selalu bekerja baik dalam keadaan sehat ataupun sakit agar kebutuhan makan dalam silimo selalu tersedia.
Suatu hari Lapina tak dapat bangkit, ia terbaring dan terus muntah. Perutnya mual, kepalanya pening, raut wajahnya pucat menguning. Demikian berhari-hari hingga persediaan makanan habis dan ia harus pergi ke kebun untuk merawat tanaman dan memetiknya. (hlm. 32)

Akibat kekarasan fisik dan non fisik, Lapina meraskan kebencian terhadap Kugara dan keadaan yang menimpa dirinya. Pernikahan yang diharapkan untuk membina keluarga yang bahagia ternyata jauh dari harapan.
Seketika Lapina merasa kebencian semakin menggumpal di dadanya, napasnya mendadak sesak dan memburu, matanya yang sayu sekejab berkilat. Beban hidupnya nyata-nyata semakin bertambah. Ia harus menikah dengan Kugara karena adat, babi-babi memang telah dimiliki sebagai mas kawin, tetapi ia harus memberi makan babi-babi setiap hari, juga laki-aki yang telah membayarnya dengan mas kawin itu. Ketika ia semakin lemah, karena kehamilan dan melahirkan ia harus tetap bekerja di kebun. (hlm. 38)

Berbagai perlakuan dan tindakan kekerasan yang diterima membuat Lapina tersadar bahwa perkawinannya dengan pembayaran babi-babi telah menjerumuskan dirinya dalam perbudakan adat.
Tapi perkawinannya dengan Kugara telah membuatnya mengerti, babi-babi yang dibayarkan pada hari perkawinannya dengan Kugara telah membuat dirinya diperlakukan sebagai budak. (hlm. 55)

Tokoh perempuan kedua yang menerima tindak kekerasan fisik dan non fisik adalah Liwa. Kekerasan fisik pertama kali dialami oleh Liwa ketika ia masih seorang gadis kecil. Ketika itu, bapaknya Kugara meninggal akibat perang suku. Adat mengajarkan untuk berbela sungkawa dengan memotong satu ruas jari ketika orang yang kita sayangi meninggal dunia. Sebagai anak kecil ia tidak bisa menerima aturan adat ini dengan ikhlas.
“Saya takut mama!” Liwa memeluk Lapina erat-erat dalam rasa takut yang amat sangat. (hlm. 50)

Tidak jauh dari Lapina, Liwa tengah berperang melawan sakit tak terperi. Sebuah kapak batu diayunkan berulang kali oleh tangan yang perkasa tanpa kenal ampun. Ia tak pernah mengerti tentang adat, ia tak dapat melawan ia cuma seorang bocah yang terjebak ke dalam tatanan nilai yang mengerikan. Bocah itu semakin tak dapat mengusasi kesadarannya. Darah telah mengucur, membasahi tanah, rasa pedih yang dalam mendorong Liwa menjerit, menjerit. (hlm. 53)

Selanjutnya, kekerasan fisik dan non fisik kerap mendera Liwa dalam perjalanan perkawinannya dengan Ibarak. Seperti halnya laki-laki suku Dani lainnya Ibarak pun digambarkan sebagai lelaki yang malas bekerja dan selalu tergantung pada Liwa.
Liwa hanya bagian yang sangat kecil dari arus perubahan itu, ia harus membesarkan tujuh orang anaknya, dan tugas rutin sehari-hari yang melelahkan. Sementara kemauan Ibarak membuat Liwa seakan tak memiliki hak dalam hidupnya, ia harus melupakan adanya hak, karena hal penting yang harus diselesaikan setiap hari adalah kewajiban.
Perselisihan hampir selalu terjadi setiap hari, dan Liwa selalu sebagai pihak yang kalah. (hlm. 82)

“Berani benar engkau Liwa!” tangan Ibarak terayun dengan amat kuat, mendarat di pipi Liwa.

Ibarak tak terdiam lama, ia segera bangkit dan menatap Liwa dengan geram. Ibarak tak berpikir lebih lama lagi, ia menghajar Liwa.

3.3.4 Perempuan dan Anak-anak Menjadi Bagian Kedua dalam Urusan Pembagian Makanan
Menurut suku Dani, hidup dalam rumah tanpa kamar adalah hidup di pusat hati. Kehidupan bersama sebagai saudara sebenarnya tidak perlu kubu persembunyian di balik kamar-kamar. Tak ada suatu rahasia, kecuali rahasia umum yang dijaga bersama. Hidup dalam silimo tanpa kamar membuat orang akan tahu tentang siapa makan apa, pada waktu kapan, dengan siapa, dan di mana, juga tentang siapa berbuat/berkata apa, kepada siapa, dan untuk apa. Dalam honai misalnya, pria selalu membawa makanan dari dapur dan ditempatkan di pusat, di bagian depan antara pintu masuk dan tiang-tiang penopang utama. Dari sini orang lalu membagikan kepada sesama hadirin dalam honai. Setiap orang mendapat bagian, walau kecil sekalipun, dan dinikmati secara merata. Rokok pun selalu ditaruh di pusat, siapa yang hendak merokok mendapat perhatian dari sesamanya (Mulait dan Alua, 2006: 49)
Konsep kebudayaan suku Dani yang berkaitan tentang pembagian makanan ini secara teori memang baik. Namun pada tataran penerapan perempuan dan anak-anak sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Perempuan dan anak-anak hanya mendapatkan bagian sedikit. Hal ini terjadi karena adanya alasan bahwa adat memuliakan laki-laki dengan memberikan makanan yang terbaik yang dimasak oleh istri.
Makanan yang tampak dalam ukuran besar dibagikan kepada pihak laki-laki, sedangkan yang berukuran kecil diberikan kepada perempuan dan anak-anak. Adat selalu menempatkan laki-laki sebagai pihak yang harus dihormati, sehingga mereka selalu mendapatkan makanan yang terbaik. (hlm. 27)

4. Simpulan
Novel Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani merupakan novel yang menceritakan problematika perempuan Dani yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Sali merupakan deskripsi keadaan suku Dani secara geografis, yang bersifat psikologis. Novel ini menyajikan dua lapis kandungan. Yang pertama adalah uraian geografis tentang keadaan komunitas suku Dani di lembah Baliem-Wamena. Lapis kedua adalah mitos.
Novel Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani bercerita tentang perjalanan hidup Liwa, Lapina, dan sepenggal kisah milik Gayatri. Di lain sisi novel ini juga mengambarkan pencitraan perempuan sebagai tokoh utama yaitu Liwa, Lapina, dan Gayatri. Perempuan dicitrakan sebagai perempuan yang memiliki peran tradisional sebagai istri, ibu, dan ibu rumah tangga.
Novel Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani juga menggambarkan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan tersebut diantaranya adalah kekerasan fisik dan nonfisik, kekerasan seksual, dan eksploitasi terhadap tenaga perempuan.

Daftar Pustaka
Budianta, Melanie. 2002. “Pendekatan Feminis terhadap Wacana: Sebuah Pengantar” dalam Budiman, Kris. (ed). Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal.
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics. London: Roudlege & Kegan Paul.
Goodman, Lisbeth. 2002. Literary and Gender. New York. The Open University.
Kridalaksana, Harimurti, dkk. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
La Pona dkk. 2002. Menggagas Tempat yang Aman Bagi Perempuan: Kasus di Papua. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.
Linggasari, Dewi. 2007. Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani: Novel Etnografi. Yogyskarta. Penerbit Kunci Ilmu.
Lokobal, Nico A. 2006. Nilai-nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua: Keadaan dan Peranan Perempuan-Laki-laki pada Suku Dani di Irian Jaya. Jayapura. Biro Penelitian STFT Fajar Timur.
Meiyenti, Sri. 1999. Kekerasan terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Moeliono, Anton M. (Penyunting), 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
Ruthven, K.K. 1990. Feminist Literary Studies: An Introduction. Cambridge. Cambridge University Press.
Sugihastuti dan Saptiawan, Itsna Hadi. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Offset.
Sugihastuti. 1991. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Tome, Sariyati N. 2000. Permasalahan Wanita dalam Novel N.H Dini: Analisis Kritik sastra

Tuesday, March 23, 2010

Cerita Rakyat Yapen

(diceritakan kembali oleh Yan Maniani)

Di daerah Yapen Timur, tempatnya di daerah Wawuti Revui terdapat sebuah gunung bernama Kemboi Rama. Masyarakat berkumpul dan berpesta di gunung itu. Di gunung itu juga tinggal seorang raja tanah atau Dewa bernama Iriwo Nowai. Dewa itu memiliki sebuah tipa atau Gendang yang diberi nama Sokirei
Atau Soworai, jika Gendang itu berbunyi orang-orang akan berdatangan dan berkumpul karena pada kesempatan itulah mereka dapat melihat Gendang itu. Akan tetapi, yang dapat melihat Gendang itu hanya orang-orang Tud bekekuatan Gaib.
Dewa Irowonawi mempunyai sebuah dusun yang banyak ditumbuhi tanaman Sagu, Yaitu Aroempi. Sagu merupakan makanan pokok daerah Wawutu Revui. Akan tetapi sagu itu, lama kelamaan berkuran. Dewa marah, kemudian tanaman Sagu itu dipindah ke daerah pantai disana mereka mendirikan daerah baru yang diberi nama Randuayaivi, setelah itu Kamboi Rama hanya tingal Iriwonawai dan sepasang Suami Istri bernama irimiami dan Isoray.
Pada suatu pagi, Isoray duduk diatas batu untuk menjemer diri, beberapa saat kemudian, batu yang didudukinya mengeluarkan Awan gumpalan (Awan Panas) sehingga dia tidak tahan duduk di batu itu. Kemudian Irimiami menduduki batu itu ternyata apa yang di rasakan Irimiami sama dengan yang dirasakan Isoroy. Setelah itu, Irimiami mengambil daging rusa dan diletakan diatas batu itu, tidak lama kemudian, daging rusa itu di angkat dan di makan ternyata daging Rusa itu terasa enak. Sejak itu, irimiami dan Isoray selalu meletakan makanan diatas batu itu.
Pada suatu hari, Irimiami dan Isoray mengosok buluh bambu di batu itu, tidak lama kemudian buluh bambu putus dan gosokan buluh bambu mengeluarkan percikan api. Irimiami dan Isoray heran, kemusian mereka mulai mengadakan percobaan diatas batu itu.
Keesokan harinya, mereka mengumpulkan rumput dan daun kering, rumput dan daun kering itu diletakan diatas batu itu tidak lama kemudian, rumput dan daun kering itu mengeluarkan gumpalan Awan seperti mereka pernah lihat. Irimiami dan Isoray menamakan batu iru keramat mereka mulai memuja batu itu.
Pada siang hari ketika Matahari memancarkan sinarnya, Irimiami dan Isoray mencoba meletakan ruput, daun dan ranting bambu diatas batu keramat itu mereka menunggu apa yang terjadi ternyata keluarlah awan merah yang sangat panas mereka ketakutan dan memohon kepada Dewa Iriwonawai agar memadamkan awan merah itu, permohonan mereka terkabul dan awan merah itu padam.
Hari berikutnya mereka mengumpulkan rumput, daun, dan kayu lebuh banyak. Benda-benda itu mereka letakan diatas batu keramat asap tebal mengepul di puncak gunung Kambol Rama selama enam hari Gedang pun berbunyi, masyarakat berkumpul ingin menyaksikan Gendang Soworai.
Irimiami dan Isorai menyambut baik kedatangan penduduk kampung Randuayaivui, mereka pun menceritakan peristiwa itu dan asal mula di temukan batu keramat. Penduduk tercengung mendengar cerita mereka, apabila mereka mencicipi makanan yang dipanaskan diatas batu keramat, oleh karena itu Irimiami dan isoray ingin ingin supaya diadakan paeta adapt.
Keesokan harinya, pesta adapt dimulai penduduk kampung Randiayaivibekumpul membawa pebekalan seperti, Sagu, Keladi, Daging dan makanan lainnya mereka bekumpul mengelilingi batu keramat, sambil meletakan rumput diatas batu itu, tidak lama kemudian keadaan sekitar gunung Kambi Rama menjadi sangat cerah dengar sinar api yang keluar dari batu keramat.
Pesta adat berlangsung selama 3 hari 3 malam, dalam pesta itu Irimiami dan Isoray memperhatikan peristiwa-peristiwa yang pernah mereka alami, kemudian Irimiami dan Isoray memerintahkan masyarakat yang hadir di pesta itu untuk mengelilingi batu keramat sambil menari dan memuja batu itu
Inilah legenda masyarakat Irian Jaya yang sampai sekaran mengerematkan batu api penemuan Irimiami dan Isoray. Mereka juga percaya bahwa Irimiami dan Isoray adalah orang pertama menemukan api, sekali di lakukan upacara pemuja terhadap batu keramat itu.

Asal Usul Suku Ormu

(Diceritakan kembali Oleh: Monika Toto)

Pada zaman dahulu, Suku Ormu hidup bersama di wilayah Tanjung Yatnan. Ketiga Suku Ormu itu sebenarnya adik kakak (Yeibhe, Yuwari, dan Trong). Lalu kemudian mereka membuat kesalahan, sehingga mereka semua pergi meninggalkan kampung di tanjung itu. Mereka meninggalkan semua harta kekayaan mereka di sana. Setelah mereka meninggalkan tanjung itu, mereka seolah-olah sudah saling membenci satu sama lain. Padahal mereka dulunya tinggal dalam keadaan damai, tenang, dan harmonis. Ikan dan sagu mudah mereka dapatkan, sehingga kehidupan mereka makmur sejahtera. Kesalahan besar itu sebenarnya dilakukan orang Suku Yuwari dan Suku Trong. Lalu mereka bubar dan berjalan bersama-sama.
Awalnya mereka berpindah hidup ke satu kampung yang bernama Morokwa. Lalu bergerak sampai ke kampung tua. Setelah itu kedua adik ini
( Yuwari dan Trong) melupakan kakak tertua mereka (Nereibhe). Suku Yeibhe ini akhirnya mengambil keputusan untuk berpisah dengan adik-adiknya dan memilih menetap di Kampung Ormu Kecil. Lalu suku Nereibhe ini hidup dengan Suku Maro sampai saat ini.
Suku Yuwari ini menuju ke Yanda. Lalu di sana mereka membuat kampung di tempat ini dan mulai bertanam. Suku Trong tetap tinggal di tempat semula, namun Suku Maro tetap bergabung dengan Suku Yeibhe. Begitulah asal mula perpisahan ketiga suku-suku besar Ormu. Dua Suku di Kampung Ormu Besar dan Satu Suku di Kampung Ormu Kecil. Suku Yuwari dari Yanda pindah ke Ormu Kecil ketika Pemerintah dan Agama mulai mengatur pola kehidupan masyarakat. Mereka membagi dua wilayah kampung itu, Suku Yuwari di bagian laut dan Suku Trong itu di bagian darat. Hanya orang-orang suku Yeibhe yang tetap bertahan di kampung Ormu Kecil sampai sekarang.

Thursday, March 11, 2010

Burung Cenderawasih (Bahasa Sentani: Hiyare)

(Diceritakan Kembali Oleh: Ramses Ohee)

Burung cenderawasih sangat indah dilihat, namun sangat sulit untuk didapatkan. Bulu burung cenderawasih yang halus memiliki daya tarik tersendiri untuk dimiliki. Bulunya yang berwarna putih dan kuning cerah sangat serasi dengan kombinasi warna coklat di bagian ekor.
Ada seorang ibu Ondofolo (istri dari Ondoafi) bernama Nolokom yang bertempat tinggal di kampung Yonorom di Kwadewareh, Sentani Timur yang sangat tertarik pada keindahan burung cenderawasih. Ia bermaksud menggunakan bulu burung cenderawasih untuk hiasan di kepalanya. Pada suatu hari, saat Ondofolo sedang mencari ikan di danau Sentani bersama-sama kaum ibu, ada seekor burung cenderawasih yang terbang rendah di atas perahu dengan suara yang indah. Kepak sayap cenderawasih yang lembut membuat burung itu melayang di angkasa, terbang rendah dan menukik, kemudian burung itu terbang menjauh ke arah gunung. Ondofolo hanya diam memandangi burung cenderawasih itu hilang dari pandangannya. Ondofolo diam agar tidak ada orang lain yang tahu tentang keinginannya. Terlebih lagi Ondofolo tidak mau ada orang lain yang lebih dulu menangkap burung cenderawasih itu daripada dirinya. Dalam diamnya Ondofolo memuji keindahan mahluk angkasa yang menjadi impiannya. Hari demi hari berlalu, Ondofolo semakin menginginkan burung cenderawasih itu berada di kepalanya. Ondofolo kemudian menyusun sebuah rencana.
Setiap hari kaum ibu di sekitar danau Sentani pergi mencari ikan menggunakan perahu dan jaring, tidak terkecuali Ondofolo. Setiap pagi Ondofolo menjala ikan di danau sampai hari menjelang siang. Hasil tangkapannya kemudian dimasak. Saat makan siang itulah Ondofolo memanggil para jago memanah yang sedang duduk-duduk di para-para adat tak jauh dari rumah Ondoafi- Ondofolo. Para jago panah di desa itu menerima perjamuan yang istimewa dari Ondofolo setiap hari. Hasil tangkapan ikan yang besar-besar selalu diolah menjadi masakan yang bervariasi. Pesuruh Ondofolo selalu diperintahkan mengundang jagoan-jagoan untuk makan siang dengan menu istimewa. Namun Ondofolo samasekali tidak menyampaikan apa maksud dan tujuannya kepada para jago panah itu. Sehingga timbul tanda tanya di hati para pendekar-pendekar panah, ada apa gerangan istri Ondoafi selalu masak papeda dengan ikan-ikan besar serta mengundang mereka. Ikan-ikan yang besar hasil tangkapan ibu-ibu lain juga terkadang diserahkan kepada Ondofolo untuk dimasak.
Apakah Ondoafi dan Ondofolo memiliki maksud tersembunyi atau menginginkan sesuatu dari masyarakatnya?. Pertanyaan para jago panah tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, Ondofolo hanya mengatakan tidak ada maksud apa-apa. Ondofolo menjawab bahwa ia hanya ingin mengundang makan para jago panah yang sedang duduk-duduk di balai adat. Begitu seterusnya. Para jago panah berhari-hari selalu diundang makan papeda dan ikan di rumah Ondoafi-Ondofolo tanpa mengetahui maksud di balik itu. Akhirnya para jago panah memutuskan untuk berkumpul di para-para adat dan sekali lagi menanyakan maksud Ondofolo yang sesungguhnya karena tidak mungkin Ondofolo menyediakan papeda dengan ikan-ikan besar setiap hari jika tidak ada maksud tertentu.
Ondofolo akhirnya menceritakan tentang apa yang selama ini menjadi idamannya. Segala yang ia lakukan selama ini semata-mata karena keinginannya memiliki burung cenderawasih yang berbulu indah. Terbukalah tabir bahwa Ondofolo mengharapkan para jago panah menangkap cebderawasih untuknya. Sejak melihat cenderawasih terbang rendah di atas danau, hatinya tak tenang karena takut burung tersebut telah dipanah oleh salah satu jago panah desa itu. Para jago panah pun sepakat untuk berusaha menangkap dan mempersembahkan seekor burung cenderawasih kepada Ondofolo untuk dijadikan hiasan kepala. Ondofolo sangat senang karena harapannya akan segera terwujud.
Para jago panah mulai melaksanakan tugasnya. Mereka pergi ke hutan dan ke gunung-gunung. Mereka mempelajari kebiasaan burung cenderawasih dari hari ke hari. Burung cenderawasih yang terbang dari ranting ke ranting, dari dahan ke dahan, dan dari pohon ke pohon selalu diawasi. Mereka mengetahui bahwa burung cenderawasih tidak pernah tertidur di dahan atau ranting pohon. Burung ini tidur di dalam pelepah pohon palem hutan yang menggantung. Saat hari berangkat senja, burung cenderawasih merayap naik, kemudian masuk ke sela-sela pelepah tersebut, menyembunyikan diri lalu tidur di situ. Orangtua-tua di kampung sudah memberitahu kebiasaan cenderawasih kepada para jago panah itu.
Saat burung cenderawasih memasuki pelepah pohon palem hutan, para jago panah sudah mengawasi dan bersiap-siap untuk menangkap. Mereka berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup karena dengan demikian para jago panah akan mendapat nilai plus sebab mampu menangkap burung cenderawasih dalam keadaan hidup. Sungguh kebanggaan yang luar biasa. Para jago panah menunggu dengan cemas. Setelah burung cenderawasih diperkirakan sudah tertidur pulas, naiklah seorang jago panah perlahan-lahan agar tidak menimbulkan suara. Pelan sekali. Saat mencapai pelepah palem hutan yang berisi cenderawasih maka secepat kilat pelepah itu dikatupkan kemudian diikat erat. Burung cenderawasih kaget namun tidak dapat berbuat apa-apa karena kedua ujung pelepah palem hutan telah diikat erat oleh Sang Jago Panah. Ia pun turun dan langsung menyerahkan burung cenderawasih ke tangan Ondofolo yang telah menunggu dengan cemas di rumahnya.
Sejak saat itu Ondofolo mempersiapkan pesta besar untuk merayakan kebahagiaannya dengan penuh sukacita. Burung cenderawasih diawetkan. Ketika pesta tarian berlangsung Ondofolo memperlihatkan perhiasannya yang selama ini sangat ia impikan. Seluruh masyarakat terkagum-kagum melihat hiasan kepala sang Ondofolo. Sejak saat itu burung cenderawasih menjadi simbol budaya bagi masyarakat Yonorom dan semakin banyak orang yang berburu burung cenderawasih ke kampung ini. Kampung Yonorom di Kwadewareh hingga saat ini memang sangat terkenal dengan tanaman palem hutannya yang besar dan tinggi-tinggi. Hal inilah yang membuat para pemburu cenderawasih berdatangan dari segala penjuru negeri.

Wednesday, March 10, 2010

Terjadinya Danau Sentani

( Diceritakan Kembali Oleh: H.H. Tokoro)

Pada zaman dahulu kala tinggallah dua orang bersaudara, yang tua bernama Hokhoitembu dan yang muda bernama Hokhoiela. Hanya mereka berdua yang tinggal di sebelah selatan Danau Sentani. Untuk makan sehari-hari mereka mengembara di hutan-hutan mencari binatang buruan. Binatang buruan inilah yang menjadi hidangan mereka setiap hari. Oleh karena pada saat itu tidak ada api, binatang buruan yang mereka tangkap dimakannya mentah-mentah. Adapun darahnya dijadikan air untuk pengganti minumannya. Keseharian mereka hanya ditemani oleh kicauan burung dan desiran angin. Ketika malam tiba merekapun berdua tidur pulas karena kelelahan berburu. Apabila pagi telah tiba dan sang fajar telah mulai menyinari alam jagad raya ini kedua bersaudara ini pun bangun dari tidurnya dan kembali beraktifitas sebagaimana biasanya. Seperti hari-hari sebelumnya ketika mereka bangun di pagi hari hal pertama yang mereka lakukan adalah mempersiapkan peralatan berburu mereka yang terbuat dari kayu, seperti jubi, tombak, serta parang dan kapak yang terbuat dari batu.
Tidak seperti pada hari-hari sebelumnya setiap bepergian ke hutan untuk berburu mereka berdua selalu bersama-sama. Tetapi kali ini mereka berdua bersepakat untuk berpencar. Hokhoitembu mencari buruan ke arah timur dan adiknya Hokhiela menuju arah barat.
“Adik, nanti kalau matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat kita bertemu di Gobuk ya?”, kata Hokhoitembu kepada adiknya.
“Baik kakak”, jawab Hokhoiela adiknya.
Setelah mereka bersepakat untuk bertemu disuatu tempat sebelum malam tiba, berangkatlah mereka berdua dengan tujuan masing-masing. Satu menuju ke arah barat dan satu lagi menuju ke arah timur. Kedua bersaudara ini baik yang menuju ke arah barat maupun yang menuju ke arah timur menempuh perjalanan yang amat melelahkan. Mereka naik gunung, turun gunung, melawati hutan belantara, menenuruni lembah untuk mencari buruan namun tak berhasil. Ketika hari sudah mulai gelap merekapun bertemu ditempat yang telah mereka berdua sepakati bersama. Dalam pertemuan itu mereka bercerita satu sama lain tentang pengalaman mereka dalam perjalanannya. Di tengah keasikan mereka bercerita karena mungkin kelelahan mereka berdua pun tertidur di tempat itu. Keesokan harinya pagi-pagi sekali merekapun bangun, seperti biasa mereka mempersiapkan perlengkapan berburu untuk kembali melanjutkan perjalannya. Kali ini mereka tidak berpencar tetapi bersepakat untuk berangkat bersama-berasama ke arah utara sentani. Usia kedua bersaudara ini semakin-hari semakin tua, mereka tua dalam pengembraan. Ketika mereka tiba di sebelah utara sentani mereka sepakat untuk bermalam di situ. Pagi-pagi buta Hokhoiela terbangun dan keluar dari gubuknya. Di luar gubuknya ia naik ke atas pohon kemudian mengarahkan pandangannya ke arah utara. Di arah utara ia melihat ada asap yang mengepul membumbung ke langit. Hokhoiela merasa aneh melihat asap itu, karena selama hidup mereka baru kali ini ia melihat asap. Akhirnya ia pun turun menemui kakaknya Hokhoitembu dan memberi tahunya bahwa ia melihat benda aneh membumbung ke atas.
Mendengar penjelasan adiknya Hokhoitembu pun segera mengajak adiknya menuju ke arah utara tempat dimana asap itu berada. Mereka berjalan menuruni lembah, menyususri hutan lebat, dan mendaki gunung untuk sampai ke tempat asap itu. Di sepanjang perjalanan tidak ada seorang yang di temuinya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun mereka berdua terus berjalan. Setelah sekian lama mereka berjalan akhirnya sampai juga mereka di tempat asap itu berada. Ditempat itu ternyata ada seorang lelaki tua yang bernama Yokhumokho. Yakhumokho ini bertugas menjaga api dan air yang ada di dekat gunung dobongsolo.
Melihat Hokhoitembu dan adiknya datang, Yokhumokho pun bertanya.
“siapa nama kalian dan apa tujuan kalian berdua datang kemari?”, tanya Yokhumokho.
“kami berdua datang kemari untuk meminta air”, jawan Hokhoitembu.
“baik kalau begitu, ini saya serahkan air tapi kalian berdua jangan sekali-kali meletakkan air ini di tanah, ya!”, pinta Yokhumokho.
“Iya, Bapak!”, jawab mereka.
Setelah mereka menerima air merekapun berangkat pulang. Yang membawa air Hokhoitembu. Sepanjang perjalanan pulang mereka berdua tidak mendapatkan gangguan apa pun. Di tengah perjalanan karena capek dan lelah merekapun memutuskan untuk beristirahat. Air yang dibawa oleh Hokhoitembu diletakkan pada sebatang pohon tumbang, tanpa sengaja air itu tumpah. Tumpahannya mengalir melewati kelokan-kelokan tanah menuju kawah sebelah selatan Sentani. Kedua kakak beradik ini pun kaget.
Karena merasa bersalah mereka memutuskan untuk mengikuti kemana saja air yang tumpah itu mengalir. Rupanya air yang mengalir menyebar ke segala penjuru. Ada aliran air yang menuju menuju Kehiran. Aliran air itulah yang sekarang menjadi kali Awaiwi yang terdapat di Kehiran. Sesampainya diujung kali, Hokhoitembu mengatakan kepada adiknya yang Hokhoiela.
“Sekarang kita berpisah, saya menuju ke bagian timur dan kamu menuju ke bagian barat”, kata Hokhoitembu.
“Baik kakak”, balas Hokhoiela.
Setelah itu mereka pun berpisah, masing-masing berangkat sesuai dengan tujuan mereka dengan bekal air yang masih tersisah. Sang kakak yang berjalan ke arah timur dengan badan lurus menunjukkan daratan yaitu daerah kampung Yahim. Kemudian dengan kepala lurus dan membelokkan badan membentuk sebuah celah yang diletakkan di Kampung Sereh. Selanjutnya badan dibelokkan dengan tujuan membentuk lingkaran kecil yang disebut Pulau Yobe. Kemudian badannya dilingkarkan lagi kurang lebih sembilang puluh derajat sehingga membentuk Pulau Ajau Besar (dalam bahasa Indonesia Ifar Besar). Lalu membengkokkan badan lagi membentuk lingkaran dan terjadilah pulau Habakhei dan selanjutnya ke kiri lagi membentuk antara pulau Habakhei dan Pulau Ohey (Pulau Yohena) dan sekarang pulau itu disebut Pulau Asei. Kemudian Hokhoitembu kembali lagi berjalan dengan badan yang lurus mulai dari Hakhabei menuju kampung Nendali (sekarang Netar) langsung menuju ke arah timur lewat pulau Yohena (Pulau Asei) lalu membelokkan badan ke arah timur langsung menuju ke arah selatan membentuk sebuah daratan. Daratan itulah tempat Kampung Hebeiburu (Kampung Yoka).
Setelah itu kembali lagi Hokhoitembu melanjutkan perjalanan melaui air terus membuat beberapa tanjung yang letaknya antara Kampung Hebeiburu atau kampung Yoka dengan Kampung Puay. Sesampainya di Kampung Puay langsung masuk ke dalam dan membuat sungai yang cukup dalam langsung menuju ke arah timur. Sungai inilah yang dinamakan Kali Itafik (kali jernih). Perjalanan Hokhoitembu tidak terus ke arah timur tetapi berbelok ke arah selatan kawah sentani dan membelokkan badannya ke arah barat sentani, itulah yang membentuk pulau kecil yang bernama Hosena. Selanjutnya berjalan lagi membentuk daratan kemudian tanjung tempat Kampung Ayapo berada. Lalu berbelok ke arah barat membentuk Selat Bhuki. Terus ke arah barat di tengah-tengah danau membentuk pulau-pulau kecil yang bernama Pulau Merah (Pulau Putaly). Kemudian kembali ke arah selatan membentuk pulau kecil yang disebut Obolio. Selanjutnya menbentuk pulau besar yang disebut Atamaly. Terus ke selatan Sentani membentuk daratan yang agak dalam yang sekarang ditempati Kampung Ebale yang sekarang disebut Kampung Abar. Begitu pula adiknya Hokhoiela dengan membawa air ia berjalan dimulai dari daratan kampung Yoboy membuat tanjung panjang menuju arah selatan Sentani, namanya Tanjung Puyebei, kemudian terus ke sentani barat mulai dari Deware (kampung Kwadeware), Yonokong menuju selatan membuat sebuah pulau kecil yang bernama Mantai, selanjutnya berjalan ke arah utara melewati Yonokong membentuk beberapa pulau yang ada di daerah Rogo (Doyo Lama), terus menuju arah barat lewat kampung Yokhonde (nama sekarang Yakonde) sampai ke Sosiri lewat Buruwai belok ke arah timur membuat sungai besar Yope kemudian keluar lewat Kampung Donday. Perjalanan kedua kakak beradik yang membentuk lingkaran ini yang melewati beberapa tanjung menuju arah timur, barat, dan selatan inilah yang akhirnya membentuk danau sentani yang indah dan dapat kita nikmati keindahannya sekarang.

Wednesday, March 3, 2010

CABO DAN BATU AJAIB

CABO DAN BATU AJAIB
Cerita Rakyat dari Kampung Kayubatu
Pemenang II Sayembara Penulisan Cerita Rakyat 2009)






Dikembangkan oleh:
Eni Suryanti, S.Pd.
Guru SMA YPPK Taruna Dharma Kotaraja

Ratusan tahun yang telah silam di Papua terdapat beberapa kampung pembuat panci ataupun pembuat perkakas dapur dari tanah. Salah satu dari kampung-kampung itu adalah kampung Kayubatu yang letaknya di Teluk Imbi, Jayapura. Penduduk Kayubatu pada saat itu terdiri dari 16 kepala keluarga yang masing-masing keluarga terdiri dari 60 hingga 80 orang. Jumlah penduduknya lebih banyak dahulu daripada sekarang. Mereka hidup dengan bercocok tanam dan menangkap ikan. Biasanya mereka membuka ladang di lereng-lereng gunung sekitar teluk dan ditanami dengan umbi-umbian. Laut di sekitar kampong ikannya pun cukup untuk memenuhi kebutuhan ratusan orang.
Karena tanah itu selalu dipakai lama kelamaan tanahnya menjadi gersang dan berkurang hasilnya. Untuk memenuhi kebutuhan pangan orang-orang mengusahakan perladangan baru. Yang dimaksud dengan perladangan baru adalah ladang yang agak jauh dari kampung dan masih subur. Mencari perladangan baru berlangsung dari tahun ke tahun hingga tanah subur di sekitar kampung habis terpakai. Untuk mencari perladangan lain mereka harus pergi jauh dari kampung dan mungkin memasuki wilayah kampung lain. Memasuki wilayah kampung lain akan membawa akibat, oleh sebab itu orang-orang berusaha menggunakan tanah bekas. Mengusahakan tanah bekas tidak membawa hasil yang memuaskan dan lambat laun kesulitan untuk mencari perladangan semakin terasa. Kesulitan yang paling dirasakan adalah pada tahun yang sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Hal itu terjadi karena tanaman jagung yang masih muda habis dihanyutkan air hujan yang lebat. Karena tanaman jagung sudah musnah, selain itu babi hutan pun mengganggu tanaman ubi. Demikian pula hasil laut sudah berkurang. Mengapa hasil laut berkurang seorang pun tidak ada yang tahu, tetapi pada waktu itu di laut sekitar kampung tampak awan yang sering merendah dan mengapung-apung. Tahun itu memang kesialan tengah menimpa penduduk kampung, pohon-pohon kelapa kurang menghasilkan buah, pucuknya habis dihancurkan oleh kumbang-kumbang kelapa.
Waktu itu orang-orang merasa bahwa arwah nenek moyang mereka marah. Agar arwah nenek moyangnya tidak marah, mereka mencoba mempersembahkan manik-manik di tanjung-tanjung atau tempat-tempat yang diperkirakan terdapat arwah nenek moyang bersemayam. Walaupun korban persembahan telah dilaksanakan, namun tidak membawa hasil juga. Mereka sangat menderita karena kebutuhan hidup semakin sulit dicari. Setiap petang orang-orang duduk bersama dan berbincang tentang kesusahan itu.
“Saya kira arwah nenek moyang kita marah sekali, korban persembahan telah dilaksanakan namun belum juga berhasil,” kata salah seorang dari yang berbincang-bincang itu.
“Mengapa arwah nenek moyang begitu marah?” sela orang lain pula.
“Ya, mengapa…? Sebelum bencana ini menimpa kita, penduduk kampung ini selalu bahagia. Mengapa kita sekarang menjadi begini? Tanya yang lain.
“Mungkin di antara kita ada yang burbuat suatu kesalahan kepada arwah nenek moyang.” kata pembicara pertama tadi.
“Bila hal itu memang demikian, maka kita harus mengadakan pesta tari. Mungkin dengan diadakannya pesta tari tiu akan membawa kita kembali dalam suatu alam yang menyenangkan,” kata pembicara lain.
Ajakan untuk membuat pesta disetujui oleh semua penduduk kampung, tetapi pestanya harus sederhana karena bekal tidak mencukupi. Walaupun pesta sederhana telah dilaksanakan, tetapi tidak dapat menolong juga. Orang sering tidur tanpa makan. Yang paling prihatin memikirkan nasib kampung itu adalah Cabo Pui. Cabo Pui sering berkata kepada Tiaghe saudaranya, bahwa ia senang bila dapat berbuat sesuatu untuk kampungnya.
Pada suatu malam Cabo Pui bermimpi. Dalam mimpinya itu ia berjalan menyusuri pantai tanjung Suaja dengan membawa sebuah batu pipih lonjong yang indah. Dari mana ia peroleh dan asal usul batu pipih itu tidak diketahuinya. Batu pipih itu berada di tangannya ketika ia meninggalkan pantai dan pergi menuju ke suatu jalan karang yang terjal. Setibanya di ketinggian jalan itu, tiba-tiba di tempat itu menjelmalah sebuah gunung bertanah merah. Kemudian datanglah perempuan-perempuan yang masing-masing membawa sebuah keranjang kosong. Mereka mengisi keranjang-keranjang kosong itu dengan tanah merah dari gunung itu dan disertai dengan sedikit pasir. Salah satu dari perempuan-perempuan itu juga mendapat sebuah batu seperti yang dimilki oleh Cabo. Setelah keranjang penuh dengan campuran tanah dan pasir lalu mereka pulang. Di kampung perempuan-perempuan itu membuat gerabah dari tanah merah yang mereka bawa dengan menggunakan batu pipih. Sementara mereka sibuk mengerjakannya, tiba-tiba rumah-rumah di kampung berubah menjadi indah. Orang-orangnya pun bergembira seperti sebelum kemelaratan dan kemiskinan menimpa penduduk kampung.
Ketika Cabo bangun, ia duduk dan dalam hatinya berkata, “Benarkah aku bermimpi? Atau memang benar-benar apa yang saya saksikan itu.” Pergumulan pikiran tentang mimpinya tetap menguasai benaknya. Ia tak dapak menafsirkan arti mimpi itu kepada Tiaghe. Keesokan harinya, sesudah petang ia pergi menjumpai Tiaghe. Ia bercerita mengenai mimpinya dengan sejelas-jelasnya.
“Aku harus memiliki batu ajaib itu dan apabila telah kumiliki mungkin dapat mendatangkan kembali kemakmuran kampung ini,” kata Cabo mengawali pembicaraan.
“Tahukah engkau di mana batu itu harus dicari?” tanya Tiaghe.
“Tidak.” jawab Cabo Pui.
“Kau telah menceritakan mimpimu dengan jelas, tetapi mengenai batu itu masih belum jelas asal usulnya,” timpal Tiaghe.
“Ya, tetapi batu itu aku harus mencarinya,” kata Cabo penuh semangat.
“Bolehkah aku ikut bersamamu, Cabo? Bukankah lebih mudah mencari dengan dua orang daripada satu orang?” usul Tiaghe.
“Tidak, Tiaghe. Dalam mimpiku aku hanya seorang diri.” kata Cabo lagi.
“Kalau begitu, pesanku bawalah anjingmu. Ia adalah binatang yang cerdik dan setia,” kata Tiaghe memberi usul.
“Akan aku turuti nasihatmu, Tiaghe.”
“Ke manakah engkau akan pergi?” tanya Tiaghe lagi.
“Aku akan pergi ke arah barat, menyusuri kaki gunung yang tinggi. Pada kesempatan ini juga aku berpesan kepadamu saudaraku, bila engkau mendengar atau melihat suatu tanda alam, maka pergilah engaku ke tanjung Suaja. Di sana engkau akan menemukan benda-benda yang membawa keuntungan abadi kepada segenap keluarga kita,” kata Cabo panjang lebar.
“Aku senantiasa mendoakanmu, semoga engkau selamat dalam perjalanan dan kemakmuran yang dicari dapat tercapai,” kata Tiaghe memberi semangat.
“Jagalah keluargamu baik-baik dan jangan lupa tanda-tanda alam, sekarang aku akan segera berangkat,” kata Cabo berpamitan.
Dengan sebuah perahu berangkatlah ia ke muara sungai Numbai. Di kiri kanan muara sungai itu sekarang terletak Kantor Pos Jayapura dan Kantor DPR Papua. Setelah tiba di muara sungai Numbai, Cabo Pui dan anjingnya yang bernama Abu turun dari perahu. Mereka menyusuri sungai menuju bukit-bukit yang berhutan lebat. Pada bukit-bukit itu terdapat jalan setapak yang genting. Cabo dengan tabah mendaki dan menuruninya. Setelah petang hari, tibalah mereka pada sebuah bukit yang tinggi. Di kejauhan terbentang sebuah teluk yang indah, diapit oleh dua tanjung. Di antara kedua tanjung itu seolah-olah terdapat sebuah pintu menujun laut bebas. Di sanalah terlihat beberapa rumah yang mirip dengan kampung cabo pui. Rumah-rumah itu di bangun diatas permukaan laut. Dengan jelas cabo melihat air laut menghijau yang menandakan air sangat dangkal. Rumah-rumah itu adalah rumah dari kampung Injiros (Enggros) dan kampung Tobati.
Dari puncak bukit itu terbentang pula suatu jalan terjal menuju ke bawah. Jalan terjal itu dilaluinya dengan hati-hati dan tibalah ia pada sebidang tanah bekas kebun. Di carinya tempat untuk bermalam. Karena tempat itu adalah kebun lama ia memastikan bahwa di sekitar kebun itu ada gubuk. Memang benar, setelah beberapa saat kemudian ia menemukan gubuk kecil dan memutuskan untuk bermalam di gubuk itu. Karena sudah lapar dicarinya makanan di kebun itu dan berhasil menemukan beberapa umbi-umbian. “Pemilik kebun tidak akan memarahiku apabila ku habiskan umbian ini”, pikirnya.
Segera di buatnya api kemudian umbi-umbian itu dimasukan ke dalamnya. Beberapa saat kemudian umbi-umbian itu masak, lalu di keluarkan dan dimakannya dengan lahap. Abu berdiri di depan tuannya dan pandangan matanya mengikuti saetiap gerakan Cabo. Demi melihat anjing kesayangannya, Cabo memberinya sepotong umbian. Meskipun Cabo telah kenyang ia merasa masih ada kurang pada dirinya, yaitu belum mendapat batu ajaib.sambil berbaring Cabo berbicara dengan anjingnya, “Di pinggir danau ini mestinya ada penduduk kampung yang membuat sempe. Kita harus berusaha untuk mendapatkan kampung itu. Kalau tidak salah, Abar namanya. Sering orang-oarang dari kampung itu datang ke kampung kita untuk menjual sempe”. Abu sudah terbiasa, bila tuannya berbicara ia selalu merasa gembira. Karena gembiranya ia meletakkan kaki depannya yang sebelah di atas lutut Cabo, seolah- olah Abu hendak mengatakan, “Aku senantiasa akan membantumu, Tuan”.
Keesokan harinya setelah matahari terbit Cabo bertekad untuk mencari suatu puncak yang tinggi. Dari puncak itu ia akan dapat melihat sekitar gunung dan danau. Dengan jelas dilihatnya di atas permukaan air, bangunan kampung-kampung dan pulau-pulau kecil. Beberapa kampung di antaranya ada yang sebesar kampung Cabo Pui. Sebagian dari lereng-lereng gunung di sebelah danau nampak amat gundul. Walaupun cuaca amat cerah dan kampung-kampung dapat dilihat denga jelas, tetapi kampung Abar belum diketahui secara pasti. Ia ingin segera mendapatkan kampung Abar di mana tempayan-tempayan tanah di buat. Dengan hati- hati sekali mereka menuruni bukit. Kadang-kadang mereka melewati kebun-kebun yang sedang dikerjakan orang. Setelah beberapa saat kemudian Cabo dan Abu sampai di pinggir danau. Tiap kali menjumpai persimpangan jalan, mereka memastikan bahwa letak kampung Abar tidak jauh lagi. Cabo mengikatkan tali pada kalung Abu agar anjingnya dapat dikekang. Ia akan memasuki kampung untuk melihat apa yang ada di sana. Saya akan menyembunyikan tombak, busur dan anak panah. Kalau orang melihat saya tidak membawa senjata tajam berati tidak mempunyai maksud jahat, pikir Cabo. Ia menyembunyikan senjata tajamnya di dalam semak-semak belukar. Tali yang di ikat pada kalung Abu tetap dalam tangan Cabo. Dengan sengaja Cabo berjalan mengelilingi tempat di mana wanita-wanita bekerja. Ketika ia mengelilingi tempat wanita-wanita itu, tiba-tiba terdengar olehnya bunyi kapak. Cabo memastikan bahwa mereka kini sudah mendekati sebidang kebun yang sedang di kerjakan oleh pemiliknya. Ia berdiri di samping tempat yang baru saja dibakar. Cabo melihat sepasang suami istri yang sedang sibuk bekerja. Sang suami menoleh dan melihat ke arah Cabo. Orang itu tidak terkejut.
“Untunglah,”pikir Cabo.
Kemudian laki-laki itu berkata dalam bahasanya. Cabo merasa asing mendengar kalimat-kalimat itu, tetapi ia dapat menerka apa yang dimaksud oleh laki-laki itu. Kalimat itu diterkanya demikian, “Dari mana dan hendak kemana ?”
Cabo tampak ragu-ragu menjawab dalam bahasanya “Dari timur dan saya hendak ke barat”. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi dalam bahasa teluk Imbi, “Anda datang dari pantai ?”
“Ya, benar saya datang dari pantai, ” jawab Cabo. Laki-laki itu menghampiri Cabo dan memberitahukan namanya. Abo, demikian nama orang itu.
Cabo bertanya lagi ”Anda tahu bahasa kami ?”
Cabo tersenyum seraya berkata “tahu sedikit-sedikit, dahulu saya pernah merantau ke tempat anda”. Cabo sangat girang karena ada orang yang mengetahui bahasanya. Anjing Cabo mengibas-ibaskan ekornya karena mengikutu kegirangan tuannya. Abo mengantarkan Cabo dan memperkenalkan pada istrinya. Setelah itu Abo mengatakan sesuatu kepada istrinya, lalu istrinya pergi ke pondok yang terletak di pojok kebun. Kemudian Abo bersama Cabo mengikuti istrinya. Pada cabang kayu di pondok itu tergantung satu noken. Si istri mengangkat noken dan mengeluarkannya sagu bakar dari dalamnya. Sagu bakar itu di hidangkan di atas selembar daun pisang lalu Abo mengajak Cabo untuk makan bersama. Dengan perasaan syukur Cabo memakan beberapa potong sagu bakar. Abo menjamunya dengan penuh ramah tamah. Sesudah itu ia menceritakan tentang keadaan kampung dan rencananya dengan sejelas- jelasnya. Dalam keyakinan Abo timbullah suatu pemikiran lalu ia berkata, “Hanya orang-orang kami saja yang boleh membuat sempe. Tetapi saya bukan Ondolofo, nanti malam kita akan membicarakannya dengan penduduk kampung ini ”.
Sepanjang hari sebelum pulang kerumah mereka bekerja bersama-sama, Cabo membantunya dengan tulus ikhlas. Ketika petang tiba mereka pun meninggalkan kebun lalu pulang ke rumah. Mereka mengikuti jalan kecil, arah mana cabo datang tadi. Ketika mereka tiba di kampung hari masih terang. Kampung itu terletak pada sebuah sungai kecil yang jernih dan datangnya dari pegunungan. Orang-orang kampung menatap tamu asing itu dengan penuh simpati serta ingin tahu siapa gerangan tamu itu.
Pada sore hari orang-orang tua berkumpul di rumah-rumah khusus laki-laki. Dalam kesempatan itu Cabo menceritakan kembali dalam bahasanya tentang apa yang di ceritakan kapada Abo. Abo membantu menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah setempat. sebagian orang-orang menatapnya, agar Cabo berbicara lagi. Tetapi Cabo menginsafi dahwa baginya tidak ada lagi waktu luang untuk berbicara. Salah seorang yang tertua dari antara mereka memberi suatu isyara agar Abo membawa tamu asing itu keluar rumah. Setelah Cabo keluar, terdengar suara mendengung karena mereka dengan mereka yang berbincang-bincang.
Salah seorang di antara mereka bersungut-sungut “Kalau ada orang yang tidak dikenal datang ke kampung kita, apa yang harus kita lakukan? Apakah orang itu boleh menangkap ikan di teluk kekuasaan kita? ”
Sedang bersungut-sungut orang itu bertanya lagi kepada Cabo “Bolehkah orang asing menangkap ikan di telukmu?”
“Tidak,” jawab Cabo. Cabo berpaling pada Abo seraya berkata “Tetapi di kampung saya jumlah penduduknya banyak, bagaimana dengan kampung ini?”
Abo mengangkat bahunya lalu menjawab “Saya bukan ondolofo dan mungkin ketidakpuasan anda akan di jawab oleh para orang tua nanti.”
Tiada beberapa kemudian, mereka dipanggil lagi masuk ke dalam rumah. Orang yang tertua berbisik kepada Abo lalu Abo pun menyampaikan bisikan itu kepada Cabo. Hasil bisikan itu adalah Cabo dan seluruh keretnya, tidak berhak untuk membuat sempe. Mimpi tetap mimpi. Sebab setiap orang dapat saja bermimpi demikian. Walaupun ada larangan kepada warga Cabo, namun orang-orang Abar menghendaki agar hubungan persaudaraan tetap ada dengan orang-orang Kayubatu. Karena orang-orang Kayubatu sering membeli sempe dari mereka.
Cabo adalah tamu Abo. Cabo boleh saja tinggal lebih lama di rumah Abo jika Cabo menghendaki. Tetapi Cabo tidak menginginkannya. Keputusan orang-orang tua masih terbayang di benaknya. “mimpi tetap mimpi, marga Cabo tidak berhak untuk membuat sempe. Kata-kata orang-arang Abar memang benar. Untuk memiliki kepandaian membuat sempe harus ada suatu kejutan, suatu keajaiban.” Demikian pemikiran Cabo. Oleh sebab itu ia tidak ingin tinggal lebih lama lagi. Kemudian Cabo pergi meninggalkan perkampungan masyarakat Abar. Tetapi Abu tidak mau mengikuti Cabo. Berkali-kali ia memanggil tetapi Abu tetap bergeming. Cabo menjadi geram. Sekarang aku tidak dapat mengendalikan anjing ini. Mengapa Abu berbuat begitu?” demikian pikir Cabo. Berbagai cara telah dilakukan, sampai-sampai ia mengangkat tombak untuk mengancam Abu. Abu tidak takut, binatang yang cerdik itu tetap berdiri seolah-olah memohon sesuatu kepada tuannya. Karena Abu tetap tidak mau berjalan, tiba-tiba timbulah suatu pemikiran baru bagi Cabo.
Ia melepaskan tali rotan seraya berkata “Baiklah Abu, engkau saja yang bertindak sebagai penunjuk jalan!” Dengan melompat-lompat Abu berlari kembali ke simpang tiga. Di simpang tiga, Abu mengibas-ibaskan ekornya sambil menanti kedatangan tuannya.
Setelah Cabo tiba lalu mereka pun pergi mengikuti jalan terkal ke arah gunung, di sebelah utara. Sementara berjalan, Cabo menyadari bahwa Abu akan mengantarnya ke tempat batu ajaib yang dicari. Mereka melintasi kebun-kebun bekas kemudian memasuki hutan alang-alang yang luas. Beberapa kali mereka melewati anak sungai, Cabo dan Abu berkesempatan untuk minum. Setelah beberapa saat berjalan, tibalah mereka di lereng gunung. Jalan semakin terjal, sempit dan tidak jelas. Sebenarnya jalan itu masih sering dilalui orang. Walaupun jalan itu terjal dan tidak jelas, namun Abu akan menuntun Cabo ke tempat yang di tuju. Jika sudah lelah Cabo beristirahat sebentar sambil memakan ubi. Setelah makan mereka melanjutkan perjalanannya. Pendakiaan terakhir diharapkan ditempuh pada waktu tengah hari. Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di suatu tebing yang tinggi. Sementara berjalan Cabo acapkali berdiri sejenak untuk melihat ke belakang. Melalui celah pohon-pohonan, di kejauhan dilihatlah sebuah danau yang indah. Di atas permukaan danau terletak kampung-kampung dan pulau-pulau kecil. Ketika mendaki semakin tinggi daun-daunan dan batang-batang pohon basah, karena ditutup kabut yang tebal. Matahari seolah-olah tidak dapat menerobos kabut tebal itu. Pemandangan danau pun tidak nampak lagi. Bukan pemandangan danau saja yang tidak nampak, tetapi Cabo tak dapat lagi melihat kemana-mana.
“Kita teruskan perjalanan, Abu! Bila kita sudah sampai di tempat yang rendah, mungkin sudah ada sinar matahari,” kata Cabo.
Abu seakan-akan mengerti ucapan tuannya dan mereka terus berjalan. Jalanan menurun maupun menanjak amat licin karena kabut. Dengan hati-hati sekali mereka menjalani lereng-lereng di sebelah utara. Sementara mereka berjalan, kabut yang tebal itu telah berubah menjadi tipis. Cabo sudah dapat melihat langit yang biru. Tiada berapa hari kemudian cahaya matahari yang cerah menimpa Cabo. Karena segarnya sinar matahari lalu Cabo bersanjak.
“Aku dalam perlawatan
Mencari batu keajaiban
Batu bakal pembawa kemakmuran
Kepada manusia yang sekarang hidup
Dan yang akan datang
Abu membimbingku berjalan
Akan kemanakah aku dibawa Abu ?”
Di hadapannya, terbentanglah batu-batu yang luar biasa curamnya, di mana hampir tidak ada pohon dan rumput tumbuh. Nun jauh di sana langit dan laut sama membiru sehingga sulit untuk di bedakan. Yang jelas adalah garis pantai. Di sebelah kiri pantai itu terlihat sebuah kampung dan pohon-pohon kelapa.
“Apakah rahasia yang di cari ada di sana ?” pikir Cabo.
Cabo hanya melihat sebentar saja lalu melanjutkan perjalanan. Jalan itu tidak terjal lagi dan sudah menurun. Setelah beberapa lama berjalan Cabo melihat potongan dahan kayu dan bekas-bekas telapak kaki manusia pada anak sungai. Ia memastikan bahwa beberapa saat lagi akan mememukan kampung. Kini tiba saatnya untuk lebih waspada. Ia ingin lebih dahulu melihat dari pada orang kampung melihat dirinya. Cabo meramalkan bahwa tiada berapa lama lagi akan terjadi sesuatu. Memang benar apa yang diramalkan, sebab tiada berapa lama kemudian terdengar suatu suara. Dengan hati-hati sekali Cabo berjalan terus. Ia melampaui palung kering lalu memasuki semak-semak dan lalu ia menghampiri suatu pantai yang agak terbuka. Di pantai, sambil bersembunyi Cabo melihat sekelilingnya. Ketika ia megarahkan matanya ke atas batu di lihatnya seorang laki-laki sedang duduk sambil memakan pinang. Semula Cabo tidak melihat orang lain, tetapi tak lama kemudian ia mendengar suara dan tampaklah orang-orang. Rupa-rupanya batu tempat duduk orang itu bergua. Ia menyelinap mendekati gua itu untuk mengintai.
Di gua itu di lihatnya orang-orang sedang sibuk dengan batu-batu besar. Beberapa orang memalu batu pada batu yang lain dan ada pula yang menggosok batu lain. Cabo seolah mengerti apa yang sedang dikerjakan oarang-orang itu, yaitu kapak-kapak batu. Karena kapak-kapak yang dikerjakan, Cabo yakin bahwa ia telah berada di kampung Ormu. Sebab orang-orang Ormu saja yang sering datang ke Kayubatu untuk menukar kapak batu.
“Alangkah baiknya jika menyelinap lebih dekat lagi. Tetapi, tidak bisa karena orang di atas gua tadi, adalah seorang pemimpin,” pikir Cabo.
Raut muka orang yang di atas gua itu tampaknya kurang tenang. Ia berdiri sejenak lalu berjalan dan berbicara dengan laki-laki lainnya. Setel;ah ia berbicara, Cabo melihat orang-orang menghentikan pekerjaannya. Batu-batu yang dikerjakan itu dimasukkan ke dalam kantong noken lalu pergi mengikuti palung anak sungai. Tetapi salah seorang di antara yang bekerja tadi masih berbicara dengan pemimpin itu. Ia memperlihatkan dan menyerahkan batu yang baru di kerjakan kepada pemimpin lalu mereka pergi berdiri di bawah sinar matahari. Cabo melihat batu itu dengan jelas dan ternyata batu itu indah seperti yang pernah di mimpikan dahulu.
Dalam hatinya bertanya ”Batu itukah yang saya cari?”
Tanpa bergerak Cabo mengarahkan pandangannya ke batu. Ia melihat pemimpin itu mengelus-elus dan mengamati datu yang sudah selesai di kerjakan itu, sambil mengangguk-anggukan kepala. Cabo ingin segera memiliki batu itu. Setelah batu di amati lalu di kembalikannya kepada orang itu sambil mengetakan sesuatu. Orang itu menjawab kemudian mengikuti arah teman-temannya yang pergi terdahulu.
“Untung sang pemimpin itu tinggal, sekarang aku dapat berbicara kepadanya,” pikir Cabo.
Ketika orang yang pergi itu lenyap dari pandangan matanya, Cabo pun keluar dari semak-semak dan pergi ke suatu tempat kecil yang terbuka. Ia berdiri persis berhadapan dengan pemimpin yang masih tetap berada di sebelah gua. Pemimpin itu dengan cepat melihat Cabo tetapi ia tidak kaget. Tampaknya ia seperti sedang menantikan kedatangan seseorang. Pemimpin itu bertanya dalam bahasanya sendiri kepada Cabo. Karena Cabo tidak mengerti tentang bahasa itu lalu ia pun menjawab dalam bahasanya sendiri pula.
“Saya dari Kayubatu dan saya ingin kembali”
Pemimpin itu tidak heran walaupun Cabo menjawab dalam bahasanya sendiri malahan ia berbalik tanya “Apa yang hendak saudara cari di sini? Mengapa anda mengintip dari semak-semak itu?”
“Saya akan menceritakan semuanya. Tak usah khawatir, percayalah!” jawab Cabo.
Setelah itu masing-masing memperkenalkan diri, Sirwai demikianlah nama orang itu. Karena telah saling mengenal mulailah mereka berbasa-basi. Sirwai menceritakan bahwa ia, semasih muda sering datang ke Kayubatu untuk menukar kapak batu dengan benda-benda lain yang berguna. Dengan demikian ia telah banyak belajar bahasa daerah Cabo. Selanjutnya Sirwai mengatakan pula, bahwa ia telah lama merasa ada seseorang yang mengintip dirinya. Akibatnya pekerjaan yang dikerjakan orang-orang kali ini tidak dapat berlangsung dengan baik.
“Sekarang ceritakan padaku apa yang sebenarnya tujuan anda datang ke Ormu ini?” tanya Sirwai.
Cabo yakin bahwa Sirwai dapat dipercaya dan dianggapnya sebagai seorang sahabat tua yang akan dapat membantunya. Oleh sebab itu Cabo menceritakan semua rencananya dan kisah perjalananya.
Sirwai dengan penuh perhatian telah mendengarkan cerita Cabo lalu bertanya ”Batu apakah itu ?”
Cabo menatapnya dengan tajam seraya berkata ’Batu yang terakhir di kerjakan orang itu !”
Sirwai mengangguk-angguk dan berpikir tanpa berkata sesuatu. Setelah beberapa saat kemudian lalu Sirwai berkata ”Ikutilah saya !”
Sirwai berjalan di depan lalu diikuti Cabo dari belakang. Mereka mengikuti jalan kecil yang dilalui orang-orang tadi. Abu sekarang dengan tenang mengikuti tuannya dari belakang.
Setelah beberapa saat berjalan Sirwai berdiri sejenak lalu berkata “Dalam hutan kecil ini sebaiknya anda bersembunyi dahulu. Saya harus berpikir dan menceritakan kembali tentang apa yang anda ceritakan tadi kepada putraku. Nanti malam saya kirimkan putraku. Ia akan membawa anda ke rumah laki-laki. Tak usah khawatir, kami orang-orang Ormu selalu bergaul dengan orang-orang Kayubatu dan kami anggap sebagai saudara sendiri”.
Setelah berkata demikian Sirwai menghilang. Karena kepergian Sirwai tanpa permisi, Cabo tetap menunggu dengan penuh harapan. Ketika hari mulai kelam, tiba-tiba Cabo mendengar namanya di panggil. Di suatu jalan yang menuju kampung terlihatlah olehnya tubuh Sirwai.
“Saya kira anakmu yang akan menjemputku. ” kata Cabo.
“Saya harus memberitahukanmu sesuatu hal yang penting, karena itu saya datang sendiri. Yang saya maksudkan itu adalah nanti apabila engkau tiba di rumah laki-laki, engkau hanya boleh meminta perahu dan dayungnya. Tak usah berbicara tentang yang lain,” sela Sirwai.
Suasana ramai meliputi rumah khusus laki-laki. Setiap orang yang ada di dalam rumah laki-laki menyambut kedatangan Cabo dengan ramah tamah. Dari penjelasan Sirwai, oarang-orang telah mengetahui bahwa Cabo datang dari Kayubatu dan ia sekarang dalam perjalanan kembali ke kampung halamannya. Setelah Cabo diperkenalkan lalu di ajak untuk makan bersama. Banyak makanan yang di sediakan seperti ubi, ikan, sayur, dan makanan lain yang lezat. Karena menemppuh perjalanan yang jauh Cabo sangat lapar. Oleh sebab itu Cabo makan hingga sekenyang-kenyangnya.
Setelah makan, Sirwai bertanya kepada orang-orang ” Bagaimana, dapatkan kita membantu tamu kita ini?”
Lalu ia berpaling kepada Cabo dan bertanya ”Inginkah anda melepaskan lelah beberapa hari di kampung ini?”
“Saya ingin segera kembali ke kampung halamanku. Tetapi perjalanan lewat pegunungan sangat berat dan memakan waktu lama bagi saya. Oleh sebab itu saya ingin lewat laut saja. Bolehkan saya meminjam sebuah perahu dan dayung?”
Orang-orang bersedia membantunya lalu Sirwai menjawab “Perahu dan dayung akan kami berikan. Ikutilah, saya akan mengantarmu ke pantai!”
Cabo mengucapkan terimakasih atas kebaikan hati orang-orang Ormu lalu ia pergi bersama Sirwai. Cabo meninggalkan rumah laki-laki itu. Abu tetap mengikuti tuannya. Sirwai membawa tamunya ke suatu tempat yang sunyi di pantai. Di sana telah siap sebuah perahu dan sebuah dayun.
“Silakan duduk, Cabo. Saya telah lama berpikir tentang mimpimu itu. Batu yang kau impikan itu sekarang ada dalam noken saya. Batu itu sungguh ajaib. Sebentar dalam perjalanan, batu ini akan mendampingimu. Batu inilah yang akan membantu kampungmu untuk membuat gerabah. Tetapi akan terjadi suatu yang luar biasa. Engkau harus mempersembahkan suatu kurban yang besar kepada batu ini dan engkau sendiri yang akan menjadi kurban itu,” kata Sirwai.
“Di mana dan bagaimana dengan batu ini saya tidak mengerti,” sela Cabo.
“Batu dan Abu akan membimbingmu lebih lanjut,” kata Sirwai lagi.
Setelah itu, Cabo lebih banyak mendengar daripada berbicara. Mulai saat itu kekuatan gaib terasa mengalir ke dalam tubuhnya. Cabo masih ingat akan mimpinya di mana akan terjadi sesuatu yang luar biasa pada dirinya.
“Saya tahu bahwa apa yang telah engkau katakan itu adalah benar. Sebab saya akan menyelamatkan kampung Kayubatu dari kesengsaraan. Dan saya rela berkorban demi kebahagiaan dan kemakmuran sesama. Saudaraku Tiaghe akan mengetahui bahwa kami telah berhutang budi terhadapmu. Kaum kerabatku akan terkenang selalu kepada orang yang telah berjasa terhadap kampung halamanku. Orang-orang Kayubatu akan menjunjung tinggi keluhuran hati orang-orang ormu,” kata Cabo.
Dalam gelap malam dan hanya diterangi cahaya bintang, Cabo mengayuh perahunya menyusuri pantai. Di malam yang sepi dan olengan ombak mulai menyulitkan perjalanan Cabo. Tetapi ia tak gentar dan sabar, bahwa perjalanan akan berakhir di tanjung Suaja, kampung halamannya. Abu duduk di bawah kaki tuannya. Kadang-kadang ia mengangkat kepalanya dan menatap Cabo dengan penuh kesetiaan. Sepanjang malam Cabo terus mendayung. Secara teratur ia mengayunkan dayungnya ke dalam air dengan tanpa rasa bosan. Malam yang panjang itu hampir berakhir, hal itu diketahui dengan munculnya semburat terang di ufuk timur. Di sebelah kanan Cabo nampak pula gunung-gunung. Tidak berapa lama kemudian Cabo telah melihat tanjung Suaja. Abu duduk sejenak di dekat kaki Cabo, lalu ia memalingkan kepala ke arah darat. Di ujung selatan dari tanjung Suaja yang disebut tanjung Utu, Cabo mengarahkan perahu ke pantai dan menariknya ke darat.
Setelah itu ia mengumpulkan ranting-ranting dan penggalan-penggalan kayu kering. Kemudian dipasangnya api di bagian bawah depan perahu lalu ditimbuni dengan ranting-ranting dan penggalan-penggalan kayu tadi. Setelah menyala, api pun menjulang tinggi yang mula-mula menghanguskan tepi perahu, tetapi lama-kelamaan menghabiskan seluruh bagian perahu. Cabo tidak menunggu sampai seluruh perahu terbakar karena ia ingin mandi di laut. Laut, selain tempat untuk mendirikan rumah, tetapi juga merupakan tempat ia dilahirkan. Abu berjalan kian kemari sambil menyalak sementara tuannya sedang mandi di laut. Setelah mandi Cabo merasa ada seperti kekuatan gaib yang menyuruhnya pergi. Sesuai dengan mimpi Cabo sebelumnya, ia berjalan sambil menggenggam batu ajaib. Abu berjalan di depan dan Cabo mengikuti dari belakang. Mereka mendaki sebuah bukit yang berbentuk tanjung. Setiba di puncak bukit tanjung, Cabo dan Abu berhenti.
Cabo sadar bahwa saat yang luar biasa akan terjadi. Ia melihat sekeliling lalu berpaling ke arah timur, barat, utara, dan selatan. Cabo yakin bahwa tujuannya akan segera tercapai dan ia telah sampai untuk mengurbankan diri. Dengan meundukkan kepala, ia menantikan sesuatu yang akan terjadi. Beberapa saat kemudian apa yang dinanti-nantikan benar-benar terjadi, dari kejauhan terdengar gemuruh angin yang semakin dekat semakin keras gemuruhnya. Tiba-tiba tanah di bawah kaki Cabo terbelah diiringi dengan suara gemeretak tanah yang terbelah. Abu terkejut dan hendak melarikan diri dari tempat itu, akan tetapi Cabo menahan anjing itu dengan kuat. Abu merasa kagum atas ketabahan dan keikhlasan tuannya untuk itu ia mengurungkan niatnya untuk pergi. Kemudian terdengar bunyi petir menggelegar dasyat. Tanah yang terbelah semakin lebar dan tubuh Cabo dan Abu terjatuh ke dalam celah yang menganga tersebut. Setelah tubuh keduanya masuk ke dalam celah, celah itu dengan cepat tertutup kembali dan menelan tubuh mereka berdua.
Hingga keesokan harinya Tiaghe Pui mencari ikan di laut menggunakan perahu. Usaha untuk mencari ikan kali ini pun nampaknya kurang mendapatkan hasil yang maksimal. Namun semanjak kepergian Cabo Pui, seolah-olah ikan kembali lagi berkumpul ke teluk sehingga kebutuhan masyarakat akan ikan dapat terpenuhi lagi. Tiaghe senantiasa memikirkan Cabo, saudaranya. Dalam hati ia selalu bertanya, “Di mana Cabo gerangan? Apakah ia telah berhasil dalam pencariannya?”.
Tiaghe amat resah dan gelisah. Untuk melenyapkan kegundahan hatinya ia pun segera pulang ke rumah. Tiaghe mendayung perahunya perlahan menuju rumah. Setelah sampai, perahu diikat di tiang rumah. Baru saja ia selasai mengikat perahu, tiba-tiba terdengar suara petir menggelagar di angkasa. Tiang-tiang rumah bergoyag keras seakan-akan terjadi gempa bumi yang dasyat.
“Itu mungkin merupakan suatu tanda. Cabo pernah berkata bahwa ia harus memperhatikan tanda-tanda yang ditunjukkan oleh alam. Sementara ia keluar dari perahu, istrinya pun keluar dari rumah.
“Untunglah engkau telah pulang Tiaghe. Saya sangat sedih. Apakah engkau tidak mendengar bunyi petir tadi?” tanya istri Tiaghe.
“Mungkin ada sesuatu mengenai Cabo, Bu. Tanda yang kita nanti-nantikan telah terlihat. Mari kita pergi untuk mencari Cabo! Bawalah sebuah pinggan tempat sagu dan sepotong kayu!” perintah Tiaghe kepada istrinya.
Setelah itu Tiaghe dan istri bergegas untuk mencari Cabo menggunakan perahu. Tiaghe tidak ragu lagi. Perahu ditepikan dan mereka mendaki sebuat tanjung yang membukit.
“Dari sanalah terdengar suara tadi, mungkin telah terjadi sesuatu.” kata Tiaghe yang diikuti oleh istrinya dalam diam.
Dengan susah payah mereka mendaki tanjung yang terjal itu. Peluh bercucuran membasahi kedua badan pasangan suami istri ini. Tiaghe tidak ingin beristirahat sebelum mencapai puncak tanjung. Ia bersemangat sekali, karena teringat pada pesan Cabo. Ketika tiba di puncak bukit, mereka melihat lautan luas yang bebas terbentang. Setelah beberapa saat memandang lautan, mereka melanjutkan perjalanan menuruni bukit menuju pantai. Di pantai mereka menemukan sisa-sisa pembakaran perahu, bekas kaki Cabo dan anjingnya. Tiaghe dan istrinya mengikuti jejak kaki itu hingga ke tanjung Out, tempat di mana Cabo dan Abu menghilang. Tiaghe menemukan tanda-tanda yang ajaib pada tanah tempat Cabo dan Abu menghilang.
“Engkau lihat benda yang berwarna merah ini? Ajaib, di sini tak ada sesuatu pun selain batu karang, tetapi banyak tanah merah yang lembek.” kata Tiaghe kepada istrinya sambil menunjuk ke tanah.
Tiaghe mencoba menggali lapisan tanah merah itu menggunakan tongkat yang dibawa oleh istrinya. Dari hasil galian itu Tiaghe menemukan batu ajaib.
“Sekarang saya tahu bahwa Cabo berdiri di sini, sebab batu inilah yang dicari. Mari kita bawa batu ini ke rumah,” kata Tiaghe.
“Saya juga ingin membawa tanah ini,” sela istri Tiaghe sambil mengisi tanah merah ke dalam pinggan. Tiaghe dan istrinya kini sadar bahwa mereka tak akan melihat Cabo lagi sepanjang masa.
“Di atas tempat inilah Cabo dan Abu menghilang,” kata Tiaghe Pui.
Istri Tiaghe menangis, begitu juga Tiaghe. Air mata berlinang di pipi mereka berdua. Setelah beberapa lama mereka menangis, mereka kembali ke rumah. Jalan yang ditempuh adalah menyusuri tanjung Suaja. Setiba di kampung, Tiaghe dan istrinya mengaduk tanah merah itu dengan pasir. Semula mereka mencoba membuat mangkuk kecil. Mereka menggunakan batu ajaib untuk mengerjakan mangkuk hingga menjadi licin dan bagus.
Beberapa hari kemudian, Tiaghe memanggil penduduk kampung untuk berkumpul. Ia menceritakan tentang penyebab kepargian Cabo. Setelah mendengar penuturan Tiaghe, penduduk kampung merasa terharu dan kagum. Untuk menguatkan kepercayaan penduduk kampung, Tiaghe memperlihatkan mangkuk kecil yang telah dibuat. Salah seorang wanita dari penduduk kampung memegang mangkuk sambil berkata, “Mangkuk ini belum selesai dikerjakan, sebaiknya dibakar dahulu agar menjadi keras dan kuat.”
Hari demi hari terus berlalu. Kemakmuran kampung Kayubatu perlahan mulai nampak berkat pengorbanan Cabo Pui. Penduduk kampung Kayubatu terus mengenang jasa dan pengorbanan Cabo sepanjang masa. Sejak saat itu kaum kerabat Pui mulai membuat kerajinan tangan yang terbuat dari tanah liat.
Setalah peristiwa penemuan batu ajaib yang kemudian diberi nama Kecabo itu, kian hari jumlah Kecabo kian bertambah banyak. Kecabo asli yang pertama kali ditemukan oleh Cabo Pui sampai saat ini masih ada dan dirawat dengan baik oleh Isak Pui.