(Cerita Garuda dari Namblong dan Cerita Waso dari Kemtuk
Gresi)
Abstract
The objective of this research is to describe moral
values in the folktale of Lembah Grime (Namblong’s Garuda folktale and Kemtuk Gresi’s
Waso folktale). This research used a qualitative
method. The results of this research are the description of moral values in the
folktale of Lembah Grime, i.e.: (1) the
moral value of Deity, (2) individual moral values, and (3) social moral values.
All of the values are positive and negative. All of activities which based on
spiritual value and social value are positive, and on the contrary, activity
based on individual is a negative value.
Keywords: the moral value, the folktale of Lembah Grime, appreciation of
the folktale
1.
Pendahuluan
Sastra daerah yang berbentuk lisan maupun tulisan merupakan cagar budaya
dan ilmu pengetahuan. Salah satu sastra daerah yang perlu dilestarikan adalah
cerita rakyat. Setiap wilayah tentunya mempunyai cerita rakyat yang dituturkan
secara lisan. Cerita rakyat yang pada mulanya dilisankan selain berfungsi untuk
menghibur, juga dapat memberikan pendidikan moral. Namun, sekarang sudah
digeser oleh berbagai bentuk hiburan yang lebih menarik dalam berbagai jenis siaran
melalui televisi, radio, surat kabar, dan lain sebagainya.
Sebelum media cetak dan media elektronik berkembang
pesat seperti sekarang ini, cerita rakyat mendapat tempat yang baik di hati
masyarakat pemiliknya. Cerita rakyat merupakan pencerminan dari kehidupan
masyarakat pada saat itu, pola pikir dan hayalan yang menarik, sehingga
masyarakat merasa tertarik dan memperoleh keteladanan moral. Adapun jenis
ajaran moral mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan.
Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan
manusia itu dapat dibedakan ke dalam persoalan
1.
hubungan
manusia dengan diri sendiri,
2.
hubungan
manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya
dengan lingkungan alam, dan
3.
hubungan
manusia dengan Tuhannya (Nurgiyantoro, 2000:324).
Hal itu dapat disinyalir bahwa cerita rakyat
mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalam masyarakat
pendukungnya. Cerita rakyat mengandung nilai luhur bangsa terutama nilai-nilai
atau ajaran moral.
Cerita
rakyat juga merupakan sarana penyampaian nilai dan sikap hidup bermasyarakat;
mengisahkan riwayat suatu masyarakat; memberikan penghiburan, di kala senggang;
memberikan nasihat atau ajaran moral kepada anggota masyarakat;
mempropagandakan sesuatu seperti memberi kritikan kepada pemerintah atau orang
yang berkuasa.
Seiring
kemajuan zaman, para generasi muda kita saat ini sedikit jumlahnya yang
mengenal betul budayanya sendiri, termasuk mengetahui dongeng, cerita rakyat
dan legenda yang bukan tidak mungkin turun memperkuat budayanya. Maka pilihan
yang paling mungkin dilakukan untuk mengenalkan budaya Lembah Grime lewat
sentuhan sastra lisan kepada anak-anak. Sebab, anak-anak adalah sosok yang
polos dan mudah meniru dari apa yang diketahuinya, dilihat, termasuk juga yang
didengarnya.
Pada setiap wilayah cerita rakyat yang mempunyai
nilai luhur tentunya beragam. Namun ada pula yang mempunyai kemiripan tema,
tetapi pengungkapannya maupun unsur budaya yang mendorong tema berbeda.
Misalnya cerita Garuda dari daerah Namblong dan cerita Waso dari daerah Kemtuk
Gresi memiiki ajaran moral atau budi pekerti yang patut untuk dimplmentasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Budi pekerti luhur yang terkandung dalam cerita
rakyat itu dapat dijadikan pula sebagai bahan ajar sastra di sekolah untuk
disampaikan kepada siswa. Hal itu sesuai dengan hasil penelitian V.Propp. (1987:
3) mengatakan bahwa cerita rakyat atau folklor sangat perlu diperhatikan
sebagai tanda perubahan masyarakat.
Folklor dalam masyarakat menyuarakan perilaku proses
mendidik sesamanya. Perubahan yang dilakukan manusia terutama melalui proses
pengenalan kebudayaan yang terus menerus akan dapat diidentifikasikan pemahaman
manusia kepada kebudayaannya.
Selain itu, Danandjaja (1986: 17) menerangkan bahwa
folklor atau cerita rakyat mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu
kolektif, misalnya sebagai alat pendidikan, penglipur lara, protes sosial, dan
proyeksi keinginan terpendam. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian
(Sulistyorini, 2003), dalam cerita rakyat mempunyai nilai-nilai luhur yang
perlu dilestarikan.
2.
Kerangka teori
Kesusastraan adalah suatu institusi
sosial atau kreasi sosial yang menggunakan bahasa sebagai media. Kesusastraan
menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dengan
demikian kesusastraan memiliki fungsi sosial (Wellek dan Warren, 1989:109).
Setiap kelompok
manusia mempunyai sastra lisan dengan ciri-ciri tersendiri (Thompson: 1946).
Sastra lisan tersebut merupakan milik masyarakat dan tidak pernah diciptakan
dalam situasi kekosongan budayanya (Teeuw, 1984:11). Ini berarti pengarang
tidak terlepas dari latar sosial budayanya pada waktu ia menulis.
Berkaitan dengan
itu, sastra lisan dianggap sebagai media penyampaian aturan-aturan dan
norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat dan merupakan ide kreatif dan ide
masyarakat yang diangkat menjadi cerita. Dengan kata lain, tokoh-tokoh atau
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita rakyat dianggap pernah terjadi
pada masa lalu. Bahkan cerita rakyat tersebut dapat saja merupakan suatu hasil
rekaan semata karena terdorong oleh keinginan menyampaikan pesan atau amanat
melalui cerita itu.
Sastra lisan
bukan hanya merupakan ide dari seorang pembawa cerita semata, melainkan ide-ide
dari kelompok masyarakat yang diangkat oleh pencerita ke dalam cerita rakyat.
Menutut Robson (1978:10), sastra lisan tersebut sangat kuat pengaruhnya
terhadap masyarakat pemiliknya, sehingga di samping membentuk opini masyarakat,
sastra lisan pun berfungsi sebagai norma masyarakat pada waktu itu maupun
generasi pada masa mendatang.
Berdasarkan
fungsi sastra lisan tersebut, jelaslah bahwa sastra lisan dipengaruhi oleh
norma dan tata nilai kehidupan masyarakat. Keduanya merupakan fenomena sosial
yang saling melengkapi dalam kehadirannya sebagai suatu eksistensial di dalam
masyarakat (Suyitno, 1989:1).
2.1
Konsep
sosial, nilai-nilai moral sosial tersebut, meliputi: 1) bekerjasama, 2)
suka menolong, 3) kasih sayang, 4) kerukunan, 5) suka memberi nasihat, 6) peduli
nasib orang lain, dan 7) kebersamaan. Kemudian nilai moral religiositas, yaitu
Nilai
moral yang dideskripsikan terdiri atas nilai moral positif dan negatif. Adapun
tolok ukur untuk menentukan nilai moral positif dan negatif didasarkan pada
landasan kaidah dasar moral. Landasan kaidah dasar moral menurut Suseno (1987:129)
adalah (1) prinsip sikap baik, (2) prinsip keadilan, dan (3) prinsip menghargai
diri sendiri. Selanjutnya Suseno (2003:39) mengungkapkan dua kaidah dasar moral
yaitu, (1) prinsip kerukunan, dan (2) prinsip hormat. Adapun Zubair (1987:78)
mengungkapkan tiga kaidah dasar moral, yaitu (1) kaidah sikap baik, (2) kaidah
keadilan, dan (3) kaidah ketuhanan.
2.3
Gambaran
Umum Lembah Grime
Lembah Grime merupakan daerah yang sangat luas dan
subur. Berdasarkan administrasi pemerintahan, daerah ini terdiri atas enam
distrik dan 56 kampung. Distrik-distrik tersebut adalah Distrik Kemtuk, Kemtuk
Gresi, Nimboran, Nimbokrang, Namblong dan Gresi Selatan. Berikut ini adalah
tabel nama distrik dan kampung yang terdapat di Lembah Grime.
No
|
Nama
Distrik
|
Nama
Kampung
|
1
|
Kemtuk
|
Sama
- Mamda Yawan - Mamda - Mamei - Nanbom - Kwansu - Soaib - Yebeyab Kecil -
Sekori - Skoaim
|
2
|
Kemtuk Gresi
|
Demokaiti
- Demetim - Yanbra - Braso - Pupehabu - Bring -Nembugresi - Ibub - Swentab -
Jagrang - Hatib
|
3
|
Nimboran
|
Gemebs
- Singgri - Meyu - Benyom - Oyengsi - Singgriway - Imsar - Kuipons - Yenggu
Baru - Yenggu Lama - Kuwase - Kaitemung - Pobaim - Tabri
|
4
|
Nimbokrang
|
Nimbokrang
- Benyom Jaya I - Benyom Jaya II - Berap - Hamograng - Wahab - Nembukrang
Sari - Rhepang Muaif – Bunyom
|
5
|
Namblong
|
Sermai
Atas - Sermai Bawah - Sanggai - Yakasib - Imestum - Besum - Karya Bumi
|
6
|
Gresi
Selatan
|
Klaisu -
Iwon - Omon – Bangai
|
Tabel 1. Daftar nama distrik dan kampung di Lembah
Grime
Berdasarkan rincian wilayah pemerintahan di atas,
perlu dijelaskan pula bahwa sebelah utara lembah Grime terdapat Distrik Depapre
dan Distrik Demta, sebelah selatan Distrik Kaureh, sebelah timur Distrik Arso
dan Distrik Sentani Barat, dan sebalah barat Distrik Unurum Guay.
Berdasarkan sejarah adat istiadat setempat, penduduk
Lembah Grime masih erat kaitannya dengan penduduk Distrik Unurum Guay dan
Distrik Kaureh, sehingga dari segi adat, daerah-daerah ini masih diperhitungkan
sebagai lembah Grime. Demikian halnya sebaran penduduk di Lembah Grime sampai
ke daerah utara, misalnya kampung Kendate (Distrik Depapre) dan kampung Kamdera
(Distrik Demta). Di sebelah timur, pengaruh dan sebaran penduduk Lembah Grime
sampai ke kampung Sabron Yaru, Dosai, dan Maribu (Distrik Sentani Barat).
Sebaran penduduk sebagaimana dikemukakan di atas,
pada masa lalu disebabkan oleh dua hal pokok, yakni bencana alam dan perang
antar etnis. Dari kedua alasan tersebut, bencana alam yang paling dominan.
Walaupun demikian, penduduk Lembah Grime begitu kuat terhadap pengaruh-pengaruh
dari luar sehingga bahasa mereka tetap dipakai di daerah sebarannya itu.
Sebagai contoh, penduduk kampung Kamdera menggunakan bahasa Namblong, dan
kampung Kendate, Sabron Yaru, Dosai, dan Maribu menggunakan bahasa Kemtuk.
Hubungan itu masih di akui oleh penduduk kampung Sabron Yaru dan Kendate,
sedangkan Dosai dan Maribu menyebut diri sebagai penduduk asli daerah yang di
tempati sekarang.
Sebaran dan pengaruh sebagaimana di kemukakan di
atas sangat ditunjang oleh letak strategis Lembah Grime. Secara geografi, letak
Lembah Grime pada sebuah dataran tinggi yang sangat subur. Berdasarkan
kenyataan tersebut, pengaruh luar pertama yakni pembawa Injil dari luar
terlebih dahulu masuk ke lembah ini, sedangkan teluk Yos Sudarso saat itu
walaupun cukup strategis sebagai pelabuhan, tetapi tidak aman bagi Pembawa
Firman Tuhan. Dengan alasan itu, Lembah Grime adalah pilihan tepat karena
masyarakat di sana menerima Injil
dengan baik. Sehubungan dengan itu,
terbentuklah Pos Genyem sebagai pusat kegiatan gereja yang disusul oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Pengaruh luar di Genyem berasal dari daerah utara
yakni Distrik Demta sekarang ini.
Pada awal daerah Papua kembali ke Republik Indonesia
tahun 1963, daerah Genyem di pakai pula sebagai pusat pemerintahan. Tahun 1973,
daerah itu dipakai pula sebagai daerah transmigrasi, sehingga perkembangannya
cukup pesat. Perkembangan tersebut lebih maju lagi setelah jalan darat Sentani
– Genyem dapat di lalui oleh kendaraan darat. Perlu diingat bahwa daerah itu
dahulu di hubungkan dengan pesawat terbang kecil dan berjalan kaki dari kampung
Borawai Sentani Barat. Dengan adanya perkembangan saat ini, daerah lembah Grime
telah dimekarkan menjadi 6 distrik.
2.4
Gambaran
Suku Bangsa Kemtuk dan Gresi
Suku Kemtuk dan Gresi memiliki sebaran wilayah yang
cukup luas, yaitu meluas ke arah timur dari arah selatan. Suku Kemtuk
diperkirakan berjumlah 2.500 orang, sedangkan Suku Gresi berjulah kurang lebih
3.500 orang (Silzer, 1991).
Pada awalnya masyarakat Kemtuk bergabung dengan
masyarakat Kemtuk Gresi namun setelah pemekaran masyarakat Kemtuk membentuk
distrik sendiri dengan nama Distrik Kemtuk. Suku Kemtuk mendiami kampung-kampung
antara lain adalah Sama, Mamda Yawan,
Mamda, Mamei, Nanbom, Kwansu, Soaib, Yebeyab Kecil, Sekori, dan Skoaim.
Masyarakat Gresi yang berdiam di Distrik Kemtuk Gresi yang terbagi
menjadi 11 kampung yaitu kampung Demokaiti, Demetim, Yanbra, Braso, Pupehabu,
Bring, Nembugresi, Ibub, Swentab, Jagrang, dan Hatib.
Mayoritas masyarakat Kemtuk dan Gresi adalah petani dan peternak,
termasuk peternak ikan air tawar. Hasil pertanian di daerah ini antara lain
adalah palawija dan buah-buahan terutama jeruk, salak, dan pisang. Peternakan
meliputi peternakan sapi dan ikan air tawar. Hasil pertanian dan peternakan
masyarakat pada umumnya dipasarkan ke Sentani, Abepura, dan Jayapura.
Masyarakat Kemtuk dan Gresi merupakan penganut agama Kristen
Protestan dan beberapa yang beragama Katolik. Namun, sejak datangnya
transmigran dan terbukanya daerah ini, agama lain ikut masuk termasuk pula
aliran-aliran agama Kristen yang lain.
2.5
Gambaran
Sosial Budaya Suku Bangsa Namblong/Nimboran
Suku bangsa Namblong berdiam di
lembah Sungai Sermowai, Muaif, dan Grime di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua.
Pada masa lalu, sebelum kedatangan pemerintah Belanda, perkampungan orang
Namblong terletak di puncak-puncak bukit, antara lain di bukit Nimboran Selatan
dan Nimboran Utara. Pemilihan tempat seperti ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga
dari serangan musuh. Tetapi sejak tahun 1924, rumah-rumah orang-orang Namblong
mulai dipusatkan pada tempat-tempat tertentu di kaki bukit atau di lembah
sungai. Suatu perkampungan biasanya dihuni oleh 250—330 penduduk. Gabungan
berpuluh-puluh kampung membentuk desa, yang pada tahun 1951 berjumlah sekitar
23 buah.
Saat ini suku
Namblong/Nimboran tersebar di tiga distrik yakni Distrik Namblong, Distrik
Nimboran, dan Distrik Nimbokrang, dengan luas wilayah sekitar 1321 km2.
Jumlah suku Namblong berdasarkan data SIL tahun 1987 berjumlah 3500 jiwa. Distrik Namblong terdiri dari tujuh kampung,
Distrik Nimboran terdiri dari satu kelurahan dan empat belas Kampung, sedangkan
Distrik Nimbokrang terdiri dari sembilan kampung.
Tempat tinggal
penduduk Namblong beriklim tropis dan dan penuh hutan tropis lebat dengan curah
hujan yang tinggi. Pada masa lalu perladangan dilakukan berpindah-pindah dengan
cara membuka, menebang, dan membakar hutan dan semak-semak. Bercocok tanam
dilakukan pada musim hujan atau akhir musim kering; dengan tanaman ubi, keladi,
singkong, sayur, pisang. Sekitar tahun 50-an, pemerintah Belanda telah
memperkenalkan suatu pusat pertanian berperalatan modern, yang mengusahakan
tanaman perdangangan, seperti kacang tanah, jagung, kacang kedelai, padi,
cokelat, dan kopi.
Selain bercocok
tanam, orang Namblong juga menangkap ikan serta udang di sungai. Pekerjaan
lainnya, yang khusus dilakukan olah kaum laki-laki, adalah berburu babi hutan,
burung kasuari, tikus, dan binatang kecil lainnya. Orang Namblong juga
mengembangkan kerajinan anyaman tikar dan keranjang. Bahan anyaman, seperti
rotan dan bambu, diperoleh di lingkunagn sekitar tempat tinggal mereka.
Pada masa lalu
daerah Nimboran dikenal sebagai daerah penghasil sagu. Penduduk Nimboran yang
biasa disebut suku Namblong mengenal sistem pertukaran (barter) dengan suku
bangsa lain yang tinggal di pantai utara, di hulu sungai Sermowai. Hasil bumi
dari pantai utara, misalnya garam, ikan kering, perhiasan kerang ditukarkan
dengan sagu. Alat tukar berupa uang diperkenalkan oleh zending dan pedagang
Cina yang datang ke daerah tersebut.
Sistem
kekerabatan orang Namblong adalah patrilineal. Kelompok kekerabatan
patrilineal, yang disebut tang, biasanya
mendiamai satu desa yang sama. Pemimpin sebuah tang disebut Iram, dan ia
sering kali merangkap sebagai kepala desa. Dalam menjalankan tugasnya ia
dibantu oleh tekai. Iram sering dianggap keramat dan sangat
dihormati. Bila Iram meninggal atau
mengundurkan diri, ia digantikan oleh saudara laki-laki atau anak laki-laki
tertuanya.
Perkawinan
dilakukan di antara orang-orang yang secara adat masih memiliki hubungan
kekerabatan dengan tang sendiri.
Suatu perkawanian dilangsungkan setelah pihak laki-laki menyerahkan emas kawin
dalam jumlah besar untuk dibagi-bagikan kepada semua anggota tang si gadis. Pada masa lalu emas kawin
terdiri atas berbagai bentuk kapak batu, aneka warna manik-manik, tetapi
sekarang mulai dikenal emas kawin berbentuk uang atau perabot rumah tangga.
Adat menetap sesudah nikahnya patrilokal, yaitu untuk sementara suami-istri
tinggal di rumah keluarga suami atau membangun rumah sederhana di dekat rumah
kerabat suami.
Sebelum mengenal
agama Protestan, orang Namblong meyakini adanya kekuasaan arwah nenek moyang.
Dunia roh tempat nenek moyang disebut semen.
Selain itu, mereka juga percaya pada injo,
yaitu roh jahat yang berasal dari perempuan. Untuk berhubungan denagn roh-roh
ini orang Namblong melakukan berbagai upacara yang bertujuan memperoleh
kekuatan batin. Dalam upacara, mereka menari hingga mencapai keadan kasyep. Dalam keadaan tidak sadarkan
diri inilah mereka mendapatkan rahmat dari arwah nenek moyangnya.
2.6
Penutur
Cerita Lembah Grime
Penutur cerita yang dipilih dalam
cerita ini adalah orang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan suku-suku
daerah Lembah Grime di Kabupaten Jayapura, dengan harapan mereka dapat
menyampaikan cerita dengan lengkap.
Penutur cerita
terdiri dari laki-laki dan perempuan, tua dan muda. Namun pada umumnya
penuturan cerita dilakukan oleh orang-orang tua. Ada beberapa persyarakan yang
harus dilakukan sebelum menuturkan cerita;
- Cerita yang dimiliki oleh marga lain tidak boleh dituturkan oleh penutur marga lain. Setiap marga memiliki cerita sendiri-sendiri, dan hanya dituturkan oleh marga itu sendiri.
- Rahasia tentang perang, cara bercocok tanam, dan asal-usul marga tidak boleh dituturkan oleh marga lain selain marga yang memiliki cerita tersebut.
Apabila hal ini dilanggar, akan
mengakibatkan si penutur akan mengalami hal-hal mistis yang dapat menyebabkan
kematian.
2.6.1
Kesempatan
Bercerita
Dalam menuturkan cerita, kesempatan
disesuaikan dengan tujuan cerita yang akan disampaikan. Berbagai kesempatan
tersebut sebagai berikut:
- Pada waktu pelaksanaan panen umbi-umbian di kebun. Saat panen tersebut banyak anak yang berkumpul di tempat panen. Saat seperti ini dipakai oleh penutur cerita untuk menuturkan cerita kepada anak-anak.
- Pada saat bulan purnama, saat anak-anak bermain dan berkumpul bersama teman-temannya menikmati cahaya bulan. Kesempatan itu dipakai oleh penutur cerita untuk menuturkan cerita kepada anak-anak.
- Pada waktu santai atau mengisi waktu senggang, misalnya pada siang hari setelah kerja, mereka berkumpul di suatu tempat untuk mendengarkan cerita sebagai pelepas lelah. Penuturan di malam hari atau menjelang tidur, biasanya dilakukan oleh para orang tua dan anak-anak. Pendengar cerita hanya datang untuk mendengarkan cerita saja sebagai hiburan atau pengantar tidur.
- Pada waktu seseorang menanyakan asal-usul suatu benda, nama tempat, atau sejarah perjuangan daerah.
2.6.2
Tujuan
Bercerita
Setiap cerita selalu dituturkan
dengan maksud dan tujuan tertentu. Isi cerita akan bermanfaat bagi
pendengarnya, selama si pendengar mencerna isi cerita dengan baik. Namun, perlu
diketahui bahwa tujuan suatu cerita tidsk hanya bergantung pada isi cerita
saja, melainkan bergantung juga pada tujuan-tujuan lain yang diinginkan oleh
penutur dan pendengar.
Berdasarkan
wawancara dengan informan atau penutur dan dikaitkan dengan cerita-cerita yang
dapat dikumpulkan, tujuan penutur antara lain sebagai berikut:
a.
Agar orang mengetahui
keadaan lingkungan alam kampungnya, misalnya terjadi suatu tempat atau benda
asal-usul sejarah.
b.
Agar cerita-cerita
tersebut diwariskan secara turun temurun, sehingga tetap terjaga kelestariannya
dan tidak dilupakan oleh generasi-generasi selanjutnya.
c.
Agar orang mengetahui
adat istiadat daerah tempat cerita dituturkan. sehingga penutur merasa khawatir
dengan adanya kemajuan di bidang pembangunan yang sudah pasti membawa dampak
positif dan negatif. Oleh karena itu, mereka merasa berkewajiabn meneruskan
cerita tersebut kepada generasi muda dengan harapan agar mereka tidak lupa akan
adat istiadat leluhur yang terdapat di daerahnya.
d.
Cerita-cerita yang
dituturkan penuh dengan ajaran moral, budi pekerti, serta rasa cinta terhadap
sesama, cerita ini dimaksudkan untuk mendidik dan menanamkan kebiasaan positif
kepada generasi muda agar dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
e.
Agar orang merasa
terhibur sehingga pekerjaan yang berat, cepat selesai, dan ringan setelah
mendengar cerita yang dituturkan oleh penutur.
2.6.3
Hubungan
Bercerita Dengan Lingkungannya
Masyarakat Lembah Grime beranggapan
bahwa cerita itu tidak hanya sekadar untuk didengar saja, dan diceritakan
secara turun-temurun, akan tetapi cerita-cerita tersebut dianggap pernah
terjadi pada masa lampau sehingga dapat mempengaruhi tingkah laku mereka. Jadi
cerita-cerita tersebut sangat erat hubungannya dengan lingkungan, baik
lingkunagan masyarakat maupun lingkungan alamnya. Penutur cerita meyakini bahwa
apa yang diungkapkan dalam cerita benar-benar terjadi. Tokoh-tokoh cerita
dipercayai keberadaannya dan dinggap sebagai leluhur yang menurunkan anak cucu
dari generasi zaman lampau ke generesi berikutnya yang penuh keajaiban menghadapi
tantangan hidup.
Kepercayaan
masyarakat tentang cerita, mereka ketahui dengan besar sehingga dapat
mempengaruhi tingkah laku mereka, yaitu taat pada larangan-larangan atau
suruhan yang berhubungan dengan cerita itu.
3.
Nilai Moral dalam Cerita Rakyat
Lembah Grime
3.1
Sinopsis Cerita
3.1.1
Burung
Garuda
Burung garuda merupakan cerita
rakyat yang berasal dari kampung Sanggai distrik Namblong dan dituturkan oleh
Bapak Musa Waicang. Berikut ini adalah sinopsis dari cerita Burung Garuda. Pada suatu hari suami istri dan seorang
anaknya melakukan perjalanan laut menggunakan perahu menuju daerah Depapre. Di
tengah perjalanan si anak haus dan meminta minum kepada bapaknya. Karena sibuk
mendayung ia memerintahkan ibunya untuk memberi. Si ibu kemudian mengambil air
di laut untuk diberikan kepada anaknya. Ketika tengah mengambil air inilah ia
dan anaknya tercebur ke laut tanpa sepengetahuan si suami. Yang muncul ke
permukaan kini telah berganti menjadi suwanggi yang menjelma menjadi istri dan
anaknya. Suami terus mendayung dan sampai di kampung Ormu.
Sementara itu di daerah lain hiduplah seekor burung
Garuda. Burung Garuda ini memiliki tabiat yang tidak baik. Ia sering mencuri
makanan milik warga sekitar dan membawa makanan curian itu ke rumah Garuda yang
terletak di atas pohon kayu Besi. Pada suatu hari ketika burung Garuda tengah
terbang, ia melihat seorang ibu dan anaknya tercebur ke dalam laut ia lalu
menolong keduanya dan membawa ke rumah. Ia merawat ibu dan anak dengan penuh
tanggung jawab. Memberikan semua kebutuhan keduanya, baik berupa pangan,
sandang, dan papan.
Ketika sang suami tengah berburu ia berhasil
menemukan istri dan anaknya. Akan tetapi burung Garuda tidak mengijinkan sang
suami untuk membawa pulang anak dan istri. Setelah melakukan perundingan yan
alot akhirnya keluarga ini dapat berkumpul kembali. Burung Garuda berpesan
kelak ketika ia mati terbunuh maka isi perutnya harus diserahkan kepada anak
perempuan si suami ini. Dan dagingnya boleh dibagikan kepada seluruh
masyarakat.
Burung Garuda mati tertembak. Sesuai pesan isi perut
diberikan kepada anak perempuan tersebut. Dan di dalam isi perut burung Garuda
tersebut terdapat berbagai macam perhiasan dan harta berharga lainnya.
3.1.2
Waso
Pada zaman dahulu di kampung Sawoi hiduplah seorang
lelaki bernama Waso. Kemunculan Waso di kampung ini mengejutkan banyak orang,
karena di antara mereka tidak seorang pun yang mengetahui asal usul tentang
Waso. Keberadaan Waso di kampung ini adalah untuk menyebarkan ajaran baru yang
bernama Wali Du (ajaran kepercayaan terhadap Tuhan). Akan tetapi
ajaran Waso ditolak masyarakat Sawoi karena masyarakat setempat masih menganut
kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme.
Ditolak oleh masyarakat Sawoi tidak membuat Waso
putus asa. Waso kemudian pindah ke kampung Bring. Masyarakat Bring yang masih
memegang teguh aliran keparcayaan terhadap adat-istiadat setempat juga menolak
ajaran Waso, bahkan berniat untuk membunuh Waso jika tidak menghentikan
menyebarluaskan ajarannya.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan Waso
pindah lagi ke Yansu. Di daerah ini nasib Waso tidak jauh berbeda dengan di
kedua kampung sebelumnya. Masyarakat Yansu dan Bring marah terhadap Waso, dan
sepakat untuk membunuh Waso. Pada akhirnya Waso berhasil dibunuh oleh
masyarakat Yansu dan dimakamkan di Nsa Dum Tgok.
Pada suatu saat
Waso bangkit dari kuburnya dan mendatangi istri dan anaknya. Waso mengatakan
bahwa masyarakat Nimboran tidak akan mendapat berkat dari Tuhan karena telah
mengingkari ajaran Wali Du dan Wali Du akan memberi
hukuman terhadap masyarakat yang ingkar. Sesaat kemudian Waso menghilang dari
pandangan mata. Setelah Waso hilang, berterbanganlah unggas di angkasa, semua
binatang melata datang, bumi bergoncang hebat, dan guntur menggelegar sehingga
membuat semua orang ketakutan dan menyesali perbuatannya.
3.2
Nilai Moral dalam Cerita Rakyat
Lembah Grime
3.2.1
Burung
Garuda
Ada
beberapa nilai moral yang dapat kita petik hikmah dan suri teladannya dalam
cerita burung garuda ini. Nilai-nilai moarl tersebut adalah sebagai berikut.
3.2.1.1 Lambang
Negara dan Semangat Kebersamaan
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Pancasila.
Pancasila dilambangkan dengan gambar
burung Garuda. Pembuatan lambang bergambarkan Garuda ini memiliki filosofi dan sejarah
yang kental dengan nasionalisme kebangsaan, kecintaan kepada Indonesia.
Diusulkan oleh Sultan Hamid II yang kemudian disempurnakan oleh Soekarno,
Burung Garuda diartikan melambangkan kekuatan, sedangkan warna emasnya
melambangkan kejayaan. Dari cerita burung Garuda asal daerah nimboran ini
digambarkan jika burung Garuda ini memiliki kekuatan yang besar dan
perkasa hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut.
Sang burung tinggal di sebuah pohon besi yang
memiliki ketinggian kurang lebih 100 meter. Ketinggian pohon yang tidak bisa
ditemui saat ini. Ia membawa terbang setiap hasil curian yang didapatkannya ke
pohon besi tersebut. Sehingga tidak satupun hewan maupun manusia yang bisa
mengambil kembali barang dari burung Garuda.
Jika dinilai secara fisik, disini sang burung tidak terkalahkan oleh
siapapun, sehingga ini menggambarkan kekuatan sekaligus kejayaan baginya. Dari
sumber kekuatan inilah yang mendasari
burung Garuda dijadikan simbol ataupun lambang Negara Indonesia.
Kekuatan yang dimiliki oleh burung Garuda dalam cerita ini menjadikan filosofi
dan adanya kaitan sejarah lambang Negara dengan Papua.
Pada lambang burung Garuda Pancasila juga terdapat pita yang
dicengkeram oleh kaki burung Garuda yang bertuliskan semboyan Negara Indonesia,
yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan
seringkali diterjemahkan dengan kalimat berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Arti Bhinneka Tunggal Ika ini berasal dari buku atau kitab Sutasoma karangan
Mpu Tantular. Secara mendalam Bhinneka Tunggal Ika memiliki makna bahwa meski
beragam suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa dan lain sebagainya namun
tetap satu kesatuan sebangsa dan setanah air, dengan dipersatukannya melalui
bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama. Apabila
makna semboyan diatas dipersempit dan dihubungkan dengan cerita burung Garuda,
dapat ditemukan jika dalam cerita ini burung Garuda juga menyiratkan semangat
kebhinnekaannya. Hal ini ditunjukkan lewat wasiat sebelum Garuda tewas, ia akan
memberikan harta benda yang berlimpah dari berbagai jenis kebutuhan hidup
manusia ada didalam perut burung Garuda yang hanya diperuntukkan satu untuk
anak perempuan yang dirawatnya, hal ini dapat dilihat pada kutipan ini.
Sebagaimana wasiat burung Garuda
jika bagian perutnya hanya boleh diambil
oleh anak perempuan, yang ternyata berisi berbagai macam harta kekayaan, yang
menjadikan anak perempuan itu kaya raya. Ternyata beragam harta yang
dikumpulkan selama hidup burung Garuda ditujukan hanya untuk satu anak
perempuan itu.
Meskipun nilai kebhinekaan ini terkesan sempit bahkan tidaklah
menampakkan keberagamannya sebagaimana makna Pancasila yang sesungguhnya, namun
masyarakat setempat sangat menyakini pengertian bhinneka tunggal ika yang
diasosiakan lewat pengorbanan burung Garuda ini memiliki makna kebhinekaan
sekaligus mengukuhkan burung Garuda sebagai burung yang menjadi asal usul
ataupun filosofi dari lambang negara Republik Indonesia.
3.2.1.2 Tanggung
Jawab
Tanggung jawab adalah keadaan
menanggung segala urusan (KBBI, 2005). Makna dari istilah “tanggung jawab” adalah “siap
menerima kewajiban atau tugas”. Tidaklah mudah untuk melaksanakan tanggung
jawab, dibutuhkan keyakinan, keberanian, serta kepercayaan diri. Dukunganpun
diperlukan. Kebanyakan
orang mengelak bertanggung jawab, karena jauh lebih mudah untuk “menghindari”
tanggung jawab, daripada “menerima” tanggung jawab. Banyak orang mengelak bertanggung
jawab, karena memang lebih mudah menggeser tanggung jawabnya, daripada berdiri
dengan berani dan menyatakan dengan tegas tanggung jawabnya Banyak orang yang
sangat senang dengan melempar tanggung jawabnya ke pundak orang lain. Oleh karena itulah muncul satu
peribahasa, “lempar batu sembunyi tangan”. Sebuah peribahasa yang mengartikan
seseorang yang tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri,
sehingga dia membiarkan orang lain menanggung beban tanggung jawabnya. Bisa
juga diartikan sebagai seseorang yang lepas tanggung jawab, dan suka mencari
“kambing hitam” untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari perbuatannya yang
merugikan orang lain. Sudah banyak orang
yang dengan sia-sia, menghabiskan waktunya untuk menghindari tanggung jawab
dengan jalan menyalahkan orang lain, daripada mau menerima tanggung jawab, dan
dengan gagah berani menghadapi tantangan apapun di depannya.
Dalam kisah
burung Garuda di atas, burung Garuda memiliki sifat tanggung jawab yang besar
kepada anak perempuan dan ibunya. Ia memberi tempat tinggal yang layak,
menafkahi dengan memberi makan-makanan yang berlimpah. Layaknya seorang kepala
keluarga atau bapak dalam sebuah keluarga, ini dapat dilihat pada kutipan
berikut.
Mereka ditangkap oleh burung Garuda dan dibawa ke
pohon kayu besi. Mereka diminta untuk tinggal bersama sang burung. Burung
Garuda mencarikan mereka rumah untuk dibawa naik dan ditaruh di pohon kayu besi
sebagai tempat tinggal mama dan anak. Selama tinggal bersama burung Garuda di
pohon besi semua kebutuhan mama dan anak dipenuhi olehnya. Sang burung
mencarikan makanan dan minuman dari bawah, membuatkan anak perempuan sebuah
ayunan, serta masih banyak lagi.
Rasa
tanggung jawab tetap ditunjukkan oleh burung Garuda saat suami dalam kisah itu
yang meminta istrinya kembali padanya, tidak serta merta burung memperbolehkan
istri tersebut kembali kepada suaminya, akan tetapi ia terlebih dahulu
menanyakan kesanggupan suami bahwa mereka (ibu dan anak perempuan) akan dirawat
dengan sebaik-baiknya. Dalam kalimat ini bisa disimak pada petikan berikut ini.
Suaminya meminta istri
dan anaknya untuk kembali padanya. Kemudian istri meminta ijin burung Garuda
apakah ia dibolehkan kembali pada suaminya. Sang burung Garuda membolehkan
mereka untuk kembali dan ia berpesan pada suami dan ayah sang anak agar mereka
disiapkan rumah dahulu sebelum ia diturunkan dan dikembalikan padanya.
3.2.1.3 Kasih
Sayang
Rasa kasih sayang adalah perasaan empati
yang mendalam yang didasarkan atas perasaan cinta, suka dan mengasihi. Tuhan
menganugerahkannya kepada manusia maupun hewan. Manusia mencintai sesamanya,
pun hewanpun demikian. Hanya saja berbeda di dalam mengapresiasikannya.
Perasaan ini sangat penting bagi keharmonisan kehidupan. Tidak bisa dibayangkan
kehidupan tanpa kasih sayang, ketentraman dan keharmonisanpun akan sulit
tercipta. Karena hidup hanya dipenuhi dengan kebencian, iri dengki, persaingan
dan lain sebagainya. Apabila interaksi kehidupan didasarkan pada kasih sayang,
cinta kasih maka keseimbangan hidup akan terjaga. Demikianpun dalam cerita ini,
burung Garuda memiliki rasa menyayangi selain tanggung jawab. Meskipun sosoknya
berbentuk hewan namun pada dasarnya rasa kasih sayang itupun tetap dimilikinya.
Ini terlihat dari perbuatannya yang telah menyelamatkan anak perempuan dan
ibunya, serta merawat dan menjaga keduanya sebagaimana suami dan ayahnya
sendiri. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
Sang burung mencarikan
makanan dan minuman dari bawah, membuatkan anak perempuan sebuah ayunan, serta
masih banyak lagi. Mereka tinggal berbahagia di sana. Bahkan sang anak
memanggil burung Garuda dengan sebutan ayah.
3.2.1.4 Egoisme
dan Ketamakan
Egoisme adalah tingkah laku yang
didasarkan atas dorongan untuk keuntungan sendiri daripada untuk kesejahteraan
orang lain sedangkan ketamakan adalah keinginan untuk selalu memperoleh harta
dan sebagainya sebanyak-banyaknya (KBBI, 2005). Egoisme maupun ketamakan muncul
apabila hanya kepentingan sendiri yang dipikirkan tanpa merasa perlu peduli
maupun empati pada kepentingan dan kebutuhan orang lain. Dalam cerita ini sang
burung Garuda ditunjukkan adanya perilaku sosial justru menampakkan nilai-nilai
yang tidak patut, seperti kebiasaan Garuda mengambil makanan dan hasil buruan
penduduk. Dapat disimak pada kutipan berikut.
Burung Garuda memiliki
kebiasaan mengambil hasil kebun masyarakat sekitar, dia juga mencuri makanan
penduduk seperti sagu, singkong, dan keladi serta mengambil hasil buruan yang
didapat warga sekitar dari hutan.
Garuda
hanya mementingkan kebutuhannya, anak perempuan dan ibu yang dirawatnya, tanpa
memandang apakah orang lain juga membutuhkan hasil makanan atau buruan yang
diperolehnya. Ia memenuhi kebutuhan ibu dan anak perempuan dengan sangat
melimpah sementara orang lain menderita akibat ulah Garuda yang mengambil
begitu saja barang, makanan maupun hasil buruan mereka. Dan ini tidak disadari
sama sekali oleh burung Garuda jika perbuatannya ini sangatlah merugikan dan menyusahkan orang lain. Egoisme sekaligus
ketamakan telah membutakan burung Garuda.
3.2.2
Waso
Cerita
Waso merupakan salah satu cerita rakyat yang berasal dari daerah Kemtuk Gresi
yang banyak memiliki kearifan lokal. Cerita Waso mengajak kita untuk berjuang
keras untuk mencapai tujuan. Halangan dan rintangan yang menghadang merupakan
hal yang biasa, yang tidak akan membuat kita putus asa sebelum cita-cita
tercapai. Berikut adalah beberapa kearifan lokal yang terdapat dalam cerita
Waso.
3.2.2.1
Perbuatan
Yang Baik Harus Diniati dan Diyakini Dalam Hati
Segala
perbuatan tergantung pada niat. Apabila perbuatan diniatkan dengan baik maka
akan mendapatkan hasil yang baik pula. Perbuatan yang baik harus diyakini dalam
hati sehingga optimisme akan tumbuh menjadi semangat dalam melakukan karya
untuk sesama.
Adat istiadat warisan nenek moyang yang telah
melekat kuat di hati masyarakat tidak mudah digoyahkan. Akan tetapi, Waso terus
berusaha dan yakin dapat merubah kepercayaan dan adat istiadat masyarakat
Kemtuk Gresi.
3.2.2.2
Patuh
Terhadap Aturan Pemimpin
Dalam
ajaran Islam seseorang harus mematuhi aturan yang telah dibuat oleh pemimpin
atau imam. Ada istilah “sami’na wa athokna, saya mendengar dan saya
melaksanakan”. Demikian pula seperti yang terdapat dalam cerita
Waso, masyarakat tunduk dan taat kepada kepala adat.
Masyarakat
Bring amat patuh pada adat kebiasaan yang berlaku. Setiap orang yang akan
melakukan sesuatu harus mendapat persetujuan dari kepala adat atau kepala suku.
Dengan
adanya kepatuhan masyarakat terhadap pimpinan diharapkan tercipta hubungan
harmonis antara pemerintah dan warga masyarakat.
3.2.2.3
Di
Mana Bumi Dipijak Di Situlah Langit Dijunjung
Sebagai
pendatang dalam wilayah masyarakat lain tentu kita harus selalu menjunjung adat
istiadat yang berlaku. Kita tidak boleh mengambil tindakan tertentu yang
berkaitan dengan hajat hidup masyarakat di daerah itu tanpa merundingkan
terlebih dahulu pada tokoh masyarakat setempat. Apabila kita mengabaikan semua
adat istiadat yang berlaku tentu akan membuat masyarakat setempat kecewa dan
dapat juga menjadi marah.
Masyarakat Bring amat patuh pada adat kebiasaan yang
berlaku. Setiap orang yang akan melakukan sesuatu harus mendapat persetujuan
dari kepala adat atau kepala suku. Akan tetapi, Waso sering melakukan sesuatu
yang diputuskan sendiri dan tidak dimusyawarahkan dengan kepala suku. Oleh
karena itu, masyarakat Bring banyak yang marah kepada Waso. Mereka menghukum
Waso dengan melarang dia menginjak tanah Bring. Selain itu, mereka juga
melarang Waso mengembangkan kepercayaan Wali Du.
3.2.2.4
Memberi
Tanpa Mengharap Imbalan
Dalam
konsep Islam jika tangan kanan memberi maka tangan kiri tidak mengetahui. Hal
ini memberi makna bahwa memberi pertolongan atau bantuan dilakukan secara
ikhlas dan tidak ada tendensi apapun. Akan tetapi konsep ini sudah mulai pudar.
Orang memberi pasti ada permintaan imbalan. Ibarat kampanye politik,
partai-partai meberikan bantuan terhadap masyarakat dengan harapan mau memilih
mereka kelak di pemilu. Demikian pula terjadi pada kisah Waso ketika mengobati
orang lumpuh. Ada harapan tersembunyi di balik pertolongannya.
Pada suatu hari, ketika Waso sedang berjalan, dia
bertemu dengan orang lumpuh. Bagi Waso, pertemuan ini merupakan kesempatan yang
baik. Dia segera menggunakan buku wasiatnya untuk mengobati orang lumpuh itu.
3.2.2.5
Hal
Baik Harus Disampaikan Dengan Cara Baik
Berdakwah
memang membutuhkan strategi. Dengan strategi kita dapat menyampaikan gagasan
kepada masyarakat dengan lebih mudah. Metode dakwah yang kita sampaikan harus
bervariasi sehingga tidak monoton yang dapat menyebabkan kebosanan. Dari kisah
Waso kita dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga mengenai strategi
berdakwah. Kebaikan jika disampaikan dengan cara yang salah maka akan
mengakibatkan kerugian bagi si pembawa kebaikan. Selain itu kebaikan yang
dibawakan tidak akan diterima oleh masyarakat karena tidak mudah untuk
dipahami.
3.2.2.6 Bertobat
Dengan Menyesali Perbuatan Salah
Salah satu ciri orang yang bertobat
setelah melakukan kesalahan adalah dengan menyesali perbuatannya dan tidak
mengulangi kesalahan tersebut.
Setelah Waso hilang, berterbanganlah unggas di
angkasa, semua binatang melata datang, bumi bergoncang hebat, dan guntur
menggelegar sehingga membuat semua orang ketakutan dan menyesali perbuatannya.
4.
Penutup
Dalam cerita rakyat banyak terkandung nilai moral yang dapat dipetik
nilainya. Budi pekerti dalam cerita rakyat dapat dilihat dari sisi nilai moral
yang ada dalam cerita. Nilai moral tersebut antara lain, moral individu, moral
sosial, dan moral religi. Nilai moral yang ada dalam cerita dapat dijadikan
sebagai ajaran maupun pedoman manusia dalam menjalani hidupnya. Adanya
kejujuran, kepatuhan, rela berkorban, kerukunan, bekerjasama, suka menolong,
percaya adanya Tuhan, berserah diri, memohon ampun merupakan sikap terkait budi
pekerti luhur yang seharusnya dimiliki oleh manusia.
Nilai moral yang budi pekerti luhur yang ada dalam
cerita rakyat tersebut perlu diajarkan kepada anak. Hal itu penting untuk
diajarkan agar anak memahami etika tingkah laku manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Cerita rakyat yang mengandung nilai luhur tersebut perlu
dilestarikan agar tidak hilang. Cerita rakyat yang merupakan salah satu tradisi
lisan ini perlu disampaikan secara turun temurun pada generasi berikutnya agar
cerita ini tetap hidup di masyarakat. Cerita rakyat merupakan salah satu
potensi budaya lokal yang perlu dijaga bersama.
Salam, Pak. Saya baru tahu cerita tentang Burung Garuda dan Waso. Kebetulan saya mau ikut lomba menulis ulang cerita rakyat dari kemdikbud. Saya tertarik mengangkat cerita dari Papua. Memang saya masih mencari cerita yang mana yang akan saya tulis, seandainya saya mengangkat cerita tentang burung Garuda, boleh tidak, Pak? Terima kasih sebelumnya.
ReplyDeleteSilakan menulis ulang cerita tentang Burung garuda, tetapi jika ingin dikembangkan harus datang langsung ke penutur asli cerita tersebut, jika tidak, saya khawatir makna yang ingin disampaikan dalam cerita hasil kembangan tersebut tidak sesuai dengan angan-angan si pemilik cerita yakni masyarakat Namblong, saya sarankan untuk datang langsung ke Kampung Sanggai, Distrik Namblong, Kabupaten Jayapura untuk menemui si penutur cerita.
ReplyDelete