Sunday, December 4, 2011

ASAL USUL MARGA ONGGE


Diceritakan Kembali Oleh Siswanto
Küs Ongge (Informan)

Pada zaman dahulu suku Sentani (Phuyakha) hidup rukun dalam sebuah rumah besar yang dipimpin oleh Ondofolo Heram Rasim Khelebeu. Rumah besar ini berada di kampung Ohei. Masyarakat yang dipimpin ondofolo hidup sejahtera karena alam telah menyediakan kebutuhan hidup yang berasal dari dusun-dusun sagu yang berada di sekitar danau Sentani. Kaum lelaki yang menebang dan membersihkan sagu sedangkan kaum perempuan mengolahnya menjadi sagu.  Danau Sentani juga memberikan asupan gizi yang tinggi karena dalam danau itu terdapat berbagai jenis ikan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Kaum perempuanlah yang bekerja untuk mencari ikan di danau.
Ondofolo memiliki beberapa anak lelaki yang masih remaja. Sebagaimana anak remaja pada umumnya, para anak Ondofolo ini tumbuh dan berkembang dengan kenakalan seperti remaja-remaja lainnya. Salah satu anak Ondofolo yang bernama Marlau memiliki kenakalan yang melampui batas kewajaran. Ia sering berkelahi dan membuat onar di lingkungan tempat bermainnya. Kaum perempuan sering menggunjing Marlau yang memiliki tabiat tidak baik ini. Kaum perempuan mengatakan bahwa anak ini tidak pantas menjadi Ondofolo. Jiwa kepemimpinan tidak nampak dalam dirinya. Sikap dan perilaku yang baik sejak dini merupakan cerminan calon Ondofolo yang baik.
            Ada seorang nenek yang merasa prihatin terhadap perilaku Marlau, kemudian nenek ini memberi nasihat kepada Marlau.
“Semua orang di rumah besar ini membicarakan tentang dirimu. Kelakuanmu yang tidak baik membuat mereka tidak suka padamu. Mereka mengatakan bahwa dirimu tidak pantas untuk menjadi Ondofolo menggantikan ayahmu. Engkau harus merubah sikap dan membuktikan bahwa engkau layak menjadi Ondofolo”.
Mula-mula, nenek mengajari Marlau membuat busur kecil dan anak panah yang dipergunakan untuk berlatih berburu burung dan ikan. Setelah membuat perlengkapan berburu yang sederhana, Marlau pergi berburu burung dan ikan yang hasil buruannya nanti akan diserahkan kepada Ondofolo. Dengan ini ia berusaha untuk mengambil hati Ondofolo. Lalu ia bersama nenek membuat busur yang lebih besar yang dapat digunakan untuk berburu babi. Tenyata ia juga dapat memanah babi dan menyerahkan kepada Ondofolo. Demikianlah, terus menerus Marlau berusaha untuk merebut hati ayahnya agar kelak dijadikan Ondofolo. Berkat latihan dan pelajaran yang diberikan oleh nenek, ia tumbuh menjadi pemuda yang kuat dan berani.
Pada suatu hari ia berburu babi dan binatang lainnya hingga jauh meninggalkan kampung Ohei hingga tiba di daerah Melai. Marlau belum mendapat binatang buruan. Ia merasa lelah. Kemudian ia beristirahat di tepi danau sentani yang letaknya dekat dengan kampung Waena  (isele). Tiba-tiba, sayup-sayup ia mendengar percakapan yang berasal dari ibu-ibu kampung Waena yang sedang hilir mudik mendayung perahu dari kebun sambil mencari ikan di danau. Dari percakapan mereka Marlau mendengar tentang babi yang sering merusak tanaman mereka. Mereka tidak dapat membawa hasil kebun karena telah habis dimakan oleh babi. Mendengar percakapan itu, Marlau berkata dalam hati, “Apakah ibu-ibu Waena itu tidak memiliki suami atau anak laki-laki untuk membunuh babi itu”.
Marlau tergerak hatinya untuk membantu ibu-ibu Waena untuk membunuh babi yang sering merusak tanaman. Ia kemudian mencari babi itu hingga mendekati kampung Yoka. Dengan kehebatannya akhirnya ia menemukan babi itu dan memanahnya hingga mati. Ternyata babi itu besar sekali sehingga ia tidak mampu untuk mengangkat sendiri. Marlau pulang ke Ohei meminta batuan ayahnya untuk mencari sepuluh orang yang kuat untuk mengangkat babi. Setelah babi sampai di kampung, Ondofolo mengatakan bahwa babi harus dipotong di suatu tempat yang bernama Kiso. Babi dipotong dan dimasak oleh kaum perempuan, setelah itu dibagikan kepada seluruh keluarga yang ada di rumah besar itu. Kaum lelaki dan anak-anak dipersilahkan makan terlebih dahulu, sedangkan kaum perempuan makan setelah kaum lelaki dan anak-anak telah selesai.
Keesokan harinya Marlau pergi meninggalkan Ohei menuju daerah Melai di Waena. Ia merasa sangat letih dan memutuskan untuk beristirahat. Dalam keheningan pagi buta Marlau mendengar suara yang berasal dari suatu tempat yang jauh. Tempat itu bernama Kheleijomo (salah satu tempat di kampung Yoka). Dengan jelas ia mendengar suara seorang nenek tengah menyampaikan pesan batin kepada seseorang.
 “Aku menyampaikan pesan lewat angin kepada cucu Ondofolo Eluai Kending untuk mengambil benda-benda pusaka yang berada di Kheleijomo”, suara nenek terdengar jelas oleh Marlau. Marlau mengetahui bahwa itu adalah suara nenek Anyokhong Hebeibulu yang buta. 
Marlau merencanakan untuk menyamar menjadi Ondofolo Eluai Kending dan mendapatkan harta pusaka itu. Hari masih pagi benar, ia mengumpulkan kayu bakar yang banyak dan akan diberikan kepada nenek Anyokhong Hebeibulu.
Setelah tiba di Kheleijomo, Marlau segera menghampiri nenek dan berkata “Abu (nenek), aku membawakan kayu bakar untuk menghangatkan tubuhmu, aku akan membuat perapian yang besar agar agar tahan lama hingga sore hari.” Marlau dan nenek Anyokhong Hebeibulu bercakap dalam beberapa saat hingga Marlau berkata,
 Abu, mana harta pusaka yang engkau katakan tadi, aku datang untuk mengambilnya.” Tanpa menaruh curiga nenek segera menyerahkan harta-harta pusaka dalam sebuah noken yang besar. Dengan senyum penuh kemenangan Marlau segera pamit dan pulang kembali ke  Melai.
 Keesokan harinya Ondofolo Ayafo Eluai Kending datang ke rumah nenek Anyokhong Hebeibulu untuk mengambil harta pusaka seperti yang telah ia dengar lewat pesan yang terbawa oleh angin.
“Nenek saya Eluai Kending datang untuk mengambil harta pusaka”.
“Eluai Kending yang mana lagi? Saya sudah menyerahkan harta pusaka kepada Eluai Kending kemarin” ujar nenek dengan heran.
Ondofolo Eluai Kending pulang ke Ayafo dengan penyesalan mendalam dan penuh tanda tanya. Siapa yang telah mengambil harta pusaka miliknya. Tidak seorangpun yang dapat ditanya. Kemudian ia mulai mencari ke seluruh pelosok danau Sentani (Fuyakha Bu).  Ia menanyakan keberadaan harta pusaka kepada setiap Ondofolo, namun semua Ondofolo menyatakan tidak tahu. Akhirnya ia pulang ke kampung Ayafo dengan kesedihan yang mendalam.
Sementara itu Ondofolo Heram Rasim Helebeu mempunyai firasat lain, ia bergumam dalam hati, “Ahh…, Marlau saat ini tengah berburu ke Melai, pasti dia yang telah mengambil harta pusaka itu”.
Kemudian ia berkata kepada istrinya, “Tolong masak sagu yang telah kau olah dari dusun sagu kemarin dan juga beberapa ikan bakar dari danau, aku akan melihat Marlau ke Melai. Aku mempunyai firasat yang tidak baik mengenai Marlau”. Perbekalan telah lengkap. Ondofolo Heram Rasim Khelebeu mendayung perahunya menuju Melai. Ia  hampir sampai ke Melai dan tiba-tiba ia mendengar Marlau tengah berdendang.
“akan kau cari ke mana”
“akan kau cari ke mana”
“semuanya telah hilang”
“semuanya telah hilang”
Sebagai Ondofolo ia dapat memahami makna lagu yang telah didendangkan oleh Marlau. Ondofolo telah sampai di Melai dan berjumpa dengan Marlau.
Setelah makan bersama Marlau, Ondofolo bertanya, “Apakah engkau yang mengambil harta pusaka milik Ondofolo Eluai Kending?
“Tidak, aku tidak mengambilnya”.
Ondofolo bertanya sebanyak dua kali, namun Marlau memberikan jawaban yang sama. Ketika Ondofolo menanyakan yang ke tiga kali, Marlau mengaku bahwa ia yang telah mengambil harta pusaka tersebut. Ia tidak dapat berbohong kepada ayahnya lagi. Ia tidak ingin mendapat kutukan. Ondofolo kemudian meminta Marlau untuk menyerahkan ikatan lidi yang ada pada Marlau. Setelah Marlau menyerahkan ikatan lidi, Ondofolo menghitungnya dan mendapatkan bahwa lidi itu kurang satu.
“Lidi ini kurang satu, berarti harta pusaka itu hilang satu. Di mana kau menyimpannya?”
Sebagai Ondofolo Besar ia mengetahui bahwa setiap kampung memiliki harta pusaka dan jumlahnya. Berapa jumlah gelang batu, jumlah kapak batu, atau jumlah manik-manik. Mendengar ucapan ayahnya Marlau terdiam, dan ia memastikan bahwa ia tidak menyimpan salah satu dari harta pusaka itu. Ondofolo tahu isi hati Marlau, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Hati Marlau bersorak gembira melihat ayahnya diam dan langsung pulang. Ia tahu bahwa dengan memiliki harta pusaka itu kelak ketika ia akan pindah dan memiliki kampung sendiri maka harta pusaka itu dapat menjadi tanda yang sah. Oleh sebab itu ia bersikeras bahwa ia tidak mengambil harta pusaka itu.
Ondofolo telah sampai di kampung Ohei. Ia mengutus seseorang untuk mengembalikan harta pusaka itu kepada Ondofolo Eluai Kending di Ayafo. Ia berpesan agar menyampaikan bahwa harta pusaka yang ditemukan hanya itu dan tetap merahasiakan satu harta pusaka yang telah diambil Marlau. Utusan tiba di kampung Ayafo dan menyerahkan harta pusaka ke Ondofolo Eluai Kending. Ia mulai menghitung dan dan ia kehilangan satu harta pusaka. Ia bertanya kepada utusan tentang harta pusaka itu, tetapi utusan menjawab sesuai yang telah dipesan oleh Ondofolo Heram Rasim Khelebeu. Ondofolo Eluai Kending tidak dapat berbuat apa-apa.
Setelah kejadian itu Marlau keluar dari kampung dan berencana membuat kampung sendiri. Kemudian ia menetap di Melai. Ia menetap di sana bersama Ohee, dan membentuk suku yang bernama Ongge. Ohee menjadi Ondofolo dan Marlau menjadi Kotelo. Harta pusaka itu adalah gelang yang terbuat dari batu. Saat ini gelang pusaka itu masih disimpan dan dirawat oleh marga Ongge dengan baik.

2 comments:

  1. kereeeeeennnnnnn om... bisa minta contac person nya om??
    email aja deh om..
    saya mau tanya tanya tentang papua.. makasih om..

    ReplyDelete