Diceritakan Kembali Oleh Siswanto
Küs Ongge
(Informan)
Pada zaman dahulu suku Sentani (Phuyakha)
hidup rukun dalam sebuah rumah besar yang dipimpin oleh Ondofolo Heram Rasim Khelebeu. Rumah besar ini berada di kampung
Ohei. Masyarakat yang dipimpin ondofolo
hidup sejahtera karena alam telah menyediakan kebutuhan hidup yang berasal dari
dusun-dusun sagu yang berada di sekitar danau Sentani. Kaum lelaki yang
menebang dan membersihkan sagu sedangkan kaum perempuan mengolahnya menjadi sagu. Danau Sentani juga memberikan asupan gizi
yang tinggi karena dalam danau itu terdapat berbagai jenis ikan yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Kaum perempuanlah yang bekerja untuk mencari ikan
di danau.
Ondofolo
memiliki beberapa anak lelaki yang masih remaja. Sebagaimana anak remaja pada
umumnya, para anak Ondofolo ini
tumbuh dan berkembang dengan kenakalan seperti remaja-remaja lainnya. Salah
satu anak Ondofolo yang bernama Marlau
memiliki kenakalan yang melampui batas kewajaran. Ia sering berkelahi dan
membuat onar di lingkungan tempat bermainnya. Kaum perempuan sering menggunjing
Marlau yang memiliki tabiat tidak baik ini. Kaum perempuan mengatakan bahwa
anak ini tidak pantas menjadi Ondofolo.
Jiwa kepemimpinan tidak nampak dalam dirinya. Sikap dan perilaku yang baik
sejak dini merupakan cerminan calon Ondofolo
yang baik.
Ada
seorang nenek yang merasa prihatin terhadap perilaku Marlau, kemudian nenek ini
memberi nasihat kepada Marlau.
“Semua orang di rumah besar ini
membicarakan tentang dirimu. Kelakuanmu yang tidak baik membuat mereka tidak
suka padamu. Mereka mengatakan bahwa dirimu tidak pantas untuk menjadi Ondofolo menggantikan ayahmu. Engkau
harus merubah sikap dan membuktikan bahwa engkau layak menjadi Ondofolo”.
Mula-mula, nenek mengajari
Marlau membuat busur kecil dan anak panah yang dipergunakan untuk berlatih
berburu burung dan ikan. Setelah membuat perlengkapan berburu yang sederhana, Marlau
pergi berburu burung dan ikan yang hasil buruannya nanti akan diserahkan kepada
Ondofolo. Dengan ini ia berusaha
untuk mengambil hati Ondofolo. Lalu
ia bersama nenek membuat busur yang lebih besar yang dapat digunakan untuk
berburu babi. Tenyata ia juga dapat memanah babi dan menyerahkan kepada Ondofolo. Demikianlah, terus menerus
Marlau berusaha untuk merebut hati ayahnya agar kelak dijadikan Ondofolo. Berkat latihan dan pelajaran
yang diberikan oleh nenek, ia tumbuh menjadi pemuda yang kuat dan berani.
Pada suatu hari ia
berburu babi dan binatang lainnya hingga jauh meninggalkan kampung Ohei hingga tiba di daerah Melai. Marlau
belum mendapat binatang buruan. Ia merasa lelah. Kemudian ia beristirahat di
tepi danau sentani yang letaknya dekat dengan kampung Waena (isele).
Tiba-tiba, sayup-sayup ia mendengar percakapan yang berasal dari ibu-ibu kampung
Waena yang sedang hilir mudik mendayung perahu dari kebun sambil mencari ikan
di danau. Dari percakapan mereka Marlau mendengar tentang babi yang sering
merusak tanaman mereka. Mereka tidak dapat membawa hasil kebun karena telah
habis dimakan oleh babi. Mendengar percakapan itu, Marlau berkata dalam hati, “Apakah
ibu-ibu Waena itu tidak memiliki suami atau anak laki-laki untuk membunuh babi
itu”.
Marlau tergerak hatinya
untuk membantu ibu-ibu Waena untuk membunuh babi yang sering merusak tanaman.
Ia kemudian mencari babi itu hingga mendekati kampung Yoka. Dengan kehebatannya
akhirnya ia menemukan babi itu dan memanahnya hingga mati. Ternyata babi itu
besar sekali sehingga ia tidak mampu untuk mengangkat sendiri. Marlau pulang ke
Ohei meminta batuan ayahnya untuk mencari sepuluh orang yang kuat untuk
mengangkat babi. Setelah babi sampai di kampung, Ondofolo mengatakan bahwa babi harus dipotong di suatu tempat yang
bernama Kiso. Babi dipotong dan
dimasak oleh kaum perempuan, setelah itu dibagikan kepada seluruh keluarga yang
ada di rumah besar itu. Kaum lelaki dan anak-anak dipersilahkan makan terlebih
dahulu, sedangkan kaum perempuan makan setelah kaum lelaki dan anak-anak telah
selesai.
Keesokan harinya Marlau
pergi meninggalkan Ohei menuju daerah Melai di Waena. Ia merasa sangat letih
dan memutuskan untuk beristirahat. Dalam keheningan pagi buta Marlau mendengar
suara yang berasal dari suatu tempat yang jauh. Tempat itu bernama Kheleijomo
(salah satu tempat di kampung Yoka). Dengan jelas ia mendengar suara seorang
nenek tengah menyampaikan pesan batin kepada seseorang.
“Aku menyampaikan pesan lewat angin kepada
cucu Ondofolo Eluai Kending untuk mengambil benda-benda
pusaka yang berada di Kheleijomo”, suara
nenek terdengar jelas oleh Marlau. Marlau mengetahui bahwa itu adalah suara nenek
Anyokhong Hebeibulu yang buta.
Marlau merencanakan
untuk menyamar menjadi Ondofolo Eluai Kending dan mendapatkan harta pusaka
itu. Hari masih pagi benar, ia mengumpulkan kayu bakar yang banyak dan akan
diberikan kepada nenek Anyokhong Hebeibulu.
Setelah tiba di
Kheleijomo, Marlau segera menghampiri
nenek dan berkata “Abu (nenek), aku
membawakan kayu bakar untuk menghangatkan tubuhmu, aku akan membuat perapian
yang besar agar agar tahan lama hingga sore hari.” Marlau dan nenek Anyokhong
Hebeibulu bercakap dalam beberapa saat hingga Marlau berkata,
”Abu, mana
harta pusaka yang engkau katakan tadi, aku datang untuk mengambilnya.” Tanpa
menaruh curiga nenek segera menyerahkan harta-harta pusaka dalam sebuah noken
yang besar. Dengan senyum penuh kemenangan Marlau segera pamit dan pulang
kembali ke Melai.
Keesokan harinya Ondofolo Ayafo Eluai Kending datang ke rumah nenek Anyokhong
Hebeibulu untuk mengambil harta pusaka seperti yang telah ia dengar lewat pesan
yang terbawa oleh angin.
“Nenek saya Eluai Kending
datang untuk mengambil harta pusaka”.
“Eluai Kending yang
mana lagi? Saya sudah menyerahkan harta pusaka kepada Eluai Kending kemarin”
ujar nenek dengan heran.
Ondofolo
Eluai Kending pulang ke Ayafo dengan penyesalan mendalam dan penuh tanda tanya.
Siapa yang telah mengambil harta pusaka miliknya. Tidak seorangpun yang dapat
ditanya. Kemudian ia mulai mencari ke seluruh pelosok danau Sentani (Fuyakha
Bu). Ia menanyakan keberadaan harta pusaka kepada
setiap Ondofolo, namun semua Ondofolo menyatakan tidak tahu. Akhirnya
ia pulang ke kampung Ayafo dengan kesedihan yang mendalam.
Sementara itu Ondofolo Heram Rasim Helebeu mempunyai
firasat lain, ia bergumam dalam hati, “Ahh…, Marlau saat ini tengah berburu ke
Melai, pasti dia yang telah mengambil harta pusaka itu”.
Kemudian ia berkata kepada
istrinya, “Tolong masak sagu yang telah kau olah dari dusun sagu kemarin dan juga
beberapa ikan bakar dari danau, aku akan melihat Marlau ke Melai. Aku mempunyai
firasat yang tidak baik mengenai Marlau”. Perbekalan telah lengkap. Ondofolo Heram Rasim Khelebeu mendayung
perahunya menuju Melai. Ia hampir sampai
ke Melai dan tiba-tiba ia mendengar Marlau tengah berdendang.
“akan kau cari ke mana”
“akan kau cari ke mana”
“semuanya telah hilang”
“semuanya telah hilang”
Sebagai Ondofolo ia dapat memahami makna lagu
yang telah didendangkan oleh Marlau. Ondofolo
telah sampai di Melai dan berjumpa dengan Marlau.
Setelah makan bersama
Marlau, Ondofolo bertanya, “Apakah engkau yang mengambil harta pusaka milik
Ondofolo Eluai Kending?
“Tidak, aku tidak
mengambilnya”.
Ondofolo
bertanya sebanyak dua kali, namun Marlau memberikan jawaban yang sama. Ketika Ondofolo menanyakan yang ke tiga kali,
Marlau mengaku bahwa ia yang telah mengambil harta pusaka tersebut. Ia tidak
dapat berbohong kepada ayahnya lagi. Ia tidak ingin mendapat kutukan. Ondofolo kemudian meminta Marlau untuk
menyerahkan ikatan lidi yang ada pada Marlau. Setelah Marlau menyerahkan ikatan
lidi, Ondofolo menghitungnya dan
mendapatkan bahwa lidi itu kurang satu.
“Lidi ini kurang satu,
berarti harta pusaka itu hilang satu. Di mana kau menyimpannya?”
Sebagai Ondofolo Besar ia mengetahui bahwa
setiap kampung memiliki harta pusaka dan jumlahnya. Berapa jumlah gelang batu,
jumlah kapak batu, atau jumlah manik-manik. Mendengar ucapan ayahnya Marlau
terdiam, dan ia memastikan bahwa ia tidak menyimpan salah satu dari harta
pusaka itu. Ondofolo tahu isi hati
Marlau, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Hati Marlau bersorak gembira
melihat ayahnya diam dan langsung pulang. Ia tahu bahwa dengan memiliki harta
pusaka itu kelak ketika ia akan pindah dan memiliki kampung sendiri maka harta
pusaka itu dapat menjadi tanda yang sah. Oleh sebab itu ia bersikeras bahwa ia
tidak mengambil harta pusaka itu.
Ondofolo
telah sampai di kampung Ohei. Ia mengutus seseorang untuk mengembalikan harta
pusaka itu kepada Ondofolo Eluai
Kending di Ayafo. Ia berpesan agar menyampaikan bahwa harta pusaka yang
ditemukan hanya itu dan tetap merahasiakan satu harta pusaka yang telah diambil
Marlau. Utusan tiba di kampung Ayafo dan menyerahkan harta pusaka ke Ondofolo Eluai Kending. Ia mulai menghitung dan dan ia kehilangan satu harta
pusaka. Ia bertanya kepada utusan tentang harta pusaka itu, tetapi utusan
menjawab sesuai yang telah dipesan oleh Ondofolo
Heram Rasim Khelebeu. Ondofolo Eluai
Kending tidak dapat berbuat apa-apa.
Setelah kejadian itu
Marlau keluar dari kampung dan berencana membuat kampung sendiri. Kemudian ia
menetap di Melai. Ia menetap di sana bersama Ohee, dan membentuk suku yang
bernama Ongge. Ohee menjadi Ondofolo
dan Marlau menjadi Kotelo. Harta
pusaka itu adalah gelang yang terbuat dari batu. Saat ini gelang pusaka itu
masih disimpan dan dirawat oleh marga Ongge dengan baik.
kereeeeeennnnnnn om... bisa minta contac person nya om??
ReplyDeleteemail aja deh om..
saya mau tanya tanya tentang papua.. makasih om..
0813442727695
Delete