REPRESENTASI
IDEOLOGI FEMINISME DALAM MASYARAKAT SENTANI
(Kritik
Sastra Feminis terhadap Cerita Rakyat Asal Usul Marga Ongge)
Siswanto
Abstrak
Perempuan Sentani memiliki peran yang sangat
kompleks dalam hidup ini. Oleh karena itu ia dijuluki sebagai bumi (kani). Peran tersebut antara lain peran
domestik yang berupa peran reproduksi dan produksi sedangkan peran publik
berupa peran adat. Dalam beberapa hal perempuan Sentani tidak diperbolehkan
berperan dalam tatanan adat, namun dalam cerita Asal Usul Marga Ongge perempuan
Sentani memiliki peran yang signifikan. Sehingga peran ini mampu menepis
anggapan bahwa perempuan tidak bisa berperan dalam tatanan adat dan juga
merupakan suatu penghargaan atas jasa kaum perempuan Sentani berperan dalam
berbagai aspek kehidupan.
Kata Kunci:
ideologi feminisme, peran perempuan, adat.
1.
Pendahuluan
Apa
tanggapan kita ketika mendengar kata perempuan? Dalam benak kita akan segera
muncul kosep kecantikan, kelembutan, keibuan, kelemahan, kemanjaan, perlu
dibantu, di bawah bayang-bayang laki-laki dan sebagainya. Bagi masyarakat umum
hal ini dapat dimaklumi sebagai sesuatu yang bersifat kodrati bagi seorang
perempuan. Seluruh komponen masyarakat sepakat dan bahkan mendukung bahwa
atribut-atribut yang melekat dalam konsep seorang perempuan adalah sesuatu yang
kodrati atau alamiah dikarenakan faktor biologis sebagai perempuan itu sendiri.
Tetapi benarkah konsep yang berlaku pada seorang perempuan
ini diakibatkan oleh keadaan fisiknya yang memiliki rahim? Apakah kita pernah membayangkan
ketika seorang balita laki-laki diasuh layaknya kita mengasuh seorang balita
perempuan dengan memakaikannya rok atau memberikan perlakuan secara feminim,
apakah ia akan tetap memenuhi konsep seorang laki-laki ketika ia dewasa? Baik
kita sadari atau tidak, tumbuh kembang manusia menjadi seseorang yang memenuhi
konsep perempuan atau laki-laki adalah hasil bentukan konstruksi yang berlaku
dalam masyarakat. Konsep bahwa seorang laki-laki harus rasional, kuat, tegar,
dan seterusnya, dibangun oleh masyarakat dengan memberikan didikan bahwa anak
laki-laki tidak boleh menangis dan mainan seperti mobil-mobilan atau permainan
tradisional lain yang bersifat maskulin. Sebaliknya, ketika masyarakat kita
mendidik seorang perempuan, ia akan dididik sebagai seorang anak yang lembut
dan manja serta diizinkan menangis hanya karena ia perempuan.
Lebih jauh lagi, cerita rakyat kita juga turut mendukung dan
membuktikan bahwa konsep perempuan telah dibentuk oleh masyarakat sejak dulu.
Di nusantara, kita mengenal cerita rakyat bawang merah dan bawang putih yang
menceritakan tentang dua perempuan beda karakter. Bawang merah dikisahkan
sebagai seorang perempuan yang malas dan tidak pernah menurut pada perintah
orang tua. Sedangkan bawang putih adalah seorang perempuan yang rajin membersihkan
rumah, pintar memasak, mencuci, dan penurut akan semua perintah orang tua. Pada
cerita rakyat Papua juga terdapat beberapa tokoh perempuan yang mendukung
konsep perempuan sebagai makhluk yang feminim dan berada dalam bayang-bayang
budaya maskulin. Dengan adanya konsep bahwa perempuan adalah makhluk feminim
dan lemah maka ia akan ditempatkan pada posisi kedua setelah laki-laki.
Perempuan tidak didudukkan sebagai bagian yang penting dalam sebuah keluarga.
Perempuan hanya merupakan pelengkap saja.
Seharusnya laki-laki dan perempuan merupakan
pasangan maka satu sama lain bukan bersaing dan tuntut menuntut, tetapi saling
melengkapi, saling membantu, saling mendorong ke arah kemajuan, saling
mengasihi, mencintai, menghormati, dan tolong-menolong. Jika laki-laki dan
perempuan bisa menempatkan diri pada porsi masing-masing tidak akan terjadi
saling menuntut persamaan hak dan derajat. Kekerasan dan ketidakadilan dalam
keluarga yang bersifat kulturalpun tidak akan terjadi.
Salah satu jenis kekerasan yang tidak mudah diidentifikasi
adalah kekerasan kultural. Pelaku kekerasan kultural kerap kali tidak menyadari
kekerasan yang dilakukannya. Sebabnya, kekerasan ini sudah dilestarikan dalam
budaya dan turun menurun. Demikian pula dengan kekerasan terhadap perempuan
dalam budaya masyarakat di Papua. Nilai-nilai kekerasan diimplementasikan dalam
berbagai aturan, norma dan pantangan terhadap kondisi dan keberadaan perempuan.
Kaum perempuan sendiri merasakannya sebagai hal yang biasa, sudah takdir dan
tidak merasa terpaksa melakukan segala aktivitasnya. Namun, bila dilihat
menggunakan kacamata hak asasi manusia, maka akan ditemukan banyak sekali
praktek yang mengarah pada pelanggaran hak-hak asasi manusia atau hak-hak asasi
perempuan.
Dalam tulisan ini, penulis akan memberikan gambaran singkat
tentang representasi ideologi feminisme dalam cerita rakyat Sentani. Tulisan
ini memberikan gambaran tentang peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan
yang biasanya hanya dilakukan oleh kaum lelaki dikarenakan adanya peraturan
adat. Cerita rakyat Sentani yang berjudul Asal Usul Marga Ongge memberikan
wawasan baru bahwasanya kaum perempuan Sentani juga dapat berberan dalam
kegiatan adat dan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Hal ini merupakan suatu
bentuk penghargaan terhadap kaum perempuan yang telah banyak berjasa dalam
segala aspek kehidupan masyarakat Sentani.
2.
Landasan
Teori
2.1
Feminisme
dan Sastra
Perjuangan emansipasi wanita saat
ini masih aktif diperjuangkan oleh sebagian wanita. Mereka memperjuangkan
emansipasi wanita karena masih merasakan ketidakadilan gender dengan kaum
laki-laki. Gerakan perjuangan ketidakadilan gender ini sering disebut dengan
gerakan feminisme.
Ratna (2007, 184) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Ratna (2007, 184) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Feminisme
dalam dunia sastra menghasilkan representasi mengenai perbedaan gender yang
memberi sumbangan pada pandangan sosial bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
nilai yang berbeda. Perempuan sering menjadi feminis dengan menjadi sadar akan,
dan mengkritik, kekuasaan misrepresentasi simbolis atas perempuan. Jackson
& Jones (2009: 332).
Karya sastra berupa novel, puisi, maupun cerpen dapat dikaji menggunakan pendekatan feminisme, asalkan ada tokoh wanitanya. Kita akan mudah menggunakan pendekatan ini jika tokoh wanita itu dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Tidaklah menjadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan (Djajanegara, 2000: 51).
Karya sastra berupa novel, puisi, maupun cerpen dapat dikaji menggunakan pendekatan feminisme, asalkan ada tokoh wanitanya. Kita akan mudah menggunakan pendekatan ini jika tokoh wanita itu dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Tidaklah menjadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan (Djajanegara, 2000: 51).
Dalam
proses pengkajian sastra feminis, ada beberapa pendekatan feminisme yang dapat
digunakan untuk menunjang penelitiannya. Gross menguraikan lima hal yang membuat
teori-teori tentang persamaan sebelumnya. Pertama, Wanita menjadi subyek dan
objek ilmu pengetahuan. Dengan menciptakan ilmu pengetahuan menjadi absah.
Kedua, semua metode, prosedur, anggapan, dan teknik teori-teori sebelumnya
dipertanyakan. Ketiga, dengan mempergunakan teori otonomi, kaum feminis tidak
Cuma mengembangkan perspektif-perspektif mengenai wanita dan isu-isunya, tetapi
juga tentang sederet topik yang luas, dengan memasukkan teori-teori lain.
Keempat, teori-teori feminis tidak hanya menegaskan alternatif-alternatif,
tetapi berkarya melalui teks-teks patriarkis. Teori-teori itu tidak lagi
menyalahkan atau menerima tulisan-tulisan yang disampaikan. Tulisan-tulisan
yang ada tersebut kini dianalisis, diuji, dan dipertanyakan. Pada akhirnya, teori
feminis menekankan institusi-instistusi sosial dan tindakan sosial, dengan
memberikan kerangka-kerangka alternatif (Gross dalam Jane & Helen, 2002:
20-21).
2.2 Sosiofeminis
Dalam Sofia (2009: 22), kritik sastra
sosiofeminis menekankan peran-peran yang diberikan untuk perempuan di
masyarakat. Hal ini dapat dipahami bahwa perempuan memiliki peran-peran
tertentu dalam kehidupan bermasyarakat di berbagai bidang. Soekamto (2002:243)
menjelaskan bahwa hubungan-hubungan sosial pada masyarakat, merupakan hubungan
antara peranan-peranan individu dalam masyarakat. Setiap masyarakat, kaum pria
dan wanita memiliki peran gender yang berbeda. Terdapat perbedaan pekerjaan
yang dilakukan mereka di dalam masyarakat disebabkan oleh berbagai macam
faktor, mulai dari lingkungan alam, hingga cerita dan mitos-mitos yang
digunakan untuk memecahkan teka-teki perbedaan jenis kelamin. Mengapa perbedaan
itu tercipta dan bagaimana dua orang berlainan jenis dapat berhubungan baik
satu dengan yang lainnya dan dengan sumber daya alam sekitarnya.
Penelitian peranan perempuan ini
merupakan penerapan dari wacana images of women (citra perempuan). Images of women merupakan suatu jenis
sosiologi yang menganggap teks-teks sastra dapat digunakan sebagai bukti adanya
berbagai jenis peranan perempuan. Penelitian images of women dilakukan untuk
dua kegunaan yang berbeda. Di satu pihak penelitian images of women digunakan
untuk mengungkap hakikat representasi stereotipe yang menindas yang diubah ke
dalam model-model peran serta menawarkan pandangan yang sangat terbatas dari
hal-hal yang diharapkan oleh seorang perempuan. Di pihak lain, penelitian
images of women digunakan untuk memberikan peluang berpikir tentang perempuan
untuk membandingkan bagaimana perempuan telah direpresentasikan dan bagaimana seharusnya
perempuan dipresentasikan (Ruthven dalam Sofia, 2009:22-23).
Peranan perempuan dapat dilihat melalui
pencitraan. Citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indra yang diungkapkan
lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh
kata-kata. Sementara itu, pencitraan merupakan kumpulan citra (the colection of
images) yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indra
yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi harfiah maupun
secara kias ( Abrams dalam Sofia, 2009:24).
2.3
Peranan
Perempuan
Soekamto
dalam Handayani mengungkapkan bahwa perempuan harus punya peran ganda yaitu
dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, kedua peran wanita
tersebut harus dijalankan secara seimbang. Hal tersebut tidak bisa lepas dari
kodrat dan kultur yang ada. Saat ini pekerjaan tidak lagi didominasi oleh
laki-laki, namun kaum perempuan sudah banyak yang merambah pekerjaan yang
biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki.
Tiga
hal yang mencakup peranan, yaitu:
a.
Peranan meliputi norma-norma yang
dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam
arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang
dalam kehidupan kemasyarakatan.
b.
Peranan adalah suatu konsep tentang apa
yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c.
Peranan juga dapat dikatakan sebagai
perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
2.4
Kedudukan
Perempuan dalam Masyarakat
Meski perempuan pada
dasarnya memiliki fisik yang lemah dan lembut, namun ia memiliki perasaan dan
naluri yang kuat, yang diciptakan oleh Tuhan mengemban tugas pendidikan dan
pengajaran masyarakat untuk menghantarkan umat manusia kepada kesempurnaan.
Tuhan menciptakan perempuan, yang merupakan manifestasi keindahan Ilahi, yang
juga tempat kaum lelaki memperoleh ketenangan dan ketentraman, dalam rangka
menghiasi rumah dan keluarga dengan pancaran kasih sayang dan kelemah
lembutannya.
Masalah
gender/jender muncul dari pemikiran orang-orang di dunia Barat. Pemikiran
jender adalah pemikiran yang muncul dengan asumsi bahwa laki-laki dan perempuan
dua jenis makhluk yang berbeda, berdiri sendiri-sendiri, yang masing-masing
selalu menuntut hak dan kewajiban, saling menuntut kesetaraan, bahkan persaingan
dalam status, pekerjaan dan berbagai bidang kehidupan.
Konsep
Al Quran menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah pasangan (zaujatun,
azwaja), Allah SWT berfirman dalam Surat Ar Rum ayat 21 "Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
Karena
laki-laki dan perempuan merupakan pasangan maka satu sama lain bukan bersaing
dan tuntut menuntut, tetapi saling melengkapi, saling membantu, saling
mendorong ke arah kemajuan, saling mengasihi, mencintai, menghormati, dan
tolong-menolong. Karena itu, dengan kedatangan Islam Kaum perempuan pada waktu
itu diangkat dalam kedudukan tinggi dan mulia. Bahkan dalam hubungannya dengan
anak Islam menempatkan perempuan (ibu) tiga kali lebih tinggi daripada
laki-laki.
Jadi,
Islam tidak pernah membedakan derajat laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki
bisa sekolah setinggi mungkin, maka perempuan juga bisa. Dalam bekerja, jika
laki-laki bisa jadi direktur, komisaris, presiden, dan lain-lain. Perempuan pun
bisa memperoleh kedudukan seperti itu. Yang penting baik laki-laki maupun
perempuan harus bisa menjaga jangan sampai terjadi fitnah dalam kedudukan itu.
3.
Pembahasan
3.1
Kedudukan
Perempuan Sentani dalam Masyarakat
Masyarakat Sentani sangat
menghormati perempuan. Segala bentuk pelecehan akan berakibat pada dikenakannya
denda adat bagi yang melakukannya. Perempuan sangat dijaga karena peran
reproduktif dan produktifnya. Namun demikian praktek di lapangan tidak sejalan
dengan peraturan adat yang ada. Perempuan Sentani sering mendapatkan perlakuan
yang kurang adil dalam hidup bermasyarakat dengan dalih menaati peraturan adat
tadi.
Aturan adat
telah menempatkan perempuan Sentani pada posisi yang sangat tidak berdaya,
sehingga tidak wemiliki otonomi bagi dirinya, baik sewaktu dalam kekuasaan
orang tua, ketika masih berstatus sebagai anak maupun setelah menjadi istri
yang berada dalam kekuasaan suami. Kondisi itu dimungkinkan karena adanya
sistem mas kawin dalam perkawinan adat yang berlaku hingga saat ini, dan masih
harus berperan dalam wilayah publik untuk berkebun dan bejualan di pasar.
Dengan demikian, beratnya beban kerja, kemiskinan yang berakar, serta kurangnya
kemauan para suami untuk mengerjakan
pekerjaan domestik.
3.2
Peran
Perempuan Sentani sebagai Kani (Bumi)
Peran perempuan Sentani yang begitu
kompleks sehingga ia dijuluki sebagai kani (bumi). Peran perempuan sentani
mencakupi seluruh aspek kehidupan masyarakat sentani mulai dari peran domestik
(rumah tangga) hingga peran publik (sosial kemasyarakatan dan adat).
Fakih
(2001:11) memaparkan bahwa kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik
anak, merawat dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah
konsruksi cultural dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi
urusan mendidik anak dan merawat kebersihan rumah tangga bisa bisa dilakukan oleh
kaum laki-laki. Oleh karena jenis pekerjaan itu bisa dipertukarkan dan tidak
bersifat universal, apa yang sering disebut sebagai “kodrat wanita” dalam kasus
mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga, sesungguhnya adalah gender.
Menurut
kondisi normatif, pria dan wanita mempunyai status atau kedudukan dan peranan
(hak dan kewajiban) yang sama, akan tetapi menurut kondisi objektif, wanita
mengalami ketertinggalan yang lebih besar dari pada pria dalam berbagai bidang
kehidupan dan pembangunan. Kondisi objektif ini tidak lain disebabkan oleh
norma sosial dan nilai sosial budaya yang masih berlaku di masyarakat. Norma
social dan nilai sosial budaya tersebut, di antaranya di satu pihak,
menciptakan status dan peranan wanita di sektor domestik yakni berstatus
sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga,
sedangkan di lain pihak, menciptakan status dan peranan pria di sektor publik
yakni sebagai kepala keluarga atau rumah tangga dan pencari nafkah.
3.2.1
Peran
Reproduktif
Pada zaman dahulu, ketika masih
sering terjadi perang suku, sering jatuh korban yang gugur di medan perang.
Pada saat itulah peran perempuan sangat dibutuhkan untuk menganti korban perang
dengan cara melahirkan anak sebanyak mungkin. Oleh karena itu, untuk menghindarkan
jatuhnya korban di pihak perempuan, perempuan tidak diperkenankan adat untuk
ikut berperang.
Yektiningtyas-Modouw
mengemukakan bahwa para ibu Sentani memelihara kandungan agar selalu sehat
mendapat tantangan yang keras karena mereka tatap bekerja keras ketika
mengandung. Hamil bukan alasan untuk tidak menunaikan tugas-tugas seperti
menangkap ikan, berkebun, dan mengolah sagu.
3.2.2
Peran
Produktif
3.2.2.1
Perempuan
sebagai Tenaga Kerja
Tanggung jawab perempuan Sentani
yang utama, selain melahirkan anak-anak (peran reproduktif) adalah bekerja giat
(melifoi). Menunaikan melifoi (peran produktif) tidaklah
mudah. Oleh karena itu, seorang lelaki secara sadar menginginkan seorang
perempuan yang berfisik kuat dan giat bekerja sebagai istrinya.
Perempuan
yang giat bekerja merupakan harapan dan kebanggaan masyarakat Sentani secara
keseluruhan. Oleh karena itu, orang tua sering menasihati anak-anak laki-laki
Sentani untuk mendapatkan calon istri yang baik.
3.2.2.2
Perempuan
sebagai Penghasil Makanan
Perempuan Sentani berusaha untuk
menyiapkan makanan yang terbaik bagi anak-anaknya. Menyiapkan makanan
memerlukan proses yang panjang bagi seorang ibu. Ibu jugalah yang
bertanggungjawab untuk menanam, menyiangi, kebun, memanen, membawa hasil kebun
ke rumah, memasak, dan menyajikan makanan. Di lapangan ditemukan bahwa walaupun
seorang ibu yang menyiapkan makanan, dia akan makan pada giliran terakhir
setelah seluruh anggota keluarganya makan. Hal ini juga terjadi pada saat-saat
acara adat atau acara sosial lainnya. Menurut Küs Ongge, hal ini merupakan
bentuk penghormatan terhadap keluarga dan laki-laki.
Babi
dipotong dan dimasak oleh kaum perempuan, setelah itu dibagikan kepada seluruh
keluarga yang ada di rumah besar itu. Kaum lelaki dan anak-anak dipersilahkan
makan terlebih dahulu, sedangkan kaum perempuan makan setelah kaum lelaki dan
anak-anak telah selesai.
Tiba-tiba,
sayup-sayup ia mendengar percakapan yang berasal dari ibu-ibu kampung Waena
yang sedang hilir mudik mendayung perahu dari kebun sambil mencari ikan di
danau. Dari percakapan mereka Marlau mendengar tentang babi yang sering merusak
tanaman mereka. Mereka tidak dapat membawa hasil kebun karena telah habis
dimakan oleh babi.
Dari kutipan cerita ini dapat
diketahui bahwa kaum perempuanlah yang bekerja di kebun dan mencari ikan di danau.
Dengan kata lain kaum perempuan Sentani memiliki peran produktif yang lebih
dominan dibandingkan dengan kaum lelaki.
a.
Berkebun
Biasanya, pembukaan kebun dilakukan atas
izin ondofolo dan ondofolo pula yang menunjuk tanah yang
dapat dikelola mejadi kebun. Pembukaan kebun ini kadang-kadang juga melibatkan
pemangku adat yang dipercayai mampu memberikan kesuburan tanah.
Kegiatan
berkebun dilakukan masyarakat dengan sistem ladang berpindah-pindah (shifting cultivation). Unit kerja
kegiatan berkebun adalah keluarga inti, namun pekerjaan pembukaan kebun baru
dilakukan secara bersama-sama oleh anggota-anggota kelompok kekerabatan klen
kecil yang sama. Adapun pekerjaan menebas belukar, menebang pohon dan membuat
pagar pelindung keliling kebun merupakan tugas laki-laki, sedangkan kaum
perempuan bertugas untuk membakar dahan dan ranting yang sudah kering.
Selanjutnya pekerjaan menanami kebun yang sudah siap dilakukan oleh kaum perempuan
keluarga pemilik kebun tersebut. Di samping itu tugas perempuan adalah menyiangi
rumput yang tumbuh di kebun sebelum masa panen tiba.
b.
Mengolah
Sagu
Dalam pengolahan sagu, terjadi pembagian
kerja antara laki-laki dan perempuan. Biasanya pekerjaan menebang pohon sagu,
menguliti batang sagu dan menokok empulur sagu menjadi serat-serat terlepas
dilakukan oleh kaum laki-laki. Sedangkan pekerjaan yang menyangkut membuat alat
berupa bak untuk mencuci serpihan sagu dan menampung endapan tepung sagu serta
menganyam wadah (holobei) dari daun
sagu untuk membawa pulang hasil produksi ke rumah, dilakukan oleh kaum
perempuan.
Seperti
halnya pembagian lahan untuk berkebun, lahan untuk menanam sagu pun diatur oleh
adat. Tiap-tiap klen mempunyai dusun sagu sendiri-sendiri. Letak dusun sagu
dipilih yang dekat dengan sungai atau sumber air lainnya karena air sangat
diperlukan untuk mengolah empulur menjadi tepung sagu.
Masyarakat yang dipimpin ondofolo hidup sejahtera karena alam telah menyediakan kebutuhan
hidup yang berasal dari dusun-dusun sagu yang berada di sekitar danau Sentani.
Kaum lelaki yang menebang dan membersihkan sagu sedangkan kaum perempuan
mengolahnya menjadi sagu.
c.
Menangkap
Ikan
Pekerjaan menangkap ikan di air
danau menurut Mansoben merupakan aktivitas yang tidak kalah pentingnya
dibandingkan dengan pekerjaan meramu sagu dan bercocok tanam. Hal ini
disebabkan karena ikan merupakan lauk pauk yang terpenting dalam menu orang
Sentani. Oleh karena itu kegiatan menangkap ikan tetap dilakukan secara terus
menerus sepanjang tahun. Adapun aktivitas menangkap ikan dilakukan terutama
oleh kaum perempuan. Merekalah yang membuat berbagai peralatan yang dibutuhkan
untuk menangkap ikan, mulai dari memanah sampai menjadi alat yang siap pakai,
misalnya jaring yang berbentuk tangguk (perpere),
jaring kantong (bel) dan sero. Juga
kaum wanitalah yang menggunakan peralatan tersebut untuk menangkap ikan.
Tidak seperti
halnya tanah yang digunakan untuk berkebun yang dibagi-bagi menurut klen,
menangkap ikan di danau dapat dilakukan di bagian danau mana saja, tanpa
dibatasi.
Danau Sentani juga memberikan asupan gizi yang
tinggi karena dalam danau itu terdapat berbagai jenis ikan yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Kaum perempuanlah yang bekerja untuk mencari ikan
di danau.
3.3
Peran
Perempuan Sentani dalam Area Publik
Disamping menunaikan peran domestik
yang kompleks, perempuan Sentani juga memerankan peran publik yang dititik
beratkan pada kemampuannya menjaga hubungan sosial di masyarakat. Perempuan
Sentani terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, misalnya bersama kelompok
perempuan lain mengumpulkan makanan untuk menyediakan keperluan adat, memasak
untuk keperluan adat, membantu proses persalinan, menolong orang sakit dengan
memberi makanan dan obat-obatan, menyantuni orang yang berkekurangan dan
sebagainya. Kemampuan seorang istri untuk terlibat dalam kegiatan sosial akan
membaut keluarga, terutama suami, dihormati dan diperhitungkan olah masyarakat
(Yektiningtyas-Modouw, 2008: 530)
3.4
Peran
Perempuan Sentani dalam Adat
3.4.1
Peran
sebagai Penasihat
Seorang ondofolo mempunyai perangkat pembantu
khusus yang disebut abu-afa. Peranan
perangkat tersebut adalah sebagai penasihat utama bagi ondofolo dalam hal memberikan nasihat dan pertimbangan kepada ondofolo sebelum membuat suatu keputusan
penting. Di samping itu abu-afa juga
berperan sebagai juru bicara ondofolo.
Peranan-peranan ini menyebabkan abu-afa
selalu mendampingi ondofolo dalam
setiap pertemuan resmi. Kedudukan ini menuntut pengetahuan yang amat dalam dan
luas tentang seluk beluk adat dari seseorang yang menjadi abu-afa. Selain itu
seorang abu-afa harus setia serta sanggup menyimpan rahasia, sebab ia
mengetahui semua kekayaan dan segala kerahasiaan pemerintahan ondofolo (Mansoben, 1995: 173)
Dalam struktur adat masyarakat sentani jabatan abu-afa
dipegang olah seorang laki-laki. Namun dalam cerita Asal Usul Marga Ongge, yang
menjabat sebagai penasihat putra ondofolo
adalah perempuan, seorang nenek. Dengan demikian perempuan juga memiliki peran
adat yang cukup signifikan dalam masyarakat adat sentani.
Ada
seorang nenek yang merasa prihatin terhadap perilaku Marlau, kemudian nenek ini
memberi nasihat kepada Marlau.
“Semua
orang di rumah besar ini membicarakan tentang dirimu. Kelakuanmu yang tidak
baik membuat mereka tidak suka padamu. Mereka mengatakan bahwa dirimu tidak
pantas untuk menjadi ondofolo menggantikan
ayahmu. Engkau harus merubah sikap dan membuktikan bahwa engkau layak menjadi ondofolo”.
3.4.2
Peran
sebagai Pengajar
Di bidang pendidikan anak, sang ibu
terutama, bertanggung jawab terhadap pendidikan anak perempuan karena anak
laki-laki setelah berusia sekitar tujuh tahun menjadi tanggung jawab sang ayah.
Sedini mungkin sang ibu memperkenalkan tugas-tugas perempuan, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Namun dalam
cerita Asal Usul Marga Ongge, ada seorang nenek yang berusaha memberikan
pelajaran atau pendidikan terhadap anak laki-laki ondofolo yang harusnya dilakukan oleh kaum lelaki.
Mula-mula,
nenek mengajari Marlau membuat busur kecil dan anak panah yang dipergunakan
untuk berlatih berburu burung dan ikan. Setelah membuat perlengkapan berburu
yang sederhana, Marlau pergi berburu burung dan ikan yang hasil buruannya nanti
akan diserahkan kepada ondofolo.
Dengan ini ia berusaha untuk mengambil hati ondofolo.
Lalu ia bersama nenek membuat busur yang lebih besar yang dapat digunakan untuk
berburu babi.
3.4.3
Peran
sebagai Pemegang Harta Pusaka/Kekuatan Supranatural
Perempuan tidak diizinkan oleh adat
untuk memegang kekuatan supranatural karena beratnya resiko yang diemban oleh
pemegang kekuatan ini, yang dapat menyebabkan kematian. Sama dengan alasan
sebelumnya, kematian perempuan sangat disayangkan karena mengurangi penyandang
peran reproduksi masayarakat Sentani. Küs Ongge (ww 15 November 2011)
menjelaskan bahwa hanya perempuan tua yang sudah tidak mungkin melahirkan lagi
yang dapat diberi tugas mengemban kekuatan supranatural.
“Aku
menyampaikan pesan lewat angin kepada cucu Ondofolo
Eluai Kending untuk mengambil
benda-benda pusaka yang berada di Kheleijomo”,
suara nenek terdengar jelas oleh Marlau.
Mansoben mengemukakan bahwa abu-afa memiliki dua perangkat yaitu
pembantu sayap kanan (ayafo nolofo)
yang bertugas sebagai wakil dan pelindung ondofolo
dan pembantu sayap kiri (meakhban nolofo) yang mempunyai tugas
khusus untuk menyimpan dan merawat semua barang pusaka dan harta perbendaharaan
kampung termasuk benda-benda atribut ondofolo.
Kedudukan tersebut menurut ketentuan adat harus diemban oleh seorang anggota
dari klen/marga kecil dari mana ondofolo
berasal. Biasanya adik laki-laki tertua dari ondofolo yang memangku jabatan tersebut.
Akan tetapi jika kita simak dari
petikan cerita rakyat ini yang menyimpan harta pusaka sebelum diserahkan kepada
seorang ondofolo adalah seorang
nenek. Jadi perempuan tua yang sudah tidah dapat mengandung lagi dalam hal ini
dapat juga dipercaya untuk memegang harta pusaka.
4.
Penutup
Perempuan Sentani dimitoskan
sebagai kani (bumi) karena mempunyai
peran yang sangat kompleks. Peran ini dipengaruhi oleh pandangan adat
masyarakat Sentani serta kedudukan mereka dalam masyarakat. Perempuan
mengerjakan sebagian besar aspek kehidupan, yaitu mengandung, melahirkan,
menyusui, merawat, mendidik anak, dan menunaikan tugas utama sebagai penghasil
makanan melalui bekerja di kebun, di danau dan dusun sagu. Selain itu, dalam cerita Asal Usul Marga Ongge
perempuan tua Sentani juga berperan dalam tatanan adat yang biasanya hanya
dilakukan oleh kaum laki-laki. Peran adat ini meliputi peran penasihat, peran
pengajar, dan peran pemegang harta pusaka atau pemegang kekuatan supranatural.
Peran dalam tatanan adat ini bukan hanya ada dalam cerita rakyat saja, akan
tetapi dalam kehidupan sehari-hari juga nyata dan ada.
Dapat
disimpulkan pula bahwa perempuan Sentani lebih banyak bekerja dibandingkan
laki-laki, karena laki-laki lebih dituntut menunaikan pekerjaan yang sifatnya
kolektif yang tidak berlangsung setiap hari, sedangkan perempuan bekerja setiap
hari, sejak pagi hingga malam.
5.
Referensi
Cerita Rakyat Asal Usul Marga Ongge,
Nara Sumber Küs Ongge, diwawancari pada hari Selasa, 15 November 2011.
Djajanegara,
Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Fakih, Dr. Mansour. 2003. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Handayani, Tri. 2006. Peranan Tokoh
“Candi” dalam Novel Biru Karya Fira Basuki (Kajian Feminisme). Skripsi tidak
diterbitkan. Surabaya: JBSI UNESA.
Jackson, Stevi dkk.
1998. Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Mansoben, Johsz R. 1995. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta : LIPI-RUL
Ollenburger,
C. Jane dkk. 2002. Sosiologi Wanita. Jakarta: Rineka Cipta
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik
Sastra Feminis, Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo. Yogyakarta: Citra
Pustaka
Yektiningtyas-Modouw, Wigati. 2008.
Helaeehili dan Ehabla: Fungsinya dan Peran Perempuan dalam Masyarakat Sentani
Papua. Yogyakarta: Adicitra Karya Nusa
No comments:
Post a Comment