Siswanto
Abstrak
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Perkelahian,
pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan
seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-mana. Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian
itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebab musababnya dan mencari
pemecahannya. Ujungnya adalah persamaaan
persepsi terhadap pentingnya menggalakkan pendidikan karakter. Karya sastra sarat dengan nilai-nilai
pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam pendidikan karakter. Dalam makalah ini akan dibahas berbagai macam pendidikan karakter yang
terdapat dalam sastra lisan Papua.
Kata kunci: kemerosotan akhlak, pendidikan karakter, pembelajaran sastra
lisan
1.
Pendahuluan
Dari
hari ke hari kita menyaksikan betapa
merosotnya harga diri bangsa ini karena mengalami krisis. Di mata dunia
internasional bangsa Indonesia sering dicap buruk sebagai teroris, yang membuat
pandangan orang luar begitu negatif. Indonesia juga dikenal gudang TKI (Tenaga
Kerja Indonesia) yang mengandung konotasi pabrik pekerja rendahan. Negeri nin
juga berkali-kali dikategorikan sebagai negara paling korup dalam urutan antara
peringkat satu hingga tiga. Banyak hal buruk yang melekat di tubuh bangsa ini,
hingga orang luar melihat dengan sebelah mata, kadang merendahkan.
Alih-alih harus menegakkan kepala ke pihak luar, sebenarnya kita juga makin prihatin terhadap
karakter (mudah-mudahan bukan cerminan seutuhnya) orang Indonesia. Para elitnya,
termasuk pucuk pemerintahan dan politisi, selain di institusi-institusi negara
lainnya, terkesan lemah karakter, ternyata juga bebal. Apa-apa seperti berlalu
begitu saja di negeri ini. Semakin banyak elite atau orang terkena kasus
korupsi, seperti tak menimbulkan efek jera, bahkan mereka yang terlibat seperti
biasa saja seolah bukan aib atau kejahatan. Para wakil rakyat juga terkesan
gampang saja melakukan apapun demi meraih tujuan dan ambisi hidupnya.
Bagaimana
dengan anggota masyarakat? Kita juga prihatin, mentalitas menerabas juga
mengidap bangsa ini. Hanya karena ingin memenuhi keperluan hidup dengan mudah,
muncul berbagai kasus kejahatan, kekerasan, penculikan, perdangangan manusia,
narkoba, dan sebagainya. Aib menjadi dagangan publik di media elektronik
melalui berbagai tayangan infotainment. Sementara tayangan pornoaksi dan pornografi bukan
kian surut, tetapi kian menjadi-jadi di tengah ketidakpastian RUU Antipornoaksi
dan Pornografi yang menjadi korban tidak seriusnya para anggota legeslatif di Senayan.
Mengurus moral dan hajat hidup publik rupanya tak begitu menjadi prioritas
utama, dikalahkan oleh kegemaran “studi banding” dan melancong ke luar negeri.
Bangsa
ini telah kehilangan banyak hal yang mulia dalam kehidupannya. Menjadi bangsa
yang lembek. Mudah membolehkan apa saja. Gemar terhadap hal-hal yang
menggiurkan. Menerabas. Buta-tuli terhadap suara moral dan kepentingan publik.
Keprihatinan terhadap kondisi
masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebab
musababnya dan mencari pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai masalah
itu telah berkali-kali yang diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik
pemerintah maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap pentingnya
menggalakkan pendidikan karakter.
Respon masyarakat terhadap pendidikan karakter
berbeda-beda. Di kalangan kelompok pendidik
muncul pendapat tentang perlunya pendidikan budi pekerti, sedangkan agamawan memandang perlunya penguatan pendidikan agama. Mereka yang
berkecimpung di bidang politik mengusulkan revitalisasi pendidikan
Pancasila. Dalam hal ini, Kemendiknas
telah merespon berbagai pendapat itu dengan membentuk Tim Pengembang Pendidikan
Karakter.
Selanjutnya, para guru tertutama guru bahasa dan sastra
Indonesia sebagai ujung tombak pendidikan di Indonesia ingin menyumbangkan
pemikiran tentang ”Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter”. Topik ini
memunculkan permasalahan (1) Apakah pendidikan karakter itu?; (2) Bagaimana
menanamkan pendidikan karakter di kalangan anak didik?; (3) Adakah
relevansi antara sastra dan pendidikan karakter?; (4)
Bagaimana memberdayakan sastra dalam pembentukan karakter?.
2.
Landasan Teori
2.1
Pengertian Pendidikan Karakter
Indonesia
memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung
utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan
memiliki peran yang sangat penting.
Hal
ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Karakter
merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen
(stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan
itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas
hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Terlepas
dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat
dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum
(KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan
pendidikan di sekolah sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter
juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta
direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya,
pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan
pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan
tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:623) menjelaskan bahwa karakter adalah sifat atau
ciri kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang
lain; tabiat; watak. Karakter merupakan nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat. Karakter juga merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi
ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Individu yang berkarakter baik
adalah individu yang mampu membuat suatu keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dibuatnya. Berkaitan
dengan karakter, Saryono (2009:52—186) mengemukakan bahwa genre sastra yang
dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter bangsa, antara lain, genre
sastra yang mengandung nilai atau aspek (1) literer-estetis, (2) humanistis,
(3) etis dan moral, dan (4) religius- sufistis-profetis. Keempat nilai sastra tersebut
dipandang mampu mengoptimalkan peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa.
Karakter
mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang
ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional,
logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat,
bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani,
dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah,
pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti,
berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner,
bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu,
pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan
(estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki
kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga
mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut.
Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual,
emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu
yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan
hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan,
bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan
potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi
dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat
dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to
foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di
sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu
perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus
berkarakter.
2.2
Sastra dan Pendidikan Karakter
Sastra secara etimologis berasal dari
kata sas dan tra. Akar kata sas- berarti mendidik, mengajar, memberikan
instruksi, sedangkan akhiran –tra menunjuk pada alat. Jadi, sastra secara
etimologis berarti alat untuk mendidik, alat untuk mengajar, dan alat untuk
memberi petunjuk. Oleh karena itu,
sastra pada masa lampau bersifat edukatif (mendidik).
Banyak hal yang dapat diperoleh dari
sastra. Tjokrowinoto (Haryadi, 1994)
memperkenalkan istilah ”pancaguna” untuk menjelaskan manfaat
sastra lama, yaitu (1)
mempertebal pendidikan agama dan budi pekerti, (2) meningkatkan rasa
cinta tanah air, (3) memahami pengorbanan pahlawan bangsa, (4) menambah
pengetahuan sejarah, (5) mawan diri dan menghibur. Haryadi (1994) mengemukakan
sembilan manfaat yang dapat diambil dari sastra lama, yaitu (1) dapat perperan
sebagai hiburan dan media pendidikan, (2) isinya dapat menumbuhkan kecintaan,
kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur, (3) isinya dapat memperluas
wawasan tentang kepercayaan, adat-istiadat, dan peradaban bangsa, (4)
pergelarannya dapat menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan, (5) proses
penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan dinamis, (6) sumber
inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain, (7) proses penciptaannya
merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun, profesional, dan rendah hati,
(8) pergelarannya memberikan teladan kerja sama yang kompak dan harmonis, (9)
pengaruh asing yang ada di dalamnya memberi gambaran tentang tata pergaulan dan
pandangan hidup yang luas.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra
sangat relevan dengan pendidikan karakter. Karya sastra sarat dengan
nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam pendidikan
karakter. Cerita rakyat ”Jaka Tarub” mengajarkan anak mengenai pentingnya
menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kepercayaan. Cerita binatang ”Pelanduk Jenaka”
mengandung pendidikan tentang harga diri, sikap kritis, dan protes sosial.
Sementara itu, bentuk puisi seperti pepatah,
pantun, dan bidal penuh dengan nilai pendidikan.
3.
Pembahasan
3.1
Pembelajaran Sastra
Belajar sastra adalah
salah satu keterampilan yang imajinatif dan komunikatif bagi anak sebagai
pencipta maupun penikmat sastra. Di dalamnya terdapat muatan mendidik yang
tersirat dan tidak bersifat doktrin. Anak juga bisa mencerna sesuai dengan
perkembangan jiwanya dan membuatnya sangat peka terhadap karya sastra itu
sendiri.
Namun minat terhadap
sastra kini mengalami degradasi. Hal ini disebabkan oleh tuntutan jaman yang
serba instan dan serba cepat. Karya sastra anak didominasi oleh komik-komik
dari luar negeri seperti Spongebob, Dora the Explorer, Naruto, dan sebagainya. Bahkan
tradisi mendongeng untuk peninabobokan anak sebagai pengantar tidur sang anak
menurut tidak menarik lagi bagi seorang anak dan menjadi sesuatu yang sangat
asing.
Dalam pembelajaran sastra
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehingga karya sastra itu dapat
merebut penikmatnya. Karya sastra yang dapat diterima harus sesuai dengan
kontek misalnya dari segi umur bahwa karya sastra yang dapat di konsumsi oleh
anak-anak, orang dewasa, atau orang tua.
Sastra anak dapat
diartikan sebagai karya seni yang imajinatif dengan unsur estetisnya yang
dominan melalui bahasa baik lisan ataupun tertulis yang secara khusus dapat dapat
dasarnya perbedaan karya sastra menurut umur terletak pada isi yang sesuai
dengan tingkat pemahaman bahasa atau psikologi.
Selain hal di atas
retorika atau keindahan bahasa dalam memilih diksi atau pilihan kata,
penggunaan bahasa kiasan harus tepat sehingga unsur estetis dapat dicapai
karena retorika berusaha untuk mempengaruhi sikap dan perasaan orang, maka ia
dapat mempergunakan semua unsur yang bertahan dengan kaidah-kaidah keefektifan
dan keindahan gaya bahasa misalnya, ketepatan pengungkapan, keefektifan
struktur kalimat, penggunaan bahasa kiasan yang serasi, penampilan yang sesuai
dengan situasi dan sebagainya. (Keraf 1991:3) Pernyataan tersebut hanya dapat
terwujud bila pemilihan kata atau diksinya tepat. Jadi pemilihan kata atau
diksi yang tepat mutlak diperlukan untuk mengungkapkan perasaan dan rangkuman
pikiran kepada masyarakat pembaca.
Penanaman pendidikan
karakter di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai strategi. Strategi yang
dapat dilakukan antara lain (1) memasukkan pendidikan karakter ke dalam semua
mata pelajaran di sekolah, (2) membuat slogan-slogan atau yel-yel yang dapat
menumbuhkan kebiasaan semua masyarakat sekolah untuk bertingkah laku yang
baik,(3) membiasakan perlaku yang positif di kalangan warga sekolah, dan (4) melakukan pemantauan secara kontinyu, (5) memberikan hadiah (reward) kepada warga sekolah yang selalu berkarakter baik.
3.2
Pendidikan Karakter
dalam Sastra Lisan Papua
Berikut ini adalah nilai dasar yang
terdapat dalam sastra lisan papua yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan di
sekolah-sekolah kita. Ke-13 nilai dasar itu dapat diintegrasikan dalam berbagai
kegiatan akademik dan kesiswaan. Dari sanalah kita dapat melakukan
pembinaan peserta didik.
Nilai-nilai dasar pendidikan karakter
yang harus diajarkan adalah:
3.2.1
Bertakwa (religious)
Para guru harus mampu mengarahkan anak
didiknya menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mampu
melaksanakan perintah-Nya, dan mampu pula menjauhkan segala larangan-Nya. Orang
yang bertakwa akan sadar-sesadarnya bahwa dirinya hanya hamba Tuhan yang harus
bertanggungjawab dengan apa yang telah dilakukannya di dunia. Berikut ini
adalah beberapa kutipan cerita rakyat yang berkaitan dengan nilai ketakwaan.
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang
laki-laki yang taat beribadah dan taat peraturan pemerintah bernama woiram.
Woiram tinggal di sebuah kampung bernama Merem, Kecamatan Kemtuk Gresi. Dia
mempunyai seorang istri bernama Bonadebu.
(Woiram, cerita rakyat Kemtuk Gresi)
Manusia
sebagai makhluk ciptaan tuhan memiliki fitrah yaitu beribadah kepada Tuhan Sang
Pencipta. Demikian pula masyarakat zaman dahulu seperti yang digambarkan dalam
cerita rakyat Kemtuk Gresi yang berjudul Woiram.
Meskipun belum mengenal tentang tuhan seperti saat ini merekapun tetap
beribadah menurut keyakinan mereka pada saat itu.
Hal
senada juga terdapat dalam cerita Seranawakokoy
yang berasal dari kabupaten Waropen berikut ini.
Sebelum berangkat Seranawakokoy beserta kawan-kawannya berdoa kepada nenek moyang
agar mereka dilindungi dalam perjalanan.
(Seranawakokoy, Kumpulan
Cerita Rakyat Waropen. hlm. 77)
3.2.2
Bertanggung jawab (responsible)
Para guru harus mampu mengajak para
peserta didiknya untuk menjadi manusia yang bertanggungjawab. Mampu
mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya dan berani menanggung segala
resiko dari apa yang telah diperbuatnya. Rasa tanggung jawab ini harus ada
dalam diri para peserta didik kita. Perhatikan kutipan berikut ini.
Mereka
ditangkap oleh burung Garuda dan dibawa ke pohon kayu besi. Mereka diminta
untuk tinggal bersama sang burung. Burung Garuda mencarikan mereka rumah untuk
dibawa naik dan ditaruh di pohon kayu besi sebagai tempat tinggal mama dan
anak. Selama tinggal bersama burung Garuda di pohon besi semua kebutuhan mama
dan anak dipenuhi olehnya. Sang burung mencarikan makanan dan minuman dari bawah,
membuatkan anak perempuan sebuah ayunan, serta masih banyak lagi.
(Burung
Garuda, Cerita Rakyat Namblong)
Rasa tanggung jawab tetap ditunjukkan
oleh burung Garuda saat suami dalam kisah itu yang meminta istrinya kembali
padanya, tidak serta merta burung memperbolehkan istri tersebut kembali kepada
suaminya, akan tetapi ia terlebih dahulu menanyakan kesanggupan suami bahwa
mereka (ibu dan anak perempuan) akan dirawat dengan sebaik-baiknya.
3.2.3
Berdisiplin (dicipline)
Para guru harus mampu menamkan disiplin
yang tinggi kepada para peserta didiknya. Kedisiplinan harus dimulai pada saat
masuk sekolah. Budaya tepat waktu harus ditegakkan. Siapa yang terlambat datang
ke sekolah harus terkena sanksi atau hukuman sesuai dengan peraturan tata tertib
yang berlakuk di sekolah. Siswa harus diajarkan disiplin, dengan demikian dia
kan terbiasa disiplin dalam kehidupannya. Contoh yang paling mudah adalah tepat
waktu. Siswa harus dididik untuk mampu tepat waktu.
Pagi-pagi sekali burung murai telah
berkicau, berlompatan di dahan, dan menyerukan kepada seluruh alam tentang
munculnya semburat fajar di ufuk timur. Dengan suaranya yang indah burung murai
membangunkan masyarakat di sekitar danau Sentani untuk bersiap-siap pergi ke
kebun atau ke danau untuk menjala ikan.
(Burung Murai dan Ikan Gabus, cerita
rakyat Sentani)
Cermin sikap disiplin nampak pada kebiasaan masyarakat
yang selalu bangun setelah burung murai berkicau. Setiap hari burung murai
berkicau menjelang munculnya fajar sehingga masyarakat harus segera bersiap-siap
melaksanakan segala aktivitas dan usaha agar dapat memperoleh hasil yang
maksimal. Burung murai juga menunjukkan perhitungan waktu, sehingga manusia
diharapkan dapat mengatur waktu yang diberikan Tuhan untuk hal-hal bermanfaat
agar memperoleh banyak berkat.
3.2.4
Jujur (honest)
Kejujuran saat ini merupakan hal yang
langka. Para guru harus mampu memberikan contoh kepada para peserta didiknya
untuk mampu berlaku jujur. Ketika jujur diajarkan di sekolah-sekolah kita, maka
para peserta didik tak akan berani berbohong karena telah terbiasa jujur.
Kebiasaan jujur ini jelas harus menjadi fokus utama dalam pendidikan di
sekolah. Sebab kejujuran telah menjadi barang langka di negeri ini. Timbulnya
korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah akibat dari karakter jujur yang kurang
terpelihara dengan baik.
Sebuah cerita rakyat dari Tobatti Enggros Jayapura yang
menceritakan sepasang suami istri, yaitu Haro dan Aihoi yang merupakan
satu-satunya pemilik ikan yang diam-diam tidak
diketahui oleh masyarakat. Bahwa mereka menyimpan ikan untuk keperluan
mereka sendiri. Namun, karena sering disajikan kepada tamu-tamu yang datang
mengunjungi pondok keduanya, maka
akhirnya diketahuilah bahwa Haro dan Aihoi menyembunyikan sesuatu di dalam
rumahnya. Dan tentu saja benar, di rumah milik sepasang suami istri itu
terdapat sebuah kolam yang berisi air dan ikan-ikan yang menggemaskan damn
membuat kebahagiaan bila terus dipandang . Sehari-harinya, Haro memandang kolam
dimana bersemayamnya ikan-ikan yang ia cintai itu, hingga terkadang Aihoi merasa
cemburu lantaran Haro hanya menaruh
perhatian pada ikan-ikannya itu. Pada suatu saat Haro dan Aihoi sedang tidak ada di rumahnya, akhirnya datanglah dua orang tuan tanah yang menghancurkan kolam yang berisi
ikan-ikan dan rumah milik Haro dan Aihoi, sehingga ikan-ikan dapat dimiliki oleh masyarakat.
perhatian pada ikan-ikannya itu. Pada suatu saat Haro dan Aihoi sedang tidak ada di rumahnya, akhirnya datanglah dua orang tuan tanah yang menghancurkan kolam yang berisi
ikan-ikan dan rumah milik Haro dan Aihoi, sehingga ikan-ikan dapat dimiliki oleh masyarakat.
Sebenarnya, adapun amanat ataupun pesan moral yang
terkandung dari cerita rakyat diatas adalah mengenai kejujuran dan kebersamaan.
Pasangan suami istri, Haro dan Aihoi cenderung serakah dengan tidak membiarkan
masyarakat mengetahui perihal ikan-ikan yang ada di kolam di rumah mereka.
Dengan kata lain, ikan-ikan menjadi rahasia pribadi keduanya saja. Namun,
ketidaksengajaan menyuguhkan ikan- iakn pada setiap tamu yang dating berkunjung
ke kediaman mereka mengantarkan keduanya memperoleh akibat dari dihancurkannya
kolam di rumah mereka oleh dua orang tuan tanah yang merangkap sebagai anggota
masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari.
3.2.5
Sopan (polite)
Mampu berperilaku sopan adalah dambaan
setiap insan. Dengan berlaku sopan orang lain akan segan kepada kita. Karakter
sopan ini harus dilatihkan kepada peserta didik, dan dicontohkan bagaimana cara
berlaku sopan kepada orang lain. Terutama kepada mereka yang telah lebih tua
daripadanya. Tentu karakter kesopanan harus diperlihatkan dan dijunjung
tinggi. Seringkali kita melihat karkater anak sekolahan yang kurang sopan. Baik
dalam berbicara mamupun bertindak. Hal inilah yang harus kita rubah dalam
pendidikan karakter bangsa.
Rega adalah adik Ara yang berusia dua
tahun lebih muda, tetapi secara fisik, Rega memiliki ketampanan yang lebih
dibandingkan kakaknya, Ara. Namun, Rega tidak pernah merasa bangga karena hal
itu. Ketampanan yang ia miliki tidak lantas membuatnya sombong dan menjadi
pemuda yang tidak baik. Ia tetap menaruh rasa hormat dan kasih sayang yang
tulus kepada mama dan kakaknya. Ia amat mencintai keluarganya.
(Musnahnya Kampung Habele di Gunung
Abepura, cerita rakyat Abepura)
Seseorang yang
mempunyai berbagai kelebihan secara fisik seperti tinggi, tampan, atau kaya
raya tidak seharusnya membuat seseorang tersebut menjadi tinggi hati atau
sombong. Kelebihan yang dimiliki harus membuat seseorang tersebut pandai untuk
bersyukur atas segala karunia yang telah diberikan oleh Tuhan. Kelebihan
tersebut harus membuat seseorang tersebut menjadi orang yang sopan dan ramah
kepada sesama sehingga orang-orang akan menghargai dan menghormati kita.
3.2.6
Peduli (care)
Peserta didik harus dilatih untuk peduli
kepada sesama. Belajar melakukan empati kepada orang lain dengan rasa kepedulian
yang tinggi. Ketika kita mau peduli, maka saudara-saudara kita yang sedang
mengalami kesulitan akan terbantu. Di situlah akhirnya jiwa kepedulian kita
teruji. Banyaknya musibah yang silih berganti di negeri ini, baik musibah
bencana alam maupun bencana lainnya harus membuat kita semakin peduli dengan
bangsa sendiri.
Pada saat mereka mendapatkan penyu dari
laut, penyu itu langsung dibawa ke rumah ondoafi. Lalu pembantu-pembantu
ondoafi itulah yang akan memotong dan membagi daging penyu itu kepada semua masyarakat
kampung, semua masyarakat kampung juga harus mendapatkan bagian yang sama.
Pembagian itu menggunakan ukuran batang lidi. Batang lidi dipotong-potong
sebanyak jumlah masyarakat yang ada. Lalu dijadikan ukuran dalam pembagian
daging penyu itu. Walaupun pembagian itu sedikit, tapi yang terpenting semua
masyarakat mendapatkan bagian yang sama. Itulah tradisi yang dilakukan Suku
Norotoy di Kampung Neichebe sampai sekarang.
(Hubungan Putri Laut dengan Suku
Norotoy, cerita rakyat Suku Ormu)
Petikan cerita rakyat
di atas memberikan gambaran bahwa dalam keadaan bagaimanapun kita dituntut
untuk memiliki rasa kepedulian terhadap sesama. Benar kata pepatah bahwa dicubit paha kiri maka paha kanan turut merasakan
sakitnya.
3.2.7
Kerja keras (Hard
work)
Peserta didik harus dilatih untuk mampu
bekerja keras. Bukan hanya mampu bekerja keras, tetapi juga mampu bekerja
cerdas, ikhlas, dan tuntas. Dengan begitu kerja keras yang dilakukannya akan
bernilai ibadah di mata Tuhan pemilik langit dan bumi. Orang yang senang bekerja
keras pastilah akan menuai kesuksesan dari apa yang telah dikerjakannya. Orang
yang bekerja keras pasti mampu meujudkan impiannya menjadi kenyataan.
Pada zaman dahulu di pesisir pantai tepatnya di kabupaten
Fakfak, ada seorang pemuda yang
berasal dari suku Onim bernama Karwata. Karwata adalah seorangt pemuda yang bertabiat
6epuji , sopan suka menolong dan
berpengetahuan luas. Ia tinggal disebuah perkampungan yang jauh dari keramaian yakni dipinggiran pantai. Pada sebuah pondok Ia tinggal seorang
diri,dalam hidupnya sehari-hari Ia berkebun dan memelihara bermacam-macam
hewan. Betapa senangnya hati sang pemuda karena semua yang ia tanamami serta pelihara tumbuh dengan subur dan
menyenangkan hatinya,sebab hewan piaraannya sangat pandai dan jerdik. Dari
sekian binatang piaraannya Ia sangat
tertarik dan menyayangi seekor ikan pari yamh hidup dalam sebuah empang
di pinggir pantai.
(Karwata dan Ikan Pari, cerita rakyat suku Onim, Fakfak)
Makanan tidak akan masuk sendiri ke dalam mulut kita, memerlukan tangan untuk
menyuapkan agar dapat dinikmati. Demikian pula dalam hidup ini, rezeki tidak
akan datang dengan sendiri jika kita tidak bekerja keras untuk mendapatkannya.
Kerja keras, pantang menyerah, dan menyerahkan usaha kita kepada tuhan,
merupakan ikhtiar kita dalam mencari rezeki. Kerja keras itu jangan dibubuhi
dengan menghalalkan segala cara atau memakai jalan pintas untuk menggapai
tujuan. Rezeki yang halal dan baik akan membuat hidup kita menjadi baik pula.
Cerita Karwata dan Ikan Pari merupakan
cerminan masyarakat Papua yang selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan
hidup.
3.2.8
Sikap yang baik (good
attitude)
Peserta didik harus memiliki sikap yang
baik. Dengan sikap yang baik akan terlihat karakter dari peserta didik
tersebut. Sikap yang baik kepada orang lain harus dicontohkan oleh guru kepada
para peserta didiknya. Dengan begitu orang lain akan menaruh hormat kepadanya
karena sikapnya yang baik. Perilaku orang dapat dilihat dari sikap baik yang
dimunculkannya. Oleh karenanya sikap yang baik harus diajarkan para guru dalam
pendidikan karakter di sekolah.
Hari-hari berlalu, kandey tidak canggung lagi untuk mendekati sang penguasa danau itu.
Setiap hari kandey membersihkan
janggut buaya besar itu. Sang buaya tidak memangsa kandey yang berada tepat di mulutnya karena buaya sudah menganggap kandey seperti cucunya. Buaya tidak
memangsa atau menerkam kandey karena kandey begitu sabar membersihkan janggut
dan melayani buaya tanpa rasa takut sehingga timbullah rasa kasih sayang di
hati Sang buaya. Begitupun sebaliknya, kandey
samasekali tidak merasa takut untuk mendekati buaya karena dia menganggap buaya
itu bagaikan kakek baginya. Kandey
membersihkan janggut buaya setelah dia puas bermain dengan ikan-ikan lain di
danau.
(Burung Murai dan Ikan Gabus, cerita
rakyat Sentani)
Kandey merupakan lambang dari masyarakat
kebanyakan sedangkan buaya mewakili orang yang kuat dan berpengaruh. Cerita
tentang kebaikan kandey terhadap
buaya juga dapat menjadi cermin masyarakat kecil yang tunduk kepada penguasa.
Jika pemegang kekuasaan dapat mengendalikan diri dalam segala tindakan, niscaya
akan timbul keharmonisan dengan masyarakat kecil. Dengan demikian akan muncul
rasa percaya dari masyarakat kepada orang yang dituakan sehingga rakyat dengan
sukarela akan berbakti dan melayani.
3.2.9
Toleransi (tolerate)
Peserta didik harus dilatih agar mampu
bertoleransi dengan baik kepada orang lain. Toleransi harus dipupuk sejak dini,
apalagi kepada hal-hal yang bernuansa Suku, agama, Ras, dan antar golongan
(SARA). Perlu tolerasi yang tinggi agar mampu memahami kalau kita berbeda
tetapi hakekatnya tetap satu juga. Toleransi antar umat beragama adalah salah
satu bentuk toleransi yang paling jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
Pada zaman antah berantah di suatu
tempat di selatan Kota Genyem, Ibukota Distrik Nimboran, Papua, ada sebuah
dusun yang disebut orang Sublub. Pada dusun itu hiduplah Ikan-ikan Ketimbang,
Kepiting darat, Udang dan Ikan Gabus. Makhluk-makhluk air ini hidup bersahabat
dan akrab dalam kolam-kolam air yang membatasi ruang gerak mereka dengan
memelihara anak bersama dan mencari makan bersama secara adil dan merata.
(Ikan Ketimbang dan Kepiting Darat,
cerita rakyat suku Namblong, Genyem)
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Al quran surat Ar Rum
ayat 22). Tuhan menciptakan manusia dalam
berbagai suku, ras, agama, ataupun golongan secara berbeda dengan tujuan untuk
saling mengenal dan untuk hidup berdampingan secara harmonis. Hal ini juga
terlihat dalam cerita rakyat dalam petikan berikut ini.
Saat itu suwanggi dan manusia masih
satu, akan tetapi masih bisa dibedakan antara suwanggi dengan manusia…
Mereka
(suwanggi dan manusia) membuat
perjanjian untuk tetap hidup berdampingan satu sama lain.
(Persaingan Antara Suwanggi Dengan Manusia, Cerita rakyat
Namblong)
3.2.10
Kreatif (Creative)
Peserta didik harus diajarkan agar mampu
kreatif. Dengan begitu dia telah terbiasa menciptakan sesuatu yang baru. Guru
kreatif akan menghasilkan peserta didik yang kreatif pula. Ajarkan peserta
didik kita agar mampu kreatif dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. Anak
kreatif tidak lahir begitu saja. Dia lahir dari proses pendidikan yang
berkelanjutan. Tuhan membekali manusia yang hidup di dunia ini dengan berbagai macam
keahlian dan kreatifitas. Bekal yang diberikan Tuhan ini membuat manusia dapat
bertahan hidup dan meneruskan regenerasi. Berikut ini adalah penggalan cerita
yakyat yang berkaitan dengan keahlian dan kreatifitas tersebut.
Mereka kini tiba di hutan dan mulai
memilih pohon yang baik. Selain kulitnya untuk pakaian, kayunya juga dapat
untuk membangun rumah. Akhirnya, mereka menemukan pohon yang lurus dan cukup
tinggi.
(Simunopendi, Dharmojo. Kumpulan Cerita Rakyat Waropen. hlm.
130)
Karena hasil buruan telah berkurang, Sai
dan Reri berpikir tentang tempat baru yang bisa diperoleh hasil buruan untuk
kebutuhan hidup mereka. Sai dan Reri sepakat untuk membuat jembatan yang dapat
menghubungkan Pulau Yapen dengan daratan Waropen. Dengan adanya jembatan
tersebut, setiap hari Sai dan Reri pergi ke daratan Waropen untuk berburu.
(Asal-Usul Selat Saireri, cerita rakyat Kepulauan Yapen)
Dengan bekal dan kreatifitas ini kita tidak
memiliki alasan untuk berpangku tangan dan bermalas-malasan dalam bekerja.
Apalagi tanah Papua yang penuh berkah Tuhan ini masih memerlukan tangan-tangan
kreatif dan terampil untuk memakmurkannya.
3.2.11
Mandiri (independent)
Anak yang terbiasa mandiri biasanya akan
jauh lebih berhasil hidupnya daripada anak yang kurang mandiri. Mandiri bukan
hanya mampu berdiri di atas kakinya sendiri, tetapi juga mampu membawa dirinya
untuk tidak bergantung penuh kepada orang lain. Kemandirian harus ditanamkan
kepada para peserta didik kita bila ingin anak menjadi mandiri. Perhatikan petikan
cerita di bawah ini.
Hari berganti hari tak lama kemudian
laki-laki angkasa itupun terbiasa dengan kehidupan manusia. Bahkan dalam banyak
hal ia nampak lebih cerdik dan banyak akal dalam memecahkan masalah dan
mengatasi kesulitan. Sachman merasa beruntung mendapat sahabat sekaligus
menjadi saudara yang cerdik dan dapat membantu mengatasi segala kesulitan
hidupnya. Ia memanggilnya dengan nama “Sarwanik” yang berarti pencetus ide
gagasan. Setelah beberapa waktu lamanya Sarwanik berada di rumah Sachman
mengundang banyak orang kampung datang ke rumah untuk meminta bantuan untuk
memecahkan segala permasalahan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Sebagian masyarakat kampung masih takut kepada laki-laki dari angkasa itu.
Sebenarnya setelah banyak bergaul dengan masyarakat banyak, Sarwanik sudah sama
seperti orang biasa. Kini timbullah keinginan Sarwanik untuk membina keluarga,
beristri seperti orang kampung lainnya
(Asal Mula Sungai Kohoin Teminabuan,
cerita rakyat Suku Tehit)
Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di
bawah. Artinya siapa yang memberi lebih terhormat dan lebih
berwibawa daripada yang menerima.
Selama ini kita kebanyakan
memang masih berstatus sebagai penerima batuan orang lain. Namun suatu saat kita
harus tampil sebagai pemberi bantuan atau pinjaman kepada orang lainnya. Obsesi
tersebut akan terwujud jika kemadirian hidup telah terealisasikan.
Bagaimanapun “tangan di
atas lebih baik dari tangan di bawah”. Orang yang mandiri tak lain merupakan orang
yang mampu memenuhi berbagai keperluannya secara mandiri, tidak mengandalkan
bantuan orang lainnya. Namun kondisi yang demikian memerlukan kerja keras dalam
jangka panjang.
Hanya orang yang
mandirilah yang bisa tampil dalam kancah pergaulan dunia dengan posisi terhormat.
Dalam pergaulan antar masyarakat dengan prinsip saling menghormati.
3.2.12
Menghargai (Respect)
Peserta didik harus mampu menghargai
hasil karya orang lain yang dilihatnya. Dengan begitu ada penghargaan yang
diberikan olehnya kepada orang lain. Saling menghargai merupakan cerminan
budaya bangsa yang harus dilestarikan secara turuh temurun. Mengharagai
pendapat orang lain adalah salah satu contoh dari karakter saling menghargai
sesama. Berikut ini adalah petikan cerita rakyat suku Kayu Batu yang
mengambarkan rasa hormat dan menghargai tamu. Memuliakan tamu adalah perbuatan
mulia, dengan meghargai orang lain berarti kita telah menghargai diri kita
sendiri.
Abo mengantarkan Cabo dan memperkenalkan
pada istrinya. Setelah itu Abo mengatakan sesuatu kepada istrinya, lalu
istrinya pergi ke pondok yang terletak di pojok kebun. Kemudian Abo bersama
Cabo mengikuti istrinya. Pada cabang kayu di pondok itu tergantung satu noken. Si istri mengangkat noken dan mengeluarkannya sagu bakar
dari dalamnya. Sagu bakar itu dihidangkan di atas selembar daun pisang, lalu
Abo mengajak Cabo untuk makan bersama. Dengan perasaan syukur Cabo memakan
beberapa potong sagu bakar. Abo menjamunya dengan penuh keramahan.
(Cabo dan Batu Ajaib, cerita rakyat Kayu
Batu, Jayapura)
3.2.13
Bersahabat (Friendly)
Ketika peserta didik sudah terbiasa
bersahabat, maka akan terasalah pentingnya sebuah persahabatan. Bersahabat
adalah karakter penting yang harus dimiliki oleh para peserta didik. Kita harus
memupuk rasa persaudaraan yang tinggi. Bila kita saling bersahabat, maka kita
akan semakin dekat dan akrab. Dengan begitu akan semakin dekatlah hati kita
masing-masing. Persahabatan bagai kepompong yang akan mengubah ulat menjadi
kupu-kupu. Sungguh indahnya sebuah persahabatan.
Di kebun ia dengan teman-temannya sedang
mendapati seekor burung cenderawasih.
Salah satu temannya bermaksud hendak memanah si burung cenderawasih. Namun
olehnya, mereka dilarang karena burung itu berjasa terhadapnya ketika ia kecil
atau masih bayi. Diceritakannyalah kepada teman-temannya bahwa ia pernah disusui oleh si burung dengan air
liurnya. Mendengar penjelasannya
merekapun sangat terharu,
diurungkannyalah niatnya untuk memanah si burung cenderawasih. Dalam sekejab
semua anak panah mereka disimpan di dalam tas noken tidak jadi dilesatkan ke
arah burung cenderawasih. Mulai saat
itu, mereka semua sepakat dan berjanji akan menjaga burung cenderawasih dengan
penuh kasih sayang dan juga akan melestarikannya sepanjang hayat hidup mereka.
(Persahabatan Burung Cenderawasih dengan
Manusia, cerita rakyat Sentani)
Petikan cerita Persahabatan Burung Cenderawasih dengan Manusia di atas memberikan
suntikan nilai persahabatan yang telah lama hampir pudar. Dengan membaca cerita
rakyat mengajak kita untuk kembali merenungi arti sebuah persahabatan.
3.2.14
Semangat Kebangsaan
(Nationality Spirit)
Para peserta didik harus didorong
memiliki semangat kebangsaan. Dengan begitu akan ada rasa bangga kepada bangsanya
sendiri.
Saat-saat seperti itu, ketua adat akan
bercerita tentang kejayaan-kejayaan nenek moyang mereka dalam peperangan,
menceritakan dongeng-dongeng atau legenda-legenda rahasia tentang nenek moyang
yang tidak boleh tersebar ke suku lain. Di rumah jew pula orang-orang tua mengajarkan orang-orang muda tentang
teknik berperang, merencanakan pembalasan kepada suku lain atau pengayauan
(pembalasan dengan membunuh lawan). Sekali-sekali tetua adat juga mengajarkan
anak-anak muda tentang tata cara memahat patung, membuat patung mbis, membuat panah, dan bagaimana cara
menggunakannya. Pendek kata, di dalam jew
anak muda diajar agar tumbuh menjadi pemuda yang tangguh, gagah berani, dan
siap melindungi kampungnya bila diserang oleh kampung lain.
(Legenda Terjadinya Pohon Kelapa di
Asmat, Mitos suku Asmat)
Dalam masyarakat Papua juga dikenal
kata-kata:
Nai hawolok ...
nai hawolok ...
nai hawolok ...
Damai negeriku ...
damai tanahku ...
tenteram alamku ...
Makna
dari ungkapan masyarakat Papua ini sesungguhnya bukan saja untuk mengundang
Tuhan, arwah para leluhur dan semua manusia yang hidup untuk segera datang
untuk turut pembela, melindungi dan mempertahankan diri dari serangan musuh.
Dalam konsepsi kepercayaan masyarakat Papua, kata-kata “nai waholok” selalu ada di Lembah Balim, terutama diucapkan
oleh mereka yang diserang secara tiba-tiba dalam perang antar suku di daerah
Wamena. Seorang tokoh yang disebut “Ap Tugi Metek” (kepala suku perang) akan mengucapkan
kata-kata ini sebagai undangan kepada semua mahluk hidup, tumbuhtumbuhan,
mahluk halus dan semua manusia untuk hadir mempertahankan
wilayahnya dengan tenang dan tidak panik dalam menghadapi musuh yang berada
dihadapannya.
4.
Penutup
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Hal
ini dapat dilihat dari berbagai media yang memberitakan tentang keborokan
moral. Untuk mengatasi hal itu muncul pemikiran untuk memperkuat pendidikan
karakter yang dapat dilakukan melalui berbagai media, termasuk sastra.
Peran sastra dalam pembentukan karakter
bangsa tidak hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya.
Pembelajaran sastra yang bersifat
apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter. Kegiatan membaca,
mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan
berwawasan luas. Pada saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan
sehingga pembaca cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran.
Demikianlah nilai-nilai dasar pendidikan
karakter bangsa yang dapat diterapkan di sekolah-sekolah kita. Semoga kita
semua dapat menyiapkan para generasi penerus bangsa menjadi calon pemimpin masa
depan yang memiliki karakter yang penulis jabarkan di atas serta mempunyai
kemampuan intektual yang tinggi. Kita pun berharap akan muncul pemimpin masa
depan yang berkarakter, berintegrasi yang tinggi dan cerdas dalam melihat
perkembangan sejarah bangsa.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/
Kemendiknas. 2010. Pembinaan
Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama . Jakarta
Haryadi. 1994. Sastra
Melayu. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Saryono, Djoko.
2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan
Karakter. http:// www.
mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html.
Yuga, Surya. 2010. Bunga Rampai dalam Ungkapan Budaya
Nilai-Nilai Etika: Seri Pranata Sosial. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata
Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori
dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.
Zuhlan, Najib.
2011. Pendidikan Berbasis Karakter.
Surabaya: JePe Press Media Utama.
Keren. saya lagi bahas tentang ini pak di skripsi saya. ada kontak pak? :)
ReplyDelete081344272695
ReplyDelete