( Diceritakan Kembali Oleh: H.H. Tokoro)
Pada zaman dahulu kala tinggallah dua orang bersaudara, yang tua bernama Hokhoitembu dan yang muda bernama Hokhoiela. Hanya mereka berdua yang tinggal di sebelah selatan Danau Sentani. Untuk makan sehari-hari mereka mengembara di hutan-hutan mencari binatang buruan. Binatang buruan inilah yang menjadi hidangan mereka setiap hari. Oleh karena pada saat itu tidak ada api, binatang buruan yang mereka tangkap dimakannya mentah-mentah. Adapun darahnya dijadikan air untuk pengganti minumannya. Keseharian mereka hanya ditemani oleh kicauan burung dan desiran angin. Ketika malam tiba merekapun berdua tidur pulas karena kelelahan berburu. Apabila pagi telah tiba dan sang fajar telah mulai menyinari alam jagad raya ini kedua bersaudara ini pun bangun dari tidurnya dan kembali beraktifitas sebagaimana biasanya. Seperti hari-hari sebelumnya ketika mereka bangun di pagi hari hal pertama yang mereka lakukan adalah mempersiapkan peralatan berburu mereka yang terbuat dari kayu, seperti jubi, tombak, serta parang dan kapak yang terbuat dari batu.
Tidak seperti pada hari-hari sebelumnya setiap bepergian ke hutan untuk berburu mereka berdua selalu bersama-sama. Tetapi kali ini mereka berdua bersepakat untuk berpencar. Hokhoitembu mencari buruan ke arah timur dan adiknya Hokhiela menuju arah barat.
“Adik, nanti kalau matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat kita bertemu di Gobuk ya?”, kata Hokhoitembu kepada adiknya.
“Baik kakak”, jawab Hokhoiela adiknya.
Setelah mereka bersepakat untuk bertemu disuatu tempat sebelum malam tiba, berangkatlah mereka berdua dengan tujuan masing-masing. Satu menuju ke arah barat dan satu lagi menuju ke arah timur. Kedua bersaudara ini baik yang menuju ke arah barat maupun yang menuju ke arah timur menempuh perjalanan yang amat melelahkan. Mereka naik gunung, turun gunung, melawati hutan belantara, menenuruni lembah untuk mencari buruan namun tak berhasil. Ketika hari sudah mulai gelap merekapun bertemu ditempat yang telah mereka berdua sepakati bersama. Dalam pertemuan itu mereka bercerita satu sama lain tentang pengalaman mereka dalam perjalanannya. Di tengah keasikan mereka bercerita karena mungkin kelelahan mereka berdua pun tertidur di tempat itu. Keesokan harinya pagi-pagi sekali merekapun bangun, seperti biasa mereka mempersiapkan perlengkapan berburu untuk kembali melanjutkan perjalannya. Kali ini mereka tidak berpencar tetapi bersepakat untuk berangkat bersama-berasama ke arah utara sentani. Usia kedua bersaudara ini semakin-hari semakin tua, mereka tua dalam pengembraan. Ketika mereka tiba di sebelah utara sentani mereka sepakat untuk bermalam di situ. Pagi-pagi buta Hokhoiela terbangun dan keluar dari gubuknya. Di luar gubuknya ia naik ke atas pohon kemudian mengarahkan pandangannya ke arah utara. Di arah utara ia melihat ada asap yang mengepul membumbung ke langit. Hokhoiela merasa aneh melihat asap itu, karena selama hidup mereka baru kali ini ia melihat asap. Akhirnya ia pun turun menemui kakaknya Hokhoitembu dan memberi tahunya bahwa ia melihat benda aneh membumbung ke atas.
Mendengar penjelasan adiknya Hokhoitembu pun segera mengajak adiknya menuju ke arah utara tempat dimana asap itu berada. Mereka berjalan menuruni lembah, menyususri hutan lebat, dan mendaki gunung untuk sampai ke tempat asap itu. Di sepanjang perjalanan tidak ada seorang yang di temuinya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun mereka berdua terus berjalan. Setelah sekian lama mereka berjalan akhirnya sampai juga mereka di tempat asap itu berada. Ditempat itu ternyata ada seorang lelaki tua yang bernama Yokhumokho. Yakhumokho ini bertugas menjaga api dan air yang ada di dekat gunung dobongsolo.
Melihat Hokhoitembu dan adiknya datang, Yokhumokho pun bertanya.
“siapa nama kalian dan apa tujuan kalian berdua datang kemari?”, tanya Yokhumokho.
“kami berdua datang kemari untuk meminta air”, jawan Hokhoitembu.
“baik kalau begitu, ini saya serahkan air tapi kalian berdua jangan sekali-kali meletakkan air ini di tanah, ya!”, pinta Yokhumokho.
“Iya, Bapak!”, jawab mereka.
Setelah mereka menerima air merekapun berangkat pulang. Yang membawa air Hokhoitembu. Sepanjang perjalanan pulang mereka berdua tidak mendapatkan gangguan apa pun. Di tengah perjalanan karena capek dan lelah merekapun memutuskan untuk beristirahat. Air yang dibawa oleh Hokhoitembu diletakkan pada sebatang pohon tumbang, tanpa sengaja air itu tumpah. Tumpahannya mengalir melewati kelokan-kelokan tanah menuju kawah sebelah selatan Sentani. Kedua kakak beradik ini pun kaget.
Karena merasa bersalah mereka memutuskan untuk mengikuti kemana saja air yang tumpah itu mengalir. Rupanya air yang mengalir menyebar ke segala penjuru. Ada aliran air yang menuju menuju Kehiran. Aliran air itulah yang sekarang menjadi kali Awaiwi yang terdapat di Kehiran. Sesampainya diujung kali, Hokhoitembu mengatakan kepada adiknya yang Hokhoiela.
“Sekarang kita berpisah, saya menuju ke bagian timur dan kamu menuju ke bagian barat”, kata Hokhoitembu.
“Baik kakak”, balas Hokhoiela.
Setelah itu mereka pun berpisah, masing-masing berangkat sesuai dengan tujuan mereka dengan bekal air yang masih tersisah. Sang kakak yang berjalan ke arah timur dengan badan lurus menunjukkan daratan yaitu daerah kampung Yahim. Kemudian dengan kepala lurus dan membelokkan badan membentuk sebuah celah yang diletakkan di Kampung Sereh. Selanjutnya badan dibelokkan dengan tujuan membentuk lingkaran kecil yang disebut Pulau Yobe. Kemudian badannya dilingkarkan lagi kurang lebih sembilang puluh derajat sehingga membentuk Pulau Ajau Besar (dalam bahasa Indonesia Ifar Besar). Lalu membengkokkan badan lagi membentuk lingkaran dan terjadilah pulau Habakhei dan selanjutnya ke kiri lagi membentuk antara pulau Habakhei dan Pulau Ohey (Pulau Yohena) dan sekarang pulau itu disebut Pulau Asei. Kemudian Hokhoitembu kembali lagi berjalan dengan badan yang lurus mulai dari Hakhabei menuju kampung Nendali (sekarang Netar) langsung menuju ke arah timur lewat pulau Yohena (Pulau Asei) lalu membelokkan badan ke arah timur langsung menuju ke arah selatan membentuk sebuah daratan. Daratan itulah tempat Kampung Hebeiburu (Kampung Yoka).
Setelah itu kembali lagi Hokhoitembu melanjutkan perjalanan melaui air terus membuat beberapa tanjung yang letaknya antara Kampung Hebeiburu atau kampung Yoka dengan Kampung Puay. Sesampainya di Kampung Puay langsung masuk ke dalam dan membuat sungai yang cukup dalam langsung menuju ke arah timur. Sungai inilah yang dinamakan Kali Itafik (kali jernih). Perjalanan Hokhoitembu tidak terus ke arah timur tetapi berbelok ke arah selatan kawah sentani dan membelokkan badannya ke arah barat sentani, itulah yang membentuk pulau kecil yang bernama Hosena. Selanjutnya berjalan lagi membentuk daratan kemudian tanjung tempat Kampung Ayapo berada. Lalu berbelok ke arah barat membentuk Selat Bhuki. Terus ke arah barat di tengah-tengah danau membentuk pulau-pulau kecil yang bernama Pulau Merah (Pulau Putaly). Kemudian kembali ke arah selatan membentuk pulau kecil yang disebut Obolio. Selanjutnya menbentuk pulau besar yang disebut Atamaly. Terus ke selatan Sentani membentuk daratan yang agak dalam yang sekarang ditempati Kampung Ebale yang sekarang disebut Kampung Abar. Begitu pula adiknya Hokhoiela dengan membawa air ia berjalan dimulai dari daratan kampung Yoboy membuat tanjung panjang menuju arah selatan Sentani, namanya Tanjung Puyebei, kemudian terus ke sentani barat mulai dari Deware (kampung Kwadeware), Yonokong menuju selatan membuat sebuah pulau kecil yang bernama Mantai, selanjutnya berjalan ke arah utara melewati Yonokong membentuk beberapa pulau yang ada di daerah Rogo (Doyo Lama), terus menuju arah barat lewat kampung Yokhonde (nama sekarang Yakonde) sampai ke Sosiri lewat Buruwai belok ke arah timur membuat sungai besar Yope kemudian keluar lewat Kampung Donday. Perjalanan kedua kakak beradik yang membentuk lingkaran ini yang melewati beberapa tanjung menuju arah timur, barat, dan selatan inilah yang akhirnya membentuk danau sentani yang indah dan dapat kita nikmati keindahannya sekarang.
No comments:
Post a Comment