ASAL MULA PERSEBARAN SUKU-SUKU DI MERAUKE
Zaman dahulu kala di sebuah hutan yang sangat lebat hiduplah seorang kakek bersama dua ekor anjing dalam sebuah befak (rumah yang dindingnya terbuat dari pelepah sagu dan atapnya terbuat dari daun sagu). Ia tinggal seorang diri karena ia adalah orang pertama yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di daerah tersebut. Dua ekor anjing tersebut bernama Nggarembu, satu berwarna belang dan yang satu lagi berwarna hitam. Meskipun dua ekor akan tetapi nama kedua anjing itu hanya satu. Kedua ekor anjing itu selalu menemani sang kakek (tete, dalam bahasa Papua) dalam berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pada suatu hari, tete hendak pergi berburu Karena persedian hasil buruan pada hari itu telah habis. Tete memanggil Nggarembu untuk diajak berburu. Setelah memanggil berulang kali, Nggarembu tidak muncul-muncul juga. Akhirnya tete mencari di sekitar befak. Namun setalah sekian lama mencari dan tidak menemukan kedua ekor anjingnya tete memutuskan untuk tidak berburu. Karena tanpa kedua anjing tersebut tete akan mengalami kesulitan dalam berburu. Hari itu tete hanya memakan sagu bakar tanpa ada lauk. Pada sore hari kedua anjing milik tete pulang dan perutnya terlihat mengembang menandakan bahwa kedua anjing itu telah kenyang.
Pada hari berikut, tete terlambat bangun. Setelah bangun ia segera menyiapkan peralatan untuk berburu dan memanggil Nggarembu. Nggarembu datang dengan perut yang sudah kenyang, sehingga kedua anjing tersebut tidak bisa diajak untuk berburu. Tete merasa bingung dan kesal terhadap kedua anjingnya. Bagaimana anjing ini bisa kenyang padahal ia tidak memberinya makan dan di hutan ini ia hanya hidup sebatangkara. Dalam kebingunan akhirnya tete kembali makan sagu bakar saja.
Tetapi mengapa kedua anjing itu telah kenyang sebelum diberi makan oleh tete. Ternyata tanpa sepengetahuan tete, Nggarembu setiap pagi pergi ke hutan sendiri dan mendapatkan berbagai makanan yang berasal dari sekitar pohon warak (enau) yang berukuran sangat besar. Dari dalam pohon itulah Nggarembu memperoleh makanan yang berupa kotoran manusia, sisa makanan; sagu, tulang-tulang yang masih terbalut sedikit daging yang telah dibakar. Hal inilah yang membuat Nggarembu merasa kenyang dan malas untuk berburu lagi.
Setelah kejadian itu, pagi-pagi sekali tete sudah bangun dan mulai mengamati kedua ekor anjingnya yang masih tidur. Tidak lama kemudian kedua anjing itu terbangun dan segera berlari menuju pohon warak yang berada di tengah hutan tersebut. Tete segera mengikuti kedua anjingnya sambil berlari. Nggarembu tahu kalau sedang diikuti oleh tuannya. Maka ketika ia berlari terlalu cepat dan meninggalkan tete jauh dibelakang, segera saja ia berhenti untuk menunggu tete. Nggarembu sebenarnya ingin memberitahukan sesuatu kepada tuannya mengenai keberadaan pohon warak yang berisi manusia tersebut. Dan saat itulah yang paling tepat menurut Nggarembu berdua.
Setelah menjelajahi hutan rimba yang lebat dan cukup menguras tenaga tibalah Nggarembu di bawah pohon warak. Nggarembu menoleh kebelakang namun tete masih jauh tak terlihat di belakang. Sambil terengah-engah, tete baru menyadari bahwa dalam hutan itu ada jalan tikus (jalan setapak) yang telah dibuat oleh Nggarembu. Jalan tikus itu jadi licin dan seperti banyak orang yang lalu-lalang di jalan itu, padahal yang membuat adalah Nggarembu dengan mondar-mandir setiap pagi untuk mengambil makanan dari bawah pohon warak tersebut.
Ketika tete telah memasuki jarak sekitar seratus meter dari pohon warak, tete mulai mendengar suara gaduh yang ditimbulkan oleh suara orang-orang yang berada dalam pohon. Dengan tiba-tiba tete menghentikan lari dan memasang telinga dengan cermat.
“Heh…, suara apa ini. Di hutan ini kan hanya saya seorang yang tinggal. Mengapa ada suara gaduh berasal dari pohon itu.” kata tete keheranan.
Tete kemudian berjalan mendekat ke arah pohon warak. Ternyata benar pendengaran tete, suara gaduh itu adalah suara orang yang berasal dari dalam pohon warak.
“Wah, ini tidak bisa dibiarkan. Ini adalah tanah kekuasaanku. Mengapa ada orang lain yang tinggal di sini tanpa sepengetahuanku.” tete membatin.
“Aku akan mengusir mereka,” kata tete sampir memutar arah kembali ke befaknya.
Tete berlari kencang menuju befaknya untuk mengambil peralatan perang, busur, panah, dan tombak. Tete tidak lupa pula menghias diri dengan memberikan pewarna pada wajah dan tubuhnya. Hal ini mengambarkan bahwa tete tengah marah dan bersiap untuk berperang. Setelah selesai mempersiapkan diri dengan sempurna, tete kembali menuju hutan untuk membuat perhitungan dengan orang-orang yang ada di dalam pohon warak. Menurut tete, orang-orang dalam pohon tersebut tidak memiliki sopan santun karena mereka menetap di wilayah kekeuasaan tete tanpa meminta ijin terlebih dahulu.
Sesampainya di dekat pohon warak, tete berhenti dan memperhatikan kembali suara gaduh orang yang ada di dalam pohon. Melihat tuannya datang, Nggarembu berlari mengelilingi pohon warak sambil terus menggonggong. Tete kemudian mendekat dan mengintip ke dalam pohon. Tete melihat berpasang-pasang orang tinggal di dalam. Ternyata pohon warak itu seperti gedung bertingkat, di mana tiap tingkat dihuni oleh satu suku bangsa yang ada di Merauke. Setelah puas melihat-lihat, tete kemudian membongkar pintu pohon tersebut dan menyuruh semua penghuni dalam pohon tersebut untuk keluar.
Pasangan manusia yang berada dalam pohon itu telah keluar semua. Tete memerintahkan mereka untuk berkelompok berdasarkan tingkatan tempat tinggal mereka. Setelah itu, tete memarahi mereka karena telah lalai tidak memberitahu tete tentang keberadaan mereka dalam pohon yang berada di tanah ulayat milik tete. Kelompok manusia itu meminta maaf kepada tete menggunakan bahasa mereka masing-masing. Tete mengerti semua bahasa yang dimiliki oleh manusia penghuni pohon tersebut.
“Kamu tidak memiliki sopan santun, saya memaafkan kalian tetapi dengan satu syarat, mulai sekarang kalian harus pergi dari tanah ulayat saya.” kata tete memarahi mereka.
“Kamu, orang-orang yang tinggal di pohon paling bawah, kamu satu bahasa dengan saya maka kamu boleh tinggal bersama saya di wilayah ini.” Kata tete sambil menunjuk pasangan yang tinggal di pohon paling bawah.
“Kalian yang tinggal di tingkat dua, kalian memang satu suku dengan saya tapi bahasa kalian memiliki sedikit perbedaan, maka kalian harus tinggal di daerah Yanggandur (salah satu kampung di distrik Sota)”.
“Selanjutnya, wahai pasangan yang tinggal di tingkat tiga, kalian memakai bahasa Smarki Puney. Maka tempat tinggal kalian sekarang adalah kampung Yerew (sekarang kampung Rawa Biru)”.
“Kalian yang tinggal di tingkat empat pohon warak ini, tidak memiliki kesamaan bahasa dengan saya, kalian termasuk suku terasing. Nama suku kalian adalah Morori/Moraori. Dan kalian harus tinggal di kampung Wasur”. tete melanjutkan perkataannya.
Kemudian tete kembali berkata, “Kalian yang memakai perlengkapan tempat sirih, kalian sebenarnya dua suku. Karena bentuk tubuh kalian berbeda. Kalian yang berbadan tinggi besar, kamu adalah adalah suku Marind. Bahasa yang kalian pakai adalah bahasa Maru/Marind. Tempat tinggal kalian adalah di pesisir pantai; Samkai, Nasem, Ndalir, dan Onggaya.”
“Lalu kalian yang bertubuh kecil dan pendek, kalian sebenarnya masih ada hubungan saudara dengan saya dan suku marind. Maka tempat tinggal kalian adalah di Kimaam.” tete terus saja berkata.
Terakhir, tete berbicara dengan pasangan orang-orang yang berada di tingkat paling atas dari pohon warak.
“Kalian suku Yei, tempat tinggal kalian adalah di seberang kali Maro. Pergilah ke sana dan hiduplah dengan damai.”
Sejak saat itu, suku-suku bangsa yang ada di Merauke menempati daerah- daerah yang telah ditetapkan oleh tete. Mereka hidup damai dan memiliki hak ulayat yang luas. Sampai saat ini tidak seorang pun yang tahu siapa nama tete yang pertama diciptakan oleh Yang Maha Kuasa tersebut. Tetapi menurut cerita marga Ndikwan adalah keturunan tete yang masih ada sampai saat ini.
cerita yang menarik, semoga sastra lisan Papua tetap lestari dan dapat diambil hikmahnya...
ReplyDeletesalam suku Kanum...!
to anonymous:
ReplyDeleteya, kita dapat menuai kearifan lokal melalui cerita rakyat.
Tabeya...
salam, cerita yang menarik> semoga senantiasa bisa berkarya untuk warga papua ya.
ReplyDelete