Tuesday, May 24, 2016

MORFOLOGI CERITA RAKYAT KANUM SOTA

MORFOLOGI CERITA RAKYAT KANUM SOTA

Siswanto

Balai Bahasa Provinsi Papua
Jalan Yoka, Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura 99358
Telepon/Faksimile (0967) 574154, 574141
Telepon: 081344272695, Pos-el: siswanto.hanif515@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui morfologi cerita rakyat dari Kampung Sota, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua. Selain itu, penelitian ini merupakan upaya untuk menginventarisasi sastra lisan orang Kanum Sota. Penelitian  ini  termasuk  penelitian  kualitatif  dengan  menerapkan   metode  deskriptif  menggunakan analisis fungsi pelaku berdasarkan teori Vladimir Propp. Teknik pengumpulan data Dilakukan dengan cara pengamatan (melalui perekaman dan pencatatan) serta wawancara. Sumber data penelitian ini adalah Pohon Warak Pohon Suku Bangsa.  Dari analisis diketahui bahwa fungsi pelaku yang ditemukan dalam cerita adalah kekurangan, kebutuhan, pelanggaran, perantaraan,  peristiwa penghubung, Pengintaian, keberangkatan (kepergian), penyampaian (informasi), fungsi pertama donor (pemberi), penetralan (tindakan) dimulai, penyingkapan (tabir), reaksi pahlawan, penyelesaian (tugas), dan perpindahan (tempat). Dan terdapat tiga lingkaran pelaku.
Kata kunci: cerita rakyat, Kanum Sota, Morfologi Propp



PENDAHULUAN
Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas dan kompleks yang dapat diinterpreatasikan secara beragam. Selain kebudayaan universal dikenal pula kebudayaan lokal yang menyimpan kearifan lokal. Salah satunya adalah cerita rakyat yang merupakan budaya lokal warisan leluhur yang disampaikan secara turun temurun. Cerita rakyat yang ada di Indonesia ini ada beribu-ribu cerita. Masing-masing daerah di Indonesia tentunya memiliki cerita rakyat suatu cerminan budaya lokal dengan karakter yang khas.
Cerita rakyat adalah sastra tradisional karena merupakan hasil karya yang dilahirkan dari sekumpulan masyarakat yang masih kuat berpegang pada nilai-nilai kebudayaan yang bersifat tradisional (Dharmojo, 1998:21). Kesusastraan tradisional kadang-kadang disebut sebagai cerita rakyat dan dianggap sebagai milik bersama. Hal tersebut tumbuh dari kesadaran kolektif yang kuat pada masyarakat lama.
Danandjaja (1986:2) mengemukakan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Banyak  kajian  yang  telah  dilakukan  terkait  keberadaan  sastra  lisan yang  telah mengalami  transformasi  atau  perubahan  bentuk  dari  sastra  lisan kemudian  menjadi  sastra  tulis  setelah  pemerintah  mengupayakan pendokumentasian  sastra  lisan. Hal  tersebut  terdorong  oleh  keinginan  agar sastra  lisan  dapat  terus  hidup  di  tengah  masyarakat  sebagai  bagian  dari kekayaan  budaya  dan  media  pembelajaran  kearifan  lokal  bagi  generasi kemudian.  Seperti  yang  diketahui,  Indonesia  yang  berdiri  kokoh  dengan keanekaragaman  bahasa dan  budaya  tidak  bisa menafikan  keberadaan  sastra lokal  yang  kemudian menjadi  pandangan  hidup  yang membentuk  keunikan karakter dari tiap-tiap masyarakat pendukungnya.
Demikian halnya cerita rakyat Kanum Sota yang merupakan salah satu suku yang eksis di Merauke, Papua. Orang Kanum Sota merupakan suku dengan jumlah penutur kurang lebih seratus jiwa. Orang Kanum Sota berada di kampung Sota 100 km ke arah Timur kota Merauke. Suku ini berada di tapal batas antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Negara Papua Nugini.
Cerita rakyat Kanum Sota  merupakan  sastra  lisan  yang merefleksikan kehidupan masa lalu dan memuat kisah-kisah yang dapat dijadikan bahan  pelajaran  untuk  kehidupan  yang lebih  baik  di  masa  mendatang.  Kajian struktural  menggunakan  teori  naratologi  Vladimir  Propp  dilakukan  dengan tujuan  agar  keunikan  bentuk  cerita  yang  terdapat  dalam  cerita rakyat Kanum Sota dapat tergambarkan.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: ada berapa fungsi pelaku dan fungsi-fungsi pelaku apa sajakah yang terdapat dalam cerita rakyat Kanum Sota, bagaimanakah skema struktur cerita rakyat Kanum Sota, ada berapa lingkungan tindakan yang dimiliki oleh cerita rakyat Kanum Sota.
Tujuan penelitian ini selain sebagai upaya menginventarisasi cerita rakyat Kanum Sota, juga untuk mendeskripsikan fungsi dan jenis-jenis fungsi pelaku dalam cerita rakyat Kanum Sota, mendeskripsikan skema struktur cerita rakyat Kanum Sota, mendeskripsikan lingkungan tindakan yang dimiliki oleh cerita rakyat Kanum Sota, dan cara mengenalkan pelaku cerita rakyat kanum Sota.
Manfaat dari penelitian morfologi cerita rakyat Kanum Sota ini merupakan upaya penggalian dan pelestarian kebudayaan daerah yang sangat penting, guna menunjang dan mengembangkan pengajaran bahasa dan sastra daerah tersebut, saat ini disebut sebagai muatan lokal dalam kurikulum pendidikan. Selain itu, juga sangat penting bagi Pemerintah Kabupaten Merauke dan Provinsi Papua sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.
Bagi masyarakat Kanum Sota, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pemicu bagi generasi penerus untuk lebih mencintai hasil sastra lisan mereka sendiri. Selain itu, dapat dijadikan sebagai identitas dan kebanggaan dalam menyonsong pembangunan, khususnya di Papua. Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi media informasi dan refleksi nilai-nilai kehidupan masyarakat Kanum Sota. Dalam lingkup yang lebih luas penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan dan memperkaya khazanah kajian sastra.
Orang Kanum Sota tinggal di kampung Sota, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua tepatnya berada pada 08o25.413’ LS dan 141o00.316’ BT yang berada di daerah perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini. Orang Kanum menuturkan bahasa Kanum. Karena terletak di kampong Sota maka bahasa mereka disebut dengan Kanum Sota. Bahasa ini termasuk dalam kategori filum Trans Nugini, Trans-Fly-Sungai Bulaka dan Hulu Sungai Maro. Jumlah penutur bahasa Kanum Sota sekitar 100 orang (SIL,  2006: 42). Nama lain dari bahasa Kanum Sota adalah Enkelembu, Ngkalembu, Galembu Kairer, atau Kenume.
Mata pencaharian orang Kanum Sota adalah sebagai peramu, berburu, menangkap ikan,  dan melakukan kegiatan pertanian tradisional. Sistim kekerabatan dalam adat orang Kanum berdasarkan paham Patrilineal (Mengikuti garis keturunan Ayah/Laki-laki). Kepemimpinan orang Kanum merupakan kepemimpinan kolektif  laki-laki berwibawa (pakas yekel).
TEORI
Landasan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori naratif struktural Vladimir Propp. Teori fungsi Vladimir Propp ini dapat diterapkan untuk dongeng yang dikumpulkan pada cerita rakyat Tobati karena dongeng bersifat universal dan memiliki banyak fungsi.  Hal yang terpenting dalam penelitian ini adalah predikat (aksi atau tindakan) yang disebut dengan fungsi, tidak peduli siapa subjek dan objeknya. Unsur yang tetap adalah perbuatan sedangkan unsur yang berubah adalah pelaku dan penderita. Jika tindakan itu diganti dengan tindakan lain, maka fungsinya akan berubah, tetapi jika yang diganti adalah pelaku dan penderitanya, maka tidak akan mempengaruhi perubahan fungsi.
Propp mengembangkan teori yang berasal dari konsep formalisme Rusia yang berhubungan dengan dengan alur dari peristiwa atau aksi. Propp menggunakan pendekatan yang bergerak dari etik menuju pendekatan emik terhadap struktur naratif. Propp lebih menekankan perhatiannya pada motif naratif terpenting, yakni tindakan atau perbuatan (action). Tindakan tersebut dinamakan fungsi. Propp juga mengemukakan bahwa yang terpenting adalah pelaku, bukan tokoh. Lebih tegasnya, yang terpenting menurut Propp adalah tindakan pelaku yang terdapat dalam fungsi. Fungsi adalah tindakan seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya untuk jalannya suatu cerita. Tindakan ini mengikuti sebuah perturutan yang masuk akal, dan meskipun tidak ada dongeng yang meliputi semuanya, dalam tiap dongeng fungsi-fungsi itu selalu dalam urutan yang tetap (Pradopo, 1996: 59).
Propp juga menjelaskan bahwa suatu cerita pada dasarnya memiliki konstruksi. Konstruksi yang terdiri atas motif-motif memiliki tiga unsur, yakni pelaku, perbuatan, dan penderita. Ketiga unsur itu dapat dibagi menjadi dua, yakni unsur yang tetap dan unsur tidak tetap. Unsur tetap adalah perbuatan dan unsur tidak tetapnya adalah pelaku dan penderita. Menurutnya, unsur yang terpenting adalah unsur yang tetap.
Propp adalah tokoh strukturalis pertama yang melakukan kajian serius terhadap struktur naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi fabula dan sjuzhet. Propp memandang sjuzhet sebagai tema bukan alur seperti yang dipahami oleh kaum formalis. Menurutnya, motif merupakan unsur yang penting sebab motiflah yang membentuk tema. Sjuzhet atau cerita dengan demikian hanyalah produk dari serangkaian motif. Motif dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: pelaku, perbuatan, dan penderita. Ketiga motif ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu perbuatan sebagai unsur yang stabil, yang tidak tergantung dari siapa yang melakukan dan unsur yang tidak stabil dan bisa berubah-ubah, yaitu pelaku dan penderita. Menurut Propp, yang terpenting adalah unsur yang tetap (perbuatan) yaitu fungsi itu sendiri (Suwondo:2011 )
Vladimir Propp (1975: 21-24) membuat satu kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang ia lakukan terhadap seratus dongeng cerita rakyat Rusia yang ia sebut dengan fairytale. Adapun kesimpulan tersebut adalah:
1)      Unsur yang tetap dan tidak berubah dalam sebuah dongeng bukanlah motif atau pelaku, melainkan fungsi (terlepas dari sikap pelaku yang menduduki fungsi);
2)      Jumlah fungsi dalam dongeng terbatas;
3)      Urutan fungsi dalam dongeng selalu sama; dan
4)      Jika dilihat dari segi struktur, maka semua dongeng hanya mewakili satu tipe.
Yobee (2006:13-14) mendukung Propp dengan mengelompokkan fungsi dalam sebuah dongeng menjadi tiga puluh satu fungsi. Untuk mempermudah pembuatan skema, seperti halnya Propp, ia memberi tanda atau lambang khusus pada setiap fungsi. Adapun fungsi dan lambangnya adalah sebagai berikut.
No.
Fungsi
Lambang
1.
Absentation = ketiadaan
β
2.
Interdiction = larangan
γ
3.
Violation = pelanggaran
δ
4.
Reconnaissance = pengintaian
ε
5.
Delivery = penyampaian (informasi)
ζ
6.
Fraud = penipuan (tipu daya)
η
7.
Complicity = keterlibatan
θ
8.
Villainy = kejahatan
A
8a.
Lack = kekurangan (kebutuhan)
A
9.
Mediation, the connective incident =
perantaraan, peristiwa penghubung
B
10.
Beginning countraction = penetralan (tindakan) dimulai
C
11.
Departure = keberangkatan (kepergian)
12.
The first function of the donor = fungsi pertama donor (pemberi)
D
13.
The hero’s reaction = reaksi pahlawan
E
14.
Provition or receipt of a magical agent =
penerimaan unsur magis (alat sakti)
F
15.
Spacial translocation = perpindahan (tempat)
G
16.
Struggle = berjuang, bertarung
H
17.
Marking = penandaan
J
18.
Victory = kemenangan
I
19.
The initial misfortune or lack is liquidated =
Kekurangan (kebutuhan) terpenuhi
K
20.
Return = kepulangan (kembali)
21.
Pursuit, chase = pengejaran, penyelidikan
Pr
22.
Rescue = penyelamatan
Rs
23.
Unrecognised arrival = datang tak terkenali
O
24.
Unfounded claims = tuntutan yang tak mendasar
L
25.
The difficult task = tugas sulit (berat)
M
26.
Solution = penyelesaian (tugas)
N
27.
Recognition = (pahlawan) dikenali
Q
28.
Exposure = penyingkapan (tabir)
Ex
29.
Transfiguration = penjelmaan
T
30.
Punishment = hukuman (bagi penjahat)
U
31.
Wedding = perkawinan (dan naik tahta)
W

Menurut  Propp dalam Taum (2011: 132) ketigapuluhsatu fungsi itu dapat didistribusikan ke dalam lingkaran atau lingkungan tindakan (speres of action) tertentu. Ada tujuh lingkungan tindakan yang dapat dimasuki oleh fungsi-fungsi yang tergabung secara logis, yaitu (1) villain = lingkungan aksi penjahat; (2) donor, provide = lingkungan aksi donor, pembekal; (3) helper = lingkungan aksi pembantu; (4) the princess and her father = lingkungan aksi putri dan ayahnya; (5) dispatcer = lingkungan aksi perantara (pemberangkat); (6) hero = lingkungan aksi pahlawan; dan (7) false hero = lingkungan aksi pahlawan palsu. Melalui tujuh lingkungan tindakan (aksi) itulah frekuensi kemunculan pelaku dapat dideteksi dan cara bagaimana watak pelaku diperkenalkan dapat diketahui.
Propp (dalam Suwondo, 2011:56) juga mengemukakan bahwa setiap dongeng atau cerita tidak selalu mengandung semua fungsi itu karena banyak dongeng yang ternyata hanya mengandung beberapa fungsi. Fungsi-fungsi itulah, berapa pun jumlahnya, membentuk kerangka pokok cerita.
METODE
Penelitian  ini  termasuk  penelitian  kualitatif  dengan  menggunakan metode  deskriptif  dan  teori  struktural.  Metode  deskriptif  adalah  cara pelukisan  data  dan  analisis  dalam  kritik  sastra  sebagaimana  adanya (Endraswara, 2013: 176).
Teori  struktural  memandang  bahwa  karya  sastra  adalah  sebuah struktur yang kompleks dan terdiri atas unsur-unsur yang bersistem dan saling menentukan  sehingga  unsur-unsurnya  harus  diuraikan  agar  dapat  dianalisis. Penguraian  struktur  tersebut  dilakukan  dengan  menggunakan  naratologi Vladimir  Propp.  Berdasarkan  teori  naratologi  Vladimir  Propp,  langkah-langkah  yang  dilakukan  adalah  menentukan  fungsi  cerita,  menggambarkan skema  berdasarkan  fungsi-fungsi  yang  ditemukan  dalam  cerita,  dan menentukan lingkaran tindakan yang terdapat dalam cerita.
HASIL DAN PEMBAHASAN
RINGKASAN CERITA RAKYAT KANUM SOTA (POHON WARAK POHON SUKU BANGSA)
Zaman dahulu kala di sebuah hutan yang sangat lebat di daerah yang bernama Kesul, hiduplah seorang pemuda bernama Kanggo. Ia hidup bersama dua ekor anjing dalam sebuah befak (rumah yang dindingnya terbuat dari pelepah sagu dan atapnya terbuat dari daun sagu). Ia tinggal seorang diri karena ia adalah orang pertama yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di daerah tersebut.
Pada suatu hari, Kanggo hendak pergi berburu karena persediaan makanan pada hari itu telah habis. Kanggo memanggil  kedua ekor anjingnya untuk diajak berburu. Setelah memanggil berulang kali, Galembu dan Garowetu tidak muncul-muncul juga. Akhirnya Kanggo mencari di sekitar befak. Namun, setelah sekian lama mencari dan tidak menemukan kedua ekor anjingnya Kanggo memutuskan untuk tidak berburu. Hari itu Kanggo hanya makan sagu bakar tanpa ada lauk.
Anjing yang dulu setia kini telah membangkang dan menolak diajak berburu karena telah kenyang. Sebagai anjing yang setia ia telah melanggar kesetiaannya pada Kanggo karena mencari makan di tempat lain tanpa sepengetahuan Kanggo.
Ternyata tanpa sepengetahuan Kanggo, dua ekor anjingnya setiap pagi pergi ke hutan sendiri dan mendapatkan berbagai makanan yang berasal dari sekitar pohon warak (nibung) yang berukuran sangat besar. Dari dalam pohon itulah Galembu dan Garowetu memperoleh makanan yang berupa kotoran manusia, sisa makanan, sagu, tulang-tulang yang masih terbalut sedikit daging yang telah dibakar.
Setelah kejadian beberapa hari itu, pagi-pagi sekali Kanggo bangun dan mulai mengamati kedua ekor anjingnya yang masih tidur. Tidak lama kemudian, kedua anjing itu terbangun dan segera berlari menuju pohon warak yang berada di tengah hutan. Kanggo segera mengikuti kedua anjingnya sambil berlari.
Kanggo segera berangkat untuk  mengikuti kedua anjingnya sambil berlari. Nggarembu dan Garowetu mengetahui kalau sedang diikuti tuannya. Maka ia berlari dengan cepat dan meninggalkan Kanggo jauh di belakang.  Kemudian dua anjing itu segera berhenti untuk menunggu Kanggo.
Nggarembu dan Garowetu mengetahui kalau sedang diikuti tuannya. Maka ia berlari dengan cepat dan meninggalkan Kanggo jauh di belakang.  Kemudian dua anjing itu segera berhenti untuk menunggu Kanggo.
Kedua ekor anjing itu sebenarnya ingin memberitahukan kepada tuannya mengenai keberadaan pohon warak yang berisi manusia tersebut. Itulah saat yang paling tepat menurut berdua anjing itu.
Kanggo berlari kencang menuju befaknya untuk mengambil peralatan perang, busur, panah, dan tombak. Kanggo tidak lupa menghias diri dengan memberikan pewarna pada wajah dan tubuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa Kanggo tengah marah dan bersiap untuk berperang. Setelah selesai mempersiapkan diri dengan sempurna, Kanggo kembali menuju hutan untuk membuat perhitungan dengan orang-orang yang ada di dalam pohon warak.
Kanggo kemudian mendekat dan mengintip ke dalam pohon. Ternyata pohon warak itu seperti gedung bertingkat, tiap tingkat dihuni oleh kelompok orang yang memiliki bahasa berbeda.
Setelah merasa yakin bahwa yang berada di dalam pohon Warak adalah orang, Kanggo kemudian mulai menebang pohon Warak itu dengan menggunakan kapak batu (mbasum). Ayunan kapak yang sangat kuat mengakibatkan timbulnya lubang yang cukup dalam. Selain itu ayunan kapak Kanggo ternyata juga mengenai tulang kering salah seorang penghuni pohon Warak, dan menimbulkan luka gores yang cukup dalam. Pemilik kaki itu ternyata kepala dusun di ruas pertama pohon Warak yakni marga Ndiken. Hingga saat ini tulang kering marga Ndiken yang merupakan keturunan kepala dusun juga memiliki luka gores yang sama. Kanggo terus menebang pohon Warak itu hingga tumbang dengan mudah.
“Jumlah kalian banyak sekali. Selain itu kalian juga terdiri dari beberapa suku bangsa yang berbeda. Tempat ini tidak cukup jika dihuni dengan jumlah yang banyak ini. Aku tidak ingin kelak terjadi perselisihan mengenai hak ulayat dan perebutan makanan karena sempitnya tempat tinggal. Untuk itu aku menyarankan kepada kalian agar mencari tempat tinggal yang baru.
Setelah mendengarkan kata-kata dan pesan Kanggo, para penghuni rumah pohon itu pun meninggalkan rumah pohon nibung. Mereka hidup menyebar sesuai wilayah pembagian. “Kalian, orang-orang yang tinggal di pohon paling bawah, kamu satu bahasa dengan aku maka kamu boleh tinggal bersamaku di wilayah ini!”, kata Kanggo sambil menunjuk pasangan yang tinggal di pohon paling bawah yang ternyata adalah Ndiken tuan tanah dan pemilik ulayat Galembu.

ANALISIS FUNGSI PELAKU
Dalam analisis ini, khusus mengenai fungsi-fungsi pelaku, yang disajikan adalah definisi pokoknya saja yang disertai lambang dan ringkasan isi cerita. Sajian ringkasan isi cerita dimaksudkan sebagai penjelas fungsi. Adapun hasil analisis fungsi dalam cerita rakyat Kanum Sota yang berjudul Pohon Warak Pohon Suku Bangsa dengan menggunakan teori Vladimir Propp dapat diidentifikasi
(0)     Situasi Awal (lambang: µ )
Zaman dahulu kala di sebuah hutan yang sangat lebat di daerah yang bernama Kesul, hiduplah seorang pemuda bernama Kanggo. Ia hidup bersama dua ekor anjing dalam sebuah befak (rumah yang dindingnya terbuat dari pelepah sagu dan atapnya terbuat dari daun sagu). Ia tinggal seorang diri karena ia adalah orang pertama yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di daerah tersebut.
(1)     kekurangan, kebutuhan (lambang: a)
Pada suatu hari, Kanggo hendak pergi berburu karena persediaan makanan pada hari itu telah habis. Kanggo memanggil  kedua ekor anjingnya untuk diajak berburu. Setelah memanggil berulang kali, Galembu dan Garowetu tidak muncul-muncul juga. Akhirnya Kanggo mencari di sekitar befak. Namun, setelah sekian lama mencari dan tidak menemukan kedua ekor anjingnya Kanggo memutuskan untuk tidak berburu. Hari itu Kanggo hanya makan sagu bakar tanpa ada lauk.
(2)     pelanggaran (lambang: d)
Anjing yang dulu setia kini telah membangkang dan menolak diajak berburu karena telah kenyang. Sebagai anjing yang setia ia telah melanggar kesetiaannya pada Kanggo karena mencari makan di tempat lain tanpa sepengetahuan Kanggo.
(3)     perantaraan, peristiwa penghubung (lambang: B)
Ternyata tanpa sepengetahuan Kanggo, dua ekor anjingnya setiap pagi pergi ke hutan sendiri dan mendapatkan berbagai makanan yang berasal dari sekitar pohon warak (nibung) yang berukuran sangat besar. Dari dalam pohon itulah Galembu dan Garowetu memperoleh makanan yang berupa kotoran manusia, sisa makanan, sagu, tulang-tulang yang masih terbalut sedikit daging yang telah dibakar.
(4)     pengintaian (lambang: e)
Setelah kejadian beberapa hari itu, pagi-pagi sekali Kanggo bangun dan mulai mengamati kedua ekor anjingnya yang masih tidur. Tidak lama kemudian, kedua anjing itu terbangun dan segera berlari menuju pohon warak yang berada di tengah hutan. Kanggo segera mengikuti kedua anjingnya sambil berlari.
(5)     keberangkatan (kepergian) (lambang:   )
Kanggo segera berangkat untuk  mengikuti kedua anjingnya sambil berlari. Nggarembu dan Garowetu mengetahui kalau sedang diikuti tuannya. Maka ia berlari dengan cepat dan meninggalkan Kanggo jauh di belakang.  Kemudian dua anjing itu segera berhenti untuk menunggu Kanggo.
(6)     penyampaian (informasi) (lambang: x)
Nggarembu dan Garowetu mengetahui kalau sedang diikuti tuannya. Maka ia berlari dengan cepat dan meninggalkan Kanggo jauh di belakang.  Kemudian dua anjing itu segera berhenti untuk menunggu Kanggo.
(7)     fungsi pertama donor (pemberi) (lambang: D)
Kedua ekor anjing itu sebenarnya ingin memberitahukan kepada tuannya mengenai keberadaan pohon warak yang berisi manusia tersebut. Itulah saat yang paling tepat menurut berdua anjing itu.
(8)     penetralan (tindakan) dimulai (lambang: C)
Kanggo berlari kencang menuju befaknya untuk mengambil peralatan perang, busur, panah, dan tombak. Kanggo tidak lupa menghias diri dengan memberikan pewarna pada wajah dan tubuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa Kanggo tengah marah dan bersiap untuk berperang. Setelah selesai mempersiapkan diri dengan sempurna, Kanggo kembali menuju hutan untuk membuat perhitungan dengan orang-orang yang ada di dalam pohon warak.
(9)     penyingkapan (tabir) (lambang: Ex)
Kanggo kemudian mendekat dan mengintip ke dalam pohon. Ternyata pohon warak itu seperti gedung bertingkat, tiap tingkat dihuni oleh kelompok orang yang memiliki bahasa berbeda.
(10) reaksi pahlawan (lambang: E)
Setelah merasa yakin bahwa yang berada di dalam pohon Warak adalah orang, Kanggo kemudian mulai menebang pohon Warak itu dengan menggunakan kapak batu (mbasum). Ayunan kapak yang sangat kuat mengakibatkan timbulnya lubang yang cukup dalam. Selain itu ayunan kapak Kanggo ternyata juga mengenai tulang kering salah seorang penghuni pohon Warak, dan menimbulkan luka gores yang cukup dalam. Pemilik kaki itu ternyata kepala dusun di ruas pertama pohon Warak yakni marga Ndiken. Hingga saat ini tulang kering marga Ndiken yang merupakan keturunan kepala dusun juga memiliki luka gores yang sama. Kanggo terus menebang pohon Warak itu hingga tumbang dengan mudah.
(11)  penyelesaian (tugas) (lambang: N)
“Jumlah kalian banyak sekali. Selain itu kalian juga terdiri dari beberapa suku bangsa yang berbeda. Tempat ini tidak cukup jika dihuni dengan jumlah yang banyak ini. Aku tidak ingin kelak terjadi perselisihan mengenai hak ulayat dan perebutan makanan karena sempitnya tempat tinggal. Untuk itu aku menyarankan kepada kalian agar mencari tempat tinggal yang baru.
(12) perpindahan (tempat) (lambang: G)
Setelah mendengarkan kata-kata dan pesan Kanggo, para penghuni rumah pohon itu pun meninggalkan rumah pohon nibung. Mereka hidup menyebar sesuai wilayah pembagian. “Kalian, orang-orang yang tinggal di pohon paling bawah, kamu satu bahasa dengan aku maka kamu boleh tinggal bersamaku di wilayah ini!”, kata Kanggo sambil menunjuk pasangan yang tinggal di pohon paling bawah yang ternyata adalah Ndiken tuan tanah dan pemilik ulayat Galembu.
STRUKTUR CERITA
Jika cerita tentang Pohon Warak Pohon Suku Bangsa disusun dalam bentuk skema, kerangka cerita yang membentuk strukturnya akan tampak seperti berikut.
(µ) d B e   x D C Ex E N G (X)
Setelah unsur-unsur penting serta unsur-unsur penjelasnya ditunjukkan (lihat fungsi-fungsi pelaku di atas), dapatlah ditemukan pola-pola tertentu dalam cerita Pohon Warak Pohon Suku Bangsa. Menurut Propp (1975: 92), satu cerita (komponen) tertentu dapat ditandai oleh satu perkembangan atau pergerakan yang dimulai dari kejahatan atau kekurangan (kebutuhan) dan diakhiri dengan penyelesaian atau terpenuhinya kekurangan (kebutuhan) setelah melalui fungsi-fungsi perantaraan. Oleh karena itu, dengan mencermati fungsi-fungsi pelaku seperti telah disebutkan di atas, secara keseluruhan (tale as a whole) cerita Pohon Warak Pohon Suku Bangsa dapat dipolakan seperti berikut.
I.         a . . . . . . . . . . . B
Adalah pengenalan tokoh Kanggo yang merasa kebutuhan sehari-harinya belum terpenuhi secara maksimal. Selain meramu sagu, menangkap ikan, berburu juga merupakan mata pencaharian Orang Kanum Sota. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari berupa daging ini dapat terpenuhi dengan cara berburu menggunakan dua ekor anjingnya. Kedua anjingnya membangkang dan melanggar kesetiaan pada tuannya. Pelanggaran ini merupakan penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa selanjutnya dan menggiring ke lingkaran kedua yaitu isi cerita.
II.      e . . . . . . . . . . . Ex
Pada tahap ini adalah masa ketika Kanggo melakukan perjalanan untuk menyelidiki apa yang membuat anjing pemburunya menjadi pemalas dan mengakibatkan kebutuhan sehari-harinya tidak terpenuhi. Hingga pada saat terungkap bahwa kedua anjingnya kekenyangan karena telah memakan kotoran dan sisa makanan yang berasal dari penghuni pohon Warak yang berada di hutan galembu. Pohon Warak (Nibung dalam bahasa Papua umumnya) atau enau dalam bahasa Indonesia banyak tumbuh di dataran rendah serta berawa seperti di kampung Sota saat ini.
III.   E . . . . . . . . . . . G
Pada pola yang terakhir ini menggambarkan bahwa perjuangan Kanggo untuk mengungkap tabir dan menyelesaikan masalah dapat berhasil tanpa terjadinya tindakan represif. Ini berarti merupakan cerita yang berakhir dengan happy ending. Hingga saat ini ada tiga marga yang yang menghuni kampung Sota yakni Ndiken, Ndimar, dan Mbanggu. Marga-marga ini sebenarnya tersebar di seluruh tanah Merauke namun pada perkembangannya ketiga marga ini berubah menyesuaikan bahasa yang digunakan oleh penutur yang ikut berpindah dari pohon Warak. Misalnya marga Ndimar akan berubah menjadi Sanggra di bahasa Kanum Smarki di kampung Rawa Biru, dan berubah menjadi Gebze ketika dipakai dalam bahasa Marind.
DISTRIBUSI FUNGSI DI KALANGAN PELAKU
Menurut Propp (1975: 79--80), tiga puluh satu fungsi yang menjadi kerangka pokok cerita atau dongeng rakyat itu dapat didistribusikan ke dalam tujuh lingkaran tindakan (speres of action). Jadi, setiap lingkaran (lingkungan) tindakan dapat mencakupi satu atau beberapa fungsi. Dalam Cerita Rakyat Pohon Warak Pohon Suku Bangsa terdapat tiga jenis pelaku yang dapat diuraikan sebagai berikut.
1.        B3 adalah lingkungan aksi perantara
2.        D7 adalah lingkungan aksi donor (pembekal)
3.        C8 dan E10 adalah lingkungan aksi pahlawan
CARA-CARA PENGENALAN PELAKU
Berdasarkan pengamatan secara cermat terhadap cerita Pohon Warak Pohon Suku Bangsa diperoleh beberapa model atau cara pengenalan pelaku seperti di bawah ini. Pelaku yang dimaksudkan adalah perantara, pembekal, dan pahlawan.
Tokoh perantara diperkenalkan melalui orang-orang yang tinggal di dalam pohon Warak yang terdiri dari beberapa suku bangsa yang berada di kabupaten Merauke saat itu. Cerita tentang Pohon Warak Pohon Suku Bangsa tersebar hampir di seluruh suku bangsa yang berada di Merauke, walaupun dituturkan dengan versi yang berbeda-beda.
Tokoh pembekal dalam cerita ini diperkenalkan pada dua ekor anjing bernama Nggarembu dan Garowetu. Hingga saat ini orang Kanum Sota masih memakai jasa anjing untuk berburu di hutan. Selain itu, mereka juga percaya bahwa anjing-anjing yang ada saat ini adalah keturunan dari kedua anjing itu.
Tokoh pahlawan yang bernama Kanggo digambarkan sebagai sosok yang gagah perkasa. Ia mewakili gambaran sosok kepemimpinan orang Kanum yang menganut sistem kepemimpinan pria berwibawa. Ia berhasil menyelesaikan masalah tanpa ada petumpahan darah dan mengakhiri konflik dengan akhir yang mengembirakan. Hingga saat ini, orang-orang yang merasa masih memiliki pertalian darah langsug pada Kanggo selalu memberi nama anak mereka dengan nama Kanggo. Kanggo Ndimar.

PENUTUP
Dari seluruh pembahasan di depan, akhirnya dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut. Ditinjau dari sisi fungsi-fungsi pelaku, cerita Pohon Warak Pohon Suku Bangsa dibentuk oleh kerangka cerita yang terdiri atas dua belas fungsi. (µ) d B e   x D C Ex E N G (X). Jumlah dua belas fungsi itu sendiri jika diklasifikasikan berdasarkan lingkungan aksinya maka terdiri atas  lingkungan aksi perantara, lingkungan aksi donor (pembekal), dan lingkungan aksi pahlawan.
Dilihat dari distribusi fungsi di kalangan pelaku, dapat dinyatakan bahwa tokoh yang menduduki tokoh utama adalah Kanggo dan dua ekor anjingnya. Selain itu, semua pelaku dalam cerita diperkenalkan secara wajar dan logis, dalam arti tidak ada unsur kebetulan. Padahal, unsur-unsur semacam itu biasanya banyak muncul dalam cerita atau dongeng-dongeng rakyat. Sebagai hasil dari pola pikir masyarakat setempat maka cerita rakyat dengan judul Pohon Warak Pohon Suku Bangsa ini dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan tentang asal mula persebaran suku-suku di Kabupaten Merauke.

DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia Ilmu Gosip dan
Dongeng. Jakarta: Graffiti Press.
Dharmojo, dkk. 1998. Sastra Lisan Ekagi. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Endraswara,  Suwardi.  2013.  Metodologi  Kritik  Sastra.  Yogyakarta:  Penerbit Ombak
Peday, Ayub. dkk. 2013. Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Malind. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Merauke.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori dan Metode Kritik Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Propp, Vladimir. 1975. Morphology of the folktale. Austin, London: University of Texas Press.
Samkakai, Frumensius Obe, dkk. 2013. Tanah Malind, Suatu pendekatan Pemetaan Budaya Suku Bangsa. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Merauke.
Suwondo, Tirto. 2011. Studi Sastra: Konsep Dasar, Teori, dan Penerapannya pada Karya Sastra. Yogyakarta: Gama Media.
Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera
Wawancara  Daud Ndimar (Tokoh Adat Suku Kanum Sota), tanggal 24 Maret 2015.
Yobee, Andreas. 2006. Struktur Cerita Rakyat dalam Kehidupan Masyarakat Suku Mee Papua: Penerapan Teori Vladimir Propp. Lombok: Arga Fuji Press.







No comments:

Post a Comment