MORFOLOGI CERITA RAKYAT KANUM SOTA
Siswanto
Balai Bahasa Provinsi Papua
Jalan Yoka, Waena, Distrik
Heram, Kota
Jayapura 99358
Telepon/Faksimile
(0967) 574154, 574141
Telepon: 081344272695, Pos-el: siswanto.hanif515@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui morfologi cerita rakyat dari Kampung Sota, Distrik
Sota, Kabupaten Merauke, Papua. Selain itu, penelitian ini merupakan upaya
untuk menginventarisasi sastra lisan orang Kanum Sota. Penelitian ini
termasuk penelitian kualitatif
dengan menerapkan metode
deskriptif menggunakan analisis fungsi pelaku berdasarkan teori Vladimir Propp. Teknik pengumpulan data Dilakukan dengan cara pengamatan (melalui perekaman dan
pencatatan) serta wawancara. Sumber data penelitian
ini adalah Pohon Warak Pohon Suku Bangsa. Dari analisis diketahui bahwa fungsi pelaku yang ditemukan dalam cerita adalah kekurangan, kebutuhan, pelanggaran, perantaraan, peristiwa penghubung, Pengintaian, keberangkatan
(kepergian), penyampaian (informasi), fungsi pertama donor (pemberi), penetralan
(tindakan) dimulai, penyingkapan (tabir), reaksi
pahlawan, penyelesaian (tugas), dan perpindahan (tempat). Dan
terdapat tiga lingkaran pelaku.
Kata kunci: cerita rakyat, Kanum Sota, Morfologi Propp
PENDAHULUAN
Kebudayaan
merupakan konsep yang sangat luas dan kompleks yang dapat diinterpreatasikan
secara beragam. Selain kebudayaan universal dikenal pula kebudayaan lokal yang
menyimpan kearifan lokal. Salah satunya adalah cerita rakyat yang merupakan
budaya lokal warisan leluhur yang disampaikan secara turun temurun. Cerita
rakyat yang ada di Indonesia ini ada beribu-ribu cerita. Masing-masing daerah
di Indonesia tentunya memiliki cerita rakyat suatu cerminan budaya lokal dengan
karakter yang khas.
Cerita rakyat adalah sastra tradisional karena merupakan hasil karya yang
dilahirkan dari sekumpulan masyarakat yang masih kuat berpegang pada
nilai-nilai kebudayaan yang bersifat tradisional (Dharmojo, 1998:21). Kesusastraan
tradisional kadang-kadang disebut sebagai cerita rakyat dan dianggap sebagai
milik bersama. Hal tersebut tumbuh dari kesadaran kolektif yang kuat pada
masyarakat lama.
Danandjaja (1986:2) mengemukakan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan
suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif
macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk
lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Banyak kajian yang
telah dilakukan terkait
keberadaan sastra lisan yang
telah mengalami transformasi atau
perubahan bentuk dari
sastra lisan kemudian menjadi
sastra tulis setelah
pemerintah mengupayakan
pendokumentasian sastra lisan. Hal
tersebut terdorong oleh
keinginan agar sastra lisan
dapat terus hidup
di tengah masyarakat
sebagai bagian dari kekayaan
budaya dan media
pembelajaran kearifan lokal
bagi generasi kemudian. Seperti
yang diketahui, Indonesia
yang berdiri kokoh
dengan keanekaragaman bahasa
dan budaya tidak
bisa menafikan keberadaan sastra lokal
yang kemudian menjadi pandangan
hidup yang membentuk keunikan karakter dari tiap-tiap masyarakat
pendukungnya.
Demikian halnya cerita rakyat Kanum Sota yang merupakan salah
satu suku yang eksis di Merauke, Papua. Orang Kanum Sota merupakan suku dengan
jumlah penutur kurang lebih seratus jiwa. Orang Kanum Sota berada di kampung
Sota 100 km ke arah Timur kota Merauke. Suku ini berada di tapal batas antara
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Negara Papua Nugini.
Cerita rakyat Kanum Sota
merupakan sastra lisan
yang merefleksikan kehidupan masa lalu dan memuat
kisah-kisah yang dapat dijadikan bahan
pelajaran untuk kehidupan
yang lebih
baik di masa
mendatang. Kajian struktural menggunakan
teori naratologi Vladimir
Propp dilakukan dengan tujuan
agar keunikan bentuk
cerita yang terdapat
dalam cerita rakyat Kanum Sota
dapat tergambarkan.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
ada berapa fungsi pelaku dan fungsi-fungsi pelaku apa sajakah yang terdapat
dalam cerita rakyat Kanum Sota, bagaimanakah skema struktur cerita rakyat Kanum
Sota, ada berapa lingkungan tindakan yang dimiliki oleh cerita rakyat Kanum
Sota.
Tujuan penelitian ini selain sebagai upaya menginventarisasi cerita rakyat Kanum Sota,
juga untuk mendeskripsikan fungsi dan jenis-jenis fungsi pelaku dalam
cerita rakyat Kanum Sota, mendeskripsikan skema struktur cerita rakyat Kanum
Sota, mendeskripsikan lingkungan tindakan yang dimiliki oleh cerita rakyat
Kanum Sota, dan cara mengenalkan pelaku cerita rakyat kanum Sota.
Manfaat dari penelitian morfologi cerita rakyat Kanum Sota
ini merupakan upaya penggalian dan pelestarian kebudayaan daerah yang
sangat penting, guna menunjang dan mengembangkan pengajaran bahasa dan sastra
daerah tersebut, saat ini disebut sebagai muatan lokal dalam kurikulum
pendidikan. Selain itu, juga sangat penting bagi Pemerintah Kabupaten
Merauke dan Provinsi Papua sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan.
Bagi
masyarakat Kanum Sota, hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi pemicu bagi generasi penerus untuk
lebih mencintai hasil sastra lisan mereka sendiri. Selain itu, dapat dijadikan
sebagai identitas dan kebanggaan dalam
menyonsong pembangunan, khususnya di Papua. Penelitian ini diharapkan pula
dapat menjadi media informasi dan refleksi nilai-nilai kehidupan masyarakat Kanum
Sota. Dalam lingkup yang lebih luas penelitian ini diharapkan dapat
mengembangkan dan memperkaya khazanah kajian sastra.
Orang Kanum Sota tinggal di kampung Sota, Distrik
Sota, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua tepatnya berada pada 08o25.413’ LS dan 141o00.316’ BT yang
berada di daerah perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini. Orang Kanum menuturkan bahasa
Kanum. Karena terletak di kampong Sota maka bahasa mereka disebut dengan Kanum
Sota. Bahasa ini termasuk dalam kategori filum Trans Nugini, Trans-Fly-Sungai
Bulaka dan Hulu Sungai Maro. Jumlah penutur bahasa Kanum Sota sekitar 100 orang
(SIL, 2006: 42). Nama lain dari bahasa
Kanum Sota adalah Enkelembu, Ngkalembu, Galembu Kairer, atau Kenume.
Mata pencaharian
orang Kanum Sota adalah sebagai
peramu, berburu, menangkap
ikan, dan melakukan kegiatan pertanian tradisional. Sistim
kekerabatan dalam adat orang Kanum berdasarkan paham
Patrilineal (Mengikuti garis keturunan Ayah/Laki-laki). Kepemimpinan orang Kanum merupakan kepemimpinan
kolektif laki-laki berwibawa (pakas yekel).
TEORI
Landasan teori
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori naratif struktural Vladimir
Propp. Teori fungsi Vladimir Propp ini dapat diterapkan untuk dongeng yang
dikumpulkan pada cerita rakyat Tobati karena dongeng bersifat universal dan
memiliki banyak fungsi. Hal yang
terpenting dalam penelitian ini adalah predikat (aksi atau tindakan) yang
disebut dengan fungsi, tidak peduli siapa subjek dan objeknya. Unsur yang tetap
adalah perbuatan sedangkan unsur yang berubah adalah pelaku dan penderita. Jika
tindakan itu diganti dengan tindakan lain, maka fungsinya akan berubah, tetapi
jika yang diganti adalah pelaku dan penderitanya, maka tidak akan mempengaruhi
perubahan fungsi.
Propp mengembangkan teori yang berasal dari konsep
formalisme Rusia yang berhubungan dengan dengan alur dari peristiwa atau aksi.
Propp menggunakan pendekatan yang bergerak dari etik menuju pendekatan emik
terhadap struktur naratif. Propp lebih menekankan perhatiannya pada motif
naratif terpenting, yakni tindakan atau perbuatan (action). Tindakan tersebut dinamakan fungsi. Propp juga
mengemukakan bahwa yang terpenting adalah pelaku, bukan tokoh. Lebih tegasnya,
yang terpenting menurut Propp adalah tindakan pelaku yang terdapat dalam
fungsi. Fungsi adalah tindakan seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya
untuk jalannya suatu cerita. Tindakan ini mengikuti
sebuah perturutan yang masuk akal, dan meskipun tidak ada dongeng yang meliputi
semuanya, dalam tiap dongeng fungsi-fungsi itu selalu dalam urutan yang tetap
(Pradopo, 1996: 59).
Propp juga
menjelaskan bahwa suatu cerita pada dasarnya memiliki konstruksi. Konstruksi
yang terdiri atas motif-motif memiliki tiga unsur, yakni pelaku, perbuatan, dan
penderita. Ketiga unsur itu dapat dibagi menjadi dua, yakni unsur yang tetap
dan unsur tidak tetap. Unsur tetap adalah perbuatan dan unsur tidak tetapnya
adalah pelaku dan penderita. Menurutnya, unsur yang terpenting adalah unsur
yang tetap.
Propp adalah tokoh
strukturalis pertama yang melakukan kajian serius terhadap struktur naratif,
sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi fabula dan sjuzhet. Propp
memandang sjuzhet sebagai tema bukan
alur seperti yang dipahami oleh kaum formalis. Menurutnya, motif merupakan
unsur yang penting sebab motiflah yang membentuk tema. Sjuzhet atau cerita dengan demikian hanyalah produk dari
serangkaian motif. Motif dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: pelaku,
perbuatan, dan penderita. Ketiga motif ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu
perbuatan sebagai unsur yang stabil, yang tidak tergantung dari siapa yang
melakukan dan unsur yang tidak stabil dan bisa berubah-ubah, yaitu pelaku dan
penderita. Menurut Propp, yang terpenting adalah unsur yang tetap (perbuatan)
yaitu fungsi itu sendiri (Suwondo:2011 )
Vladimir Propp (1975:
21-24) membuat satu kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang ia lakukan
terhadap seratus dongeng cerita rakyat Rusia yang ia sebut dengan fairytale. Adapun kesimpulan tersebut
adalah:
1)
Unsur yang tetap dan tidak berubah dalam
sebuah dongeng bukanlah motif atau pelaku, melainkan fungsi (terlepas dari
sikap pelaku yang menduduki fungsi);
2)
Jumlah fungsi dalam dongeng terbatas;
3)
Urutan fungsi dalam dongeng selalu sama;
dan
4)
Jika dilihat dari segi struktur, maka
semua dongeng hanya mewakili satu tipe.
Yobee (2006:13-14)
mendukung Propp dengan mengelompokkan fungsi dalam sebuah dongeng menjadi tiga
puluh satu fungsi. Untuk mempermudah pembuatan skema, seperti halnya Propp, ia
memberi tanda atau lambang khusus pada setiap fungsi. Adapun fungsi dan
lambangnya adalah sebagai berikut.
No.
|
Fungsi
|
Lambang
|
1.
|
Absentation =
ketiadaan
|
β
|
2.
|
Interdiction = larangan
|
γ
|
3.
|
Violation =
pelanggaran
|
δ
|
4.
|
Reconnaissance =
pengintaian
|
ε
|
5.
|
Delivery =
penyampaian (informasi)
|
ζ
|
6.
|
Fraud = penipuan
(tipu daya)
|
η
|
7.
|
Complicity =
keterlibatan
|
θ
|
8.
|
Villainy =
kejahatan
|
A
|
8a.
|
Lack =
kekurangan (kebutuhan)
|
A
|
9.
|
Mediation, the connective incident =
perantaraan,
peristiwa penghubung
|
B
|
10.
|
Beginning countraction = penetralan (tindakan) dimulai
|
C
|
11.
|
Departure =
keberangkatan (kepergian)
|
|
12.
|
The first function of the donor = fungsi pertama donor (pemberi)
|
D
|
13.
|
The hero’s reaction = reaksi
pahlawan
|
E
|
14.
|
Provition or receipt of a magical agent =
penerimaan
unsur magis (alat sakti)
|
F
|
15.
|
Spacial translocation =
perpindahan (tempat)
|
G
|
16.
|
Struggle =
berjuang, bertarung
|
H
|
17.
|
Marking =
penandaan
|
J
|
18.
|
Victory =
kemenangan
|
I
|
19.
|
The initial misfortune or lack is liquidated =
Kekurangan
(kebutuhan) terpenuhi
|
K
|
20.
|
Return =
kepulangan (kembali)
|
|
21.
|
Pursuit, chase =
pengejaran, penyelidikan
|
Pr
|
22.
|
Rescue =
penyelamatan
|
Rs
|
23.
|
Unrecognised arrival = datang
tak terkenali
|
O
|
24.
|
Unfounded claims = tuntutan
yang tak mendasar
|
L
|
25.
|
The difficult task = tugas
sulit (berat)
|
M
|
26.
|
Solution =
penyelesaian (tugas)
|
N
|
27.
|
Recognition =
(pahlawan) dikenali
|
Q
|
28.
|
Exposure =
penyingkapan (tabir)
|
Ex
|
29.
|
Transfiguration =
penjelmaan
|
T
|
30.
|
U
|
|
31.
|
Wedding =
perkawinan (dan naik tahta)
|
W
|
Menurut Propp dalam Taum (2011: 132) ketigapuluhsatu fungsi itu dapat didistribusikan ke
dalam lingkaran atau lingkungan tindakan (speres
of action) tertentu. Ada tujuh lingkungan tindakan yang dapat dimasuki oleh
fungsi-fungsi yang tergabung secara logis, yaitu (1) villain = lingkungan aksi penjahat; (2) donor, provide = lingkungan aksi donor, pembekal; (3) helper = lingkungan aksi pembantu; (4) the princess and her father = lingkungan
aksi putri dan ayahnya; (5) dispatcer
= lingkungan aksi perantara (pemberangkat); (6) hero = lingkungan aksi pahlawan; dan (7) false hero = lingkungan aksi pahlawan palsu. Melalui tujuh
lingkungan tindakan (aksi) itulah frekuensi kemunculan pelaku dapat dideteksi
dan cara bagaimana watak pelaku diperkenalkan dapat diketahui.
Propp (dalam
Suwondo, 2011:56) juga mengemukakan bahwa setiap dongeng atau cerita tidak
selalu mengandung semua fungsi itu karena banyak dongeng yang ternyata hanya
mengandung beberapa fungsi. Fungsi-fungsi itulah, berapa pun jumlahnya,
membentuk kerangka pokok cerita.
METODE
Penelitian ini
termasuk penelitian kualitatif
dengan menggunakan metode deskriptif
dan teori struktural.
Metode deskriptif adalah
cara pelukisan data dan
analisis dalam kritik
sastra sebagaimana adanya (Endraswara, 2013: 176).
Teori struktural memandang
bahwa karya sastra
adalah sebuah struktur yang
kompleks dan terdiri atas unsur-unsur yang bersistem dan saling menentukan sehingga
unsur-unsurnya harus diuraikan
agar dapat dianalisis. Penguraian struktur
tersebut dilakukan dengan
menggunakan naratologi
Vladimir Propp. Berdasarkan
teori naratologi Vladimir
Propp, langkah-langkah yang
dilakukan adalah menentukan
fungsi cerita, menggambarkan skema berdasarkan
fungsi-fungsi yang ditemukan
dalam cerita, dan menentukan lingkaran tindakan yang
terdapat dalam cerita.
HASIL DAN PEMBAHASAN
RINGKASAN CERITA RAKYAT KANUM SOTA (POHON WARAK POHON SUKU
BANGSA)
Zaman dahulu kala di sebuah hutan yang
sangat lebat di daerah yang bernama Kesul, hiduplah seorang pemuda bernama
Kanggo. Ia hidup bersama dua ekor anjing dalam sebuah befak (rumah yang dindingnya terbuat dari pelepah sagu dan atapnya
terbuat dari daun sagu). Ia tinggal seorang diri karena ia adalah orang pertama
yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di daerah tersebut.
Pada suatu hari,
Kanggo hendak pergi berburu karena
persediaan makanan pada hari itu telah habis. Kanggo memanggil kedua ekor
anjingnya untuk diajak berburu. Setelah memanggil berulang kali, Galembu dan
Garowetu tidak muncul-muncul juga. Akhirnya Kanggo
mencari di sekitar befak. Namun,
setelah sekian lama mencari dan tidak menemukan kedua ekor anjingnya Kanggo memutuskan untuk tidak berburu.
Hari itu Kanggo hanya makan sagu
bakar tanpa ada lauk.
Anjing
yang dulu setia kini telah membangkang dan menolak diajak berburu karena telah
kenyang. Sebagai anjing yang setia ia telah melanggar kesetiaannya pada Kanggo
karena mencari makan di tempat lain tanpa sepengetahuan Kanggo.
Ternyata tanpa
sepengetahuan Kanggo, dua ekor
anjingnya setiap pagi pergi ke hutan sendiri dan mendapatkan berbagai makanan
yang berasal dari sekitar pohon warak
(nibung) yang berukuran sangat besar. Dari dalam pohon itulah Galembu dan
Garowetu memperoleh makanan yang berupa kotoran manusia, sisa makanan, sagu,
tulang-tulang yang masih terbalut sedikit daging yang telah dibakar.
Setelah
kejadian beberapa hari itu, pagi-pagi sekali Kanggo bangun dan mulai mengamati kedua ekor anjingnya yang masih
tidur. Tidak lama kemudian, kedua anjing itu terbangun dan segera berlari
menuju pohon warak yang berada di
tengah hutan. Kanggo segera mengikuti
kedua anjingnya sambil berlari.
Kanggo
segera berangkat untuk mengikuti kedua
anjingnya sambil berlari. Nggarembu dan Garowetu mengetahui kalau sedang
diikuti tuannya. Maka ia berlari dengan cepat dan meninggalkan Kanggo jauh di belakang. Kemudian dua anjing itu segera berhenti untuk
menunggu Kanggo.
Nggarembu
dan Garowetu mengetahui kalau sedang diikuti tuannya. Maka ia berlari dengan
cepat dan meninggalkan Kanggo jauh di
belakang. Kemudian dua anjing itu segera
berhenti untuk menunggu Kanggo.
Kedua
ekor anjing itu sebenarnya ingin memberitahukan kepada tuannya mengenai
keberadaan pohon warak yang berisi
manusia tersebut. Itulah saat yang paling tepat menurut berdua anjing itu.
Kanggo berlari
kencang menuju befaknya untuk
mengambil peralatan perang, busur, panah, dan tombak. Kanggo tidak lupa menghias diri dengan memberikan pewarna pada
wajah dan tubuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa Kanggo tengah marah dan bersiap untuk berperang. Setelah selesai
mempersiapkan diri dengan sempurna, Kanggo
kembali menuju hutan untuk membuat perhitungan dengan orang-orang yang ada
di dalam pohon warak.
Kanggo
kemudian mendekat dan mengintip ke dalam pohon. Ternyata pohon warak itu seperti gedung bertingkat,
tiap tingkat dihuni oleh kelompok orang yang memiliki bahasa berbeda.
Setelah
merasa yakin bahwa yang berada di dalam pohon Warak adalah orang, Kanggo kemudian mulai menebang pohon
Warak itu dengan menggunakan kapak batu (mbasum).
Ayunan kapak yang sangat kuat mengakibatkan timbulnya lubang yang cukup dalam.
Selain itu ayunan kapak Kanggo ternyata juga mengenai tulang kering salah
seorang penghuni pohon Warak, dan menimbulkan luka gores yang cukup dalam.
Pemilik kaki itu ternyata kepala dusun di ruas pertama pohon Warak yakni marga
Ndiken. Hingga saat ini tulang kering marga Ndiken yang merupakan keturunan
kepala dusun juga memiliki luka gores yang sama. Kanggo terus menebang pohon
Warak itu hingga tumbang dengan mudah.
“Jumlah
kalian banyak sekali. Selain itu kalian juga terdiri dari beberapa suku bangsa yang
berbeda. Tempat ini tidak cukup jika dihuni dengan jumlah yang banyak ini. Aku
tidak ingin kelak terjadi perselisihan mengenai hak ulayat dan perebutan
makanan karena sempitnya tempat tinggal. Untuk itu aku menyarankan kepada
kalian agar mencari tempat tinggal yang baru.
Setelah
mendengarkan kata-kata dan pesan Kanggo, para penghuni rumah pohon itu pun
meninggalkan rumah pohon nibung. Mereka hidup menyebar sesuai wilayah pembagian.
“Kalian, orang-orang yang tinggal di pohon paling bawah, kamu satu bahasa
dengan aku maka kamu boleh tinggal bersamaku di wilayah ini!”, kata Kanggo sambil menunjuk pasangan yang
tinggal di pohon paling bawah yang ternyata adalah Ndiken tuan tanah dan
pemilik ulayat Galembu.
ANALISIS
FUNGSI PELAKU
Dalam analisis ini, khusus mengenai
fungsi-fungsi pelaku, yang disajikan adalah definisi pokoknya saja yang
disertai lambang dan ringkasan isi cerita. Sajian ringkasan isi cerita
dimaksudkan sebagai penjelas fungsi. Adapun hasil analisis fungsi dalam cerita rakyat
Kanum Sota yang berjudul Pohon Warak Pohon Suku Bangsa dengan menggunakan teori
Vladimir Propp dapat diidentifikasi
(0)
Situasi
Awal (lambang: µ )
Zaman dahulu kala di sebuah hutan
yang sangat lebat di daerah yang bernama Kesul, hiduplah seorang pemuda bernama
Kanggo. Ia hidup bersama dua ekor anjing dalam sebuah befak (rumah yang dindingnya terbuat dari pelepah sagu dan atapnya
terbuat dari daun sagu). Ia tinggal seorang diri karena ia adalah orang pertama
yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di daerah tersebut.
(1) kekurangan, kebutuhan (lambang: a)
Pada suatu hari, Kanggo hendak pergi berburu karena
persediaan makanan pada hari itu telah habis. Kanggo memanggil kedua ekor
anjingnya untuk diajak berburu. Setelah memanggil berulang kali, Galembu dan
Garowetu tidak muncul-muncul juga. Akhirnya Kanggo
mencari di sekitar befak. Namun,
setelah sekian lama mencari dan tidak menemukan kedua ekor anjingnya Kanggo memutuskan untuk tidak berburu.
Hari itu Kanggo hanya makan sagu
bakar tanpa ada lauk.
(2) pelanggaran
(lambang: d)
Anjing yang dulu
setia kini telah membangkang dan menolak diajak berburu karena telah kenyang.
Sebagai anjing yang setia ia telah melanggar kesetiaannya pada Kanggo karena
mencari makan di tempat lain tanpa sepengetahuan Kanggo.
(3)
perantaraan,
peristiwa penghubung (lambang: B)
Ternyata tanpa
sepengetahuan Kanggo, dua ekor
anjingnya setiap pagi pergi ke hutan sendiri dan mendapatkan berbagai makanan
yang berasal dari sekitar pohon warak
(nibung) yang berukuran sangat besar. Dari dalam pohon itulah Galembu dan
Garowetu memperoleh makanan yang berupa kotoran manusia, sisa makanan, sagu,
tulang-tulang yang masih terbalut sedikit daging yang telah dibakar.
(4)
pengintaian
(lambang: e)
Setelah
kejadian beberapa hari itu, pagi-pagi sekali Kanggo bangun dan mulai mengamati kedua ekor anjingnya yang masih
tidur. Tidak lama kemudian, kedua anjing itu terbangun dan segera berlari
menuju pohon warak yang berada di
tengah hutan. Kanggo segera mengikuti
kedua anjingnya sambil berlari.
(5)
keberangkatan (kepergian) (lambang: )
Kanggo segera berangkat untuk mengikuti kedua anjingnya sambil berlari.
Nggarembu dan Garowetu mengetahui kalau sedang diikuti tuannya. Maka ia berlari
dengan cepat dan meninggalkan Kanggo
jauh di belakang. Kemudian dua anjing
itu segera berhenti untuk menunggu Kanggo.
(6)
penyampaian
(informasi) (lambang: x)
Nggarembu dan
Garowetu mengetahui kalau sedang diikuti tuannya. Maka ia berlari dengan cepat
dan meninggalkan Kanggo jauh di
belakang. Kemudian dua anjing itu segera
berhenti untuk menunggu Kanggo.
(7) fungsi pertama donor (pemberi) (lambang: D)
Kedua ekor
anjing itu sebenarnya ingin memberitahukan kepada tuannya mengenai keberadaan
pohon warak yang berisi manusia
tersebut. Itulah saat yang paling tepat menurut berdua anjing itu.
(8)
penetralan
(tindakan) dimulai (lambang: C)
Kanggo berlari kencang menuju befaknya untuk mengambil peralatan perang, busur, panah, dan
tombak. Kanggo tidak lupa menghias
diri dengan memberikan pewarna pada wajah dan tubuhnya. Hal ini menggambarkan
bahwa Kanggo tengah marah dan bersiap
untuk berperang. Setelah selesai mempersiapkan diri dengan sempurna, Kanggo kembali menuju hutan untuk
membuat perhitungan dengan orang-orang yang ada di dalam pohon warak.
(9)
penyingkapan
(tabir) (lambang: Ex)
Kanggo kemudian mendekat dan mengintip ke dalam pohon.
Ternyata pohon warak itu seperti
gedung bertingkat, tiap tingkat dihuni oleh kelompok orang yang memiliki bahasa
berbeda.
(10) reaksi pahlawan (lambang: E)
Setelah merasa
yakin bahwa yang berada di dalam pohon Warak adalah orang, Kanggo kemudian mulai menebang pohon Warak itu dengan menggunakan
kapak batu (mbasum). Ayunan kapak
yang sangat kuat mengakibatkan timbulnya lubang yang cukup dalam. Selain itu
ayunan kapak Kanggo ternyata juga mengenai tulang kering salah seorang penghuni
pohon Warak, dan menimbulkan luka gores yang cukup dalam. Pemilik kaki itu
ternyata kepala dusun di ruas pertama pohon Warak yakni marga Ndiken. Hingga
saat ini tulang kering marga Ndiken yang merupakan keturunan kepala dusun juga
memiliki luka gores yang sama. Kanggo terus menebang pohon Warak itu hingga
tumbang dengan mudah.
(11) penyelesaian (tugas) (lambang: N)
“Jumlah kalian
banyak sekali. Selain itu kalian juga terdiri dari beberapa suku bangsa yang
berbeda. Tempat ini tidak cukup jika dihuni dengan jumlah yang banyak ini. Aku
tidak ingin kelak terjadi perselisihan mengenai hak ulayat dan perebutan
makanan karena sempitnya tempat tinggal. Untuk itu aku menyarankan kepada
kalian agar mencari tempat tinggal yang baru.
(12) perpindahan (tempat) (lambang: G)
Setelah mendengarkan kata-kata dan
pesan Kanggo, para penghuni rumah pohon itu pun
meninggalkan rumah pohon nibung. Mereka hidup menyebar sesuai wilayah pembagian.
“Kalian, orang-orang yang tinggal di pohon paling bawah, kamu satu bahasa
dengan aku maka kamu boleh tinggal bersamaku di wilayah ini!”, kata Kanggo sambil menunjuk pasangan yang
tinggal di pohon paling bawah yang ternyata adalah Ndiken tuan tanah dan
pemilik ulayat Galembu.
STRUKTUR CERITA
Jika cerita tentang Pohon
Warak Pohon Suku Bangsa disusun dalam bentuk skema, kerangka
cerita yang membentuk strukturnya akan tampak seperti berikut.
(µ) d B e x D C Ex E N G (X)
Setelah unsur-unsur penting serta unsur-unsur
penjelasnya ditunjukkan (lihat fungsi-fungsi pelaku di atas), dapatlah
ditemukan pola-pola tertentu dalam cerita Pohon Warak Pohon Suku Bangsa.
Menurut Propp (1975: 92), satu cerita (komponen) tertentu dapat ditandai oleh
satu perkembangan atau pergerakan yang dimulai dari kejahatan atau kekurangan
(kebutuhan) dan diakhiri dengan penyelesaian atau terpenuhinya kekurangan
(kebutuhan) setelah melalui fungsi-fungsi perantaraan. Oleh karena itu, dengan
mencermati fungsi-fungsi pelaku seperti telah disebutkan di atas, secara
keseluruhan (tale as a whole) cerita Pohon
Warak Pohon Suku Bangsa dapat dipolakan seperti berikut.
I.
a . . . . . . . . . . . B
Adalah pengenalan tokoh Kanggo yang merasa
kebutuhan sehari-harinya belum terpenuhi secara maksimal. Selain meramu sagu, menangkap
ikan, berburu juga merupakan mata pencaharian Orang Kanum Sota. Pemenuhan
kebutuhan sehari-hari berupa daging ini dapat terpenuhi dengan cara berburu
menggunakan dua ekor anjingnya. Kedua anjingnya membangkang dan melanggar
kesetiaan pada tuannya. Pelanggaran ini merupakan penyebab terjadinya
peristiwa-peristiwa selanjutnya dan menggiring ke lingkaran kedua yaitu isi
cerita.
II.
e . . . . . . . . . . . Ex
Pada tahap ini adalah masa
ketika Kanggo melakukan perjalanan untuk menyelidiki apa yang membuat anjing
pemburunya menjadi pemalas dan mengakibatkan kebutuhan sehari-harinya tidak
terpenuhi. Hingga pada saat terungkap bahwa kedua anjingnya kekenyangan karena
telah memakan kotoran dan sisa makanan yang berasal dari penghuni pohon Warak
yang berada di hutan galembu. Pohon Warak (Nibung dalam bahasa Papua umumnya)
atau enau dalam bahasa Indonesia banyak tumbuh di dataran rendah serta berawa
seperti di kampung Sota saat ini.
III.
E . . . . . . . . . . . G
Pada pola yang
terakhir ini menggambarkan bahwa perjuangan Kanggo untuk mengungkap tabir dan
menyelesaikan masalah dapat berhasil tanpa terjadinya tindakan represif. Ini
berarti merupakan cerita yang berakhir dengan happy ending. Hingga saat
ini ada tiga marga yang yang menghuni kampung Sota yakni Ndiken, Ndimar, dan
Mbanggu. Marga-marga ini sebenarnya tersebar di seluruh tanah Merauke namun
pada perkembangannya ketiga marga ini berubah menyesuaikan bahasa yang
digunakan oleh penutur yang ikut berpindah dari pohon Warak. Misalnya marga
Ndimar akan berubah menjadi Sanggra di bahasa Kanum Smarki di kampung Rawa
Biru, dan berubah menjadi Gebze ketika dipakai dalam bahasa Marind.
DISTRIBUSI
FUNGSI DI KALANGAN PELAKU
Menurut Propp (1975: 79--80), tiga puluh satu fungsi
yang menjadi kerangka pokok cerita atau dongeng rakyat itu dapat
didistribusikan ke dalam tujuh lingkaran tindakan (speres of action). Jadi, setiap lingkaran
(lingkungan) tindakan dapat mencakupi satu atau beberapa fungsi. Dalam Cerita
Rakyat Pohon Warak Pohon Suku Bangsa terdapat tiga jenis pelaku yang dapat
diuraikan sebagai berikut.
1.
B3 adalah lingkungan aksi
perantara
2.
D7 adalah lingkungan aksi donor (pembekal)
3.
C8 dan E10 adalah lingkungan aksi
pahlawan
CARA-CARA PENGENALAN PELAKU
Berdasarkan pengamatan secara cermat terhadap cerita Pohon
Warak Pohon Suku Bangsa diperoleh beberapa model atau cara
pengenalan pelaku seperti di bawah ini. Pelaku yang dimaksudkan adalah perantara,
pembekal, dan pahlawan.
Tokoh perantara diperkenalkan
melalui orang-orang yang tinggal di dalam pohon Warak yang terdiri dari
beberapa suku bangsa yang berada di kabupaten Merauke saat itu. Cerita tentang
Pohon Warak Pohon Suku Bangsa tersebar hampir di seluruh suku bangsa yang
berada di Merauke, walaupun dituturkan dengan versi yang berbeda-beda.
Tokoh pembekal dalam cerita
ini diperkenalkan pada dua ekor anjing bernama Nggarembu dan Garowetu. Hingga
saat ini orang Kanum Sota masih memakai jasa anjing untuk berburu di hutan. Selain
itu, mereka juga percaya bahwa anjing-anjing yang ada saat ini adalah keturunan
dari kedua anjing itu.
Tokoh pahlawan yang bernama
Kanggo digambarkan sebagai sosok yang gagah perkasa. Ia mewakili gambaran sosok
kepemimpinan orang Kanum yang menganut sistem kepemimpinan pria berwibawa. Ia
berhasil menyelesaikan masalah tanpa ada petumpahan darah dan mengakhiri
konflik dengan akhir yang mengembirakan. Hingga saat ini, orang-orang yang
merasa masih memiliki pertalian darah langsug pada Kanggo selalu memberi nama
anak mereka dengan nama Kanggo. Kanggo Ndimar.
PENUTUP
Dari seluruh pembahasan di depan, akhirnya dapat diambil beberapa
simpulan sebagai berikut. Ditinjau dari sisi fungsi-fungsi pelaku, cerita Pohon
Warak Pohon Suku Bangsa dibentuk oleh kerangka cerita yang terdiri
atas dua belas fungsi. (µ) d B e x D C Ex E N G (X). Jumlah dua belas fungsi
itu sendiri jika diklasifikasikan berdasarkan lingkungan aksinya maka terdiri
atas lingkungan aksi perantara, lingkungan
aksi donor (pembekal), dan lingkungan aksi pahlawan.
Dilihat dari distribusi
fungsi di kalangan pelaku, dapat dinyatakan bahwa tokoh yang menduduki tokoh
utama adalah Kanggo dan dua ekor anjingnya. Selain itu, semua pelaku dalam
cerita diperkenalkan secara wajar dan logis, dalam arti tidak ada unsur
kebetulan. Padahal, unsur-unsur semacam itu biasanya banyak muncul dalam cerita
atau dongeng-dongeng rakyat. Sebagai hasil dari pola pikir masyarakat setempat
maka cerita rakyat dengan judul Pohon Warak Pohon Suku Bangsa ini dapat dijadikan
sebagai salah satu rujukan tentang asal mula persebaran suku-suku di Kabupaten
Merauke.
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia
Ilmu Gosip dan
Dongeng. Jakarta: Graffiti Press.
Dongeng. Jakarta: Graffiti Press.
Dharmojo, dkk. 1998. Sastra Lisan Ekagi. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
dan Pengembangan Bahasa.
Endraswara, Suwardi.
2013. Metodologi Kritik
Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Peday, Ayub. dkk. 2013.
Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Malind. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Merauke.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995.
Beberapa Teori dan Metode Kritik Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Propp, Vladimir. 1975. Morphology
of the folktale. Austin, London: University of Texas Press.
Samkakai, Frumensius Obe, dkk. 2013. Tanah Malind, Suatu pendekatan Pemetaan Budaya Suku Bangsa. Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Merauke.
Suwondo, Tirto. 2011. Studi
Sastra: Konsep Dasar, Teori, dan Penerapannya pada Karya Sastra. Yogyakarta:
Gama Media.
Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi
Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode dan Pendekatan Disertai Contoh
Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera
Wawancara Daud Ndimar
(Tokoh Adat Suku Kanum Sota), tanggal
24 Maret 2015.
Yobee, Andreas. 2006. Struktur
Cerita Rakyat dalam Kehidupan Masyarakat Suku Mee Papua: Penerapan Teori
Vladimir Propp. Lombok: Arga Fuji Press.
No comments:
Post a Comment