Dahulu kala marga Arwakon tinggal di Pulau Sandidori Kepulauan Padaido. Nenek
moyang marga Arwakon berasal dari pulau
Warakon, di Wasior
Teluk Wondama. Ribuan tahun yang lalu mereka bermigrasi ke Kepulauan Padaido,
tepatnya pulau Sandidori. Ada sebuah cerita yang menyebabkan mereka berpindah
lagi ke Sofyaref atau Opiaref. Ketika itu ada seorang pemuda yang bernama Mariar.
Ia merupakan salah satu pemuda bermarga Arwakon yang kuat dan perkasa. Ia pandai berburu dan menangkap ikan di laut menggunakan
tombak ikan yang terbuat dari serat pohon Nibung yang kuat dan keras. Dalam
bahasa biak tombak ikan ini dinamakan adun.
Mariar dan keluarga besar Arwakon hidup serba berkecukupan. Alam
menyediakan segalanya. Ketika mereka hendak makan sagu, di alam telah tersedia
sagu yang berlimpah. Hendak makan ikan, laut dipenuhi dengan berbagai jenis
ikan yang berlimpah.
Suatu hari terdengar kabar dari pulau tetangga yaitu
pulau Wundi bahwa Marga Rumakito mengadakan sasi
sen terhadap anak gadisnya. sasi sen adalah
suatu kegiatan untuk meminggit pemuda atau pemudi di sebuah rumah yang ditutup
rapat. pemuda atau pemudi yang di-sasi
sen tinggal di dalam rumah dan masih menggunakan selubung yang terbuat
tikar pandan yang dibentuk seperti kotak berukuran dua kali dua meter persegi.
Hal ini bertujuan agar orang yang di-sasi
sen tidak dapat berkomunikasi atau berhubungan dengan orang lain dan sebaliknya
orang lain tidak pula dapat berhubungan dengan orang yang di-sasi sen. Tak seorang pun boleh
berhubungan dengan orang yang di-sasi sen.
Mandi, makan, dan buang hajat semua dilakukan di tempat pelaksanaan sasi sen.
Segala keperluan sehari-hari telah disediakan oleh kedua orang tuanya. Hanya
ibunya saja yang boleh mengantar makanan pada pemuda atau pemudi yang di-sasi sen. Lama pelaksanaan sasi sen bergantung pada kesanggupan
keluarga untuk membiayai anak yang di-sasi
sen. Pada zaman itu rumah-rumah berada
di atas laut berupa rumah panggung sehingga mandi dan buang hajat dapat
dilakukan dengan mudah menggunakan air laut.
Kabar tentang gadis Rumakito yang di-sasi sen terdengar pula hingga pulau Sandidori. Kabar yang terbawa
angin tersebut terdengar pula sampai ke telinga pemuda yang bernama Mariar. Seketika
itu pula terbersit dalam benak Mariar untuk melihat gadis Rumakito yang di-sasi sen. Gejolak muda Mariar menuntunnya
untuk mendatangi rumah yang dijadkan tempat yang berada di seberang pulau
Sandidori. Untuk mencapai pulau Wundi, Mariar menuggu malam dan saat terjadi
air surut besar yang dalam bahasa Byak biasa disebut wampasi. Ketika terjadi wampasi
air laut benar-benar surut. Air hanya mencapai batas mata kaki saja. Pulau
Sandidori dan pulau Wundi yang terpisah pada saat air pasang kini bagaikan
daratan yang menyatu. Dibantu oleh pekatnya malam dan air wampasi Mariar berhasil mendekati pulau Wundi. Setelah mencari-cari
beberapa saat akhirnya Mariar menemukan rumah yang dijadikan tempat sasi sen gadis Rumakito. Mariar memanjat
rumah itu dan masuk melalui atap rumah yang terbuat dari anyaman daun sagu.
Gadis Rumakito sangat terkejut mengetahui bahwa ia telah kedatangan tamu yang
tak diundang. Ia ingin menjerit agar kedua orang tuanya tahu bahwa ada orang
yang masuk tempat sasi sen. Namun ia
sadar bahwa ia sedang menjalani sasi sen tak seorang pun boleh tahu apa yang
sedang terjadi pada dirinya. Akhirnya ia pasrah menerima keadaan. Terlebih lagi
ketika Mariar mencarkan jurus rayuan gombalnya. Jatuhlah gadis Rumakito tak
berkutik lagi dalam pelukan Mariar.
Di
keesokan paginya ibu gadis Rumakito datang untuk mengantarkan makanan dan
minuman untuk anak gadisnya yang tercinta. Ibunya memasukkan makanan dan
minuman itu melalui celah yang sengaja dibuat untuk itu. Tugas mengantarkan
makanan telah dilakukan, ia kemudian segara meninggalkan rumah tempat anak
gadisnya di-sasi sen. Gadis Rumakito
segera berbagi makanan itu dengan pemuda Mariar yang semalam telah
mengunjunginya. Makanan dan minuman itu habis tandas disikat keduanya.
Hari-hari berikutnya makanan yang diantar ibu gadis Rumakito selalu habis
bersih. Hingga pada hari keempat ibunya mengantar makanan ibunya mulai curiga.
Sebelumnya anak gadisnya tidak pernah menghabiskan makanan dan minuman yang
dikirim. Namun kini semua makanan dan minuman yang dikirimnya habis. Pasti ada
orang lain yang tinggal bersama anak gadisnya. Ibu gadis Rumakito tidak berani
mengatakan hal ini pada siapapun. Aturan adat yang mengatur bahwa apapun yang
terjadi padi orang yang di-sasi sen
tidak boleh melihat atau menceritakan pada orang lain kecuali meninggal dunia.
Pepatah
Jawa mengatakan bahwa witing tresno
jalaran saka kulina dan hal ini terjadi pula pada gadis Rumakito dan Mariar.
Beberapa bulan kemudian gadis Rumakito hamil. Perubahan fisik yang terjadi pada
dirinya membuat ia panik. Perutnya yang awalnya rata kini mulai membuncit.
Sebelumnya setiap bulan ia mendapatkan menstruasi kini sudah tidak lagi. Ia
lalu mengatakan perubahan dirinya pada Mariar. Mariar tidak panik ia lalu
meminta gadis pujaan hatinya untuk mengatakan pada ibunya esok untuk membawa
duri pohon jeruk, arang, dan minyak kelapa. Selain itu ia juga meminta pada
gadis Rumakito untuk menyimpan duri ikan Samandar yang tajam. Setelah semua
bahan tersedia lalu Mariar menato seluruh tubuh gadis Rumakito menggunakan
alat-alat yang telah dibawa ibu si gadis. Ia mulai menato kaki, badan, tangan,
dan kepalanya. Setelah menato seluruh tubuhnya ia meminta gadis pujaan hatinya
untuk menato tubuh serupa dengan tato yang ada di tubuh gadis Rumakito. Gadis
Rumakito bertanya mengapa badan keduanya harus ditato. Mariar mengatakan bahwa
dengan menato tubuh dengan corak yang sama maka orang akan tahu jika itu
merupakan tanda bahwa telah ada orang yang tinggal bersamanya di tempat sasi sen.
Genap
sudah Mariar dan gadis Rumakito tinggal bersama di tempat sasi sen. Esok pagi sasi sen
akan dibuka dengan sebuah pesta adat yang sangat meriah. Pada malam sebelumnya Mariar
telah meninggalkan rumah sasi sen. Ia
berjanji akan datang lagi setelah pesta adat dilangsungkan. Enam bulan dalam
rumah sasi sen telah membuat rupa dan
bentuk badan Mariar dan gadis Rumakito berubah. Semula badan yang berkulit
gelap kini berubah menjadi kuning langsat. Mariar berubah menjadi semakin
tampan ditambah lagi dengan hiasan tato yang merata di sekujur badan. Hari
penentuan untuk membuka sasi sen
telah berlansung masyarakat Rumakito yang berada di pulau Wundi mengadakan
pesta besar. Ketika rumah sasi sen
dibuka, mereka sangat terkejut mendapati bahwa gadis yang di-sasi sen telah berbadan dua. Badan yang
semula bersih kini penuh dengan ukiran tato yang indah. Pesta buka sasi sen dibatalkan. Tua-tua adat marga
Rumakito marah besar mengetahui hal ini. Ia memerintahkan semua marga Rumakito
tua muda besar kecil untuk mencari tahu siapa yang telah menodai acara adat
ini.
Sementara
itu, Mariar kembali ke Sandidori. Perubahan pada tubuhnya membuat orang
terheran-heran. Ke mana saja ia selama ini. Mengapa tubuhnya kini menjadi lebih
terang dan dipenuhi dengan tato. Masyarakat Arwakon mulai menduga-duga dan
mencari tahu. Tato yang berada di tubuh Mariar ini pasti berhubungan dengan
sesuatu. Jika tato pada tubuh Mariar sampai pada alat vitalnya, ini berbarti
bahwa tato itu akan ada pasangannya pada alat vital perempuan yang dijadikan
teman tidur. Untuk membuktikan ini para tua-tua adat lalu membuatlan cawat (manduwam) khusus dipakai pada acara munara wampasi untuk Mariar. Jika pada
umumnya manduwam diikat dengan tali
rotan yang kuat. Maka khusus untuk Mariar manduwam-nya
diikat dengan tali yang tebuat dari
kulit pohon Anfa. Kulit kayu ini
sebenarnya kuat jika dijadikan bahan membuat noken namun harus melalui proses yang panjang. Jika langsung dipakai
maka tali yang terbuat dari kulit pohon Anfa
mudah putus.
Pada
air pasang ikan-ikan masuk dalam perangkap jaring yang terbuat dari serat akar
pandan yang disebut mandin. Ketika
air surut besar (wampasi) maka
ikan-ikan akan terjaring dan tidak bisa keluar lagi. Jutaan ikan sudah
terjaring dalam mandin. Masyarakat
sudah bersiap-siap untuk ber-munara wampasi. Ikan yang paling digemari pada
saat munara wampasi ialah ikan insrowen. Ikan
ini dikenal dengan ikan yang sangat gesit dan kemampuan renang yang luar biasa
cepat. Siapa saja berkeinginan untuk mendapatkan ini. Semua orang sudah berdiri
mengelilingi mandin seolah-olah
memagari ikan. Demikian pula dengan Mariar ia juga sudah siap dengan adun-nya. Dalam jutaan ikan itu
nampaklah ikan insrowen yang sangat besar menggelapar-gelepar dengan gagahnya.
Setelah mendapat aba-aba dari tua-tua adat semua orang siap untuk ber-munara wampasi. Masyarakat Arwakon lalu serentak memasuki arena munara wampasi ikan yang diincar adalah ikan insrowen yang memesona. Gerakan
orang-orang menjadi tertahan ketika mereka melihat Mariar berlari mengejar ikan
insrowen yang paling besar tadi.
Seketika itu pula orang-orang menyingkir dan kembali ke pinggir untuk
menyaksikan Mariar yang sedang beraksi. Mariar dengat kecepatan yang luar biasa
mengejar ikan insrowen yang berenang
di air dangkal di antara jutaaan ikan lainnya. Ketika ia sudah berada di jarak
yang sangat dekat, ketika ia hendak mengayunkan adun-nya ke arah ikan insrowen
di depan matanya. Seketika itu pula tali manduwam
yang tebuat dari kulit kayu anfa putus.
Tebukalah alat vital Mariar yang juga sudah bertato. Seketika itu pula semua
orang berteriak.
“Woo . . ., Mariar, Mariar. Itu dia
Mariar yang telah mendatangi sasi sen gadis Rumakito dan menghamilinya.”
Kabar
tentang terungkapnya kelakuan Mariar yang sedang ber-munara wampasi dengan
cepat tersebar hingga pulau Wundi tempat marga Rumakito bermukim. Marga
Rumakito segera mempersiapkan perang dengan marga Arwakon. Perahu-perahu besar,
busur, dan anak panah telah disiap siagakan. Mereka segera menghubungi marga
Arwakon untuk menyampaikan bahwa marga Rumakito menantang perang marga Arwakon.
Keesokan harinya masyarakat Rumakito mengarahkan pasukan perangnya menuju suatu
tempat yang diantara pulau Wundi dan pulau Sandidori. Pasukan perang Marga
Rumakito berhenti pada suatu tempat yang bernama Nondeks. Demikian juga dengan pasukan perang marga Arwakon mereka juga
menuju tempat pertempuran yang dinamakan Auksaks. Kedua tempat ini sangat tepat untuk berperang. Jarak bidik
anak panah sudah sesuai dengan sasaran bidik. Setelah kedua belah pihak yang
bermusuhan telah siap maka marga Rumakito melancarkan serangan terlebih dahulu.
Ribuan anak panah dibidikkan ke arah marga Arwakon. Ada bebarapa marga Arwakon
yang telah menjadi korban. Peperangan ini berlangsung hingga matahari naik
beberapa tombak. Ketika marga Arwakon hendak membalas membidik ke arah marga
Rumakito, cahaya matahari yang sudah naik beberapa tombak menghalangi pandangan
mata mereka. Akhirnya perang dihentikan untuk beberapa saat. Ketika matahari
sudah condong ke arah barat kini giliran marga Arwakon yang membidikkan ribuan
anak panah ke arah marga Rumakito. Jatuh pula beberapa korban jiwa. Ketika
warga Rumakito hendak membalas membidik silau matahari sore menghalangi
pandangan mata mereka. Akhirnya pada sore hari perang dihentikan dan
dilanjutkan esok hari. Masing-masing pihak menderita kerugian materi dan jiwa.
Sebelum pulang ke pulau masing-masing, mereka mengumpulkan anak panak yang
berhamburan di laut, perahu, dan bahkan yang menancap pada jasad korban
peperangan. Jumlah anak panak itu ribuan. Keesokan harinya perang dilanjutkan.
Kejadian perang berlangsung seperti hari sebelumnya. Begitu pula dengan perang
di hari ketika. Akhirnya kedua belah pihak yang bertikai sepakat untuk
menghentikan perang.
Perang
telah usai, namun kejadian tidak berhenti sampai di sini. Masyarakat Rumakito
kembali ke Wundi dan masyarakat Arwakon ke Sandidori. Setelah sampai Wundi
masyarakat Rumakito memutuskan untuk pergi dan membubarkan diri. Perkampungan
marga Rumakito di pulau Wundi bubar. Banyak di antara mereka pergi ke pulau Yapen.
Perang ini menyebabkan janji Mariar pada gadis Rumakito tidak terlaksana.
Perang menyebabkan penderitaan. Mariar kembali ke Sandidori. Sesampai di
Sandidori terjadi lagi sebuah peristiwa yang menyebabkan persebaran marga yang
tinggal di Sandidori. Ada seorang perempuan dari marga Rumbraibab bernama Abura menaruh hati pada Mariar dan keluarganya
meminang Mariar. Mariar menolak pinangan ini. Penolakan Mariar membuat Abura
patah hati dan memanjat pohon nimpa yang sangat tinggi. Ia ingin mengakhiri
hidupnya karena cintanya telah ditolak Mariar. Keluarga Abura mengantisipasi
tubuh yang jatuh dari atas pohon dengan menyiapkan tikar pandan yang disusun
berlapis-lapis hingga tebalnya setinggi orang dewasa di sekitar pohon binpa. Ketika Abura melompat dan jatuh,
ternyata tikar pandan tidak mampu menahan tubuh Abura yang meluncur deras dari
atas pohon. Tubuh Abura terhempas keras menembus tikar pandan dan mengenai
karang di bawah tikar. Abura tewas seketika. Setelah peristiwa ini warga
Rumbraibab meninggalkan pulau Sandidori. Mereka menetap di sebuah tempat di
kepulauan Yapen bernama Karawi. Ada juga yang menuju pulau Byak dan menetap di Sofyaref. Begitu pula
dengan marga Arwakon mereka juga meninggalkan Sandidori. Mereka menetap di
Sofyaref. Ketika mereka tiba di daratan pulau Byak mereka menjejakkan kaki dan
mengatakan Sofyaref. Saya sudah menginjak tanah ini.
Lain
lagi dengan Mariar, ia tidak tinggal di Sofyaref tetapi ia terus melanjutkan
perjalanan menuju dataran pulau Byak yang berbukit-bukit. Di suatu tempat yang
bernama Sepse, Mariar bertemu dengan
marga Mandosa, marga Inggamer, marga Morin, dan marga Kafdir. Namun berdarsarkan perkembangan waktu marga Kafdir mulai
punah di kampung Sofyaref. Di kampung Sepse ada sebuah tempat yang berawa
dengan ditumbuhi banyak sekali pohon sagu. Mariar tinggal beberapa waktu di
kampung Sepse. Lalu ia memutuskan untuk pulang ke Sofyaref dengan mengajak
serta keempat marga itu. Di Sofyaref keempat marga ini tidak menemukan sagu
yang banyak tumbuh di Sepse. Hal ini membuat hati dan perasaan mereka selalu
teringat pada kampung halaman. Untuk mengobati kerinduan pada sagu dan kampung
halaman keempat marga ini kembali ke Sepse untuk mengambil bibit sagu untuk
ditanam di Sofyaref. Mereka mengira sagua dapat tumbuh di pantai seperti tumbuh
di rawa-rawa kampung Sepse. Mereka lalu menanam sagu di pesisir pantai yang
sedang wampasi. Ketika air pasang dan
ombak datang semua tanaman sagu itu habis tergulung ombak. Oleh karena itu
mereka menamakan tempat menanam sagu itu dengan suwanggara artinya laut
tidak baik. Sejak saat itu mereka
menamakan selat yang menghubungkan antara Sofyaref dengan pulau sandidori di
Kepulauan Padaido dengan nama selat Suwanggara.
Demikianlah
kisah tentang marga Arwakon. Sejak saat itu marga Arwakon menetap di kampung
Sofyaref. Persebaran Marga Arwakon mulai dari Wasior, Kakur di Yapen, Pulau Numfor,
Sowek Biak Barat, Pulau Sandidori di Kepulauan Padaido, dan Indoki di Manokwari.