Hari itu 21 April 2010, kami (Sis dan Erni) memulai perjalaan untuk menjelajahi rimba Asmat. Perjalanan kami ke Asmat bukanlah jalan-jalan biasa tetapi merupakan perjalanan untuk mengunjungi saudara saudara kita yang berada di pedalaman Asmat, selain itu juga merupakan perjalanan untuk melakukan kegiatan pengumpulan data kebahasaan dan kesastraan untuk pemetaan bahasa-bahasa yang ada di Papua. Perjalanan menuju Asmat harus melalui Timika atau Merauke, karena belum ada penerbangan langsung dari Jayapura-Asmat. Pukul 07.49 sudah berada di Bandara Sentani.
Perjalanan ke asmat harus ditempuh menggunakan alat transportasi udara karena jalan darat belum ada, maspakai Merpati (ada juga Garuda) adalah pilihan kami karena lebih murah. Harga tiket Jayapura-Timika Rp1.632.000,00 per orang. Perjalanan menuju asmat ditempuh sekitar 55 menit pada ketinggian 30.000 kaki di atas permukaan laut. Selama dalam perjalanan mata disuguhi dengan warna hijau hutan rimba yang terbentang dari Jayapura hingga Timika.
Ketika pesawat mulai terbang rendah di atas kota Timika, sebuah sungai yang sangat besar dengan air yang berwarna keruh “nescafe” memanjang di bagian utara Kota Timika. Di sepanjang daerah aliran sungai besar itu tidak satupun tumbuhan yang dapat hidup. Setalah terlihat dari dekat ternyata aliran sungai itu berasal dari “tailling” PT Freeport yang mengandung merkuri. Jika dilihat dari bungan yang luar biasa itu tentu kita bisa membayangkan berapa juta m3 galian yang dibuang di seungai ini setiap hari.
Hari pertama di kota Timika kami pergunakan untuk mencari penginapan dan informasi bagaimana cara menuju kota Asmat.
Dari informasi yang kami dapatkan, ada dua cara yang dapat kami gunakan untuk menempuh perjalan ke Asmat. Yang pertama, melalui laut, akan tetapi harus menunggu jadwal kapal laut seminggu sekali dan tentu saja pilihan pertama tidak kami ambil karena harus menunggu satu minggu lagi. Cara yang kedua yaitu menggunakan transportasi udara. Ada dua maskapai yang melayani rute Timika-Asmat yaitu Mimika Air dan Merpati. Kami memilih merpati kembali karena lumayan besar yakni pesawat twin otter, dengan jumlah penumpang enam belas orang sedangkan Mimika Air berupa pesawat jenis caravan dengan penumpang sembilan orang. Harga tiket kapal laut Rp240.000,00 hal ini tidak sebanding dengan harus menunggu satu minggu jadwal dengan sewa penginapan Rp350.000,00 jika dibandingkan dengan harga tiket pesawat twin otter merpati yang seharga Rp1.235.000,00.
Perjalanan ke Asmat dari Timika ditempuh dalam waktu 45 menit. Pesawat terbang rendah di atas sungai dan rawa-rawa yang berada di belantara Asmat. Setelah sampai di lapangan terbang Asmat yang berada di Ewer kami merasa heran karena lapter tersebut terbuat dari tikar baja yang dihampar di atas tanah payau, sehingga ketika musim hujan atau air pasang lapter ini tidak dapat digunakan karena terendam air.
Kami menyangka kota Asmat berada di Ewer atau dekat dengan lapter ini, ternyata untuk sampai ke Kota Asmat kami harus naik speedboat selama 25 menit.
Pada pukul 11.30 kami tiba di dermaga kota Asmat, tetapi kami harus berjalan kaki lagi untuk mencapai kota Asmat yang sesungguhnya melalui jalan yang berlumpur…..
Setelah berjalan lima belas menit sampailah kami di kota Asmat. Kami segera mencari penginapan
Kami berfoto di depan Kantor Bupati Asmat
Peninapan kami
Bersambung…..
sungguh sangat panas banget kota asmat tuh, susah air, ayam beku entah dah brp bulan di frezzer..hehehe...tp pengalaman yg seru slma setahun dsana....
ReplyDeletesaya juga pernah kerja dsana selama 1th...dan susah senang pun sudah saya lalui..mulai g ada air slama sebulan, panasnya kota agats...dll...tp seru sih walau jauh dari merauke..hehehhe...
ReplyDeletegileee,,, melelahkan yaaa ampun
ReplyDeletegileee melelagkan
ReplyDeleteAsmat, ibarat tanah yang terkutuk tetapi terberkati...
ReplyDelete