(Diceritakan Kembali Oleh: Monika Toto)
Pada suatu malam di dalam rumah karwari, ada suatu biya yang dalam bahasa kami disebut yobe-yobe, yaitu bulan yang bulat besar. Dia itu datangnya dari laut lalu naik ke darat sekitar tengah malam.
Malam itu dia naik ke rumah karwari dan dia mendapati banyak pemuda di dalamnya. Pemuda itu berjumlah 24 orang. Mereka yang menurut hukum adat dibenahi dan dipersiapkan untuk hidup berkeluarga, mengatur dan memimpin kampung, dan lain-lain sebagainya. Sebagai calon ondoafi, mereka dididik supaya nanti bisa menjadi seorang ondoafi yang baik. Malam itu, biya itu menelan rumah karwari itu dan semua pemuda yang ada di dalamnya. Terus dia terjatuh ke dalam laut.
Lalu ada seorang janda yang rumahnya di dekat rumah karwari tadi. Sewaktu janda itu mendengar bunyi biya itu terjatuh, dia segera memberitahukan hal itu kepada semua penduduk di kampung. Biya yang tadi tenggelam di laut itu tiba-tiba muncul di Pantai Holtekam. Di Pantai itu hidup sepasang raksasa, raksasa perempuan dan raksasa laki-laki. Biya itu bertemu dengan raksasa yang perempuan. Karena raksasa laki-laki sedang berada di hutan mencari nafkah untuk keluarganya. Raksasa perempuan menemui Biya yang ada di Pantai Holtekam sambil membawa kayu besi yang besar. Raksasa menghantam Biya itu sampai jatuh dan pecah. Lalu muncullah 23 orang pemuda dari dalam Biya itu. Raksasa perempuan tahu bahwa Raksasa pasti akan marah melihat pemuda-pemuda itu kalau nanti dia pulang dari hutan. Sehingga Raksasa Perempuan itu menyembunyikan pemuda-pemuda itu di sudut-sudut rumahnya. Dia pun menutup mereka supaya tidak kelihatan oleh siapapun.
Akhirnya Raksasa Laki-Laki pulang. Ternyata dia mencium bau badan manusia. Lalu dia bertanya kepada istrinya, ”Ibu, kamu simpan apa di dalam rumah ini? Saya mencium sepertinya ada bau manusia”. Tapi sang istri menjawab, ”ah, tidak ada. Saya tidak menyimpan apa-apa di dalam rumah”.
Setelah berhari-hari tinggal di rumah itu, akhirnya pemuda-pemuda tadi sudah mulai mengerti bahwa mereka sebenarnya berada dalam genggaman tangan raksasa. Sehingga pemuda-pemuda ini mulai membuat sebuah rencana supaya mereka bisa segera kembali.
Lalu mereka mencoba membuat alasan kepada Ibu Raksasa itu. Mereka minta izin supaya bisa membuka lahan untuk berkebun. Tapi mereka bukannya berkebun, tetapi mereka malah menyiapkan perahu untuk dipakai kembali ke tempat asal mereka. Sebagian saja yang berkebun, sedangkan yang lain membuat perahu. Ketika perahu dan dayung mereka sudah siap, mereka lalu memasukkan batu-batu ke atas perahu itu. Batu-batu itu dipersiapkan untuk menyerang sang Raksasa kalau Raksasa itu mengejar mereka nanti. Mereka juga melumuri minyak pada pohon-pohon kelapa supaya batangnya licin, kecuali pohon yang terdapat sarang lebah.
Mereka kemudian menyuruh Ibu Raksasa itu yang membakar kebun. Pada saat itulah mereka berencana untuk kembali. Lalu mereka juga membakar rumah raksasa itu, arangnya bekas pembakaran itu terbang sampai membakar tubuh Raksasa itu. Lalu Raksasa Laki-Laki keheranan melihat peristiwa itu dari jauh. Pemuda-pemuda itu sudah mulai mendayung perahu dari Pantai Holtekam menuju ke Ormu. Raksasa Laki-Laki tadi tiba di kampung dan mendapati rumahnya sudah habis terbakar, lalu perahu pemuda-pemuda itu dia pecahkan. Setelah dia pecahkan, dia bentuk lagi menjadi perahu yang bagus.
Pemuda-pemuda yang ada di atas perahu mulai menyerang Raksasa itu dengan lemparan batu. Tapi sang raksasa ini terus mengejar perahu pemuda-pemuda itu. Namun tidak berhasil-berhasil juga. Peristiwa itu terus terulang-ulang, perahu pemuda-pemuda itu timbul tenggelam dari Pantai Holtekam sampai Tanjung Arkojasa. Raksasa itu juga tenggelam di laut dan akhirnya pemuda-pemuda itu bisa sampai di kampung dengan selamat. Di dekat Tanjung itu ada dua buah bongkahan batu yang menyerupai sebuah gigi geraham besar dan sebuah gigi geraham kecil. Konon, itulah gigi geraham raksasa tadi yang terjatuh ketika dia mengejar perahu pemuda-pemuda tadi. Gigi geraham besar yang jatuhnya di laut itu milik raksasa laki-laki, sedangkan gigi geraham kecil yang jatuhnya di dekat darat itu milik raksasa perempuan. Biasanya kalau orang-orang kampung mendapatkan teteruga (penyu) jantan, mereka memberi isyarat dari atas batu di laut itu. Sedangkan kalau teteruga (penyu) betina, mereka memberi isyarat dari atas batu di dekat darat itu.
Wednesday, January 26, 2011
Perjalan Menembus Belantara Asmat 1
Hari itu 21 April 2010, kami (Sis dan Erni) memulai perjalaan untuk menjelajahi rimba Asmat. Perjalanan kami ke Asmat bukanlah jalan-jalan biasa tetapi merupakan perjalanan untuk mengunjungi saudara saudara kita yang berada di pedalaman Asmat, selain itu juga merupakan perjalanan untuk melakukan kegiatan pengumpulan data kebahasaan dan kesastraan untuk pemetaan bahasa-bahasa yang ada di Papua. Perjalanan menuju Asmat harus melalui Timika atau Merauke, karena belum ada penerbangan langsung dari Jayapura-Asmat. Pukul 07.49 sudah berada di Bandara Sentani.
Perjalanan ke asmat harus ditempuh menggunakan alat transportasi udara karena jalan darat belum ada, maspakai Merpati (ada juga Garuda) adalah pilihan kami karena lebih murah. Harga tiket Jayapura-Timika Rp1.632.000,00 per orang. Perjalanan menuju asmat ditempuh sekitar 55 menit pada ketinggian 30.000 kaki di atas permukaan laut. Selama dalam perjalanan mata disuguhi dengan warna hijau hutan rimba yang terbentang dari Jayapura hingga Timika.
Ketika pesawat mulai terbang rendah di atas kota Timika, sebuah sungai yang sangat besar dengan air yang berwarna keruh “nescafe” memanjang di bagian utara Kota Timika. Di sepanjang daerah aliran sungai besar itu tidak satupun tumbuhan yang dapat hidup. Setalah terlihat dari dekat ternyata aliran sungai itu berasal dari “tailling” PT Freeport yang mengandung merkuri. Jika dilihat dari bungan yang luar biasa itu tentu kita bisa membayangkan berapa juta m3 galian yang dibuang di seungai ini setiap hari.
Hari pertama di kota Timika kami pergunakan untuk mencari penginapan dan informasi bagaimana cara menuju kota Asmat.
Dari informasi yang kami dapatkan, ada dua cara yang dapat kami gunakan untuk menempuh perjalan ke Asmat. Yang pertama, melalui laut, akan tetapi harus menunggu jadwal kapal laut seminggu sekali dan tentu saja pilihan pertama tidak kami ambil karena harus menunggu satu minggu lagi. Cara yang kedua yaitu menggunakan transportasi udara. Ada dua maskapai yang melayani rute Timika-Asmat yaitu Mimika Air dan Merpati. Kami memilih merpati kembali karena lumayan besar yakni pesawat twin otter, dengan jumlah penumpang enam belas orang sedangkan Mimika Air berupa pesawat jenis caravan dengan penumpang sembilan orang. Harga tiket kapal laut Rp240.000,00 hal ini tidak sebanding dengan harus menunggu satu minggu jadwal dengan sewa penginapan Rp350.000,00 jika dibandingkan dengan harga tiket pesawat twin otter merpati yang seharga Rp1.235.000,00.
Perjalanan ke Asmat dari Timika ditempuh dalam waktu 45 menit. Pesawat terbang rendah di atas sungai dan rawa-rawa yang berada di belantara Asmat. Setelah sampai di lapangan terbang Asmat yang berada di Ewer kami merasa heran karena lapter tersebut terbuat dari tikar baja yang dihampar di atas tanah payau, sehingga ketika musim hujan atau air pasang lapter ini tidak dapat digunakan karena terendam air.
Kami menyangka kota Asmat berada di Ewer atau dekat dengan lapter ini, ternyata untuk sampai ke Kota Asmat kami harus naik speedboat selama 25 menit.
Pada pukul 11.30 kami tiba di dermaga kota Asmat, tetapi kami harus berjalan kaki lagi untuk mencapai kota Asmat yang sesungguhnya melalui jalan yang berlumpur…..
Setelah berjalan lima belas menit sampailah kami di kota Asmat. Kami segera mencari penginapan
Kami berfoto di depan Kantor Bupati Asmat
Peninapan kami
Bersambung…..
Perjalanan ke asmat harus ditempuh menggunakan alat transportasi udara karena jalan darat belum ada, maspakai Merpati (ada juga Garuda) adalah pilihan kami karena lebih murah. Harga tiket Jayapura-Timika Rp1.632.000,00 per orang. Perjalanan menuju asmat ditempuh sekitar 55 menit pada ketinggian 30.000 kaki di atas permukaan laut. Selama dalam perjalanan mata disuguhi dengan warna hijau hutan rimba yang terbentang dari Jayapura hingga Timika.
Ketika pesawat mulai terbang rendah di atas kota Timika, sebuah sungai yang sangat besar dengan air yang berwarna keruh “nescafe” memanjang di bagian utara Kota Timika. Di sepanjang daerah aliran sungai besar itu tidak satupun tumbuhan yang dapat hidup. Setalah terlihat dari dekat ternyata aliran sungai itu berasal dari “tailling” PT Freeport yang mengandung merkuri. Jika dilihat dari bungan yang luar biasa itu tentu kita bisa membayangkan berapa juta m3 galian yang dibuang di seungai ini setiap hari.
Hari pertama di kota Timika kami pergunakan untuk mencari penginapan dan informasi bagaimana cara menuju kota Asmat.
Dari informasi yang kami dapatkan, ada dua cara yang dapat kami gunakan untuk menempuh perjalan ke Asmat. Yang pertama, melalui laut, akan tetapi harus menunggu jadwal kapal laut seminggu sekali dan tentu saja pilihan pertama tidak kami ambil karena harus menunggu satu minggu lagi. Cara yang kedua yaitu menggunakan transportasi udara. Ada dua maskapai yang melayani rute Timika-Asmat yaitu Mimika Air dan Merpati. Kami memilih merpati kembali karena lumayan besar yakni pesawat twin otter, dengan jumlah penumpang enam belas orang sedangkan Mimika Air berupa pesawat jenis caravan dengan penumpang sembilan orang. Harga tiket kapal laut Rp240.000,00 hal ini tidak sebanding dengan harus menunggu satu minggu jadwal dengan sewa penginapan Rp350.000,00 jika dibandingkan dengan harga tiket pesawat twin otter merpati yang seharga Rp1.235.000,00.
Perjalanan ke Asmat dari Timika ditempuh dalam waktu 45 menit. Pesawat terbang rendah di atas sungai dan rawa-rawa yang berada di belantara Asmat. Setelah sampai di lapangan terbang Asmat yang berada di Ewer kami merasa heran karena lapter tersebut terbuat dari tikar baja yang dihampar di atas tanah payau, sehingga ketika musim hujan atau air pasang lapter ini tidak dapat digunakan karena terendam air.
Kami menyangka kota Asmat berada di Ewer atau dekat dengan lapter ini, ternyata untuk sampai ke Kota Asmat kami harus naik speedboat selama 25 menit.
Pada pukul 11.30 kami tiba di dermaga kota Asmat, tetapi kami harus berjalan kaki lagi untuk mencapai kota Asmat yang sesungguhnya melalui jalan yang berlumpur…..
Setelah berjalan lima belas menit sampailah kami di kota Asmat. Kami segera mencari penginapan
Kami berfoto di depan Kantor Bupati Asmat
Peninapan kami
Bersambung…..
Subscribe to:
Posts (Atom)