Wednesday, November 12, 2014

ASAL MULA RAJA AMPAT (KALANA FAT) MENURUT SUKU WAWIYAI

Narasumber Adam Gaman (Penjaga Situs Batu Telur (Kapatna), Keturunan Alyab Gaman)
Wawancara tanggal 25 September 2014
Diceritakan kembali oleh Siswanto, S.Pd.

Pada zaman dahulu di Pulau Waige dihuni oleh empat suku, yaitu suku Kawe yang terletak di bagian sebelah barat pulau Waige hingga ke kepulauan Wayag. Suku Wawiyai terletak di Teluk Kabui Waige Selatan. Suku Laganyan terletak di teluk Manyalibit sisi bagian barat. Suku Ambel menempati teluk Manyalibit sisi bagian timur dan sebelah timur pulau Waige. keempat suku yang berada di pulau Waige ini menguunakan satu bahasa yang di sebut ma’ya. Ma’ya berarti satu bahasa tetapi memiliki empat dialek yang berbeda berdasarkan jumlah suku. Di Teluk Kabui tepatnya di Kali Raja hiduplah kelompok suku Wawiyai yang terdiri dari beberapa marga. Terdapat sembilan marga yang hidup di bagian hulu hingga muara kali Raja. Mereka itu antara lain adalah Marindal, Gaman, Waiganyom, Galipin, Feey, Gamso, Kapatlot, Kapatsai, dan Gimla. Kesembilan marga hidup di sisi seberang kali raja membentuk sebuah perkampungan yang asri. Di sisi seberang yang lain terdapat sebuah rumah yang dihuni oleh seorang pemuda bernama Alyab Gaman. Di sisi seberang sungai ini berupa tebing yang curam sehingga tidak memungkinkan dihuni oleh banyak orang. Itulah sebabnya Alyab Gaman hidup seorang diri. Meskipun ia hidup terpisah dari marga yang lain namun hubungan di antara mereka terjalin sangat harmonis.
            Pada suatu hari yang terik Alyab Gaman pergi ke hutan untuk berburu melalui tepian Kali Raja. Ketika ia hampir sampai pada suatu bagian kali yang terdapat sebuah pulau yang berada di tengah kali. Gerimis mulai turun dari sebuah awan kecil di atas langit Kali Raja. Siang itu begitu terik, ketika gerimis turun maka secara otomatis pelangi akan muncul menghiasi langit sekitar Kali Raja. Pelagi  itu muncul dengan unjung pelagi mencapai pulau yang berada di tengah Kali Raja dan pangkal pelangi berada di atas langit di balik awan. Bersamaan dengan itu turunlah tujuh bidadari untuk mandi di tepian pulau di tengah Kali Raja yang airnya sangat jernih. Ketujuh bidadari yang baru saja turun dari langit itu merupakan tujuh bersaudara yang berparas sangat cantik. Ketujuh bidadari itu turun dari negeri kayangan untuk mandi di kali yang berbentuk telaga dengan pulau kecil berada di tengah kali. Karena berbentuk telaga itulah maka tempat mandi para bidadari itu dinamakan waige. Enam bidadari mandi dengan meletakkan pakaian dan selendang di tengah pulau. Bidadari bungsu mandi dengan meletakkan pakaian dan selendangnya di tepi kali.
            Sementara itu, Alyab Gaman yang sedang menyusuri tepi kali semakin dekat dengan bagian kali yang terdapat pulau di tengahnya. Tiba-tiba Alyab Gaman melihat sesuatu yang aneh di aliran air kali yang megalir deras. Ada cairan seperti minyak yang tidak dapat larut dengan air tercetak jelas di aliran kali. Setelah itu, mengalir pula kulit jeruk dengan jumlah yang agak banyak turut hanyut mengitu aliran minyak kulit jeruk. Alyab Gaman semakin penasaran. Ia segera mempercepat langkahnya, dari balik rimbun semak-semak ia memencoba untuk mengintip dan menyimak sumber suara yang berasal dari tepi pulau di tengah kali. Ternyata ada tujuh perempuan yang tengah mandi di kali sambil mencuci rambut mereka dengan menggunakan buah jeruk yang tumbuh di pinggir kali Raja. Enam orang di tepi pulau dan satu lagi di tepian kali di dekat persembunyian Alyab Gaman. Seumur hidupnya, belum pernah Alyab Gaman melihat perempuan yang sangat cantik seperti perempuan yang tengah mandi di telaga itu.
Enam bidadari yang tengah mandi di tepi pulau tengah kali mencium bau tubuh manusia. Bidadari memiliki indra penciuman yang sangat peka terhadap bau manusia. Keenam bidadari itu segera keluar dari sungai dan segera berlari ke tengah pulau untuk mengambil pakaian dan selendang. Setelah mengenakan pakaian keenam biddari itu segera naik ke kayangan menggunakan titian pelangi tadi dengan melupakan si bidadari bungsu. Bidadari bungsu yang tengah asyik mandi tidak menyadari bahwa ada orang yang mengintip dan telah ditinggalkan oleh keenam saudaranya. Ia baru sadar ketika ada suara laki-laki yang menegurnya. Si Bidadari Bungsu sangat terkejut dan takut. Ia hendak mengambil pakaian dan selendangnya yang berada di tepi kali. Ia mengurungkan niatnya karena ia menyadari bahwa ia tengah telanjang bulat dan ada laki-laki yang tengah memperhatikannya. Ia melihat ke tengah pulau. Pelangi dan keenam saudara telah hilang. Dengan perasaan yang bercampur aduk Bidadari Bungsu tetap berendam di dalam sungai.
“Jangan takut, saya tidak akan berbuat jahat padamu. Kenalkan namaku Iyab Gaman. Saya berasal dari kampung di sekitar sungai ini.” kata Iyab Gaman.
“Namaku Boki Duna. Saya bidadari dari kayangan yang sedang mandi di telaga Waige ini. Tolong kembalikan pakaian dan selendang saya agar saya dapat kembali ke kayangan menyusul saudara-saudaraku.” kata  Boki Duna memelas.
“Saya tidak akan mengembalikan pakaian dan selendangmu sebelum engkau bersedia kujadikan sebagai istri” kata Alyab Gaman.
Bidadari Boki Duna dengan terpaksa akhirnya setuju menikah dengan Alyab Gaman karena ia merasa malu untuk keluar dari sungai tanpa mengenakan busana. Setelah Boki Duna dan Alyab Gaman menikah, mereka tinggal di rumah Alyab Gaman yang berada berseberangan dengan kampung masyarakat suku Wawiyai di tepi Kali Raja. Boki Duna mengharapkan mendapatkan keturunan dari hasil pernikahannya dengan Alyab Gaman, akan tetapi setelah sekian lama menikah mereka belum juga dianugerahi keturunan. Setelah lama termenung akhirnya Boki Duna ingat bahwa dirinya adalah bidadari yang memiliki mantra yang manjur untuk meminta atau melakukan segala sesuatu. Dengan menggunakan mantra ini ia ingin memperoleh keturunan dari perkawinannya dengan Alyab Gaman. Lalu Boki Duna merapal mantra pemberian kedua orang tuanya.
fun funa tisi ansapo morle subsui del mora pata utul buki maliyai kayangan bersulah molbe mafjadi yene akan jadi temcudel akan bukti (Ya Allah ya Tuhan kami, Engkau menciptakan langit dan bumi, tanah, laut, dan darat, benar Engkau menciptakan saya dari turunan jin, maka apa yang saya katakan mesti Engkau kabulkan) Setelah mantra ini dibaca oleh Boki Duna, maka dari kayangan turunlah sepasang ayam jantan dan betina. Kemudian, setelah sekian lama turun dari kayangan ayam betina bertelur di bawah pohon Cilako1 (Gaharu). Pohon Cilako hingga kini masih ada di Kampung Wawiyai. Pohon Cilako tidak bisa berkembang biak menjadi banyak. Setiap pohon Cilako tumbuh besar dan akhirnya mati maka akan tumbuh kembali pohon Cilako baru di tempat yang sama. Hingga saat ini pohon Cilako yang berada di Kampung Wawiyai merupakan generasi ketiga dari pohon Cilako.
Jumlah telur itu ada tujuh buah telur. Suatu hari Boki Duna hendak mengunjungi pasangan ayam yang turun dari kayangan itu. Ia beralasan pada suaminya untuk pergi ke kebun. Sesampai di bawah pohon Cilako, Ia melihat bahwa ayam betina telah bertelur tujuh butir. Kemudian Boki Duna merapal mantra agar ia memperoleh keturunan yang berasal dari tetasan telur ayam kayangan itu. Lalu ia membawa pulang ketujuh telur ke rumah. Ia tidak memberi tahu asal-usul telur yang ia bawa pulang pada suaminya, Alyab Gaman.
Sesampainya di rumah Boki Duna menaruh ketujuh telur itu di dalam piring. Lalu ia berkata pada suaminya, Alyab Gaman.
“Tadi sewaktu saya berada di kebun saya menemukan tujuh telur di bawah pohon Cilako”
“Telur apa?
“Telur ayam. Sepertinya itu berasal dari ayam yang biasanya kerkokok dan berkotek di sekitar pohon Cilako di tepi Kali Raja itu” kata Boki Duna menjelaskan.
“Ya, saya juga sering mendengar suaranya. Akan tetapi, saya tidak tahu dari mana ayam itu berasal. Lalu mengapa tidak Kau rebus saja untuk lauk kita makan malam ini? kata Alyab Gaman.
“Ah, besok saja kita rebus. Bukankah malam ini kita masih punya lauk dari hasil buruan tadi pagi? kata Boki Duna.
Keesokan harinya ketika mereka makan, Alyab Gaman menanyakan apakah telur yang didapat sudah direbus. Boki Duna selalu membuat alasan agar telur itu tidak dimasak. Baik berupa alasan lupa atau nanti saja merebusnya. Lama-kelamaan Alyab Gaman melupakan perihal telur yang didapat oleh Boki Duna. Hingga pada akhirnya, pada malam Jumat ada beberapa telur yang menetas. Jumlah yang menetas adalah lima butir telur. Ajaibnya, tetasan telur itu bukan berupa anak ayam melainkan anak manusia. Telur pertama yang menetas di beri nama Kalana Gewar. Kelak ketika dewasa ia menjadi raja di Pulau Waige. Telur kedua diberi nama Funtusan dan kelak akan menjadi raja di pulau Salawati. Lalu menetas yang ketiga diberi nama Melahaban dan kelak akan menjadi raja di Pulau Misool. Telur keempat menetas menjadi bayi diberi nama Kelemuri dan menjadi raja di Seram. Bayi yang berasal dari tetasan telur kelima diberi nama Fatagar kelak menjadi raja di Fakfak. Telur keenam menetas menjadi bayi berjenis kelamin perempuan dan diberi nama Pinthake. Telur ketujuh tidak menetas. Telur yang tidak menetas ini hingga sekarang masih ada dan dirawat dengan baik oleh suku Wawiyai di kampung Wawiyai di teluk Kabui.
Keenam bayi yang menetas dari sepasang ayam kayangan itu dibesarkan dengan kasih sayang oleh kedua orang tuanya Alyab Gaman dan Boki Duna. Selain itu, empat suku yang berada di pulau Waige (Wawiyai, Kawe, Langanyan, dan Ambel) juga turut memberikan andil yang besar dalam menjaga, mendidik, dan membesarkan keenam bayi ajaib tersebut hingga tumbuh menjadi dewasa. Keenam anak ini tidak pernah pergi jauh meninggalkan kali raja. Setelah dewasa, lima anak lelaki Alyab Gaman dan Boki Duna mencoba untuk bermain dan menjelajahi hulu kali hingga muara kali. Karena Pintake anak perempuan maka ia hanya bermain di sekitar rumah dan tidak ikut berpetualang dengan saudara laki-kainya. Berikut ini adalah kisah tentang petualangan kelima anak laki-laki Alyab Gaman. Kisah tentang Pinthake akan diceritakan berikutnya. Selain bermain mereka juga membantu kedua orang tua mereka dengan mencari ikan di kali Raja hingga muara kali bersama-sama dengan orang-orang kampung. Di muara kali Raja bagian selatan terdapat sebuah pulau kecil bernama Manyaifun. Di pulau Manyaifun terdapat dua tebing dengan rongga di bagian bawah berbentuk gua atau  menyerupai kamar. Bagian atas tebing menyatu sehingga membentuk bagian atap sebuah bangunan. Lantai gua berpasir putih dan bersih. Tempat ini juga digunakan untuk bermalam jika mereka tidak pulang ke hulu kali Raja kampung mereka. Mereka menyebutnya sebagai kamar raja (manyaifun) Sejak saat itulah pulau itu diberi nama pulau Manyaifun.Di pulau inilah keenam anak Alyab Gaman dan Boki Duna bermain, dan mencari ikan. Selain bermain di pulau Manyaifun mereka juga menjaga kelestarian sumber daya laut yang berada di sekitar pulau. Terumbu karang, ikan, dan seluruh makhluk hidup yang tinggal di sekitar pulau.  
Suatu ketika mereka sedang mencari ikan di beberapa gugusan pulau karst yang berada di sebelah barat jauh kali Raja. Mereka menemukan lima anak teteruga (tukik) yang baru menetas di pinggir pantai sebuah pulau. Kemudian mereka memelihara teteruga tersebut di suatu tempat berupa lorong gua yang bagian dalamnya terdapat sebuah cerukan kolam besar berisi air pasang surut laut. Tempat memelihara teteruga tersebut dinamakan tipselak (tempat memelihara buruan) Penyu telah tumbuh besar. Kelemuri mengusulkan untuk memakan teteruga mereka. Kelemuri mengusulkan untuk santapan pertama ini adalah teteruga milikya. Namun ia salah menikam teteruga milik kakak pertamanya Kalana Gewar. Teetruga yang ditikam itu tidak mati hanya terluka saja. Terjadilah pertengkaran antara keduanya. Saudara-saudara lainnya berusaha untuk melerai pertengkaran mulut itu.
“Sesama saudara jangan bertengkar, sudahlah. Teteruga ini kan bentuknya dan warnanya sama semua. Kita juga yang sama-sama memeliharanya.” Kata salah seorang dari kelima saudara ini.
“Iya. Tetapi kita dari awal sudah sepakat bahwa ini adalah milikku dan itu adalah milikmu. Jika sekarang Kelemuri menikam teteruga milikku berarti Dia sudah berbuat salah” kata Kalana Gewar.
“Baiklah sekarang mari kita bertaruh. Siapa sebenarnya pemilik penyu yang tertikam itu. Jika penyu yang tertikam itu bukan milikku, maka aku akan meninggalkan pulau ini dan aku tidak akan kembali selamanya bersama seluruh anak keturunan saya” kata Kelemuri.
 “Baiklah kalau begitu” kata Kalana Gewar.
Kemudian mereka membubuhkan tanda cap tangan keduanya masing-masing pada sebuah batu. Teteruga diletakkan agak jauh dari batu yang terdapat cap tangan. Jika teteruga itu menuju batu yang terdapat cap tangan Kalana Gewar, maka teteruga itu adalah milik Kalana Gewar tetapi jika sebaliknya maka teteruga itu adalah milik Kelemuri. Ternyata teteruga itu berjalan menuju batu yang terdapat cap tangan Kalana Gewar. Itu merupakan pertanda bahwa teteruga itu adalah milik Kalana Gewar. Tantangan dan sumpah telah terucap. Saudaranya yang lain tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dengan perasaan marah dan kecewa ia segera beranjak untuk pergi. Sebelum pergi ia ingin menunjukkan kesaktiannya pada saudara-saudaranya. Secara kebetulan saat itu bekal air tawar mereka telah habis. Maka berkatalah Kelemuri dengan suara yang lantang karena masih dipengaruhi oleh rasa kesal akibat kalah dalam bertaruh.
“Kita tahu saat ini telah kehabisan air tawar. Dahaga sudah tidak dapat ditahan lagi. Untuk mengambil ke kampung tidak mungkin dan di pulau ini juga tidak ada. Barang siapa mampu mendatangkan air tawar maka sesungguhnya dialah yang paling hebat” kata Kelemuri.
Keempat saudaranya sangat terkejut mendengar tantangan Kelemuri. Lalu mereka berusaha untuk menunjukkan kesaktiannya dengan mendatangkan air tawar. Satu persatu mencoba untuk mencari sumber air menggunakan mantra pemberian Boki Duna dan tidak ada yang berhasil mendatangkan air. Kalana Gewar, Funtusan, Melahaban, dan Fatagar menyerah. Berempat sepakat meminta Kelemuri untuk menunjukkan kemampuannya. Tanpa membuang-buang waktu Kelemuri mengajak keempat saudaranya menuju sebuah teluk kecil diantara gugusan pulau-pulau karst yang lokasinya tidak terlalu jauh dengan tipselak. Ketika telah sampai tempat yang dituju, Kelemuri bersiul dengan suara yang sangat nyaring kemudian ia menunjuk bukit berbatu di tepi teluk. Seketika itu pula memancarlah air tawar dari bukit berbatu itu. Sajak saat itu air yang keluar dari bukit batu di pulau Manyaifun itu disebut fuyu fun (air siul raja). Setelah itu Kelemuri berpamitan pada keempat saudaranya untuk pergi dari wilayah pulau besar Waige. Ia kemudian berlayar menuju Batan Layang atau Motumul Selen (daerah orang Seram) yang saat ini disebut dengan pulau Seram bersama beberapa orang pengikut setianya dari kampung di kali Raja. Semua keturunan Kelemuri tidak ada yang berani untuk menginjakkan kaki di pulau Waige hingga saat ini. Bahkan untuk memandang dari kejauhan saja ke arah pulau Waige mereka tidak berani. Jika mereka melanggar sumpah ini maka mereka akan menemui malapetaka bahkan dapat menyebabkan kematian.
Sebagai saudara kandung tentu mereka bersedih dengan adanya perpecahan dan perpisahan ini. Mereka sepakat untuk mengankat Funtusan sebagai pemimpin mereka menggantikan Kalana Gewar yang telah gugur hak anak sulungnya akibat bertengkar dengan Kelemuri. Oleh karena itulah ia disebut utusan atau funtusan yang berarti tempat mengambil keputusan. Ia juga merupakan pemimpin tertinggi di antara saudara-saudaranya yang menjadi raja. Segala keputusan yang diambil harus melalui Funtusan. Mereka juga sepakat yang pertama untuk selalu berkunjung untuk menengok adik mereka di kali Raja, kecuali Kelemuri yang sudah terlanjur mengucapkan sumpah. Kedua mereka tetap menamakan pulau tempat kelahiran mereka dengan sebutan Waige. Ketiga mereka juga sepakat memberikan gelar penghormatan kepada empat suku yang selama ini telah membesarkan mereka dengan kasih dan sayang. Mereka memandang keempat suku ini (Wawiyai, Kawe, Laganyan, dan Ambel) memiliki jasa yang besar dalam mendidik dan merawat sewaktu kecil dahulu. Oleh karena itulah mereka memberi gelar kalana fat atau empat raja. Empat raja bukan berarti rajanya yang berjumlah empat akan tetapi  berasal dari empat suku yang berada di pulau Waige. Yang menjadi raja sesungguhnya adalah lima anak lelaki Alyab Gaman dan Boki Duna yakni Kelana Gewar, Funtusan, Melahaban, Kelemuri dan Fatagar. Kalana Fat atau Empat Raja hanyalah sebutan penghormatan bagi empat suku di pulau Waige. Sejak saat itulah istilah Empat Raja atau Raja Ampat digunakan untuk menyebut pulau-pulau di sekitar Waige.
Yang pertama sekali berpamitan untuk berpisah adalah Fatagar. Fatagar pergi berlayar ke pulau Umbati (umbati berasal dari dua kata um berarti satu tumpuk atau kelompok dan bati yang berarti batih atau kerabat) di daerah Fakfak yang kelak di kemudian hari ia dikenal dengan raja Fatagar.
“Saya akan mencari pulau yang terdekat dari Waige ini agar kelak masih dapat berhubungan dengan kerabat yang masih berada di Waige ini.” kata Melahaban.
Lalu Melahaban berlayar bersama pengikutnya ke suatu pulau yang bernama Batan Me yang berarti tanah merah. Ketika mereka berada di laut gelombang besar menghempas-hempaskan perahu mereka, ketika hampir sampai di Batan Me laut kembali menjadi tenang. Melihat ini, Melahaban bertanya pada pengikutnya menggunakan bahasa Ma’ya.
Mi sool to? Air sudah tenang kah?”
Mereka menjawab, “Ya, mi sool. Ya, air sudah tenang.”
Sejak saat itu pulau Batan Me lebih dikenal dengan sebutan Misool.
Funtusan pun serupa dengan Melahaban. Ia pegi namun tidak jauh dari Waige.
“Kita memang telah berselisih dan salah paham dan sepakat untuk berpisah namun saya tidak dapat pergi jauh dari tempat kelahiran saya di kali Raja yang kita cintai ini. Apalagi adik kita telur yang tidak menetas tinggal di kali Raja. Oleh karena itu maka saya akan pindah ke daerah yang penuh dengan tumbuhan bakau yang banyak terdapat kasim (siput). Kita boleh berpisah tetapi harus tetap berkunjung ke kali raja menengok adik kita.” kata Funtusan.
Banyaknya kasim yang hidup di daerah bakau dan Funtusan menyukai kasim ini untuk dimakan, maka tempat itu kemudian terkenal dengan sebutan Kasim Raja. Kasim Raja saat ini dikenal dengan sebutan Samate di pulau Salawati.
Hingga saat ini keturunan dari Funtusan tetap menjadi raja di Samate pulau Salawati. Ia membawahi tiga suku yang ada di Waige, yakni Kawe, Wawiyai dan Laganyan.
Kalana Gewar tetap mendiami pulau Waige. Ia hanya berpindah dari kali Raja ke suatu tempat yang bernama Lensok di mana ia akan menjadi raja bagi suku Ambel yang bermukim di Lensok. Setelah itu ia pindah lagi ke suatu tempat yang bernama Mumes di muara teluk Manyalibit. Ia menikah dengan perempuan yang berasal dari pulau Gebe bernama Boki Fathimah. Kalana Gewar mengajak iparnya yang bernama Kalana Wulut atau Raja Laut untuk turut serta ke Mumes. Ia menjadi raja bagi suku Ambel hingga akhir hayatnya. Setelah meninggal ia dikebumikan di Mumes. Hingga saat ini peninggalan Kalana Gewar yang masih ada selain makam beliau juga kursi singgasana dan bekas reruntuhan rumahnya.
Kita kembali lagi pada masa setelah perpisahan kelima anak laki-laki Alyab Gaman dan Boki Duna. Saat itu di kepulauan Maluku Utara tengah terjadi perang saudara yang disebut sebagai perang segitiga antara Ternate, Tidore, dan Jailolo. Perang segitiga bertujuan untuk memperebutkan daerah kekuasaan ketiga kerajaan ini yang meliputi maluku utara hingga kepulauan Raja Ampat. Perang yang terjadi di kawasan segitiga itu bukan perang biasa tetapi merupakan perang tanding yang mengandalkan kekuatan supranatural. Jika yang ikut berperang adalah prajurit biasa maka akan dengan mudah saja dikalahkan oleh musuh. Tetapi yang berperang dalam segitiga ini adalah para pimpinan yang disebut sebagai kapitan. Saat itu raja Tidore yang melawan kakaknya raja Ternate mengalami kekalahan. Raja Tidore yaitu Sultan Nuku meminta bantuan pada raja-raja yang berada di wilayah Kalana Fat atau Raja Ampat.
Untuk memenuhi permintaan Sultan Nuku dari Tidore maka berangkatlah Kalana Gewar dari Mumes Teluk Manyalibit, Melahaban dari Batan Me dan anaknya yang bernama Kapitan Laut. Hanya tiga orang ini yang berangkat untuk membantu Sultan Tidore melawan Ternate. Sultan Ternate memerintahkan Kapitan Benau yang memiliki kesaktian luar biasa untuk menghadapi serangan dari Pasukan Tidore. Kapitan Benau hanya duduk sambil berzikir menggunakan tasbih untuk melawan pasukan Tidore. Dengan zikir Subhanallah, alhamdulillah, wa la illaha illahu wallahu akbar, la haula wa la quwata illa billah Kapitan Benau lalu memukulkan tasbihnya ke laut. Seketika itu pula lautan yang semula tenang berubah menjadi gelombang besar yang dengan cepat mampu memporak porandakan pasukan Tidore dan menenggelamkan mereka ke dasar laut. Sultan Nuku untuk sementara waktu melakukan genjatan senjata dengan Sultan Ternate. Sultan Nuku berpikir jika perang ini terus berlangsung maka rakyat Tidore akan habis sebab yang dihadapi menggunakan ilmu supranatural. Perang segitiga masih berlangsung di kepulauan Maluku Utara. Untuk sementara, kita tinggalkan dulu perang antara Ternate, Tidore, dan Jailolo. Sekarang kita tenggok dulu nasib Pinthake yang berada di kali Raja.
Ada seorang laki-laki bernama Kapatlot memiliki nasib yang sama dengan Alyab Gaman. Ia juga memiliki istri yang berasal dari Bidadari yang bernama Boki Deni. Kisahnya adalah sebagai berikut ini.
Suatu waktu Kapatlot sedang berburu di hutan sekitar kali raja yang kondisi geografisnya bergunung-gunung. Di tengah suasana yang menegangkan ketika ia hendak membidik buruan, lamat-lamat dari kejauhan ia mendengar riuh rendah suara orang bercakap-cakap dan sesekali juga terdengan tabuhan tifa dan tiupan triton. Kapatlot seketika melupakan buruan yang sudah di depan mata. Ia segera mencari sumber suara tadi. Tidak mungkin di hutan belantara ini ada perkampungan. Belum pernah ia menemukan perkampungan selain kampung masyarakatnya suku Wawiyai di kali Raja. Suara yang berasal dari suasana pesta terdengar semakin jelas. Dari jarak yang aman Kapatlot melihat ada seorang wanita yang tengah menjaga sebuah pintu besar di dinding tebing. Ternyata perempuan itu adalah penerima tamu. Kapatlot lalu mendekat dan menayakan tentang sumber suara tadi.
“Apa yang terjadi di sini? Saya mendengar ada suara banyak orang seperti tengah menfgadakan pesta.” Tanya Kapatlot.
“Kami memang tengah mengadakan pesta besar” kata perempuan penerima tamu sekaligus penjaga pintu itu.
Perempuan itu lalu membuka pintu. Kapatlot terperangah melihat pemandangan yang terpampang setelah pintu terbuka. Ternyata memang tengah ada pesta besar yang diiringi oleh tabuhan tifa, gendang, gong, dan tiupan triton. Memang benar-benar pesta yang meriah.
Bagaimana Tuan? Apakah Tuan mau masuk dan bergabung dengan kami di dalam? tanya perempuan tadi.
Kapatlot belum menjawab pertanyaan perempuan ini, pikirannya tengah berkecamuk sesuatu yang aneh. Selama ini tidak ada perkampungan di sini. Ia sering berburu ke tempat ini. Ini pasti perbuataan bangsa jin atau makhluk halus yang tengah mengadakan pesta. Lalu kapatlot berkata.
“Tidak. Saya tidak mau. Lebih baik Kamu saja yang ikut saya ke kali raja dan kita membina rumah tangga di sana.” kata Kapatlot.
“Ayolah Tuan, ikutlah dengan kami barang semingu atau sebulan dengan kami. Di tempat kami semua kebutuhan sudah tersedia. Tuan tidak perlu lagi repot-repot berburu” kata perempuan penjaga pintu.
“Tidak bisa. Kamu saya yang ikut saya ke kampung” kata Kapatlot sambil memegang tangan perempuan tadi.
Seketika itu pula perempuan penjaga pintu itu mencium aroma manusia. Dalam sekejap pula pesta bubar. Mereka hilang entah ke mana, yang awalnya tadi terlihat seperi sebuah bangunan yang megah dengan pintu besar. Kini berubah menjadi tebing batu seperti yang biasa Kapatlot lihat tengah berburu. Pintu besar yang tadi terbuka juga sudah hilang. Tidak ada bekasnya sama sekali. Perempuan penjaga pintu itu sangat ketakutan. Melihat hal ini Kapatlot segera mencairkan suasana.
“Jangan takut dan resah. Saya tidak berniat jahat padamu. Namaku Kapatlot dari kali Raja. Tempatnya tidak jauh dari tebing batu ini. Siapa namamu? tanya Kapatlot.
“Namaku Boki Deni” kata perempuan itu sambil terus menundukkan kepala.
Kapatlot terus merayu Boki Deni untuk menikah dengannya. Awalnya, Boki Deni bersikeras untuk mengajak Kapatlot bergabung dengan bangsa jin yang tinggal di dalam tebing batu. Namun, karena gigihnya perjuangan Kapatlot akhirnya hati Boki Duna luluh. Ia ikut Kapatlot ke kali Raja. Dari hasil perkawinan ini lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama Funsomon. Funsomon kemudian tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Ia tinggal di kampung seberang sungai yang banyak di huni suku Wawiyai. Ia penasaran dengan penghuni satu rumah yang berada di seberang kampungnya. Funsomon hanya melihat Bapak Alyab Gaman dan Ibu Boki Duna dan kelima anak lelakinya yang biasa sering pergi berburu dan mengumpulkan makanan hingga berminggu-minggu tidak pulang ke rumah. Namun, ia juga sering mendengar suara merdu perempuan dari dalam rumah itu. Yang jelas itu bukan suara Ibu Boki Duna. Ia sudah hafal betul dengan suara Boki Duna karena Funsomon pun pernah mendengar dan bercakap-cakap dengan Ibu Boki Duna. Ingin rasanya ia bertamu ke rumah pak Alyab Gaman namun ia merasa ragu karena melihat lima anak laki-laki Pak Alyab Gaman yang begitu gagah.
“Nanti saja kalau rumah itu tengah kosong atau di tinggal lima anak laki-laki itu tengah pergi dan Alyab Gaman serta Boki Duna ke kebun aku akan mencari tahu apakah benar di rumah itu ada perempuan lain” pikir Funsomon.
Kesempatan memang benar-benar berpihak pada Funsomon. Suatu hari lima anak laki-laki Alyab Gaman hendak pergi berburu dan mengumpulkan makanan. Nampak mereka membawa bekal dalam jumlah yang banyak, tentu mereka akan lama berada di tempat perburuan. Tak lama berselang Alyab Gaman dan Boki Duna pun pergi ke kebun. Setelah memastikan bahwa rumah itu telah kosong ditinggal penghuninya Funsomon segera mendatangi rumah itu. Ia sengaja memutar jauh dari belakang melalui jalur yang tidak pernah digunakan orang untuk lewat. Ia tidak ingin orang lain melihat ketika ia mendatangi rumah Alyab Gaman. Setelah sampai di dekat rumah ia mengendap-endap menuju rumah. Melalui celah kecil di dinding belakang rumah ia mengintip ke dalam rumah. Memang benar. Ternyata di dalam rumah ada seorang perempuan cantik yang tengah membuat kain dari serat kulit kayu. Perempuan itu sangat cantik.
Singkat cerita Funsomon dan anak perempuan Alyab Gaman yang bernama Pinthake saling jatuh cinta. Tidak ada seoranag pun di kali Raja yang mengetahui hubungan kedua lawan jenis yang tengah dimabuk asmara ini. Keduanya benar-benar merahasiakan hubungan mereka. Dari hubungan rahasia ini akhirnya Pinthake hamil. Lama-kelamaan kehamilan Pinthake diketahui oleh kedua orang tuanya. Ketika lima saudara laki-lakinya tiba dari berburu dan mengumpulkan makanan Pinthake semakin bingung. Berita tentang kehamilan pintake dengan cepat berhembus ke kampung kali Raja. Semua orang akhirnya tahu pinthake telah hamil tanpa suami. Aib besar bagi suku Wawiyai ketika perawan tiba-tiba hamil tanpa diketahui siapa suaminya. Masyarakat lalu memfitnah bahwa Pinthake telah dihamili oleh salah saeorang dari saudara lai-lakinya.
“Tidak mungkin Kami yang rakyat biasa berani berhubungan dengan keluarga bangsawan, sementara itu di kampung ini tidak ada orang lain yang memiliki derajat bangsawan seperti keluarga Alyab Gaman. Pasti salah satu saudaranya yang telah menghamilinya.”
Begitulah, asumsi terus berkembang di tengah masyarakat Wawiyai dan bahkan kabar ini sampai pula kepada seluruh suku yang berada di pulau Waige, baik Wawiyai maupun Kawe, Laganyan, dan Ambel. Keluarga Alyab Gaman tidak sanggup menahan malu terhadap aib ini. Kelima saudara laki-laki Pinthake mengusulkan untuk membuangnya dari kali Raja. Sebelum dibuang Pinthake meminta izin untuk berpamitan dengan adiknya berupa telur yang tidak menetas itu. Ia menangis dan menumpahkan segala kesedihan hatinya pada saudara telurnya. Meskipun berupa telur yang sudah berwujud batu (kapatna), namun ia dapat berbicara dan memberikan karomahnya pada Pinthake.
“Jangan sedih Pinthake, sebelum Engkau dibuang biarkan aku memberimu petuah, jika dalam pembuangan ini engkau menuju ke arah ufuk barat maka engkau akan sirna tanpa bekas, namun jika engkau hanyut ke arah matahari terbit maka kelak engkau akan dapat menemukan keturunanmu lagi dan dapat menciptakan sejarah. Dan jangan lupa selalu membaca mantra ini, fun funa tisi ansapo morle subsui del mora pata utul buki maliyai kayangan bersulah molbe mafjadi yene akan jadi temcudel akan bukti.   Lalu dibuanglah Pinthake melalui kali Raja. Ia dibuatkan rakit yang kuat terbuat dari bambu dan pelepah pohon sagu. Rakit Pinthake lalu hanyut di kali raja dan rakit itu hanyut entah ke mana. Masyarakat dan keluarga Pinthake tidak ada yang tahu ia berlabuh di mana yang jelas jika ingin selamat rakit harus menuju timur. Waktulah yang telah melupakan ingatan masyarakat kali Raja mengenai peristiwa yang dialami keluarga Alyab Gaman.
Beberapa tahun kemudian datanglah beberapa orang asing menggunakan perahu layar menuju kali Raja. Mereka mengaku sebagai orang Biak yang berasal dari pulau Wundi di Kepualauan Padaido Kabupaten Biak saat ini. Mereka menceritakan bahwa di Kepulauan Padaido tepatnya di pulau Wundi dulu ada seorang perempuan yang bernama Pinthake tengah hamil namun tidak diketuahui siapa suaminya. Saat ini telah melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Mantuki. Yang menjadi persoalan ialah Mantuki setiap hari menangis mencari keberadaan ayahnya. Berikut ini adalah kisah yang dituturkan orang Biak kepada keluarga Pintake di Kali Raja.
Pinthake dalam kondisi hamil terdampar di pulau Wundi, Biak. Singkat cerita ia diangkat anak oleh salah satu keluarga suku Biak dengan jabatan korano (pemimpin suku) bernama Myekbun namun tidak diketahui bermarga apa. Dalam asuhan keluarga Biak ini Pinthake melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Mantuki. Mantuki mulai tumbuh menjadi anak yang tampan. Pada suatu hari ia bertanya pada neneknya tentang keberadaan ayahnya. Sebab, jika malam ada seorang lelaki yang selalu bersama dengan Mantuki dan Ibunya. Jika siang tiba sebelum Mantuki bangun laki-laki itu sudah menghilang. Rupanya Funsomon turut membuntuti Pinthake ketika Pinthake dihanyutkan hanya saja ia tidak menampakkan dirinya pada siapapun di siang hari. Mantuki bertanya pada neneknya dalam bahasa Biak.
“Awino kamami? Awino kamami? (Nenek mana bapak), kalau malam Bapak ada tetapi kalau siang mengapa bapak pergi? tanya Mantuki pada neneknya.
“Siapa ayahmu?” tanya nenek.
“Ada. Kalau malam ia selalu datang. Awino kamami?
Keluarga angkat Pinthke merasa resah dengan pertanyaan Mantuki. Untuk memenuhi dan mencari siapa sebenarnya ayah Mantuki maka orang tua angkat Pinthake meminta beberapa marga (Mandowen, Manawe, Manam, Swom, Inggabow, Rumfabe, Wakre, dan Rumbekwan) untuk menyelenggarakan sayembara pencarian ayah Mantuki melalui tarian wor sambil menabuh tifa. Setiap peserta dihadapkan pada Mantuki sambil menabuh tifa jika yang menabuh tifa adalah ayah Mantuki maka Mantuki akan menunjuknya. Pesta wor digelar dengan mengundang salah satu kampung di pulau Wundi. Semua perserta yang terdiri dari para pemuda-pemuda dan bapak-bapak yang mencari peruntungan lewat sayembara ini sudah tampil semua. Tidak seorang pun yang diakui oleh Mantuki sebagai ayahnya. Sayembara wor berpindah ke kampung sebelah, hasinya nihil. Di kampung terakhir, pada peserta terakhir, ada seorang laki-laki berumur sekitar 30-an tahun ikut dalam sayembara itu. Sayangnya, ia memiliki fisik yang tidak sempurna. Sekujur tubuhnya ditumbuhi koreng yang dalam bahasa biak biasa disebut kaskado. Laki-laki itu membawa sebuah tifa dan sebuah alat pengusir lalat yang terbuat dari dedaunan. Ia memukul tifa sambil sesekali mengusir lalat yang menghinggapi luka kaskado-nya. Melihat penampilan lelaki ini Mantuki berteriak.
“Dia Ayahku. Dia sudah Ayahku.” kata Mantuki sambil berlari dan memeluk kaki lelaki kaskado itu.
Semua orang yang menyaksikan sayembara itu gempar. Ada hal yang luar biasa aneh terjadi dan tidak bisa diterima akal sehat.
“Mana mungkin orang kaskado itu diakui sebagai ayahnya, kami saja yang gagah-gagah dan perkasa ini malah tidak diakui.” kata orang-orang kampung yang berada di pulau Wundi.
Rupanya Funsomon menyamar menjadi orang kaskado. Ia mendapat inspirasi ketika ia pertama kali melihat orang kaskado yang berada di pesisir pantai pulau Wundi. Lelaki Kaskado itu bernama Manarmakeri. Manarmakeri sendiri saat itu akan ikut kapal Portugis berlayar ke arah barat. Ia meninggalkan pulau Pulau Wundi karena ia telah berselisih paham dengan masyarakat Biak yang berada di Kepulauan Padaido. Ketika menyamar menjadi Manarmakeri ia tidak mengetahui jika Manarmakeri sudah dibenci oleh masyarakat dan diusir dari pulau Wundi. Makanya ketika ia ikut sayembara wor dan Mantuki menunjuknya sebagai ayah, masyarakat pulau Wundi marah besar. Semua rumah yang berada di di pulau wundi dibakar habis, sumur-sumur ditimbun. Semua perahu dipecahkan hingga benar-benar hancur. Setelah itu semua masyarakat pulau Wundi meninggalkan pulau termasuk orang tua angkat Pinthake. Kini, di pulau Wundi hanya tersisa mereka bertiga, Pinthake, Funsomon, dan Mantuki.
Demikianlah, kisah tentang Pinthake yang hanyut sampai di kepulauan Biak. Kisah Pinthake ini yang menceritakan adalah orang Biak. Setelah menceritakan kisah ini rombongan orang Biak kembali ke Biak lagi.
Selanjutnya marilah kita ulas kisah Pintake yang kini masih berada di pulau Wundi, Biak. Mereka bertiga menjalani kehidupan yang sulit di pulau Wundi selama bertahun-tahun. Hidup dalam keterbatasan ini menempa Mantuki menjadi pemuda yang tangguh, gagah, dan perkasa. Dalam kesehariannya ia tidak pernah mengenakan pakaian, ia hanya mengenakan cawat sebagai penutup alat vitalnya. Suatu hari, ia bertanya pada ibunya.
“Bu, kalau Ibu ini asalnya dari mana?” tanya Mantuki.
“Jauh. Ibu punya kampung jauh sekali namanya Kalana Fat” kata ibunya.
“Oh, begitu. Lalu siapa-siapa saja yang ada di sana?
“Saudara ibu ada enam, lima laki-laki yang jadi dan satu yang berupa telur dan tidak jadi atau menetas.” kata Pinthake.
“Mangapa berupa telur?. Apakah telur itu tidak menetas? cerocos Mantuki.
“Engkau tidak perlu tahu mengapa. Dengarkan saja yang ibu katakan. Jadi waktu itu nenekmu Boki duna menemukan telur di hutan tujuh butir. Setelah menetas menjadi lima orang laki-laki dan satu perempuan, yang satu lagi tidak menetas. Perempuan itu adalah Ibu. Suatu ketika ibu berbuat kesalahan dan diusir dari kali Raja dan Ibu terdampar di pulau Wundi ini.
“Lalu kenapa Ibu bernama Pinthake?”
“Pinthake itu artinya selalu berbuat salah, jika memegang barang pecah belah maka barang itu akan hancur, jika memegang perahu, maka perahu itu rusak. Apa saja yang ibu pegang, maka barang itu akan rusak, makanya ibu diusir dari kali Raja” Pinthake membohongi Mantuki.
“Bu, kalau begitu saya mau ke Kalana Fat” kata Mantuki.
“Jangan, Kamu tidak tahu arah ke sana, nanti kamu tersesat, di sini saja bersama Ibu dan Ayahmu” kata Pinthake pada Mantuki.
Suatu hari Funsomon, ayah Mantuki membuat anak panah yang terbuat dari bambu yang berukuran kecil yang dalam bahasa Ma’ya disebut amfriwen. Panah ini digunakan untuk memanah ikan di laut ketika laut tengah surut. Mantuki tidak melakukan aktivitas apapun, ia di rumah sendirian. Ibunya pergi ke kebun, ayahnya mencari ikan di laut. Mantuki merasa benar-benar kesepian, tidak ada orang yang diajak untuk berbicara apalagi bermain. Ini semakin membulatkan niatnya untuk mengunjungi paman-pamannya di Kalana Fat.
“Tidak ada siapapun di pulau ini, coba ada perahu, pasti aku sudah bermain ke pulau sebelah atau bahkan aku akan ke Kalana Fat” kata Mantuki sambil menangis.
Gerak-gerik Mantuki tak luput dari pantauan Pinthake. Pada malam harinya, Pinthake memberi petuah pada Mantuki.
“Jangan bersedih Mantuki, Ibu akan memberimu mantra, dengan mantra itu, Kamu dapat melakukan apapun yang Kamu kehendaki. Hafalkan mantra ini, fun funa tisi ansapo morle subsui del mora pata utul buki maliyai kayangan bersulah molbe mafjadi yene akan jadi temcudel akan bukti.”
Setelah dihafalkan, keesokan harinya, Mantuki mencoba khasiat mantra pemberian ibunya. Ia akan membuat perahu yang akan digunakan menuju Kalana Fat. Lalu ia menggambar di atas pasir perahu layar besar beserta 44 orang pendayung. Setelah gambar selesai ia membaca mantra pemberian ibunya. Lalu, ia meninggalkan gambar itu tercetak di pasir pantai pulau Wundi. Hari telah malam, Mantuki berkata pada ibunya.
“Ibu, sebentar lagi ada perahu yang datang untuk menjemputku menuju Kalana Fat” kata Mantuki.
“Ah, perahu siapa? Semua orang telah meninggalkan pulau ini, lagipula orang-orang sudah membencimu, orang-orang sudah tidak suka padamu” tanya Pinthake tidak percaya.
Ketika malam semakin larut, air laut mulai pasang. Saat itu sebuah perahu berbelok memasuki sebuah teluk di mana keluarga Mantuki tinggal.
“Bu, itu perahu sudah datang mau menjemput saya, besok pagi saya berangkat” kata Mantuki.
“Ya. Nanti berlayarlah ke Pulau Waige. Pintu masuk menuju kali Raja di Kalana Fat adalah sebuah pulau bernama Wayin. Wayin artinya kubangan air yang terdapat di tengah pulau menyerupai sebuah kolam besar. Melalui pulau itu pula sewaktu itu hanyut dulu” kata Pinthake.
Keesokan harinya, Mantuki berlayar menuju Kalana Fat bersama 44 orang ciptaannya. Mantuki berlayar menuju ke Kalana Fat di pulau Waige, berhari-hari ia berada di tengah lautan. Kemudian tibalah Mantuki dan para awak perahunya di pulau pertama yang bernama Waiyin. Waiyin berarti pulau yang terdapat genangan air di tengahnya. Saat ini pulau Waiyin terletak di depan kampung Urbinasopen. Perahu terus bergerak ke arah pulau Waige, ketika tiba dan akhirnya melewati sebuah tanjung yang agak tinggi Mantuki berkata Mam nyai yef. Mam nyai yef artinya bapak sudah terpele/terhalang pulau. Sejak saat itulah pulau yang terletak sesudah pulau Waiyin dinamakan pulau Mamnyaiyef. Perahu Mantuki terus berlayar melintasi dua buah pulau yang bernama weim len (pasir hanyut). Pada Saat zaman Belanda pulau Weimlen berganti nama menjadi pulau Saonek yang berarti pelabuhan kambing, sa berarti pelabuhan dan dan nek kambing. Perahu terus melaju menuju melewati pulau Weimlen.
Setelah melewati pulau Weimlen perahu Mantuki harus melewati tiga buah pulau yang merupakan gugusan kepulauan Urai untuk memasuki teluk Kabui yang dijaga oleh dua oarang anak kandung Alyab Gaman dan Boki Duna. Kedua anak itu bernama Kub dan Weisang. Kub dan Weisang memiliki sifat yang berlawanan, Kub mempunyai perangai temperamental, cepat marah, atau dengan istilah lain ia bersumbu pendek. Sedangkan Weisang memiliki perangai yang lebih sabar.
Kub dan Weisang berjaga di pulau di sebelah pulau Weimlen. Dari jauh Kub dan Weisang melihat ada sebuah kapal layar yang tengah berlayar ke arah pulau yang mereka jaga. Kub bersiap siaga. Ia mengangkat sebuah batu besar sebesar gugusan pulau karang yang berada di sekitar pulau penjagaan sambil berkata.
“Weisang coba perhatikan, jika layar perahu itu ditaruh di sebelah kanan maka perahu itu bermaksud jahat, itu berarti musuh. Namun, jika layar ditaruh disebelah kiri maka ia bermaksud baik” kata Kub.
Mantuki yang merupakan keturunan jin yang memiliki kekuatan supranatural mendengar percakapan Kub dan Weisang dari jarak jauh. Lalu ia merubah posisi perahu, yang awalnya haluan perahu berubah menjadi buritan perahu, dengan demikian yang awalnya layar kapal berada di kanan maka kini layar berada di kiri.
“Hai, Kub perahu itu layarnya berada di sebelah kiri, itu berarti kerabat kita, dan kedatangannya pasti untuk berbuat kebaikan” kata Weisang.
Perahu Mantuki kini telah berada di sebuah pulau tempat penjagaan Kub dan Weisang.
“Untung layarmu berada di kiri, jika di kanan maka batu yang telah aku angkat ini siap menghacurkan perahumu” kata Kub sambil melempar batu yang telah lama dijunjungnya ini ke laut. Batu ini kini menjadi sebuah pulau karst kecil yang terletak di sebelah utara pulau Urai yang tengah.
Mantuki lalu memperkenalkan diri menggunakan bahasa Ma’ya yang terbata-bata. Terbata-bata karena bahasa Ma’ya yang digunakan Mantuki telah bercampur dengan bahasa Biak. Pertemuan antara Mantuki, Kub, dan Weisang di sebuah pulau ini diabadikan dengan menamakan pulau tempat pertemuan itu dengan nama pulau Ulu. Ulu artinya pertemuan. 44 orang pendayung yang turut mengantarkan Mantuki hingga pulau Ulu menghilang tanpa bekas. Tidak terdengar lagi bagaimana kabarnya. Setelah beristirahat akhirnya, Kub dan Weisang mengantar Mantuki ke kali Raja. Mereka menyusuri kali Raja yang bekelok-kelok seperti seekor ular raksasa. Mereka tiba di percabangan kali yang pertama mereka membelok yang ke kiri sebab yang ke kanan merupakan cabang kali biasa yang disebut waikafam (air cabang) Mereka terus mendayung ke bagian hulu kali. Mereka bertemu kembali dengan kali yang bercabang dua, kiri menuju tempat Alyab Gaman dan kanan merupakan  tempat suku Wawiyai berkebun (dusun) yang disebut dengan waikala (air tokok sagu)
Kedatangan Mantuki ke kali Raja ternyata telah diketahui oleh Kapatna, paman Mantuki berwujud Batu Telur.
“Oo…, jadi begini ya tempat kelahiran Ibuku” kata Mantuki dalam hati.
“Tak usah heran Mantuki, aku tahu apa maksud kedatanganmu ke kali Raja, apa yang saya berikan tolong pegang baik-baik. Mantra yang telah diberikan Ibumu simpan baik-baik, pesanku di mana ada petir, kilat, dan halilintar di sanalah kamu harus pergi” kata Kapatna.
“Maksudnya apa Paman?” tanya Mantuki.
“Maksudnya, di mana ada peperangan ke sanalah kamu menuju ke situ, bawalah meriam ini sebagai senjatamu” jelas Kapatna.
Setelah mendapat wejangan dari Kapatna, Mantuki lalu berlayar menuju Morotai. Di Morotai tidak ada peperangan, lalu Mantuki melanjutkan perjalanan ke Bacan. Di Bacan dan Jailolo juga tidak ada peperangan, selanjutnya Mantuki menuju Tidore. Ketika waktu subuh Mantuki tiba di sebuah pulau yang bernama Mare di bagian sebelah bawah pulau Tidore. Ketika itu, kedua paman Mantuki yakni Kalana Gewar dan Melahaban dan putranya Kapitan Laut tengah berdiskusi dengan sultan Nuku tentang siasat perang melawan Ternate. Tiba-tiba seorang penjaga istana datang melaporkan bahwa ada sebuah perahu asing berlabuh di pulau Mare di depan Pulau Tidore.
“Ampun, Tuanku. Ada seorang pemuda tinggi, besar, dan tampan ingin bertemu Tuanku” kata penjaga tadi.
“Panggil dia kemari” jawab sultan.
Lalu Mantuki datang memenuhi panggilan sultan, ia duduk menunduk di halaman istana sultan Nuku. Pada waktu itu Mantuki tidak mengenakan pakaian kecuali cawat yang membungkus kemaluannya. Dari atas kedua paman Mantuki memperhatikan diri Mantuki dengan seksama. Dari lantai dua istana sultan Nuku pulalah adik sultan Nuku yang bernama Boki Taiba mulai jatuh hati pada Mantuki pada pandangan pertama. Akhirnya, tahulah Kalana Gewar dan Melahaban bahwa pemuda yang tengah duduk sambil menundukkan kepala dan mengaku bernama Mantuki adalah putra Pinthake.
“Siapa dia?” tanya sultan.
Lalu Kelana Gewar menjawab dengan bahasa Tidore, “dia papa uwa”
“Dia adalah Mantuki, keponakan kami. Tapi dia papa uwa (tidak punya bapak)”
Papa uwa, Mantuki” ulang sultan Nuku.
Dari kata papa uwa inilah akhirnya sultan Nuku memberi nama tempat asal Mantuki. Dari papa uwa berubah menjadi papua, sebutan pertama dikenalkan oleh sultan Nuku untuk menyebut tempat kelahiran Mantuki dan hingga kini lebih dikenal dengan sebutan papua.
“Mantuki, apakah kamu sanggup membantu saya berperang melawan Ternate” tanya sultan Nuku.
“Hamba belum bias memberi jawaban, beri waktu hamba enam hari untuk berkonsultasi dengan paman saya Kapatna di Waige” kata Mantuki.
Mantuki segera kembali ke Waige di kali Raja. Lalu, ia berbicara dengan pamannya Kapatna.
“Paman, saya sudah menemukan di mana letaknya petir, kilat, dan halilintar yaitu Tidore. Akan tetapi peperangan ini menggunakan kekuatan supranatural, saya tidak sanggup pergi sendiri, paman harus turut serta ke sana” kata Mantuki.
“Baiklah kalau begitu” kata Kapatna.
Kapatna dalam wujud yang tidak terlihat akhirnya turut serta mantuki menuju Tidore. Sesampainya di Tidore mereka langsung menyusun siasat perang melawan Ternate. Siasat yang dilakukan Kapatna dan Mantuki sangat unik di luar nalar manusia. Kapatna meminta Mantuki untuk masuk ke dalam meriam yang telah diberikan oleh Kapatna sebelumnya. Sebelum masuk ke meriam, mantuki mengambil anak panah pemberian ayahnya Funsomon di Wundi, Biak. Lalu, ia menulis kalimat, “Saya ada karena perempuan” ditulis di sisi mata anak panahnya, di sisi sebelah anak panah ditulisi kalimat, “Kamu ada karena laki-laki” menggunakan huruf hijaiyah (huruf Arab) Setelah itu, Mantuki membidikkan anak panahnya ke arah Kesultanan Ternate. Anak panah meluncur deras dan jatuh di antara dua menara penjagaan yang terbuat dari besi atau biasa disebut gang besi. Orang-orang Ternate  menyebutnya dengan panah gurabesi. Gurabesi artinya anak panah yang jatuh tepat di antara menara penjagaan yang terbuat dari besi atau gang besi. Sejak saat itulah Mantuki dijuluki Gurabesi.
Kemudian, Mantuki/Gurabesi masuk ke dalam meriam. Meriam yang berisi Gurabesi ditembakkan ke arah Kesultanan Ternate di mana Kapitan Benau sudah siap siaga menanti musuh. Gurabesi meluncur seperti pelor meriam sungguhan, jatuh tepat di hadapan kapitan Benau. Tanpa membuang-buang kesempatan Guranesi segera menyerang Kapitan Benau. Kapitan Benau kalah, lalu Gurabesi menebas putus leher kapitan Benau. Panglima perang Ternate sudah terbunuh, kesultanan Ternate mengaku kalah pada kesultanan Tidore. Lalu Gurabesi segera menghadap sultan Nuku dan mempersembahkan kepala kapitan Benau. Sebagai imbalan keberhasilan Gurabesi mengalahkan kesultanan Ternate, sultan Nuku menikahkan adiknya Boki Taiba dengan Gurabesi.
Setelah membantu sultan Nuku dari Tidore berperang melawan Ternate, Gurabesi, kedua paman Kalana Gewar dan Melahaban serta putranya Kapitan Laut kembali ke Kalana Fat. Kalana Gewar kembali ke Mumes di Teluk Manyalibit dan Melahaban dan Putanya ke Batan Me atau Misool. Gurabesi dan istrinya Boki Taiba ke kali Raja. Ternyata, kepulangan mereka diikuti oleh mata-mata dari Ternate. Sultan Ternate menaruh demdam pada Gurabesi dan kedua pamannya, oleh karena itu ia mengutus pasukan khususnya untuk membuntuti mereka berempat untuk membunuh. Dendam sultan ternate tuntas terbalas. Tidak lama berselang setelah Gurabesi dan istrinya tiba di kali Raja, mereka ditemukan tewas di dalam rumahnya. Gurabesi dan Boki Taiba tewas karena diracun. Jasadnya keduanya lalu dimakamkan di sekitar kali Raja. Demikian pula, Kalana Gewar dan Malahaban mereka pun tidak luput dari incaran sultan Ternate. Kedua paman Gurabesi juga tewas diracun. Kalana Gewar dimakamkan di Mumes, sekarang Mumes terletak di dekat kampung Warsamdin teluk Manyalibit. Melahaban juga dimakamkan di Batan Me.
Demikianlah kisah tentang Asal-Usul Kalana Fat (Raja Ampat) menurut kepercayaan suku Wawiyai.








Tuesday, November 11, 2014

Asal Mula Raja Ampat Menurut Orang Biak/Beser/Betew


Berikut adalah ceritera turun temurun, yang diceriterakan kembali oleh Drs. Amos Mambrasar, sulung dari Keluarga Besar Jamora (Ari Mambrasar Omka), mewakili keluarga besar Jamora dan Fakriba atau keluarga besar masyarakat Betew di kampung Awaiwepyar, kampung pertama orang Betew di pulau Gam, sebuah pulau yang terletak di muara teluk Wawiyai di pulau Waigeo. Kisah ini selama berabad-abad ditutupi dan tidak pernah diceriterakan kepada orang asing, hanya diceriterakan secara turun temurun dari sulung ke sulung dilingkungan keluarga besar Betew Omka, terutama dilingkungan keluarga besar Jomora dan Fakriba. Jamora dan Fakriba, keduanya masih berkerabat dekat, sama-sama berasal dari kampung Wawiyai, dari suku Omka. Moyang dari kedua bersaudara ini berasal dari keluarga besar Omka di teluk Manyalibit, tepatnya di kampung Waifoi. Kedua moyang inilah yang pertama kali mendirikan kampung Awaiwepyar bersama orang Omka dari Wawiyai, orang Biak dan orang Waropen. Ketiga suku ini berkolaborasi membentuk satu perkumpulan antar suku yang disebut kelompok Be-Oser (bahasa Biak), yang artinya kelompok Bersatu,  yang kemudian dikenal dengan nama Beser atau Betew (dalam lafal bahasa Omka).  Kelompok Betew ini berkembang-biak dan menduduki wilayah Waigeo barat, kepulauan Pam, pulau Kofiau, Wejim bahkan sampai ke pulau Misool.
Tujuan utama dibentuknya kelompok ini adalah untuk menjaga keutuhan wilayah Papua Gamsio yang waktu itu merupakan salah satu Gama (wilayah kekuasaan) dari tiga Gama yang dibentuk oleh kesultanan Tidore di wilayah Papua, yaitu Kolano Fat, Papua Gamsio dan Mafor Soa Raha. Ada tujuh bersaudara Omka yang bermigrasi dari teluk Manyalibit, di  kampung Waifoi, pindah ke arah barat dan akhirnya membangun sebuah kampung baru di Wawiyai (kampung Wawiyai yang sekarang), terletak diteluk Kabui. Dari ketujuh bersaudara tersebut, enam diantaranya adalah laki-laki, sedangkan yang paling bungsu merupakan satu-satunya perempuan diantara ketujuh bersaudara tersebut, bernama Pinthe atau Pintake. Setelah membangun kampung Wawiyai, Jamora dan Fakriba bersama kelompok Be-Oser  membangun sebuah kampung baru di pulau Gam, yaitu kampung Awaiwepyar yang merupakan kampung pertama orang Beser atau Betew. Berikut adalah garis besar kisah keluarga yang diceriterakan secara turun-temurun dari sulung ke sulung dilingkungan keluarga besar Jamora dan Fakriba, atau versi orang Betew, tentang asal-mula Raja Ampat.  
Pada zaman dahulu kala hidup dan tinggal di pulau Waigeo, tepatnya di kampung Wawiyai di teluk Wawiyai yang sekarang, tujuh orang bersaudara dari suku Omka (mereka berasal dari Waifoi di teluk Manyilibit) Dari tujuh bersaudara tersebut, enam diantaranya adalah laki-laki, sedangkan sibungsu yang terakhir adalah perempuan satu-satunya bernama Pinthe atau Pintake, dikenal dengan panggilan nenek Pinthe dilingkungan masyarakat Betew yang sekarang. Suatu hari diketahui bahwa Pinthe telah hamil padahal dia belum bersuami, dengan kata lain, hamil diluar nikah. Kejadian ini menggemparkan seisi rumah dan sudah tentu sangat memalukan bagi keluarga besar, sehingga tanpa melalui suatu musyawarah yang baik, Pinthe diusir oleh saudara-saudaranya dari kampung Wawiyai. Beliau naik sebuah sampan kecil (menurut ceritera keluarga, Pinthe ditempatkan dalam sebuah  piring) keluar dari teluk Kabui menuju muara. Sesampainya dimuara ia bertemu dengan orang-orang Biak yang baru datang dari arah Barat hendak pulang ke Gelvink Bay atau Teluk Cenderawasih. Pinthe ikut serta dengan mereka yang kemudian  membawanya ke Waropen,  bukan ke Biak atau ke Numfor. Selanjutnya Pinthe tinggal di Waropen dengan orang-orang Biak tersebut sampai beliau melahirkan  seorang anak laki-laki yang kemudian dikenal dengan nama Kurawesi. Masa kecil sampai remajanya, Kurawesi tinggal dengan ibunya Pinthe di Waropen, setelah remaja Kurawesi berpacaran dengan seorang gadis Waropen yang kemudian dihamilinya sebelum menikah. Rupanya sejarah berulang, perbuatan yang memalukan ini menyebabkan Pinthe menyuruh anaknya Kurawesi pulang ke om-om dan saudara-saudaranya di pulau Waigeo.
Kurawesi pulang ke Waigeo, selain ke keluarganya juga disertai niat untuk mengantar upeti kepada sultan Tidore. Beliau berangkat dari Waropen diantar oleh orang-orang Biak, mereka inilah yang pertama kali memberikan nama Kurawesi kepadanya. Nama Kurawesi terdiri dari dua kata, yaitu : kura dan wesi yang berasal dari bahasa Biak (kura = kita berangkat, wesi = kepada mereka) yang artinya : kita pergi kepada mereka, yang dimaksud ‘mereka’ disini adalah keluarga Kurawesi, yaitu ke Om-om dan saudara-saudaranya yang tinggal di pulau Waigeo yaitu di kampung Wawiyai, tempat asal ibunya.
Kurawesi dan rombongan berangkat dari Waropen menuju Waigeo, dari Waropen menyusuri pulau Biak sampai ke pulau Numfor terus ke pulau Mansinam dan pulau Lemon di teluk Doreri (Manokwari). Di pulau Mansinam, Kurawesi menangkap seekor burung cenderawasih yang diberi nama ‘mambefor’, berasal dari kata ‘man-wefor’ (dalam bahasa Biak) yang artinya ‘burung yang ditangkap’ (itulah sebabnya orang Beser atau Betew-Biak di Raja Ampat menyebut burung cenderawasih dengan nama ‘mambefor’, dan bukan ‘mambesak’). Kurawesi  bermaksud mempersembahkan burung tersebut sebagai upeti kepada sultan Tidore agar beliau juga bisa mendapat gelar dari sultan, suatu ambisi yang wajar di lingkungan masyarakat Papua pada saat itu karena gelar-gelar tersebut (seperti : sengaji, gimakha/dimara, mayor, dan kapitan laut) dapat mengangkat status sosial seseorang  sekembalinya dari Tidore.
Dari Mansinam, Kurawesi dan rombongannya melanjutkan perjalanan sampai ke daerah Sausapor dan Werur. Disini Kurawesi membeli seekor burung kasuari yang maksudnya akan diberikan sebagai upeti kepada sultan Tidore bersama burung cenderawasih yang dibawa dari pulau Mansinam (apakah kedua burung tersebut akhirnya sampai ketangan sultan Tidore atau tidak, hal tersebut kurang jelas).  Selanjutnya, rombongan malanjutkan perjalanan sampai ke pulau Waigeo, dimana Kurawesi bertemu dengan om-omnya di kampung Wawiyai. Beliau tinggal disana bersama keluarga besarnya dari suku Omka, sambil belajar ilmu kanuragan untuk pembekalan diri menuju Tidore. Kebiasaannya tiap hari selalu pergi berburu ke hutan dengan menggunakan panah, itulah sebabnya dikemudian hari ia terkenal sebagai seorang pemanah ulung. Keahlian inilah yang digunakan pada saat bertempur di Jailolo membantu sultan Tidore dalam peperangan sultan Tidore melawan sultan Jailolo. Selama tinggal di Waigeo, Kurawesi banyak terlibat dalam pertempuran-pertempuran lokal melawan orang-orang Sawai yang hendak berusaha menguasai kepulauan Raja Ampat. Beliau memimpin pasukannya yang terdiri dari orang-orang Biak dan orang-orang Omka di Waigeo, mereka berperang melawan orang-orang Sawai yang dikejarnya sampai ke Patani di Halmahera.
Berdasarkan pengalaman perangnya inilah kemudian sultan Tidore meminta bantuannya untuk membantu Tidore pada saat Kesultanan Tidore berperang melawan Kesultanan Jailolo dimana Kesultanan Tidore memenangkan peperangan tersebut atas bantuan Kurawesi dan pasukannya.
Setelah beberapa lama tinggal di Wawiyai, Kurawesi pamit kepada Om-om dan keluarga besarnya di Wawiyai untuk malanjutkan perjalanannya mengantar upeti kepada sultan Tidore sesuai rencana semula waktu berangkat dari Waropen. Beliau dan rombongannya keluar dari teluk Wawiyai menyusuri pesisir pantai pulau Waigeo ke arah barat menuju kepulauan Sain. Di kepulauan Sain, rombongan Kurawesi bertemu dengan dua orang Sawai, masing-masing bernama Odi dan Diki,  keduanya (kemungkinan) merupakan utusan sultan Tidore yang bertujuan mencari bantuan tentara ke tanah Papua untuk membantu sultan Tidore yang sudah hampir kalah perang melawan sultan Jailolo pada saat itu. Kedua orang inilah yang kemudian mengantar Kurawesi menghadap sultan Tidore yang pada waktu itu dijabat oleh sultan Jamal ud-din, beliau merupakan sultan pertama yang berkuasa di Tidore pada tahun 1495 – 1512. Nama asli sultan Jamal ud-din adalah kaicil atau kolano (raja) Ciriliatu atau disebut juga kaicil Tiliatu, yang kemudian bergelar Sultan Jamal ud-din setelah memeluk agama Islam. Pada masa pemerintahan sultan inilah, menurut De Clerk (1888), hidup dan tinggal di Tidore seorang papua bernama Kurabesi (Kurawesi).
Rombongan Kurawesi  bertolak dari kepulauan Sain menuju ke pulau Sayafi di Patani dan terakhir sampai ke Tidore menghadap sultan Jamal ud-din. Di depan Sultan, Kurawesi menyampaikan niatnya untuk membantu Sultan.
Sultan Jamal ud-din menerima niat baik Kurawesi untuk membantu beliau berperang melawan kesultanan Jailolo. Odi dan Diki seterusnya ikut membantu berperang dengan Kurawesi di Jailolo bersama pasukan Sultan Tidore. Berkat bantuan Kurawesi dan rombongannya yang terdiri dari orang-orang Biak, kesultanan Tidore memenangkan peperangan melawan kesultanan Jailolo dan sebagai imbal jasa serta untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan pihak Papua, sultan Tidore, yaitu sultan Jamal ud-din, mengawinkan puteri bungsunya yang bernama Boki Thoibha dengan Kurawesi. Dilingkungan masyarakat Beser/Betew, nama Boki Thoibha biasa disebut dengan nama Boki Taiba atau Boki Tabai sampai sekarang. Kurawesi dan keluarga beserta para pengikutnya tinggal di Tidore selama masa pemerintahan sultan Jamal ud-din yang berlangsung dari tahun 1495 – 1512. Selama di Tidore, dari hasil perkawinannya dengan Boki Thoibha, lahirlah empat orang anak laki-laki, masing-masing diberi nama dengan gelar kolano (raja), yaitu kolano War, kolano Betani, kolano Dohar, dan yang bungsu bernama kolano Mohamad.
Setelah sultan Jamal ud-din (mertua Kurawesi) meninggal pada tahun 1512, sebagai penggantinnya adalah Sultan Syech Mansyur, seorang keturunan Arab, yang memerintah di Tidore pada tahun 1512 – 1526. Pada masa pemerintahan sultan Syech Mansur inilah, Kurawesi beserta istri dan anak-anaknya yaitu kolano War, kolano Betani, kolano Dohar, dan kolano Mohammad, pulang ke Waigeo. Mereka diantar oleh para pengikutnya (kelompok hulubalang) yang berasal dari Tidore. Orang-orang Tidore pengikut Kurawesi dan istrinya Boki Thoibha, kebanyakan berasal dari pulau Makian, mereka merupakan orang Makian Dalam yang berbahasa Gani dan Taba. Mereka inilah yang kemudian oleh De Clerk disebut sebagai orang Maya. Istilah Maya kemudian diganti oleh van der Leeden dengan istilah Ma’ya dari kata Makya atau Makia/Makian. Istilah Ma’ya ini digunakan untuk membedakan dari nama suku Indian Maya di Amerika Selatan. Orang Ma’ya ini sampai sekarang masih tinggal di Raja Ampat, dan berbicara dalam  bahasa yang oleh peneliti-peneliti Belanda disebut sebagai bahasa Ma’ya atau Makya
Sebelum kepulangan Kurawesi dan keluarganya ke tanah Papua, diadakan suatu pertemuan antara sultan Syech Mansur dengan Kapitan Kurawesi dimana pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan politik sebagai berikut :
1.        Kurawesi diangkat oleh sultan sebagai Kapitan, yang kemudian dikenal dengan nama Kapitan Kurawesi atau disebut juga Kapitan Waigeo. Sedangkan Keempat orang anak Kurawesi, masing-masing diberi gelar Kolano atau Korano atau Raja, yaitu Kolano War, Kolano Betani, Kolano Dohar dan Kolano Muhammad.
2.    Kurawesi diberi tugas oleh sultan untuk mendirikan satu wilayah pemerin tahan  setingkat Gama di Papua. Disepakati pula bahwa keempat cucu sultan Jamal ud-din, yaitu kalano War, kolano Betani, Kolano Dohar dan kolano Muhammad, sepulangnya dari Tidore, masing-masing akan diberi wilayah kekuasaan di tanah Papua. Itulah sebabnya wilayah Raja Ampat yang sekarang, pada masa kesultanan Tidore dibagi menjadi dua, yaitu:
a)      wilayah Papua Gamsio, yang merupakan wilayah kekuasaan Kapitan Kurawesi, terdiri dari sembilan daerah Omka yang meliputi : kepulauan Ayau, Waigeo Utara, Waigeo Selatan, Pam-Meosmanggara, Kofiau, Wejim dan  daerah daratan kepala burung pulau Irian mulai dari Sausapor di utara sampai ke Teminabuan di pantai selatan. Wilayah Papua Gamsio disebut juga “Sembilan Daerah Omka” karena Kurawesi sendiri berasal dari suku Omka, penduduk asli pulau Waigeo. Sedangkan sembilan daerah yang dimaksud adalah karena wilayah Papua Gamsio terdiri dari lima sangaji dan empat Gimlaha.
b)      wilayah Kolano Ngaruha/Kolano Fat atau wilayah Empat Raja atau Raja Ampat, yang merupakan wilayah kekuasaan Empat Kolano, terdiri dari daerah Teluk Kabui dengan pusat kekuasaan di Wawiyai ditempati oleh Kolano War, daerah Salawati dengan pusat kekuasaan di Samate,ditempati oleh Kolano Betani, daerah Misol Timur dengan pusat kekuasaan di Lilinta ditempati oleh Kolano Dohar dan daerah Misol Barat dengan pusat kekuasaan di Waigama ditempati oleh Kolano Muhammad. Disinilah untuk pertama kali secara resmi digunakan istilah “Raja Ampat”, jadi yang dimaksud dengan Raja Ampat/ Empat Raja yang sesungguhnya adalah Empat orang anak Kurawesi tersebut di atas.
3.    Batas wilayah antara Nyili Maluku atau Nyili Gama dengan Nyili Papua atau Nyili Gulu-gulu, ditetapkan antara pulau Gebe dan pulau Gag. Pulau Gebe termasuk penduduknya yang sebagian berasal dari Biak, masuk wilayah Maluku Utara, sedangkan pulau Gag dan kepulauan Sain termasuk pulau Wayak, masuk dalam wilayah Papua Gamsio.
4.    Nyili Papua dibagi kedalam tiga wilayah kekuasaan atau tiga Gama, yaitu (1) Wilayah Mafor Soa Raha, (2) Wilayah Papua Papua Gamsio, dan (3) Wilayah Kolano Ngaruha/Kolano Fat atau Raja Ampat. Penduduk dari ketiga wilayah ini harus membayar upeti sebagai tanda taklukan kepada sultan Tidore setiap tahunnya.
Setelah mengadakan kesepakatan dengan sultan Tidore, Kurawesi dan para pengikutnya tersebut pulang ke tanah Papua, melewati Patani, Gebe, terus ke pulau Waigeo dan  tinggal di kampung Wawiyai. Dari Wawiyai kemudian menyebar, sebagian mengikuti perpindahan Kolano Betani ke Samete di Salawati, sebagian lagi ikut Kolano Dohar ke Lilinta di Misol Timur, dan yang lain ikut Kolano Mohammad ke Waigama di Misol Barat.