Wednesday, December 28, 2011

REPRESENTASI IDEOLOGI FEMINISME DALAM MASYARAKAT SENTANI (Kritik Sastra Feminis terhadap Cerita Rakyat Asal Usul Marga Ongge)


REPRESENTASI IDEOLOGI FEMINISME DALAM MASYARAKAT SENTANI
(Kritik Sastra Feminis terhadap Cerita Rakyat Asal Usul Marga Ongge)
Siswanto
Abstrak
Perempuan Sentani memiliki peran yang sangat kompleks dalam hidup ini. Oleh karena itu ia dijuluki sebagai bumi (kani). Peran tersebut antara lain peran domestik yang berupa peran reproduksi dan produksi sedangkan peran publik berupa peran adat. Dalam beberapa hal perempuan Sentani tidak diperbolehkan berperan dalam tatanan adat, namun dalam cerita Asal Usul Marga Ongge perempuan Sentani memiliki peran yang signifikan. Sehingga peran ini mampu menepis anggapan bahwa perempuan tidak bisa berperan dalam tatanan adat dan juga merupakan suatu penghargaan atas jasa kaum perempuan Sentani berperan dalam berbagai aspek kehidupan.

Kata Kunci: ideologi feminisme, peran perempuan, adat.

1.        Pendahuluan
Apa tanggapan kita ketika mendengar kata perempuan? Dalam benak kita akan segera muncul kosep kecantikan, kelembutan, keibuan, kelemahan, kemanjaan, perlu dibantu, di bawah bayang-bayang laki-laki dan sebagainya. Bagi masyarakat umum hal ini dapat dimaklumi sebagai sesuatu yang bersifat kodrati bagi seorang perempuan. Seluruh komponen masyarakat sepakat dan bahkan mendukung bahwa atribut-atribut yang melekat dalam konsep seorang perempuan adalah sesuatu yang kodrati atau alamiah dikarenakan faktor biologis sebagai perempuan itu sendiri.
Tetapi benarkah konsep yang berlaku pada seorang perempuan ini diakibatkan oleh keadaan fisiknya yang memiliki rahim? Apakah kita pernah membayangkan ketika seorang balita laki-laki diasuh layaknya kita mengasuh seorang balita perempuan dengan memakaikannya rok atau memberikan perlakuan secara feminim, apakah ia akan tetap memenuhi konsep seorang laki-laki ketika ia dewasa? Baik kita sadari atau tidak, tumbuh kembang manusia menjadi seseorang yang memenuhi konsep perempuan atau laki-laki adalah hasil bentukan konstruksi yang berlaku dalam masyarakat. Konsep bahwa seorang laki-laki harus rasional, kuat, tegar, dan seterusnya, dibangun oleh masyarakat dengan memberikan didikan bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis dan mainan seperti mobil-mobilan atau permainan tradisional lain yang bersifat maskulin. Sebaliknya, ketika masyarakat kita mendidik seorang perempuan, ia akan dididik sebagai seorang anak yang lembut dan manja serta diizinkan menangis hanya karena ia perempuan.
Lebih jauh lagi, cerita rakyat kita juga turut mendukung dan membuktikan bahwa konsep perempuan telah dibentuk oleh masyarakat sejak dulu. Di nusantara, kita mengenal cerita rakyat bawang merah dan bawang putih yang menceritakan tentang dua perempuan beda karakter. Bawang merah dikisahkan sebagai seorang perempuan yang malas dan tidak pernah menurut pada perintah orang tua. Sedangkan bawang putih adalah seorang perempuan yang rajin membersihkan rumah, pintar memasak, mencuci, dan penurut akan semua perintah orang tua. Pada cerita rakyat Papua juga terdapat beberapa tokoh perempuan yang mendukung konsep perempuan sebagai makhluk yang feminim dan berada dalam bayang-bayang budaya maskulin. Dengan adanya konsep bahwa perempuan adalah makhluk feminim dan lemah maka ia akan ditempatkan pada posisi kedua setelah laki-laki. Perempuan tidak didudukkan sebagai bagian yang penting dalam sebuah keluarga. Perempuan hanya merupakan pelengkap saja.
Seharusnya laki-laki dan perempuan merupakan pasangan maka satu sama lain bukan bersaing dan tuntut menuntut, tetapi saling melengkapi, saling membantu, saling mendorong ke arah kemajuan, saling mengasihi, mencintai, menghormati, dan tolong-menolong. Jika laki-laki dan perempuan bisa menempatkan diri pada porsi masing-masing tidak akan terjadi saling menuntut persamaan hak dan derajat. Kekerasan dan ketidakadilan dalam keluarga yang bersifat kulturalpun tidak akan terjadi.
Salah satu jenis kekerasan yang tidak mudah diidentifikasi adalah kekerasan kultural. Pelaku kekerasan kultural kerap kali tidak menyadari kekerasan yang dilakukannya. Sebabnya, kekerasan ini sudah dilestarikan dalam budaya dan turun menurun. Demikian pula dengan kekerasan terhadap perempuan dalam budaya masyarakat di Papua. Nilai-nilai kekerasan diimplementasikan dalam berbagai aturan, norma dan pantangan terhadap kondisi dan keberadaan perempuan. Kaum perempuan sendiri merasakannya sebagai hal yang biasa, sudah takdir dan tidak merasa terpaksa melakukan segala aktivitasnya. Namun, bila dilihat menggunakan kacamata hak asasi manusia, maka akan ditemukan banyak sekali praktek yang mengarah pada pelanggaran hak-hak asasi manusia atau hak-hak asasi perempuan.
Dalam tulisan ini, penulis akan memberikan gambaran singkat tentang representasi ideologi feminisme dalam cerita rakyat Sentani. Tulisan ini memberikan gambaran tentang peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan yang biasanya hanya dilakukan oleh kaum lelaki dikarenakan adanya peraturan adat. Cerita rakyat Sentani yang berjudul Asal Usul Marga Ongge memberikan wawasan baru bahwasanya kaum perempuan Sentani juga dapat berberan dalam kegiatan adat dan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Hal ini merupakan suatu bentuk penghargaan terhadap kaum perempuan yang telah banyak berjasa dalam segala aspek kehidupan masyarakat Sentani.

2.        Landasan Teori
2.1    Feminisme dan Sastra
Perjuangan emansipasi wanita saat ini masih aktif diperjuangkan oleh sebagian wanita. Mereka memperjuangkan emansipasi wanita karena masih merasakan ketidakadilan gender dengan kaum laki-laki. Gerakan perjuangan ketidakadilan gender ini sering disebut dengan gerakan feminisme.
Ratna (2007, 184) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun dalam kehidupan sosial pada umumnya.
            Feminisme dalam dunia sastra menghasilkan representasi mengenai perbedaan gender yang memberi sumbangan pada pandangan sosial bahwa laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang berbeda. Perempuan sering menjadi feminis dengan menjadi sadar akan, dan mengkritik, kekuasaan misrepresentasi simbolis atas perempuan. Jackson & Jones (2009: 332).
Karya sastra berupa novel, puisi, maupun cerpen dapat dikaji menggunakan pendekatan feminisme, asalkan ada tokoh wanitanya. Kita akan mudah menggunakan pendekatan ini jika tokoh wanita itu dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Tidaklah menjadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan (Djajanegara, 2000: 51).
            Dalam proses pengkajian sastra feminis, ada beberapa pendekatan feminisme yang dapat digunakan untuk menunjang penelitiannya. Gross menguraikan lima hal yang membuat teori-teori tentang persamaan sebelumnya. Pertama, Wanita menjadi subyek dan objek ilmu pengetahuan. Dengan menciptakan ilmu pengetahuan menjadi absah. Kedua, semua metode, prosedur, anggapan, dan teknik teori-teori sebelumnya dipertanyakan. Ketiga, dengan mempergunakan teori otonomi, kaum feminis tidak Cuma mengembangkan perspektif-perspektif mengenai wanita dan isu-isunya, tetapi juga tentang sederet topik yang luas, dengan memasukkan teori-teori lain. Keempat, teori-teori feminis tidak hanya menegaskan alternatif-alternatif, tetapi berkarya melalui teks-teks patriarkis. Teori-teori itu tidak lagi menyalahkan atau menerima tulisan-tulisan yang disampaikan. Tulisan-tulisan yang ada tersebut kini dianalisis, diuji, dan dipertanyakan. Pada akhirnya, teori feminis menekankan institusi-instistusi sosial dan tindakan sosial, dengan memberikan kerangka-kerangka alternatif (Gross dalam Jane & Helen, 2002: 20-21).

2.2    Sosiofeminis
Dalam Sofia (2009: 22), kritik sastra sosiofeminis menekankan peran-peran yang diberikan untuk perempuan di masyarakat. Hal ini dapat dipahami bahwa perempuan memiliki peran-peran tertentu dalam kehidupan bermasyarakat di berbagai bidang. Soekamto (2002:243) menjelaskan bahwa hubungan-hubungan sosial pada masyarakat, merupakan hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat. Setiap masyarakat, kaum pria dan wanita memiliki peran gender yang berbeda. Terdapat perbedaan pekerjaan yang dilakukan mereka di dalam masyarakat disebabkan oleh berbagai macam faktor, mulai dari lingkungan alam, hingga cerita dan mitos-mitos yang digunakan untuk memecahkan teka-teki perbedaan jenis kelamin. Mengapa perbedaan itu tercipta dan bagaimana dua orang berlainan jenis dapat berhubungan baik satu dengan yang lainnya dan dengan sumber daya alam sekitarnya.
Penelitian peranan perempuan ini merupakan penerapan dari wacana images of women (citra perempuan). Images of women merupakan suatu jenis sosiologi yang menganggap teks-teks sastra dapat digunakan sebagai bukti adanya berbagai jenis peranan perempuan. Penelitian images of women dilakukan untuk dua kegunaan yang berbeda. Di satu pihak penelitian images of women digunakan untuk mengungkap hakikat representasi stereotipe yang menindas yang diubah ke dalam model-model peran serta menawarkan pandangan yang sangat terbatas dari hal-hal yang diharapkan oleh seorang perempuan. Di pihak lain, penelitian images of women digunakan untuk memberikan peluang berpikir tentang perempuan untuk membandingkan bagaimana perempuan telah direpresentasikan dan bagaimana seharusnya perempuan dipresentasikan (Ruthven dalam Sofia, 2009:22-23).
Peranan perempuan dapat dilihat melalui pencitraan. Citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indra yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Sementara itu, pencitraan merupakan kumpulan citra (the colection of images) yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indra yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi harfiah maupun secara kias             ( Abrams dalam Sofia, 2009:24).

2.3    Peranan Perempuan
Soekamto dalam Handayani mengungkapkan bahwa perempuan harus punya peran ganda yaitu dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, kedua peran wanita tersebut harus dijalankan secara seimbang. Hal tersebut tidak bisa lepas dari kodrat dan kultur yang ada. Saat ini pekerjaan tidak lagi didominasi oleh laki-laki, namun kaum perempuan sudah banyak yang merambah pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki.
Tiga hal yang mencakup peranan, yaitu:
a.    Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
b.    Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c.    Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

2.4    Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat
Meski perempuan pada dasarnya memiliki fisik yang lemah dan lembut, namun ia memiliki perasaan dan naluri yang kuat, yang diciptakan oleh Tuhan mengemban tugas pendidikan dan pengajaran masyarakat untuk menghantarkan umat manusia kepada kesempurnaan. Tuhan menciptakan perempuan, yang merupakan manifestasi keindahan Ilahi, yang juga tempat kaum lelaki memperoleh ketenangan dan ketentraman, dalam rangka menghiasi rumah dan keluarga dengan pancaran kasih sayang dan kelemah lembutannya.
Masalah gender/jender muncul dari pemikiran orang-orang di dunia Barat. Pemikiran jender adalah pemikiran yang muncul dengan asumsi bahwa laki-laki dan perempuan dua jenis makhluk yang berbeda, berdiri sendiri-sendiri, yang masing-masing selalu menuntut hak dan kewajiban, saling menuntut kesetaraan, bahkan persaingan dalam status, pekerjaan dan berbagai bidang kehidupan.
Konsep Al Quran menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah pasangan (zaujatun, azwaja), Allah SWT berfirman dalam Surat Ar Rum ayat 21 "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
Karena laki-laki dan perempuan merupakan pasangan maka satu sama lain bukan bersaing dan tuntut menuntut, tetapi saling melengkapi, saling membantu, saling mendorong ke arah kemajuan, saling mengasihi, mencintai, menghormati, dan tolong-menolong. Karena itu, dengan kedatangan Islam Kaum perempuan pada waktu itu diangkat dalam kedudukan tinggi dan mulia. Bahkan dalam hubungannya dengan anak Islam menempatkan perempuan (ibu) tiga kali lebih tinggi daripada laki-laki.
Jadi, Islam tidak pernah membedakan derajat laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki bisa sekolah setinggi mungkin, maka perempuan juga bisa. Dalam bekerja, jika laki-laki bisa jadi direktur, komisaris, presiden, dan lain-lain. Perempuan pun bisa memperoleh kedudukan seperti itu. Yang penting baik laki-laki maupun perempuan harus bisa menjaga jangan sampai terjadi fitnah dalam kedudukan itu.

3.        Pembahasan
3.1    Kedudukan Perempuan Sentani dalam Masyarakat
Masyarakat Sentani sangat menghormati perempuan. Segala bentuk pelecehan akan berakibat pada dikenakannya denda adat bagi yang melakukannya. Perempuan sangat dijaga karena peran reproduktif dan produktifnya. Namun demikian praktek di lapangan tidak sejalan dengan peraturan adat yang ada. Perempuan Sentani sering mendapatkan perlakuan yang kurang adil dalam hidup bermasyarakat dengan dalih menaati peraturan adat tadi.
Aturan adat telah menempatkan perempuan Sentani pada posisi yang sangat tidak berdaya, sehingga tidak wemiliki otonomi bagi dirinya, baik sewaktu dalam kekuasaan orang tua, ketika masih berstatus sebagai anak maupun setelah menjadi istri yang berada dalam kekuasaan suami. Kondisi itu dimungkinkan karena adanya sistem mas kawin dalam perkawinan adat yang berlaku hingga saat ini, dan masih harus berperan dalam wilayah publik untuk berkebun dan bejualan di pasar. Dengan demikian, beratnya beban kerja, kemiskinan yang berakar, serta kurangnya kemauan para suami untuk  mengerjakan pekerjaan domestik.

3.2              Peran Perempuan Sentani sebagai Kani (Bumi)
Peran perempuan Sentani yang begitu kompleks sehingga ia dijuluki sebagai kani (bumi). Peran perempuan sentani mencakupi seluruh aspek kehidupan masyarakat sentani mulai dari peran domestik (rumah tangga) hingga peran publik (sosial kemasyarakatan dan adat).
Fakih (2001:11) memaparkan bahwa kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, merawat dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konsruksi cultural dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan merawat kebersihan rumah tangga bisa bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Oleh karena jenis pekerjaan itu bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal, apa yang sering disebut sebagai “kodrat wanita” dalam kasus mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga, sesungguhnya adalah gender.
Menurut kondisi normatif, pria dan wanita mempunyai status atau kedudukan dan peranan (hak dan kewajiban) yang sama, akan tetapi menurut kondisi objektif, wanita mengalami ketertinggalan yang lebih besar dari pada pria dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Kondisi objektif ini tidak lain disebabkan oleh norma sosial dan nilai sosial budaya yang masih berlaku di masyarakat. Norma social dan nilai sosial budaya tersebut, di antaranya di satu pihak, menciptakan status dan peranan wanita di sektor domestik yakni berstatus sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga, sedangkan di lain pihak, menciptakan status dan peranan pria di sektor publik yakni sebagai kepala keluarga atau rumah tangga dan pencari nafkah.

3.2.1        Peran Reproduktif
Pada zaman dahulu, ketika masih sering terjadi perang suku, sering jatuh korban yang gugur di medan perang. Pada saat itulah peran perempuan sangat dibutuhkan untuk menganti korban perang dengan cara melahirkan anak sebanyak mungkin. Oleh karena itu, untuk menghindarkan jatuhnya korban di pihak perempuan, perempuan tidak diperkenankan adat untuk ikut berperang.
Yektiningtyas-Modouw mengemukakan bahwa para ibu Sentani memelihara kandungan agar selalu sehat mendapat tantangan yang keras karena mereka tatap bekerja keras ketika mengandung. Hamil bukan alasan untuk tidak menunaikan tugas-tugas seperti menangkap ikan, berkebun, dan mengolah sagu.
3.2.2        Peran Produktif
3.2.2.1  Perempuan sebagai Tenaga Kerja
Tanggung jawab perempuan Sentani yang utama, selain melahirkan anak-anak (peran reproduktif) adalah bekerja giat (melifoi). Menunaikan melifoi (peran produktif) tidaklah mudah. Oleh karena itu, seorang lelaki secara sadar menginginkan seorang perempuan yang berfisik kuat dan giat bekerja sebagai istrinya.
Perempuan yang giat bekerja merupakan harapan dan kebanggaan masyarakat Sentani secara keseluruhan. Oleh karena itu, orang tua sering menasihati anak-anak laki-laki Sentani untuk mendapatkan calon istri yang baik.
3.2.2.2  Perempuan sebagai Penghasil Makanan
Perempuan Sentani berusaha untuk menyiapkan makanan yang terbaik bagi anak-anaknya. Menyiapkan makanan memerlukan proses yang panjang bagi seorang ibu. Ibu jugalah yang bertanggungjawab untuk menanam, menyiangi, kebun, memanen, membawa hasil kebun ke rumah, memasak, dan menyajikan makanan. Di lapangan ditemukan bahwa walaupun seorang ibu yang menyiapkan makanan, dia akan makan pada giliran terakhir setelah seluruh anggota keluarganya makan. Hal ini juga terjadi pada saat-saat acara adat atau acara sosial lainnya. Menurut Küs Ongge, hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap keluarga dan laki-laki.
Babi dipotong dan dimasak oleh kaum perempuan, setelah itu dibagikan kepada seluruh keluarga yang ada di rumah besar itu. Kaum lelaki dan anak-anak dipersilahkan makan terlebih dahulu, sedangkan kaum perempuan makan setelah kaum lelaki dan anak-anak telah selesai.

Tiba-tiba, sayup-sayup ia mendengar percakapan yang berasal dari ibu-ibu kampung Waena yang sedang hilir mudik mendayung perahu dari kebun sambil mencari ikan di danau. Dari percakapan mereka Marlau mendengar tentang babi yang sering merusak tanaman mereka. Mereka tidak dapat membawa hasil kebun karena telah habis dimakan oleh babi.

Dari kutipan cerita ini dapat diketahui bahwa kaum perempuanlah yang bekerja di kebun dan mencari ikan di danau. Dengan kata lain kaum perempuan Sentani memiliki peran produktif yang lebih dominan dibandingkan dengan kaum lelaki.
a.        Berkebun
Biasanya, pembukaan kebun dilakukan atas izin ondofolo dan ondofolo pula yang menunjuk tanah yang dapat dikelola mejadi kebun. Pembukaan kebun ini kadang-kadang juga melibatkan pemangku adat yang dipercayai mampu memberikan kesuburan tanah.
            Kegiatan berkebun dilakukan masyarakat dengan sistem ladang berpindah-pindah (shifting cultivation). Unit kerja kegiatan berkebun adalah keluarga inti, namun pekerjaan pembukaan kebun baru dilakukan secara bersama-sama oleh anggota-anggota kelompok kekerabatan klen kecil yang sama. Adapun pekerjaan menebas belukar, menebang pohon dan membuat pagar pelindung keliling kebun merupakan tugas laki-laki, sedangkan kaum perempuan bertugas untuk membakar dahan dan ranting yang sudah kering. Selanjutnya pekerjaan menanami kebun yang sudah siap dilakukan oleh kaum perempuan keluarga pemilik kebun tersebut. Di samping itu tugas perempuan adalah menyiangi rumput yang tumbuh di kebun sebelum masa panen tiba.

b.        Mengolah Sagu
Dalam pengolahan sagu, terjadi pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Biasanya pekerjaan menebang pohon sagu, menguliti batang sagu dan menokok empulur sagu menjadi serat-serat terlepas dilakukan oleh kaum laki-laki. Sedangkan pekerjaan yang menyangkut membuat alat berupa bak untuk mencuci serpihan sagu dan menampung endapan tepung sagu serta menganyam wadah (holobei) dari daun sagu untuk membawa pulang hasil produksi ke rumah, dilakukan oleh kaum perempuan.
            Seperti halnya pembagian lahan untuk berkebun, lahan untuk menanam sagu pun diatur oleh adat. Tiap-tiap klen mempunyai dusun sagu sendiri-sendiri. Letak dusun sagu dipilih yang dekat dengan sungai atau sumber air lainnya karena air sangat diperlukan untuk mengolah empulur menjadi tepung sagu.
Masyarakat yang dipimpin ondofolo hidup sejahtera karena alam telah menyediakan kebutuhan hidup yang berasal dari dusun-dusun sagu yang berada di sekitar danau Sentani. Kaum lelaki yang menebang dan membersihkan sagu sedangkan kaum perempuan mengolahnya menjadi sagu.

c.         Menangkap Ikan
Pekerjaan menangkap ikan di air danau menurut Mansoben merupakan aktivitas yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan pekerjaan meramu sagu dan bercocok tanam. Hal ini disebabkan karena ikan merupakan lauk pauk yang terpenting dalam menu orang Sentani. Oleh karena itu kegiatan menangkap ikan tetap dilakukan secara terus menerus sepanjang tahun. Adapun aktivitas menangkap ikan dilakukan terutama oleh kaum perempuan. Merekalah yang membuat berbagai peralatan yang dibutuhkan untuk menangkap ikan, mulai dari memanah sampai menjadi alat yang siap pakai, misalnya jaring yang berbentuk tangguk (perpere), jaring kantong (bel) dan sero. Juga kaum wanitalah yang menggunakan peralatan tersebut untuk menangkap ikan.
Tidak seperti halnya tanah yang digunakan untuk berkebun yang dibagi-bagi menurut klen, menangkap ikan di danau dapat dilakukan di bagian danau mana saja, tanpa dibatasi.
Danau Sentani juga memberikan asupan gizi yang tinggi karena dalam danau itu terdapat berbagai jenis ikan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Kaum perempuanlah yang bekerja untuk mencari ikan di danau.

3.3              Peran Perempuan Sentani dalam Area Publik
Disamping menunaikan peran domestik yang kompleks, perempuan Sentani juga memerankan peran publik yang dititik beratkan pada kemampuannya menjaga hubungan sosial di masyarakat. Perempuan Sentani terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, misalnya bersama kelompok perempuan lain mengumpulkan makanan untuk menyediakan keperluan adat, memasak untuk keperluan adat, membantu proses persalinan, menolong orang sakit dengan memberi makanan dan obat-obatan, menyantuni orang yang berkekurangan dan sebagainya. Kemampuan seorang istri untuk terlibat dalam kegiatan sosial akan membaut keluarga, terutama suami, dihormati dan diperhitungkan olah masyarakat (Yektiningtyas-Modouw, 2008: 530)
3.4              Peran Perempuan Sentani dalam Adat
3.4.1                    Peran sebagai Penasihat
Seorang ondofolo mempunyai perangkat pembantu khusus yang disebut abu-afa. Peranan perangkat tersebut adalah sebagai penasihat utama bagi ondofolo dalam hal memberikan nasihat dan pertimbangan kepada ondofolo sebelum membuat suatu keputusan penting. Di samping itu abu-afa juga berperan sebagai juru bicara ondofolo. Peranan-peranan ini menyebabkan abu-afa selalu mendampingi ondofolo dalam setiap pertemuan resmi. Kedudukan ini menuntut pengetahuan yang amat dalam dan luas tentang seluk beluk adat dari seseorang yang menjadi abu-afa. Selain itu seorang  abu-afa harus setia serta sanggup menyimpan rahasia, sebab ia mengetahui semua kekayaan dan segala kerahasiaan pemerintahan ondofolo (Mansoben, 1995: 173)
Dalam struktur adat masyarakat sentani jabatan abu-afa dipegang olah seorang laki-laki. Namun dalam cerita Asal Usul Marga Ongge, yang menjabat sebagai penasihat putra ondofolo adalah perempuan, seorang nenek. Dengan demikian perempuan juga memiliki peran adat yang cukup signifikan dalam masyarakat adat sentani.

Ada seorang nenek yang merasa prihatin terhadap perilaku Marlau, kemudian nenek ini memberi nasihat kepada Marlau.
“Semua orang di rumah besar ini membicarakan tentang dirimu. Kelakuanmu yang tidak baik membuat mereka tidak suka padamu. Mereka mengatakan bahwa dirimu tidak pantas untuk menjadi ondofolo menggantikan ayahmu. Engkau harus merubah sikap dan membuktikan bahwa engkau layak menjadi ondofolo”.

3.4.2                    Peran sebagai Pengajar
Di bidang pendidikan anak, sang ibu terutama, bertanggung jawab terhadap pendidikan anak perempuan karena anak laki-laki setelah berusia sekitar tujuh tahun menjadi tanggung jawab sang ayah. Sedini mungkin sang ibu memperkenalkan tugas-tugas perempuan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun dalam cerita Asal Usul Marga Ongge, ada seorang nenek yang berusaha memberikan pelajaran atau pendidikan terhadap anak laki-laki ondofolo yang harusnya dilakukan oleh kaum lelaki.
Mula-mula, nenek mengajari Marlau membuat busur kecil dan anak panah yang dipergunakan untuk berlatih berburu burung dan ikan. Setelah membuat perlengkapan berburu yang sederhana, Marlau pergi berburu burung dan ikan yang hasil buruannya nanti akan diserahkan kepada ondofolo. Dengan ini ia berusaha untuk mengambil hati ondofolo. Lalu ia bersama nenek membuat busur yang lebih besar yang dapat digunakan untuk berburu babi.

3.4.3                    Peran sebagai Pemegang Harta Pusaka/Kekuatan Supranatural
Perempuan tidak diizinkan oleh adat untuk memegang kekuatan supranatural karena beratnya resiko yang diemban oleh pemegang kekuatan ini, yang dapat menyebabkan kematian. Sama dengan alasan sebelumnya, kematian perempuan sangat disayangkan karena mengurangi penyandang peran reproduksi masayarakat Sentani. Küs Ongge (ww 15 November 2011) menjelaskan bahwa hanya perempuan tua yang sudah tidak mungkin melahirkan lagi yang dapat diberi tugas mengemban kekuatan supranatural.
“Aku menyampaikan pesan lewat angin kepada cucu Ondofolo Eluai Kending untuk mengambil benda-benda pusaka yang berada di Kheleijomo”, suara nenek terdengar jelas oleh Marlau.

Mansoben mengemukakan bahwa abu-afa memiliki dua perangkat yaitu pembantu sayap kanan (ayafo nolofo) yang bertugas sebagai wakil dan pelindung ondofolo dan  pembantu sayap kiri (meakhban nolofo) yang mempunyai tugas khusus untuk menyimpan dan merawat semua barang pusaka dan harta perbendaharaan kampung termasuk benda-benda atribut ondofolo. Kedudukan tersebut menurut ketentuan adat harus diemban oleh seorang anggota dari klen/marga kecil dari mana ondofolo berasal. Biasanya adik laki-laki tertua dari ondofolo yang memangku jabatan tersebut.
Akan tetapi jika kita simak dari petikan cerita rakyat ini yang menyimpan harta pusaka sebelum diserahkan kepada seorang ondofolo adalah seorang nenek. Jadi perempuan tua yang sudah tidah dapat mengandung lagi dalam hal ini dapat juga dipercaya untuk memegang harta pusaka.


4.        Penutup
Perempuan Sentani dimitoskan sebagai kani (bumi) karena mempunyai peran yang sangat kompleks. Peran ini dipengaruhi oleh pandangan adat masyarakat Sentani serta kedudukan mereka dalam masyarakat. Perempuan mengerjakan sebagian besar aspek kehidupan, yaitu mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, mendidik anak, dan menunaikan tugas utama sebagai penghasil makanan melalui bekerja di kebun, di danau dan dusun sagu. Selain itu, dalam cerita Asal Usul Marga Ongge perempuan tua Sentani juga berperan dalam tatanan adat yang biasanya hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Peran adat ini meliputi peran penasihat, peran pengajar, dan peran pemegang harta pusaka atau pemegang kekuatan supranatural. Peran dalam tatanan adat ini bukan hanya ada dalam cerita rakyat saja, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari juga nyata dan ada.
Dapat disimpulkan pula bahwa perempuan Sentani lebih banyak bekerja dibandingkan laki-laki, karena laki-laki lebih dituntut menunaikan pekerjaan yang sifatnya kolektif yang tidak berlangsung setiap hari, sedangkan perempuan bekerja setiap hari, sejak pagi hingga malam.

5.        Referensi
Cerita Rakyat Asal Usul Marga Ongge, Nara Sumber Küs Ongge, diwawancari pada hari Selasa, 15 November 2011.
Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Fakih, Dr. Mansour. 2003. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Handayani, Tri. 2006. Peranan Tokoh “Candi” dalam Novel Biru Karya Fira Basuki (Kajian Feminisme). Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: JBSI UNESA.
Jackson, Stevi dkk. 1998. Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.

Mansoben, Johsz R. 1995. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta : LIPI-RUL

Ollenburger, C. Jane dkk. 2002. Sosiologi Wanita. Jakarta: Rineka Cipta

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka  Pelajar.
Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis, Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo. Yogyakarta: Citra Pustaka
Yektiningtyas-Modouw, Wigati. 2008. Helaeehili dan Ehabla: Fungsinya dan Peran Perempuan dalam Masyarakat Sentani Papua. Yogyakarta: Adicitra Karya Nusa

Sunday, December 4, 2011

ASAL USUL MARGA ONGGE


Diceritakan Kembali Oleh Siswanto
Küs Ongge (Informan)

Pada zaman dahulu suku Sentani (Phuyakha) hidup rukun dalam sebuah rumah besar yang dipimpin oleh Ondofolo Heram Rasim Khelebeu. Rumah besar ini berada di kampung Ohei. Masyarakat yang dipimpin ondofolo hidup sejahtera karena alam telah menyediakan kebutuhan hidup yang berasal dari dusun-dusun sagu yang berada di sekitar danau Sentani. Kaum lelaki yang menebang dan membersihkan sagu sedangkan kaum perempuan mengolahnya menjadi sagu.  Danau Sentani juga memberikan asupan gizi yang tinggi karena dalam danau itu terdapat berbagai jenis ikan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Kaum perempuanlah yang bekerja untuk mencari ikan di danau.
Ondofolo memiliki beberapa anak lelaki yang masih remaja. Sebagaimana anak remaja pada umumnya, para anak Ondofolo ini tumbuh dan berkembang dengan kenakalan seperti remaja-remaja lainnya. Salah satu anak Ondofolo yang bernama Marlau memiliki kenakalan yang melampui batas kewajaran. Ia sering berkelahi dan membuat onar di lingkungan tempat bermainnya. Kaum perempuan sering menggunjing Marlau yang memiliki tabiat tidak baik ini. Kaum perempuan mengatakan bahwa anak ini tidak pantas menjadi Ondofolo. Jiwa kepemimpinan tidak nampak dalam dirinya. Sikap dan perilaku yang baik sejak dini merupakan cerminan calon Ondofolo yang baik.
            Ada seorang nenek yang merasa prihatin terhadap perilaku Marlau, kemudian nenek ini memberi nasihat kepada Marlau.
“Semua orang di rumah besar ini membicarakan tentang dirimu. Kelakuanmu yang tidak baik membuat mereka tidak suka padamu. Mereka mengatakan bahwa dirimu tidak pantas untuk menjadi Ondofolo menggantikan ayahmu. Engkau harus merubah sikap dan membuktikan bahwa engkau layak menjadi Ondofolo”.
Mula-mula, nenek mengajari Marlau membuat busur kecil dan anak panah yang dipergunakan untuk berlatih berburu burung dan ikan. Setelah membuat perlengkapan berburu yang sederhana, Marlau pergi berburu burung dan ikan yang hasil buruannya nanti akan diserahkan kepada Ondofolo. Dengan ini ia berusaha untuk mengambil hati Ondofolo. Lalu ia bersama nenek membuat busur yang lebih besar yang dapat digunakan untuk berburu babi. Tenyata ia juga dapat memanah babi dan menyerahkan kepada Ondofolo. Demikianlah, terus menerus Marlau berusaha untuk merebut hati ayahnya agar kelak dijadikan Ondofolo. Berkat latihan dan pelajaran yang diberikan oleh nenek, ia tumbuh menjadi pemuda yang kuat dan berani.
Pada suatu hari ia berburu babi dan binatang lainnya hingga jauh meninggalkan kampung Ohei hingga tiba di daerah Melai. Marlau belum mendapat binatang buruan. Ia merasa lelah. Kemudian ia beristirahat di tepi danau sentani yang letaknya dekat dengan kampung Waena  (isele). Tiba-tiba, sayup-sayup ia mendengar percakapan yang berasal dari ibu-ibu kampung Waena yang sedang hilir mudik mendayung perahu dari kebun sambil mencari ikan di danau. Dari percakapan mereka Marlau mendengar tentang babi yang sering merusak tanaman mereka. Mereka tidak dapat membawa hasil kebun karena telah habis dimakan oleh babi. Mendengar percakapan itu, Marlau berkata dalam hati, “Apakah ibu-ibu Waena itu tidak memiliki suami atau anak laki-laki untuk membunuh babi itu”.
Marlau tergerak hatinya untuk membantu ibu-ibu Waena untuk membunuh babi yang sering merusak tanaman. Ia kemudian mencari babi itu hingga mendekati kampung Yoka. Dengan kehebatannya akhirnya ia menemukan babi itu dan memanahnya hingga mati. Ternyata babi itu besar sekali sehingga ia tidak mampu untuk mengangkat sendiri. Marlau pulang ke Ohei meminta batuan ayahnya untuk mencari sepuluh orang yang kuat untuk mengangkat babi. Setelah babi sampai di kampung, Ondofolo mengatakan bahwa babi harus dipotong di suatu tempat yang bernama Kiso. Babi dipotong dan dimasak oleh kaum perempuan, setelah itu dibagikan kepada seluruh keluarga yang ada di rumah besar itu. Kaum lelaki dan anak-anak dipersilahkan makan terlebih dahulu, sedangkan kaum perempuan makan setelah kaum lelaki dan anak-anak telah selesai.
Keesokan harinya Marlau pergi meninggalkan Ohei menuju daerah Melai di Waena. Ia merasa sangat letih dan memutuskan untuk beristirahat. Dalam keheningan pagi buta Marlau mendengar suara yang berasal dari suatu tempat yang jauh. Tempat itu bernama Kheleijomo (salah satu tempat di kampung Yoka). Dengan jelas ia mendengar suara seorang nenek tengah menyampaikan pesan batin kepada seseorang.
 “Aku menyampaikan pesan lewat angin kepada cucu Ondofolo Eluai Kending untuk mengambil benda-benda pusaka yang berada di Kheleijomo”, suara nenek terdengar jelas oleh Marlau. Marlau mengetahui bahwa itu adalah suara nenek Anyokhong Hebeibulu yang buta. 
Marlau merencanakan untuk menyamar menjadi Ondofolo Eluai Kending dan mendapatkan harta pusaka itu. Hari masih pagi benar, ia mengumpulkan kayu bakar yang banyak dan akan diberikan kepada nenek Anyokhong Hebeibulu.
Setelah tiba di Kheleijomo, Marlau segera menghampiri nenek dan berkata “Abu (nenek), aku membawakan kayu bakar untuk menghangatkan tubuhmu, aku akan membuat perapian yang besar agar agar tahan lama hingga sore hari.” Marlau dan nenek Anyokhong Hebeibulu bercakap dalam beberapa saat hingga Marlau berkata,
 Abu, mana harta pusaka yang engkau katakan tadi, aku datang untuk mengambilnya.” Tanpa menaruh curiga nenek segera menyerahkan harta-harta pusaka dalam sebuah noken yang besar. Dengan senyum penuh kemenangan Marlau segera pamit dan pulang kembali ke  Melai.
 Keesokan harinya Ondofolo Ayafo Eluai Kending datang ke rumah nenek Anyokhong Hebeibulu untuk mengambil harta pusaka seperti yang telah ia dengar lewat pesan yang terbawa oleh angin.
“Nenek saya Eluai Kending datang untuk mengambil harta pusaka”.
“Eluai Kending yang mana lagi? Saya sudah menyerahkan harta pusaka kepada Eluai Kending kemarin” ujar nenek dengan heran.
Ondofolo Eluai Kending pulang ke Ayafo dengan penyesalan mendalam dan penuh tanda tanya. Siapa yang telah mengambil harta pusaka miliknya. Tidak seorangpun yang dapat ditanya. Kemudian ia mulai mencari ke seluruh pelosok danau Sentani (Fuyakha Bu).  Ia menanyakan keberadaan harta pusaka kepada setiap Ondofolo, namun semua Ondofolo menyatakan tidak tahu. Akhirnya ia pulang ke kampung Ayafo dengan kesedihan yang mendalam.
Sementara itu Ondofolo Heram Rasim Helebeu mempunyai firasat lain, ia bergumam dalam hati, “Ahh…, Marlau saat ini tengah berburu ke Melai, pasti dia yang telah mengambil harta pusaka itu”.
Kemudian ia berkata kepada istrinya, “Tolong masak sagu yang telah kau olah dari dusun sagu kemarin dan juga beberapa ikan bakar dari danau, aku akan melihat Marlau ke Melai. Aku mempunyai firasat yang tidak baik mengenai Marlau”. Perbekalan telah lengkap. Ondofolo Heram Rasim Khelebeu mendayung perahunya menuju Melai. Ia  hampir sampai ke Melai dan tiba-tiba ia mendengar Marlau tengah berdendang.
“akan kau cari ke mana”
“akan kau cari ke mana”
“semuanya telah hilang”
“semuanya telah hilang”
Sebagai Ondofolo ia dapat memahami makna lagu yang telah didendangkan oleh Marlau. Ondofolo telah sampai di Melai dan berjumpa dengan Marlau.
Setelah makan bersama Marlau, Ondofolo bertanya, “Apakah engkau yang mengambil harta pusaka milik Ondofolo Eluai Kending?
“Tidak, aku tidak mengambilnya”.
Ondofolo bertanya sebanyak dua kali, namun Marlau memberikan jawaban yang sama. Ketika Ondofolo menanyakan yang ke tiga kali, Marlau mengaku bahwa ia yang telah mengambil harta pusaka tersebut. Ia tidak dapat berbohong kepada ayahnya lagi. Ia tidak ingin mendapat kutukan. Ondofolo kemudian meminta Marlau untuk menyerahkan ikatan lidi yang ada pada Marlau. Setelah Marlau menyerahkan ikatan lidi, Ondofolo menghitungnya dan mendapatkan bahwa lidi itu kurang satu.
“Lidi ini kurang satu, berarti harta pusaka itu hilang satu. Di mana kau menyimpannya?”
Sebagai Ondofolo Besar ia mengetahui bahwa setiap kampung memiliki harta pusaka dan jumlahnya. Berapa jumlah gelang batu, jumlah kapak batu, atau jumlah manik-manik. Mendengar ucapan ayahnya Marlau terdiam, dan ia memastikan bahwa ia tidak menyimpan salah satu dari harta pusaka itu. Ondofolo tahu isi hati Marlau, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Hati Marlau bersorak gembira melihat ayahnya diam dan langsung pulang. Ia tahu bahwa dengan memiliki harta pusaka itu kelak ketika ia akan pindah dan memiliki kampung sendiri maka harta pusaka itu dapat menjadi tanda yang sah. Oleh sebab itu ia bersikeras bahwa ia tidak mengambil harta pusaka itu.
Ondofolo telah sampai di kampung Ohei. Ia mengutus seseorang untuk mengembalikan harta pusaka itu kepada Ondofolo Eluai Kending di Ayafo. Ia berpesan agar menyampaikan bahwa harta pusaka yang ditemukan hanya itu dan tetap merahasiakan satu harta pusaka yang telah diambil Marlau. Utusan tiba di kampung Ayafo dan menyerahkan harta pusaka ke Ondofolo Eluai Kending. Ia mulai menghitung dan dan ia kehilangan satu harta pusaka. Ia bertanya kepada utusan tentang harta pusaka itu, tetapi utusan menjawab sesuai yang telah dipesan oleh Ondofolo Heram Rasim Khelebeu. Ondofolo Eluai Kending tidak dapat berbuat apa-apa.
Setelah kejadian itu Marlau keluar dari kampung dan berencana membuat kampung sendiri. Kemudian ia menetap di Melai. Ia menetap di sana bersama Ohee, dan membentuk suku yang bernama Ongge. Ohee menjadi Ondofolo dan Marlau menjadi Kotelo. Harta pusaka itu adalah gelang yang terbuat dari batu. Saat ini gelang pusaka itu masih disimpan dan dirawat oleh marga Ongge dengan baik.