Tuesday, March 23, 2010

Cerita Rakyat Yapen

(diceritakan kembali oleh Yan Maniani)

Di daerah Yapen Timur, tempatnya di daerah Wawuti Revui terdapat sebuah gunung bernama Kemboi Rama. Masyarakat berkumpul dan berpesta di gunung itu. Di gunung itu juga tinggal seorang raja tanah atau Dewa bernama Iriwo Nowai. Dewa itu memiliki sebuah tipa atau Gendang yang diberi nama Sokirei
Atau Soworai, jika Gendang itu berbunyi orang-orang akan berdatangan dan berkumpul karena pada kesempatan itulah mereka dapat melihat Gendang itu. Akan tetapi, yang dapat melihat Gendang itu hanya orang-orang Tud bekekuatan Gaib.
Dewa Irowonawi mempunyai sebuah dusun yang banyak ditumbuhi tanaman Sagu, Yaitu Aroempi. Sagu merupakan makanan pokok daerah Wawutu Revui. Akan tetapi sagu itu, lama kelamaan berkuran. Dewa marah, kemudian tanaman Sagu itu dipindah ke daerah pantai disana mereka mendirikan daerah baru yang diberi nama Randuayaivi, setelah itu Kamboi Rama hanya tingal Iriwonawai dan sepasang Suami Istri bernama irimiami dan Isoray.
Pada suatu pagi, Isoray duduk diatas batu untuk menjemer diri, beberapa saat kemudian, batu yang didudukinya mengeluarkan Awan gumpalan (Awan Panas) sehingga dia tidak tahan duduk di batu itu. Kemudian Irimiami menduduki batu itu ternyata apa yang di rasakan Irimiami sama dengan yang dirasakan Isoroy. Setelah itu, Irimiami mengambil daging rusa dan diletakan diatas batu itu, tidak lama kemudian, daging rusa itu di angkat dan di makan ternyata daging Rusa itu terasa enak. Sejak itu, irimiami dan Isoray selalu meletakan makanan diatas batu itu.
Pada suatu hari, Irimiami dan Isoray mengosok buluh bambu di batu itu, tidak lama kemudian buluh bambu putus dan gosokan buluh bambu mengeluarkan percikan api. Irimiami dan Isoray heran, kemusian mereka mulai mengadakan percobaan diatas batu itu.
Keesokan harinya, mereka mengumpulkan rumput dan daun kering, rumput dan daun kering itu diletakan diatas batu itu tidak lama kemudian, rumput dan daun kering itu mengeluarkan gumpalan Awan seperti mereka pernah lihat. Irimiami dan Isoray menamakan batu iru keramat mereka mulai memuja batu itu.
Pada siang hari ketika Matahari memancarkan sinarnya, Irimiami dan Isoray mencoba meletakan ruput, daun dan ranting bambu diatas batu keramat itu mereka menunggu apa yang terjadi ternyata keluarlah awan merah yang sangat panas mereka ketakutan dan memohon kepada Dewa Iriwonawai agar memadamkan awan merah itu, permohonan mereka terkabul dan awan merah itu padam.
Hari berikutnya mereka mengumpulkan rumput, daun, dan kayu lebuh banyak. Benda-benda itu mereka letakan diatas batu keramat asap tebal mengepul di puncak gunung Kambol Rama selama enam hari Gedang pun berbunyi, masyarakat berkumpul ingin menyaksikan Gendang Soworai.
Irimiami dan Isorai menyambut baik kedatangan penduduk kampung Randuayaivui, mereka pun menceritakan peristiwa itu dan asal mula di temukan batu keramat. Penduduk tercengung mendengar cerita mereka, apabila mereka mencicipi makanan yang dipanaskan diatas batu keramat, oleh karena itu Irimiami dan isoray ingin ingin supaya diadakan paeta adapt.
Keesokan harinya, pesta adapt dimulai penduduk kampung Randiayaivibekumpul membawa pebekalan seperti, Sagu, Keladi, Daging dan makanan lainnya mereka bekumpul mengelilingi batu keramat, sambil meletakan rumput diatas batu itu, tidak lama kemudian keadaan sekitar gunung Kambi Rama menjadi sangat cerah dengar sinar api yang keluar dari batu keramat.
Pesta adat berlangsung selama 3 hari 3 malam, dalam pesta itu Irimiami dan Isoray memperhatikan peristiwa-peristiwa yang pernah mereka alami, kemudian Irimiami dan Isoray memerintahkan masyarakat yang hadir di pesta itu untuk mengelilingi batu keramat sambil menari dan memuja batu itu
Inilah legenda masyarakat Irian Jaya yang sampai sekaran mengerematkan batu api penemuan Irimiami dan Isoray. Mereka juga percaya bahwa Irimiami dan Isoray adalah orang pertama menemukan api, sekali di lakukan upacara pemuja terhadap batu keramat itu.

Asal Usul Suku Ormu

(Diceritakan kembali Oleh: Monika Toto)

Pada zaman dahulu, Suku Ormu hidup bersama di wilayah Tanjung Yatnan. Ketiga Suku Ormu itu sebenarnya adik kakak (Yeibhe, Yuwari, dan Trong). Lalu kemudian mereka membuat kesalahan, sehingga mereka semua pergi meninggalkan kampung di tanjung itu. Mereka meninggalkan semua harta kekayaan mereka di sana. Setelah mereka meninggalkan tanjung itu, mereka seolah-olah sudah saling membenci satu sama lain. Padahal mereka dulunya tinggal dalam keadaan damai, tenang, dan harmonis. Ikan dan sagu mudah mereka dapatkan, sehingga kehidupan mereka makmur sejahtera. Kesalahan besar itu sebenarnya dilakukan orang Suku Yuwari dan Suku Trong. Lalu mereka bubar dan berjalan bersama-sama.
Awalnya mereka berpindah hidup ke satu kampung yang bernama Morokwa. Lalu bergerak sampai ke kampung tua. Setelah itu kedua adik ini
( Yuwari dan Trong) melupakan kakak tertua mereka (Nereibhe). Suku Yeibhe ini akhirnya mengambil keputusan untuk berpisah dengan adik-adiknya dan memilih menetap di Kampung Ormu Kecil. Lalu suku Nereibhe ini hidup dengan Suku Maro sampai saat ini.
Suku Yuwari ini menuju ke Yanda. Lalu di sana mereka membuat kampung di tempat ini dan mulai bertanam. Suku Trong tetap tinggal di tempat semula, namun Suku Maro tetap bergabung dengan Suku Yeibhe. Begitulah asal mula perpisahan ketiga suku-suku besar Ormu. Dua Suku di Kampung Ormu Besar dan Satu Suku di Kampung Ormu Kecil. Suku Yuwari dari Yanda pindah ke Ormu Kecil ketika Pemerintah dan Agama mulai mengatur pola kehidupan masyarakat. Mereka membagi dua wilayah kampung itu, Suku Yuwari di bagian laut dan Suku Trong itu di bagian darat. Hanya orang-orang suku Yeibhe yang tetap bertahan di kampung Ormu Kecil sampai sekarang.

Thursday, March 11, 2010

Burung Cenderawasih (Bahasa Sentani: Hiyare)

(Diceritakan Kembali Oleh: Ramses Ohee)

Burung cenderawasih sangat indah dilihat, namun sangat sulit untuk didapatkan. Bulu burung cenderawasih yang halus memiliki daya tarik tersendiri untuk dimiliki. Bulunya yang berwarna putih dan kuning cerah sangat serasi dengan kombinasi warna coklat di bagian ekor.
Ada seorang ibu Ondofolo (istri dari Ondoafi) bernama Nolokom yang bertempat tinggal di kampung Yonorom di Kwadewareh, Sentani Timur yang sangat tertarik pada keindahan burung cenderawasih. Ia bermaksud menggunakan bulu burung cenderawasih untuk hiasan di kepalanya. Pada suatu hari, saat Ondofolo sedang mencari ikan di danau Sentani bersama-sama kaum ibu, ada seekor burung cenderawasih yang terbang rendah di atas perahu dengan suara yang indah. Kepak sayap cenderawasih yang lembut membuat burung itu melayang di angkasa, terbang rendah dan menukik, kemudian burung itu terbang menjauh ke arah gunung. Ondofolo hanya diam memandangi burung cenderawasih itu hilang dari pandangannya. Ondofolo diam agar tidak ada orang lain yang tahu tentang keinginannya. Terlebih lagi Ondofolo tidak mau ada orang lain yang lebih dulu menangkap burung cenderawasih itu daripada dirinya. Dalam diamnya Ondofolo memuji keindahan mahluk angkasa yang menjadi impiannya. Hari demi hari berlalu, Ondofolo semakin menginginkan burung cenderawasih itu berada di kepalanya. Ondofolo kemudian menyusun sebuah rencana.
Setiap hari kaum ibu di sekitar danau Sentani pergi mencari ikan menggunakan perahu dan jaring, tidak terkecuali Ondofolo. Setiap pagi Ondofolo menjala ikan di danau sampai hari menjelang siang. Hasil tangkapannya kemudian dimasak. Saat makan siang itulah Ondofolo memanggil para jago memanah yang sedang duduk-duduk di para-para adat tak jauh dari rumah Ondoafi- Ondofolo. Para jago panah di desa itu menerima perjamuan yang istimewa dari Ondofolo setiap hari. Hasil tangkapan ikan yang besar-besar selalu diolah menjadi masakan yang bervariasi. Pesuruh Ondofolo selalu diperintahkan mengundang jagoan-jagoan untuk makan siang dengan menu istimewa. Namun Ondofolo samasekali tidak menyampaikan apa maksud dan tujuannya kepada para jago panah itu. Sehingga timbul tanda tanya di hati para pendekar-pendekar panah, ada apa gerangan istri Ondoafi selalu masak papeda dengan ikan-ikan besar serta mengundang mereka. Ikan-ikan yang besar hasil tangkapan ibu-ibu lain juga terkadang diserahkan kepada Ondofolo untuk dimasak.
Apakah Ondoafi dan Ondofolo memiliki maksud tersembunyi atau menginginkan sesuatu dari masyarakatnya?. Pertanyaan para jago panah tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, Ondofolo hanya mengatakan tidak ada maksud apa-apa. Ondofolo menjawab bahwa ia hanya ingin mengundang makan para jago panah yang sedang duduk-duduk di balai adat. Begitu seterusnya. Para jago panah berhari-hari selalu diundang makan papeda dan ikan di rumah Ondoafi-Ondofolo tanpa mengetahui maksud di balik itu. Akhirnya para jago panah memutuskan untuk berkumpul di para-para adat dan sekali lagi menanyakan maksud Ondofolo yang sesungguhnya karena tidak mungkin Ondofolo menyediakan papeda dengan ikan-ikan besar setiap hari jika tidak ada maksud tertentu.
Ondofolo akhirnya menceritakan tentang apa yang selama ini menjadi idamannya. Segala yang ia lakukan selama ini semata-mata karena keinginannya memiliki burung cenderawasih yang berbulu indah. Terbukalah tabir bahwa Ondofolo mengharapkan para jago panah menangkap cebderawasih untuknya. Sejak melihat cenderawasih terbang rendah di atas danau, hatinya tak tenang karena takut burung tersebut telah dipanah oleh salah satu jago panah desa itu. Para jago panah pun sepakat untuk berusaha menangkap dan mempersembahkan seekor burung cenderawasih kepada Ondofolo untuk dijadikan hiasan kepala. Ondofolo sangat senang karena harapannya akan segera terwujud.
Para jago panah mulai melaksanakan tugasnya. Mereka pergi ke hutan dan ke gunung-gunung. Mereka mempelajari kebiasaan burung cenderawasih dari hari ke hari. Burung cenderawasih yang terbang dari ranting ke ranting, dari dahan ke dahan, dan dari pohon ke pohon selalu diawasi. Mereka mengetahui bahwa burung cenderawasih tidak pernah tertidur di dahan atau ranting pohon. Burung ini tidur di dalam pelepah pohon palem hutan yang menggantung. Saat hari berangkat senja, burung cenderawasih merayap naik, kemudian masuk ke sela-sela pelepah tersebut, menyembunyikan diri lalu tidur di situ. Orangtua-tua di kampung sudah memberitahu kebiasaan cenderawasih kepada para jago panah itu.
Saat burung cenderawasih memasuki pelepah pohon palem hutan, para jago panah sudah mengawasi dan bersiap-siap untuk menangkap. Mereka berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup karena dengan demikian para jago panah akan mendapat nilai plus sebab mampu menangkap burung cenderawasih dalam keadaan hidup. Sungguh kebanggaan yang luar biasa. Para jago panah menunggu dengan cemas. Setelah burung cenderawasih diperkirakan sudah tertidur pulas, naiklah seorang jago panah perlahan-lahan agar tidak menimbulkan suara. Pelan sekali. Saat mencapai pelepah palem hutan yang berisi cenderawasih maka secepat kilat pelepah itu dikatupkan kemudian diikat erat. Burung cenderawasih kaget namun tidak dapat berbuat apa-apa karena kedua ujung pelepah palem hutan telah diikat erat oleh Sang Jago Panah. Ia pun turun dan langsung menyerahkan burung cenderawasih ke tangan Ondofolo yang telah menunggu dengan cemas di rumahnya.
Sejak saat itu Ondofolo mempersiapkan pesta besar untuk merayakan kebahagiaannya dengan penuh sukacita. Burung cenderawasih diawetkan. Ketika pesta tarian berlangsung Ondofolo memperlihatkan perhiasannya yang selama ini sangat ia impikan. Seluruh masyarakat terkagum-kagum melihat hiasan kepala sang Ondofolo. Sejak saat itu burung cenderawasih menjadi simbol budaya bagi masyarakat Yonorom dan semakin banyak orang yang berburu burung cenderawasih ke kampung ini. Kampung Yonorom di Kwadewareh hingga saat ini memang sangat terkenal dengan tanaman palem hutannya yang besar dan tinggi-tinggi. Hal inilah yang membuat para pemburu cenderawasih berdatangan dari segala penjuru negeri.

Wednesday, March 10, 2010

Terjadinya Danau Sentani

( Diceritakan Kembali Oleh: H.H. Tokoro)

Pada zaman dahulu kala tinggallah dua orang bersaudara, yang tua bernama Hokhoitembu dan yang muda bernama Hokhoiela. Hanya mereka berdua yang tinggal di sebelah selatan Danau Sentani. Untuk makan sehari-hari mereka mengembara di hutan-hutan mencari binatang buruan. Binatang buruan inilah yang menjadi hidangan mereka setiap hari. Oleh karena pada saat itu tidak ada api, binatang buruan yang mereka tangkap dimakannya mentah-mentah. Adapun darahnya dijadikan air untuk pengganti minumannya. Keseharian mereka hanya ditemani oleh kicauan burung dan desiran angin. Ketika malam tiba merekapun berdua tidur pulas karena kelelahan berburu. Apabila pagi telah tiba dan sang fajar telah mulai menyinari alam jagad raya ini kedua bersaudara ini pun bangun dari tidurnya dan kembali beraktifitas sebagaimana biasanya. Seperti hari-hari sebelumnya ketika mereka bangun di pagi hari hal pertama yang mereka lakukan adalah mempersiapkan peralatan berburu mereka yang terbuat dari kayu, seperti jubi, tombak, serta parang dan kapak yang terbuat dari batu.
Tidak seperti pada hari-hari sebelumnya setiap bepergian ke hutan untuk berburu mereka berdua selalu bersama-sama. Tetapi kali ini mereka berdua bersepakat untuk berpencar. Hokhoitembu mencari buruan ke arah timur dan adiknya Hokhiela menuju arah barat.
“Adik, nanti kalau matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat kita bertemu di Gobuk ya?”, kata Hokhoitembu kepada adiknya.
“Baik kakak”, jawab Hokhoiela adiknya.
Setelah mereka bersepakat untuk bertemu disuatu tempat sebelum malam tiba, berangkatlah mereka berdua dengan tujuan masing-masing. Satu menuju ke arah barat dan satu lagi menuju ke arah timur. Kedua bersaudara ini baik yang menuju ke arah barat maupun yang menuju ke arah timur menempuh perjalanan yang amat melelahkan. Mereka naik gunung, turun gunung, melawati hutan belantara, menenuruni lembah untuk mencari buruan namun tak berhasil. Ketika hari sudah mulai gelap merekapun bertemu ditempat yang telah mereka berdua sepakati bersama. Dalam pertemuan itu mereka bercerita satu sama lain tentang pengalaman mereka dalam perjalanannya. Di tengah keasikan mereka bercerita karena mungkin kelelahan mereka berdua pun tertidur di tempat itu. Keesokan harinya pagi-pagi sekali merekapun bangun, seperti biasa mereka mempersiapkan perlengkapan berburu untuk kembali melanjutkan perjalannya. Kali ini mereka tidak berpencar tetapi bersepakat untuk berangkat bersama-berasama ke arah utara sentani. Usia kedua bersaudara ini semakin-hari semakin tua, mereka tua dalam pengembraan. Ketika mereka tiba di sebelah utara sentani mereka sepakat untuk bermalam di situ. Pagi-pagi buta Hokhoiela terbangun dan keluar dari gubuknya. Di luar gubuknya ia naik ke atas pohon kemudian mengarahkan pandangannya ke arah utara. Di arah utara ia melihat ada asap yang mengepul membumbung ke langit. Hokhoiela merasa aneh melihat asap itu, karena selama hidup mereka baru kali ini ia melihat asap. Akhirnya ia pun turun menemui kakaknya Hokhoitembu dan memberi tahunya bahwa ia melihat benda aneh membumbung ke atas.
Mendengar penjelasan adiknya Hokhoitembu pun segera mengajak adiknya menuju ke arah utara tempat dimana asap itu berada. Mereka berjalan menuruni lembah, menyususri hutan lebat, dan mendaki gunung untuk sampai ke tempat asap itu. Di sepanjang perjalanan tidak ada seorang yang di temuinya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun mereka berdua terus berjalan. Setelah sekian lama mereka berjalan akhirnya sampai juga mereka di tempat asap itu berada. Ditempat itu ternyata ada seorang lelaki tua yang bernama Yokhumokho. Yakhumokho ini bertugas menjaga api dan air yang ada di dekat gunung dobongsolo.
Melihat Hokhoitembu dan adiknya datang, Yokhumokho pun bertanya.
“siapa nama kalian dan apa tujuan kalian berdua datang kemari?”, tanya Yokhumokho.
“kami berdua datang kemari untuk meminta air”, jawan Hokhoitembu.
“baik kalau begitu, ini saya serahkan air tapi kalian berdua jangan sekali-kali meletakkan air ini di tanah, ya!”, pinta Yokhumokho.
“Iya, Bapak!”, jawab mereka.
Setelah mereka menerima air merekapun berangkat pulang. Yang membawa air Hokhoitembu. Sepanjang perjalanan pulang mereka berdua tidak mendapatkan gangguan apa pun. Di tengah perjalanan karena capek dan lelah merekapun memutuskan untuk beristirahat. Air yang dibawa oleh Hokhoitembu diletakkan pada sebatang pohon tumbang, tanpa sengaja air itu tumpah. Tumpahannya mengalir melewati kelokan-kelokan tanah menuju kawah sebelah selatan Sentani. Kedua kakak beradik ini pun kaget.
Karena merasa bersalah mereka memutuskan untuk mengikuti kemana saja air yang tumpah itu mengalir. Rupanya air yang mengalir menyebar ke segala penjuru. Ada aliran air yang menuju menuju Kehiran. Aliran air itulah yang sekarang menjadi kali Awaiwi yang terdapat di Kehiran. Sesampainya diujung kali, Hokhoitembu mengatakan kepada adiknya yang Hokhoiela.
“Sekarang kita berpisah, saya menuju ke bagian timur dan kamu menuju ke bagian barat”, kata Hokhoitembu.
“Baik kakak”, balas Hokhoiela.
Setelah itu mereka pun berpisah, masing-masing berangkat sesuai dengan tujuan mereka dengan bekal air yang masih tersisah. Sang kakak yang berjalan ke arah timur dengan badan lurus menunjukkan daratan yaitu daerah kampung Yahim. Kemudian dengan kepala lurus dan membelokkan badan membentuk sebuah celah yang diletakkan di Kampung Sereh. Selanjutnya badan dibelokkan dengan tujuan membentuk lingkaran kecil yang disebut Pulau Yobe. Kemudian badannya dilingkarkan lagi kurang lebih sembilang puluh derajat sehingga membentuk Pulau Ajau Besar (dalam bahasa Indonesia Ifar Besar). Lalu membengkokkan badan lagi membentuk lingkaran dan terjadilah pulau Habakhei dan selanjutnya ke kiri lagi membentuk antara pulau Habakhei dan Pulau Ohey (Pulau Yohena) dan sekarang pulau itu disebut Pulau Asei. Kemudian Hokhoitembu kembali lagi berjalan dengan badan yang lurus mulai dari Hakhabei menuju kampung Nendali (sekarang Netar) langsung menuju ke arah timur lewat pulau Yohena (Pulau Asei) lalu membelokkan badan ke arah timur langsung menuju ke arah selatan membentuk sebuah daratan. Daratan itulah tempat Kampung Hebeiburu (Kampung Yoka).
Setelah itu kembali lagi Hokhoitembu melanjutkan perjalanan melaui air terus membuat beberapa tanjung yang letaknya antara Kampung Hebeiburu atau kampung Yoka dengan Kampung Puay. Sesampainya di Kampung Puay langsung masuk ke dalam dan membuat sungai yang cukup dalam langsung menuju ke arah timur. Sungai inilah yang dinamakan Kali Itafik (kali jernih). Perjalanan Hokhoitembu tidak terus ke arah timur tetapi berbelok ke arah selatan kawah sentani dan membelokkan badannya ke arah barat sentani, itulah yang membentuk pulau kecil yang bernama Hosena. Selanjutnya berjalan lagi membentuk daratan kemudian tanjung tempat Kampung Ayapo berada. Lalu berbelok ke arah barat membentuk Selat Bhuki. Terus ke arah barat di tengah-tengah danau membentuk pulau-pulau kecil yang bernama Pulau Merah (Pulau Putaly). Kemudian kembali ke arah selatan membentuk pulau kecil yang disebut Obolio. Selanjutnya menbentuk pulau besar yang disebut Atamaly. Terus ke selatan Sentani membentuk daratan yang agak dalam yang sekarang ditempati Kampung Ebale yang sekarang disebut Kampung Abar. Begitu pula adiknya Hokhoiela dengan membawa air ia berjalan dimulai dari daratan kampung Yoboy membuat tanjung panjang menuju arah selatan Sentani, namanya Tanjung Puyebei, kemudian terus ke sentani barat mulai dari Deware (kampung Kwadeware), Yonokong menuju selatan membuat sebuah pulau kecil yang bernama Mantai, selanjutnya berjalan ke arah utara melewati Yonokong membentuk beberapa pulau yang ada di daerah Rogo (Doyo Lama), terus menuju arah barat lewat kampung Yokhonde (nama sekarang Yakonde) sampai ke Sosiri lewat Buruwai belok ke arah timur membuat sungai besar Yope kemudian keluar lewat Kampung Donday. Perjalanan kedua kakak beradik yang membentuk lingkaran ini yang melewati beberapa tanjung menuju arah timur, barat, dan selatan inilah yang akhirnya membentuk danau sentani yang indah dan dapat kita nikmati keindahannya sekarang.

Wednesday, March 3, 2010

CABO DAN BATU AJAIB

CABO DAN BATU AJAIB
Cerita Rakyat dari Kampung Kayubatu
Pemenang II Sayembara Penulisan Cerita Rakyat 2009)






Dikembangkan oleh:
Eni Suryanti, S.Pd.
Guru SMA YPPK Taruna Dharma Kotaraja

Ratusan tahun yang telah silam di Papua terdapat beberapa kampung pembuat panci ataupun pembuat perkakas dapur dari tanah. Salah satu dari kampung-kampung itu adalah kampung Kayubatu yang letaknya di Teluk Imbi, Jayapura. Penduduk Kayubatu pada saat itu terdiri dari 16 kepala keluarga yang masing-masing keluarga terdiri dari 60 hingga 80 orang. Jumlah penduduknya lebih banyak dahulu daripada sekarang. Mereka hidup dengan bercocok tanam dan menangkap ikan. Biasanya mereka membuka ladang di lereng-lereng gunung sekitar teluk dan ditanami dengan umbi-umbian. Laut di sekitar kampong ikannya pun cukup untuk memenuhi kebutuhan ratusan orang.
Karena tanah itu selalu dipakai lama kelamaan tanahnya menjadi gersang dan berkurang hasilnya. Untuk memenuhi kebutuhan pangan orang-orang mengusahakan perladangan baru. Yang dimaksud dengan perladangan baru adalah ladang yang agak jauh dari kampung dan masih subur. Mencari perladangan baru berlangsung dari tahun ke tahun hingga tanah subur di sekitar kampung habis terpakai. Untuk mencari perladangan lain mereka harus pergi jauh dari kampung dan mungkin memasuki wilayah kampung lain. Memasuki wilayah kampung lain akan membawa akibat, oleh sebab itu orang-orang berusaha menggunakan tanah bekas. Mengusahakan tanah bekas tidak membawa hasil yang memuaskan dan lambat laun kesulitan untuk mencari perladangan semakin terasa. Kesulitan yang paling dirasakan adalah pada tahun yang sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Hal itu terjadi karena tanaman jagung yang masih muda habis dihanyutkan air hujan yang lebat. Karena tanaman jagung sudah musnah, selain itu babi hutan pun mengganggu tanaman ubi. Demikian pula hasil laut sudah berkurang. Mengapa hasil laut berkurang seorang pun tidak ada yang tahu, tetapi pada waktu itu di laut sekitar kampung tampak awan yang sering merendah dan mengapung-apung. Tahun itu memang kesialan tengah menimpa penduduk kampung, pohon-pohon kelapa kurang menghasilkan buah, pucuknya habis dihancurkan oleh kumbang-kumbang kelapa.
Waktu itu orang-orang merasa bahwa arwah nenek moyang mereka marah. Agar arwah nenek moyangnya tidak marah, mereka mencoba mempersembahkan manik-manik di tanjung-tanjung atau tempat-tempat yang diperkirakan terdapat arwah nenek moyang bersemayam. Walaupun korban persembahan telah dilaksanakan, namun tidak membawa hasil juga. Mereka sangat menderita karena kebutuhan hidup semakin sulit dicari. Setiap petang orang-orang duduk bersama dan berbincang tentang kesusahan itu.
“Saya kira arwah nenek moyang kita marah sekali, korban persembahan telah dilaksanakan namun belum juga berhasil,” kata salah seorang dari yang berbincang-bincang itu.
“Mengapa arwah nenek moyang begitu marah?” sela orang lain pula.
“Ya, mengapa…? Sebelum bencana ini menimpa kita, penduduk kampung ini selalu bahagia. Mengapa kita sekarang menjadi begini? Tanya yang lain.
“Mungkin di antara kita ada yang burbuat suatu kesalahan kepada arwah nenek moyang.” kata pembicara pertama tadi.
“Bila hal itu memang demikian, maka kita harus mengadakan pesta tari. Mungkin dengan diadakannya pesta tari tiu akan membawa kita kembali dalam suatu alam yang menyenangkan,” kata pembicara lain.
Ajakan untuk membuat pesta disetujui oleh semua penduduk kampung, tetapi pestanya harus sederhana karena bekal tidak mencukupi. Walaupun pesta sederhana telah dilaksanakan, tetapi tidak dapat menolong juga. Orang sering tidur tanpa makan. Yang paling prihatin memikirkan nasib kampung itu adalah Cabo Pui. Cabo Pui sering berkata kepada Tiaghe saudaranya, bahwa ia senang bila dapat berbuat sesuatu untuk kampungnya.
Pada suatu malam Cabo Pui bermimpi. Dalam mimpinya itu ia berjalan menyusuri pantai tanjung Suaja dengan membawa sebuah batu pipih lonjong yang indah. Dari mana ia peroleh dan asal usul batu pipih itu tidak diketahuinya. Batu pipih itu berada di tangannya ketika ia meninggalkan pantai dan pergi menuju ke suatu jalan karang yang terjal. Setibanya di ketinggian jalan itu, tiba-tiba di tempat itu menjelmalah sebuah gunung bertanah merah. Kemudian datanglah perempuan-perempuan yang masing-masing membawa sebuah keranjang kosong. Mereka mengisi keranjang-keranjang kosong itu dengan tanah merah dari gunung itu dan disertai dengan sedikit pasir. Salah satu dari perempuan-perempuan itu juga mendapat sebuah batu seperti yang dimilki oleh Cabo. Setelah keranjang penuh dengan campuran tanah dan pasir lalu mereka pulang. Di kampung perempuan-perempuan itu membuat gerabah dari tanah merah yang mereka bawa dengan menggunakan batu pipih. Sementara mereka sibuk mengerjakannya, tiba-tiba rumah-rumah di kampung berubah menjadi indah. Orang-orangnya pun bergembira seperti sebelum kemelaratan dan kemiskinan menimpa penduduk kampung.
Ketika Cabo bangun, ia duduk dan dalam hatinya berkata, “Benarkah aku bermimpi? Atau memang benar-benar apa yang saya saksikan itu.” Pergumulan pikiran tentang mimpinya tetap menguasai benaknya. Ia tak dapak menafsirkan arti mimpi itu kepada Tiaghe. Keesokan harinya, sesudah petang ia pergi menjumpai Tiaghe. Ia bercerita mengenai mimpinya dengan sejelas-jelasnya.
“Aku harus memiliki batu ajaib itu dan apabila telah kumiliki mungkin dapat mendatangkan kembali kemakmuran kampung ini,” kata Cabo mengawali pembicaraan.
“Tahukah engkau di mana batu itu harus dicari?” tanya Tiaghe.
“Tidak.” jawab Cabo Pui.
“Kau telah menceritakan mimpimu dengan jelas, tetapi mengenai batu itu masih belum jelas asal usulnya,” timpal Tiaghe.
“Ya, tetapi batu itu aku harus mencarinya,” kata Cabo penuh semangat.
“Bolehkah aku ikut bersamamu, Cabo? Bukankah lebih mudah mencari dengan dua orang daripada satu orang?” usul Tiaghe.
“Tidak, Tiaghe. Dalam mimpiku aku hanya seorang diri.” kata Cabo lagi.
“Kalau begitu, pesanku bawalah anjingmu. Ia adalah binatang yang cerdik dan setia,” kata Tiaghe memberi usul.
“Akan aku turuti nasihatmu, Tiaghe.”
“Ke manakah engkau akan pergi?” tanya Tiaghe lagi.
“Aku akan pergi ke arah barat, menyusuri kaki gunung yang tinggi. Pada kesempatan ini juga aku berpesan kepadamu saudaraku, bila engkau mendengar atau melihat suatu tanda alam, maka pergilah engaku ke tanjung Suaja. Di sana engkau akan menemukan benda-benda yang membawa keuntungan abadi kepada segenap keluarga kita,” kata Cabo panjang lebar.
“Aku senantiasa mendoakanmu, semoga engkau selamat dalam perjalanan dan kemakmuran yang dicari dapat tercapai,” kata Tiaghe memberi semangat.
“Jagalah keluargamu baik-baik dan jangan lupa tanda-tanda alam, sekarang aku akan segera berangkat,” kata Cabo berpamitan.
Dengan sebuah perahu berangkatlah ia ke muara sungai Numbai. Di kiri kanan muara sungai itu sekarang terletak Kantor Pos Jayapura dan Kantor DPR Papua. Setelah tiba di muara sungai Numbai, Cabo Pui dan anjingnya yang bernama Abu turun dari perahu. Mereka menyusuri sungai menuju bukit-bukit yang berhutan lebat. Pada bukit-bukit itu terdapat jalan setapak yang genting. Cabo dengan tabah mendaki dan menuruninya. Setelah petang hari, tibalah mereka pada sebuah bukit yang tinggi. Di kejauhan terbentang sebuah teluk yang indah, diapit oleh dua tanjung. Di antara kedua tanjung itu seolah-olah terdapat sebuah pintu menujun laut bebas. Di sanalah terlihat beberapa rumah yang mirip dengan kampung cabo pui. Rumah-rumah itu di bangun diatas permukaan laut. Dengan jelas cabo melihat air laut menghijau yang menandakan air sangat dangkal. Rumah-rumah itu adalah rumah dari kampung Injiros (Enggros) dan kampung Tobati.
Dari puncak bukit itu terbentang pula suatu jalan terjal menuju ke bawah. Jalan terjal itu dilaluinya dengan hati-hati dan tibalah ia pada sebidang tanah bekas kebun. Di carinya tempat untuk bermalam. Karena tempat itu adalah kebun lama ia memastikan bahwa di sekitar kebun itu ada gubuk. Memang benar, setelah beberapa saat kemudian ia menemukan gubuk kecil dan memutuskan untuk bermalam di gubuk itu. Karena sudah lapar dicarinya makanan di kebun itu dan berhasil menemukan beberapa umbi-umbian. “Pemilik kebun tidak akan memarahiku apabila ku habiskan umbian ini”, pikirnya.
Segera di buatnya api kemudian umbi-umbian itu dimasukan ke dalamnya. Beberapa saat kemudian umbi-umbian itu masak, lalu di keluarkan dan dimakannya dengan lahap. Abu berdiri di depan tuannya dan pandangan matanya mengikuti saetiap gerakan Cabo. Demi melihat anjing kesayangannya, Cabo memberinya sepotong umbian. Meskipun Cabo telah kenyang ia merasa masih ada kurang pada dirinya, yaitu belum mendapat batu ajaib.sambil berbaring Cabo berbicara dengan anjingnya, “Di pinggir danau ini mestinya ada penduduk kampung yang membuat sempe. Kita harus berusaha untuk mendapatkan kampung itu. Kalau tidak salah, Abar namanya. Sering orang-oarang dari kampung itu datang ke kampung kita untuk menjual sempe”. Abu sudah terbiasa, bila tuannya berbicara ia selalu merasa gembira. Karena gembiranya ia meletakkan kaki depannya yang sebelah di atas lutut Cabo, seolah- olah Abu hendak mengatakan, “Aku senantiasa akan membantumu, Tuan”.
Keesokan harinya setelah matahari terbit Cabo bertekad untuk mencari suatu puncak yang tinggi. Dari puncak itu ia akan dapat melihat sekitar gunung dan danau. Dengan jelas dilihatnya di atas permukaan air, bangunan kampung-kampung dan pulau-pulau kecil. Beberapa kampung di antaranya ada yang sebesar kampung Cabo Pui. Sebagian dari lereng-lereng gunung di sebelah danau nampak amat gundul. Walaupun cuaca amat cerah dan kampung-kampung dapat dilihat denga jelas, tetapi kampung Abar belum diketahui secara pasti. Ia ingin segera mendapatkan kampung Abar di mana tempayan-tempayan tanah di buat. Dengan hati- hati sekali mereka menuruni bukit. Kadang-kadang mereka melewati kebun-kebun yang sedang dikerjakan orang. Setelah beberapa saat kemudian Cabo dan Abu sampai di pinggir danau. Tiap kali menjumpai persimpangan jalan, mereka memastikan bahwa letak kampung Abar tidak jauh lagi. Cabo mengikatkan tali pada kalung Abu agar anjingnya dapat dikekang. Ia akan memasuki kampung untuk melihat apa yang ada di sana. Saya akan menyembunyikan tombak, busur dan anak panah. Kalau orang melihat saya tidak membawa senjata tajam berati tidak mempunyai maksud jahat, pikir Cabo. Ia menyembunyikan senjata tajamnya di dalam semak-semak belukar. Tali yang di ikat pada kalung Abu tetap dalam tangan Cabo. Dengan sengaja Cabo berjalan mengelilingi tempat di mana wanita-wanita bekerja. Ketika ia mengelilingi tempat wanita-wanita itu, tiba-tiba terdengar olehnya bunyi kapak. Cabo memastikan bahwa mereka kini sudah mendekati sebidang kebun yang sedang di kerjakan oleh pemiliknya. Ia berdiri di samping tempat yang baru saja dibakar. Cabo melihat sepasang suami istri yang sedang sibuk bekerja. Sang suami menoleh dan melihat ke arah Cabo. Orang itu tidak terkejut.
“Untunglah,”pikir Cabo.
Kemudian laki-laki itu berkata dalam bahasanya. Cabo merasa asing mendengar kalimat-kalimat itu, tetapi ia dapat menerka apa yang dimaksud oleh laki-laki itu. Kalimat itu diterkanya demikian, “Dari mana dan hendak kemana ?”
Cabo tampak ragu-ragu menjawab dalam bahasanya “Dari timur dan saya hendak ke barat”. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi dalam bahasa teluk Imbi, “Anda datang dari pantai ?”
“Ya, benar saya datang dari pantai, ” jawab Cabo. Laki-laki itu menghampiri Cabo dan memberitahukan namanya. Abo, demikian nama orang itu.
Cabo bertanya lagi ”Anda tahu bahasa kami ?”
Cabo tersenyum seraya berkata “tahu sedikit-sedikit, dahulu saya pernah merantau ke tempat anda”. Cabo sangat girang karena ada orang yang mengetahui bahasanya. Anjing Cabo mengibas-ibaskan ekornya karena mengikutu kegirangan tuannya. Abo mengantarkan Cabo dan memperkenalkan pada istrinya. Setelah itu Abo mengatakan sesuatu kepada istrinya, lalu istrinya pergi ke pondok yang terletak di pojok kebun. Kemudian Abo bersama Cabo mengikuti istrinya. Pada cabang kayu di pondok itu tergantung satu noken. Si istri mengangkat noken dan mengeluarkannya sagu bakar dari dalamnya. Sagu bakar itu di hidangkan di atas selembar daun pisang lalu Abo mengajak Cabo untuk makan bersama. Dengan perasaan syukur Cabo memakan beberapa potong sagu bakar. Abo menjamunya dengan penuh ramah tamah. Sesudah itu ia menceritakan tentang keadaan kampung dan rencananya dengan sejelas- jelasnya. Dalam keyakinan Abo timbullah suatu pemikiran lalu ia berkata, “Hanya orang-orang kami saja yang boleh membuat sempe. Tetapi saya bukan Ondolofo, nanti malam kita akan membicarakannya dengan penduduk kampung ini ”.
Sepanjang hari sebelum pulang kerumah mereka bekerja bersama-sama, Cabo membantunya dengan tulus ikhlas. Ketika petang tiba mereka pun meninggalkan kebun lalu pulang ke rumah. Mereka mengikuti jalan kecil, arah mana cabo datang tadi. Ketika mereka tiba di kampung hari masih terang. Kampung itu terletak pada sebuah sungai kecil yang jernih dan datangnya dari pegunungan. Orang-orang kampung menatap tamu asing itu dengan penuh simpati serta ingin tahu siapa gerangan tamu itu.
Pada sore hari orang-orang tua berkumpul di rumah-rumah khusus laki-laki. Dalam kesempatan itu Cabo menceritakan kembali dalam bahasanya tentang apa yang di ceritakan kapada Abo. Abo membantu menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah setempat. sebagian orang-orang menatapnya, agar Cabo berbicara lagi. Tetapi Cabo menginsafi dahwa baginya tidak ada lagi waktu luang untuk berbicara. Salah seorang yang tertua dari antara mereka memberi suatu isyara agar Abo membawa tamu asing itu keluar rumah. Setelah Cabo keluar, terdengar suara mendengung karena mereka dengan mereka yang berbincang-bincang.
Salah seorang di antara mereka bersungut-sungut “Kalau ada orang yang tidak dikenal datang ke kampung kita, apa yang harus kita lakukan? Apakah orang itu boleh menangkap ikan di teluk kekuasaan kita? ”
Sedang bersungut-sungut orang itu bertanya lagi kepada Cabo “Bolehkah orang asing menangkap ikan di telukmu?”
“Tidak,” jawab Cabo. Cabo berpaling pada Abo seraya berkata “Tetapi di kampung saya jumlah penduduknya banyak, bagaimana dengan kampung ini?”
Abo mengangkat bahunya lalu menjawab “Saya bukan ondolofo dan mungkin ketidakpuasan anda akan di jawab oleh para orang tua nanti.”
Tiada beberapa kemudian, mereka dipanggil lagi masuk ke dalam rumah. Orang yang tertua berbisik kepada Abo lalu Abo pun menyampaikan bisikan itu kepada Cabo. Hasil bisikan itu adalah Cabo dan seluruh keretnya, tidak berhak untuk membuat sempe. Mimpi tetap mimpi. Sebab setiap orang dapat saja bermimpi demikian. Walaupun ada larangan kepada warga Cabo, namun orang-orang Abar menghendaki agar hubungan persaudaraan tetap ada dengan orang-orang Kayubatu. Karena orang-orang Kayubatu sering membeli sempe dari mereka.
Cabo adalah tamu Abo. Cabo boleh saja tinggal lebih lama di rumah Abo jika Cabo menghendaki. Tetapi Cabo tidak menginginkannya. Keputusan orang-orang tua masih terbayang di benaknya. “mimpi tetap mimpi, marga Cabo tidak berhak untuk membuat sempe. Kata-kata orang-arang Abar memang benar. Untuk memiliki kepandaian membuat sempe harus ada suatu kejutan, suatu keajaiban.” Demikian pemikiran Cabo. Oleh sebab itu ia tidak ingin tinggal lebih lama lagi. Kemudian Cabo pergi meninggalkan perkampungan masyarakat Abar. Tetapi Abu tidak mau mengikuti Cabo. Berkali-kali ia memanggil tetapi Abu tetap bergeming. Cabo menjadi geram. Sekarang aku tidak dapat mengendalikan anjing ini. Mengapa Abu berbuat begitu?” demikian pikir Cabo. Berbagai cara telah dilakukan, sampai-sampai ia mengangkat tombak untuk mengancam Abu. Abu tidak takut, binatang yang cerdik itu tetap berdiri seolah-olah memohon sesuatu kepada tuannya. Karena Abu tetap tidak mau berjalan, tiba-tiba timbulah suatu pemikiran baru bagi Cabo.
Ia melepaskan tali rotan seraya berkata “Baiklah Abu, engkau saja yang bertindak sebagai penunjuk jalan!” Dengan melompat-lompat Abu berlari kembali ke simpang tiga. Di simpang tiga, Abu mengibas-ibaskan ekornya sambil menanti kedatangan tuannya.
Setelah Cabo tiba lalu mereka pun pergi mengikuti jalan terkal ke arah gunung, di sebelah utara. Sementara berjalan, Cabo menyadari bahwa Abu akan mengantarnya ke tempat batu ajaib yang dicari. Mereka melintasi kebun-kebun bekas kemudian memasuki hutan alang-alang yang luas. Beberapa kali mereka melewati anak sungai, Cabo dan Abu berkesempatan untuk minum. Setelah beberapa saat berjalan, tibalah mereka di lereng gunung. Jalan semakin terjal, sempit dan tidak jelas. Sebenarnya jalan itu masih sering dilalui orang. Walaupun jalan itu terjal dan tidak jelas, namun Abu akan menuntun Cabo ke tempat yang di tuju. Jika sudah lelah Cabo beristirahat sebentar sambil memakan ubi. Setelah makan mereka melanjutkan perjalanannya. Pendakiaan terakhir diharapkan ditempuh pada waktu tengah hari. Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di suatu tebing yang tinggi. Sementara berjalan Cabo acapkali berdiri sejenak untuk melihat ke belakang. Melalui celah pohon-pohonan, di kejauhan dilihatlah sebuah danau yang indah. Di atas permukaan danau terletak kampung-kampung dan pulau-pulau kecil. Ketika mendaki semakin tinggi daun-daunan dan batang-batang pohon basah, karena ditutup kabut yang tebal. Matahari seolah-olah tidak dapat menerobos kabut tebal itu. Pemandangan danau pun tidak nampak lagi. Bukan pemandangan danau saja yang tidak nampak, tetapi Cabo tak dapat lagi melihat kemana-mana.
“Kita teruskan perjalanan, Abu! Bila kita sudah sampai di tempat yang rendah, mungkin sudah ada sinar matahari,” kata Cabo.
Abu seakan-akan mengerti ucapan tuannya dan mereka terus berjalan. Jalanan menurun maupun menanjak amat licin karena kabut. Dengan hati-hati sekali mereka menjalani lereng-lereng di sebelah utara. Sementara mereka berjalan, kabut yang tebal itu telah berubah menjadi tipis. Cabo sudah dapat melihat langit yang biru. Tiada berapa hari kemudian cahaya matahari yang cerah menimpa Cabo. Karena segarnya sinar matahari lalu Cabo bersanjak.
“Aku dalam perlawatan
Mencari batu keajaiban
Batu bakal pembawa kemakmuran
Kepada manusia yang sekarang hidup
Dan yang akan datang
Abu membimbingku berjalan
Akan kemanakah aku dibawa Abu ?”
Di hadapannya, terbentanglah batu-batu yang luar biasa curamnya, di mana hampir tidak ada pohon dan rumput tumbuh. Nun jauh di sana langit dan laut sama membiru sehingga sulit untuk di bedakan. Yang jelas adalah garis pantai. Di sebelah kiri pantai itu terlihat sebuah kampung dan pohon-pohon kelapa.
“Apakah rahasia yang di cari ada di sana ?” pikir Cabo.
Cabo hanya melihat sebentar saja lalu melanjutkan perjalanan. Jalan itu tidak terjal lagi dan sudah menurun. Setelah beberapa lama berjalan Cabo melihat potongan dahan kayu dan bekas-bekas telapak kaki manusia pada anak sungai. Ia memastikan bahwa beberapa saat lagi akan mememukan kampung. Kini tiba saatnya untuk lebih waspada. Ia ingin lebih dahulu melihat dari pada orang kampung melihat dirinya. Cabo meramalkan bahwa tiada berapa lama lagi akan terjadi sesuatu. Memang benar apa yang diramalkan, sebab tiada berapa lama kemudian terdengar suatu suara. Dengan hati-hati sekali Cabo berjalan terus. Ia melampaui palung kering lalu memasuki semak-semak dan lalu ia menghampiri suatu pantai yang agak terbuka. Di pantai, sambil bersembunyi Cabo melihat sekelilingnya. Ketika ia megarahkan matanya ke atas batu di lihatnya seorang laki-laki sedang duduk sambil memakan pinang. Semula Cabo tidak melihat orang lain, tetapi tak lama kemudian ia mendengar suara dan tampaklah orang-orang. Rupa-rupanya batu tempat duduk orang itu bergua. Ia menyelinap mendekati gua itu untuk mengintai.
Di gua itu di lihatnya orang-orang sedang sibuk dengan batu-batu besar. Beberapa orang memalu batu pada batu yang lain dan ada pula yang menggosok batu lain. Cabo seolah mengerti apa yang sedang dikerjakan oarang-orang itu, yaitu kapak-kapak batu. Karena kapak-kapak yang dikerjakan, Cabo yakin bahwa ia telah berada di kampung Ormu. Sebab orang-orang Ormu saja yang sering datang ke Kayubatu untuk menukar kapak batu.
“Alangkah baiknya jika menyelinap lebih dekat lagi. Tetapi, tidak bisa karena orang di atas gua tadi, adalah seorang pemimpin,” pikir Cabo.
Raut muka orang yang di atas gua itu tampaknya kurang tenang. Ia berdiri sejenak lalu berjalan dan berbicara dengan laki-laki lainnya. Setel;ah ia berbicara, Cabo melihat orang-orang menghentikan pekerjaannya. Batu-batu yang dikerjakan itu dimasukkan ke dalam kantong noken lalu pergi mengikuti palung anak sungai. Tetapi salah seorang di antara yang bekerja tadi masih berbicara dengan pemimpin itu. Ia memperlihatkan dan menyerahkan batu yang baru di kerjakan kepada pemimpin lalu mereka pergi berdiri di bawah sinar matahari. Cabo melihat batu itu dengan jelas dan ternyata batu itu indah seperti yang pernah di mimpikan dahulu.
Dalam hatinya bertanya ”Batu itukah yang saya cari?”
Tanpa bergerak Cabo mengarahkan pandangannya ke batu. Ia melihat pemimpin itu mengelus-elus dan mengamati datu yang sudah selesai di kerjakan itu, sambil mengangguk-anggukan kepala. Cabo ingin segera memiliki batu itu. Setelah batu di amati lalu di kembalikannya kepada orang itu sambil mengetakan sesuatu. Orang itu menjawab kemudian mengikuti arah teman-temannya yang pergi terdahulu.
“Untung sang pemimpin itu tinggal, sekarang aku dapat berbicara kepadanya,” pikir Cabo.
Ketika orang yang pergi itu lenyap dari pandangan matanya, Cabo pun keluar dari semak-semak dan pergi ke suatu tempat kecil yang terbuka. Ia berdiri persis berhadapan dengan pemimpin yang masih tetap berada di sebelah gua. Pemimpin itu dengan cepat melihat Cabo tetapi ia tidak kaget. Tampaknya ia seperti sedang menantikan kedatangan seseorang. Pemimpin itu bertanya dalam bahasanya sendiri kepada Cabo. Karena Cabo tidak mengerti tentang bahasa itu lalu ia pun menjawab dalam bahasanya sendiri pula.
“Saya dari Kayubatu dan saya ingin kembali”
Pemimpin itu tidak heran walaupun Cabo menjawab dalam bahasanya sendiri malahan ia berbalik tanya “Apa yang hendak saudara cari di sini? Mengapa anda mengintip dari semak-semak itu?”
“Saya akan menceritakan semuanya. Tak usah khawatir, percayalah!” jawab Cabo.
Setelah itu masing-masing memperkenalkan diri, Sirwai demikianlah nama orang itu. Karena telah saling mengenal mulailah mereka berbasa-basi. Sirwai menceritakan bahwa ia, semasih muda sering datang ke Kayubatu untuk menukar kapak batu dengan benda-benda lain yang berguna. Dengan demikian ia telah banyak belajar bahasa daerah Cabo. Selanjutnya Sirwai mengatakan pula, bahwa ia telah lama merasa ada seseorang yang mengintip dirinya. Akibatnya pekerjaan yang dikerjakan orang-orang kali ini tidak dapat berlangsung dengan baik.
“Sekarang ceritakan padaku apa yang sebenarnya tujuan anda datang ke Ormu ini?” tanya Sirwai.
Cabo yakin bahwa Sirwai dapat dipercaya dan dianggapnya sebagai seorang sahabat tua yang akan dapat membantunya. Oleh sebab itu Cabo menceritakan semua rencananya dan kisah perjalananya.
Sirwai dengan penuh perhatian telah mendengarkan cerita Cabo lalu bertanya ”Batu apakah itu ?”
Cabo menatapnya dengan tajam seraya berkata ’Batu yang terakhir di kerjakan orang itu !”
Sirwai mengangguk-angguk dan berpikir tanpa berkata sesuatu. Setelah beberapa saat kemudian lalu Sirwai berkata ”Ikutilah saya !”
Sirwai berjalan di depan lalu diikuti Cabo dari belakang. Mereka mengikuti jalan kecil yang dilalui orang-orang tadi. Abu sekarang dengan tenang mengikuti tuannya dari belakang.
Setelah beberapa saat berjalan Sirwai berdiri sejenak lalu berkata “Dalam hutan kecil ini sebaiknya anda bersembunyi dahulu. Saya harus berpikir dan menceritakan kembali tentang apa yang anda ceritakan tadi kepada putraku. Nanti malam saya kirimkan putraku. Ia akan membawa anda ke rumah laki-laki. Tak usah khawatir, kami orang-orang Ormu selalu bergaul dengan orang-orang Kayubatu dan kami anggap sebagai saudara sendiri”.
Setelah berkata demikian Sirwai menghilang. Karena kepergian Sirwai tanpa permisi, Cabo tetap menunggu dengan penuh harapan. Ketika hari mulai kelam, tiba-tiba Cabo mendengar namanya di panggil. Di suatu jalan yang menuju kampung terlihatlah olehnya tubuh Sirwai.
“Saya kira anakmu yang akan menjemputku. ” kata Cabo.
“Saya harus memberitahukanmu sesuatu hal yang penting, karena itu saya datang sendiri. Yang saya maksudkan itu adalah nanti apabila engkau tiba di rumah laki-laki, engkau hanya boleh meminta perahu dan dayungnya. Tak usah berbicara tentang yang lain,” sela Sirwai.
Suasana ramai meliputi rumah khusus laki-laki. Setiap orang yang ada di dalam rumah laki-laki menyambut kedatangan Cabo dengan ramah tamah. Dari penjelasan Sirwai, oarang-orang telah mengetahui bahwa Cabo datang dari Kayubatu dan ia sekarang dalam perjalanan kembali ke kampung halamannya. Setelah Cabo diperkenalkan lalu di ajak untuk makan bersama. Banyak makanan yang di sediakan seperti ubi, ikan, sayur, dan makanan lain yang lezat. Karena menemppuh perjalanan yang jauh Cabo sangat lapar. Oleh sebab itu Cabo makan hingga sekenyang-kenyangnya.
Setelah makan, Sirwai bertanya kepada orang-orang ” Bagaimana, dapatkan kita membantu tamu kita ini?”
Lalu ia berpaling kepada Cabo dan bertanya ”Inginkah anda melepaskan lelah beberapa hari di kampung ini?”
“Saya ingin segera kembali ke kampung halamanku. Tetapi perjalanan lewat pegunungan sangat berat dan memakan waktu lama bagi saya. Oleh sebab itu saya ingin lewat laut saja. Bolehkan saya meminjam sebuah perahu dan dayung?”
Orang-orang bersedia membantunya lalu Sirwai menjawab “Perahu dan dayung akan kami berikan. Ikutilah, saya akan mengantarmu ke pantai!”
Cabo mengucapkan terimakasih atas kebaikan hati orang-orang Ormu lalu ia pergi bersama Sirwai. Cabo meninggalkan rumah laki-laki itu. Abu tetap mengikuti tuannya. Sirwai membawa tamunya ke suatu tempat yang sunyi di pantai. Di sana telah siap sebuah perahu dan sebuah dayun.
“Silakan duduk, Cabo. Saya telah lama berpikir tentang mimpimu itu. Batu yang kau impikan itu sekarang ada dalam noken saya. Batu itu sungguh ajaib. Sebentar dalam perjalanan, batu ini akan mendampingimu. Batu inilah yang akan membantu kampungmu untuk membuat gerabah. Tetapi akan terjadi suatu yang luar biasa. Engkau harus mempersembahkan suatu kurban yang besar kepada batu ini dan engkau sendiri yang akan menjadi kurban itu,” kata Sirwai.
“Di mana dan bagaimana dengan batu ini saya tidak mengerti,” sela Cabo.
“Batu dan Abu akan membimbingmu lebih lanjut,” kata Sirwai lagi.
Setelah itu, Cabo lebih banyak mendengar daripada berbicara. Mulai saat itu kekuatan gaib terasa mengalir ke dalam tubuhnya. Cabo masih ingat akan mimpinya di mana akan terjadi sesuatu yang luar biasa pada dirinya.
“Saya tahu bahwa apa yang telah engkau katakan itu adalah benar. Sebab saya akan menyelamatkan kampung Kayubatu dari kesengsaraan. Dan saya rela berkorban demi kebahagiaan dan kemakmuran sesama. Saudaraku Tiaghe akan mengetahui bahwa kami telah berhutang budi terhadapmu. Kaum kerabatku akan terkenang selalu kepada orang yang telah berjasa terhadap kampung halamanku. Orang-orang Kayubatu akan menjunjung tinggi keluhuran hati orang-orang ormu,” kata Cabo.
Dalam gelap malam dan hanya diterangi cahaya bintang, Cabo mengayuh perahunya menyusuri pantai. Di malam yang sepi dan olengan ombak mulai menyulitkan perjalanan Cabo. Tetapi ia tak gentar dan sabar, bahwa perjalanan akan berakhir di tanjung Suaja, kampung halamannya. Abu duduk di bawah kaki tuannya. Kadang-kadang ia mengangkat kepalanya dan menatap Cabo dengan penuh kesetiaan. Sepanjang malam Cabo terus mendayung. Secara teratur ia mengayunkan dayungnya ke dalam air dengan tanpa rasa bosan. Malam yang panjang itu hampir berakhir, hal itu diketahui dengan munculnya semburat terang di ufuk timur. Di sebelah kanan Cabo nampak pula gunung-gunung. Tidak berapa lama kemudian Cabo telah melihat tanjung Suaja. Abu duduk sejenak di dekat kaki Cabo, lalu ia memalingkan kepala ke arah darat. Di ujung selatan dari tanjung Suaja yang disebut tanjung Utu, Cabo mengarahkan perahu ke pantai dan menariknya ke darat.
Setelah itu ia mengumpulkan ranting-ranting dan penggalan-penggalan kayu kering. Kemudian dipasangnya api di bagian bawah depan perahu lalu ditimbuni dengan ranting-ranting dan penggalan-penggalan kayu tadi. Setelah menyala, api pun menjulang tinggi yang mula-mula menghanguskan tepi perahu, tetapi lama-kelamaan menghabiskan seluruh bagian perahu. Cabo tidak menunggu sampai seluruh perahu terbakar karena ia ingin mandi di laut. Laut, selain tempat untuk mendirikan rumah, tetapi juga merupakan tempat ia dilahirkan. Abu berjalan kian kemari sambil menyalak sementara tuannya sedang mandi di laut. Setelah mandi Cabo merasa ada seperti kekuatan gaib yang menyuruhnya pergi. Sesuai dengan mimpi Cabo sebelumnya, ia berjalan sambil menggenggam batu ajaib. Abu berjalan di depan dan Cabo mengikuti dari belakang. Mereka mendaki sebuah bukit yang berbentuk tanjung. Setiba di puncak bukit tanjung, Cabo dan Abu berhenti.
Cabo sadar bahwa saat yang luar biasa akan terjadi. Ia melihat sekeliling lalu berpaling ke arah timur, barat, utara, dan selatan. Cabo yakin bahwa tujuannya akan segera tercapai dan ia telah sampai untuk mengurbankan diri. Dengan meundukkan kepala, ia menantikan sesuatu yang akan terjadi. Beberapa saat kemudian apa yang dinanti-nantikan benar-benar terjadi, dari kejauhan terdengar gemuruh angin yang semakin dekat semakin keras gemuruhnya. Tiba-tiba tanah di bawah kaki Cabo terbelah diiringi dengan suara gemeretak tanah yang terbelah. Abu terkejut dan hendak melarikan diri dari tempat itu, akan tetapi Cabo menahan anjing itu dengan kuat. Abu merasa kagum atas ketabahan dan keikhlasan tuannya untuk itu ia mengurungkan niatnya untuk pergi. Kemudian terdengar bunyi petir menggelegar dasyat. Tanah yang terbelah semakin lebar dan tubuh Cabo dan Abu terjatuh ke dalam celah yang menganga tersebut. Setelah tubuh keduanya masuk ke dalam celah, celah itu dengan cepat tertutup kembali dan menelan tubuh mereka berdua.
Hingga keesokan harinya Tiaghe Pui mencari ikan di laut menggunakan perahu. Usaha untuk mencari ikan kali ini pun nampaknya kurang mendapatkan hasil yang maksimal. Namun semanjak kepergian Cabo Pui, seolah-olah ikan kembali lagi berkumpul ke teluk sehingga kebutuhan masyarakat akan ikan dapat terpenuhi lagi. Tiaghe senantiasa memikirkan Cabo, saudaranya. Dalam hati ia selalu bertanya, “Di mana Cabo gerangan? Apakah ia telah berhasil dalam pencariannya?”.
Tiaghe amat resah dan gelisah. Untuk melenyapkan kegundahan hatinya ia pun segera pulang ke rumah. Tiaghe mendayung perahunya perlahan menuju rumah. Setelah sampai, perahu diikat di tiang rumah. Baru saja ia selasai mengikat perahu, tiba-tiba terdengar suara petir menggelagar di angkasa. Tiang-tiang rumah bergoyag keras seakan-akan terjadi gempa bumi yang dasyat.
“Itu mungkin merupakan suatu tanda. Cabo pernah berkata bahwa ia harus memperhatikan tanda-tanda yang ditunjukkan oleh alam. Sementara ia keluar dari perahu, istrinya pun keluar dari rumah.
“Untunglah engkau telah pulang Tiaghe. Saya sangat sedih. Apakah engkau tidak mendengar bunyi petir tadi?” tanya istri Tiaghe.
“Mungkin ada sesuatu mengenai Cabo, Bu. Tanda yang kita nanti-nantikan telah terlihat. Mari kita pergi untuk mencari Cabo! Bawalah sebuah pinggan tempat sagu dan sepotong kayu!” perintah Tiaghe kepada istrinya.
Setelah itu Tiaghe dan istri bergegas untuk mencari Cabo menggunakan perahu. Tiaghe tidak ragu lagi. Perahu ditepikan dan mereka mendaki sebuat tanjung yang membukit.
“Dari sanalah terdengar suara tadi, mungkin telah terjadi sesuatu.” kata Tiaghe yang diikuti oleh istrinya dalam diam.
Dengan susah payah mereka mendaki tanjung yang terjal itu. Peluh bercucuran membasahi kedua badan pasangan suami istri ini. Tiaghe tidak ingin beristirahat sebelum mencapai puncak tanjung. Ia bersemangat sekali, karena teringat pada pesan Cabo. Ketika tiba di puncak bukit, mereka melihat lautan luas yang bebas terbentang. Setelah beberapa saat memandang lautan, mereka melanjutkan perjalanan menuruni bukit menuju pantai. Di pantai mereka menemukan sisa-sisa pembakaran perahu, bekas kaki Cabo dan anjingnya. Tiaghe dan istrinya mengikuti jejak kaki itu hingga ke tanjung Out, tempat di mana Cabo dan Abu menghilang. Tiaghe menemukan tanda-tanda yang ajaib pada tanah tempat Cabo dan Abu menghilang.
“Engkau lihat benda yang berwarna merah ini? Ajaib, di sini tak ada sesuatu pun selain batu karang, tetapi banyak tanah merah yang lembek.” kata Tiaghe kepada istrinya sambil menunjuk ke tanah.
Tiaghe mencoba menggali lapisan tanah merah itu menggunakan tongkat yang dibawa oleh istrinya. Dari hasil galian itu Tiaghe menemukan batu ajaib.
“Sekarang saya tahu bahwa Cabo berdiri di sini, sebab batu inilah yang dicari. Mari kita bawa batu ini ke rumah,” kata Tiaghe.
“Saya juga ingin membawa tanah ini,” sela istri Tiaghe sambil mengisi tanah merah ke dalam pinggan. Tiaghe dan istrinya kini sadar bahwa mereka tak akan melihat Cabo lagi sepanjang masa.
“Di atas tempat inilah Cabo dan Abu menghilang,” kata Tiaghe Pui.
Istri Tiaghe menangis, begitu juga Tiaghe. Air mata berlinang di pipi mereka berdua. Setelah beberapa lama mereka menangis, mereka kembali ke rumah. Jalan yang ditempuh adalah menyusuri tanjung Suaja. Setiba di kampung, Tiaghe dan istrinya mengaduk tanah merah itu dengan pasir. Semula mereka mencoba membuat mangkuk kecil. Mereka menggunakan batu ajaib untuk mengerjakan mangkuk hingga menjadi licin dan bagus.
Beberapa hari kemudian, Tiaghe memanggil penduduk kampung untuk berkumpul. Ia menceritakan tentang penyebab kepargian Cabo. Setelah mendengar penuturan Tiaghe, penduduk kampung merasa terharu dan kagum. Untuk menguatkan kepercayaan penduduk kampung, Tiaghe memperlihatkan mangkuk kecil yang telah dibuat. Salah seorang wanita dari penduduk kampung memegang mangkuk sambil berkata, “Mangkuk ini belum selesai dikerjakan, sebaiknya dibakar dahulu agar menjadi keras dan kuat.”
Hari demi hari terus berlalu. Kemakmuran kampung Kayubatu perlahan mulai nampak berkat pengorbanan Cabo Pui. Penduduk kampung Kayubatu terus mengenang jasa dan pengorbanan Cabo sepanjang masa. Sejak saat itu kaum kerabat Pui mulai membuat kerajinan tangan yang terbuat dari tanah liat.
Setalah peristiwa penemuan batu ajaib yang kemudian diberi nama Kecabo itu, kian hari jumlah Kecabo kian bertambah banyak. Kecabo asli yang pertama kali ditemukan oleh Cabo Pui sampai saat ini masih ada dan dirawat dengan baik oleh Isak Pui.

Monday, March 1, 2010

Hubungan Putri Laut dengan Suku Norotoy, Cerita Rakyat Suku Ormu

( Diceritakan Kembali Oleh: Daniel Ebe)

Suku Norotoy dikenal sebagai manusia laut. Mereka percaya kalau semua jenis ikan itu memiliki nama. Ada nama jenis ikan yang diambil dalam hukum adat, yaitu teteruga (penyu). Jadi kalau mereka mendapatkan penyu dari laut, dagingnya tidak boleh mereka makan sendiri. Daging penyu itu harus dibagi kepada semua masyarakat di kampung. Pada saat mereka mendapatkan penyu dari laut, penyu itu langsung dibawa ke rumah ondoafi. Lalu pembantu-pembantu ondoafi itulah yang akan memotong dan membagi daging penyu itu kepada semua masyarakat kampung, semua masyarakat kampung juga harus mendapatkan bagian yang sama. Pembagian itu menggunakan ukuran batang lidi. Batang lidi dipotong-potong sebanyak jumlah masyarakat yang ada. Lalu dijadikan ukuran dalam pembagian daging penyu itu. Walaupun pembagian itu sedikit, tapi yang terpenting semua masyarakat mendapatkan bagian yang sama. Itulah tradisi yang dilakukan Suku Norotoy di Kampung Neichebe sampai sekarang. Suku yang paling banyak menikam penyu adalah Suku itu. Mereka juga sering menyumbang ikan untuk masyarakat kampung. Jadi sejak zaman nenek moyang Suku Norotoy ada, masyarakat kampung sudah menikmati ikan hasil tangkapan di laut.
Cerita tentang Putri Laut dan Suku Norotoy dimulai dari cerita sebuah keluarga. Kepala keluarga ini (si bapak) bernama Siriway, sedangkan istrinya bernama Sirimen. Nama-nama ini diambil dari nama-nama tanah yang mereka diami. Mereka memiliki dua orang, yang sulung bernama Baruway. Kehidupan keluarga ini setiap hari adalah mencari ikan dan berkebun di hutan. Mereka mencari ikan di pagi hari dan berkebun di siang hari. Pada zaman dulu, nelayan hanya menggunakan alat menikam untuk menangkap ikan. Mereka menikam ikan yang ada di pinggir-pinggir pantai dan dekat-dekat batu. Dulu mereka membuat alat penikam dari sejenis pohon pinang di hutan. Batang pohon itu dibelah-belah tipis sampai menyerupai kawat besi. Biasanya, kalau ada kayu yang hanyut di laut banyak ikan yang berenang di bawah kayu itu. Ikan-ikan akan berenang mengikuti arah kayu itu. Jadi para pencari ikan sudah tau kalau ada kayu yang hanyut, berarti banyak ikan yang berenang di sekitarnya.
Pada suatu ketika, Siriway melihat kalau ada sepotong kayu yang sedang terapung di laut. Dia segera mendayung perahu mendekati kayu itu. Lalu menikam ikan-ikan yang ada satu persatu. Pada zaman dahulu, orang-orang menyimpan kapur di suatu tempat. Tempat penyimpanan itu terbuat dari buah labu yang agak panjang. Buah labu itu banyak terdapat di hutan, bentuknya menyerupai koteka. Hanya ukurannya lebih kecil daripada koteka. Tempat kapur itu mengapung-apung mendekati perahu Siriway. Siriway mengabaikan tempat kapur itu, bahkan mengambil lalu membuangnya jauh-jauh dari tempatnya menikam ikan tadi. Namun tempat kapur itu tetap saja terapung dan terus mendekati perahu Siriway. Benda itu selalu muncul dimanapun Siriway menikam ikan. Sampai yang ketiga kalinya, Siriway memutuskan untuk membawa pulang tempat kapur itu ke rumahnya. Benda itu diletakkan di atas para-para perahu. Dia sengaja mengeringkan benda itu supaya bisa dipakainya lagi.
Sesampainya di rumah, dia langsung menyerahkan ikan tangkapannya kepada istrinya dan menyuruh istrinya untuk memasak ikan itu. Tempat kapur yang tadi dia simpan di atas perahu diletakkan di atas tikar dalam kamar tidurnya. Tikar-tikar orang dulu terbuat dari pelepah pohon sagu yang dikeringkan kemudian dijahit menjadi satu. Di dekat tempat tidur Siriway terdapat sebuah tempayan yang terbuat dari tanah liat. Tempat kapur itu lalu dia masukkan ke dalam tempayan itu.
Tidak lama kemudian, Sirinem memanggil suaminya untuk makan. Karena Sirinem sudah selesai memasak ikan dan membuat papeda. Setelah mereka sekeluarga makan bersama, mereka lalu berangkat ke kebun. Sesampainya di kebun, mereka langsung bekerja. Sementara bekerja, tiba-tiba mereka mendengarkan ada bunyi tifa dari kampung mereka. Mereka menyangka kalau di kampung mereka sedang ada pesta. Siriway langsung menyuruh istri dan anak-anaknya berkemas-kemas untuk segera kembali ke kampung. Setelah keluarga itu tiba di kampung, mereka tidak menemukan kalau ada yang sedang berpesta di kampung. Suasana di kampung masih sepi karena orang-orang kampung masih ada di kebun. Lalu mereka masuk ke dalam rumah mereka dan mendapati kalau keadaan rumah mereka sudah berubah. Tiba-tiba rumah mereka sudah tertata bersih, rapi, dan teratur. Makanan juga sudah tersaji di atas meja makan. Sehingga mereka langsung mandi dan makan makanan yang sudah tersedia itu. Kemudian mereka sekeluarga pergi tidur.
Tiba-tiba Siriway dikagetkan oleh suara kalau ada orang yang mengetuk-ngetuk tempat kapur tadi. Namun begitu dia terbangun, dia tidak mnemukan siapa-siapa. Lalu dia kembali tidur lagi. Siriway tidur sendirian, sedangkan istri dan anak-anaknya tidur di kamar yang sama. Dia mendengar ada suara orang mengetuk-ngetuk lagi, lalu keluarlah seorang perempuan dari tempat kapur tadi. Perempuan itu sangat cantik, kulitnya putih, dan rambutnya panjang. Perempuan itu duduk di atas tempayan tadi. Siriway terus bertanya-tanya dalam hati, ” darimana datangnya perempuan ini?” Dia hanya mendengarkan pembicaraan perempuan itu. Lalu perempuan itu tiba-tiba menghilang.
Keesokan harinya, Siriway melaut lagi seperti biasanya. Saat dia pulang, dia langsung menyerahkan hasil laut itu kepada istrinya untuk diolah. Namun pada saat makan bersama, Siriway makan sedikit dan mengaku sudah kenyang. Makanan yang telah disiapkan oleh istrinya disimpan untuk makan perempuan itu.
Setelah makan bersama, mereka sekeluarga berangkat ke hutan lagi. Kejadian yang sama seperti kemarin terulang lagi. Mereka mendengar kalau ada suara tifa dari kampung seperti orang yang sedang berpesta. Setelah mereka kembali ke rumah, mereka mendapati rumah mereka sudah rapi dan makanan juga sudah tersedia. Mereka jadi keheranan sendiri.
Hari berikutnya, kejadian aneh tersebut terulang lagi sampai Sirimen curiga kalau Siriway memiliki perempuan lain. Dia memaksa Siriway untuk mengaku, namun Siriway tetap menyangkal. Akhirnya Sirimen mencari akal. Dia menyuruh anak perempuannya untuk mengamati keadaan di rumahnya saat mereka berangkat ke hutan. Sirimen membohongi Siriway kalau anak perempuan mereka sedang sakit dan tidak bisa ikut ke hutan. Sewaktu mereka berangkat ke hutan, perempuan dari tempat kapur itu muncul. Dia mengerjakan semua pekerjaan rumah lalu memukul tifa seperti orang yang sedang berpesta. Anak perempuan Siriway menyaksikan semua gerak-gerik perempuan itu, lalu dia melaporkan semua kejadian yang dilihatnya kepada ibunya sewaktu pulang dari hutan.
Saat makan malam tiba, Sirimen memaksa suaminya untuk mengakui keberadaan perempuan itu. Akhirnya Siriway mengakuinya dan menikahi perempuan itu. Mereka semua tinggal bersama-sama di rumah itu. Ternyata perempuan itu adalah seorang putri laut yang menjelma menjadi seorang manusia. Perempuan itu sudah tidak bisa lagi kembali ke asalnya karena Siriway telah menyembunyikan tempat kapur tadi. Selain itu, keberadaannya juga sudah diketahui oleh banyak orang. Perempuan itu tinggal bersama Siriway dengan syarat bahwa Sirimen dan anak-anaknya tidak boleh menyebut kata ”anak setan” kepada anak-anak dari perempuan itu. Siriway menyanggupi.
Siriway dikaruniai dua orang anak dari perempuan itu, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan. Mereka tinggal bersama dalam satu rumah. Anak-anak mereka sering bermasalah ketika membagi pekerjaan cuci mencuci. Anak-anak Sirimen selalu membuat gara-gara terhadap anak-anak perempuan itu. Sampai pada akhirnya Sirimen marah dan menyebut kata-kata terlarang tersebut. Sesuai dengan kesepakatan antara Siriway dengan perempuan itu, begitu kata-kata itu terucap berarti rumah tangganya mereka berpisah. Perempuan itu pergi dari rumah dengan membawa anak laki-lakinya. Mereka terus berjalan menelusuri pantai dan tidak tahu kemana arah tujuan mereka. Siriway mengejar mereka ditemani oleh si Jaru, anjing kesayangan keluarga itu. Setelah si Jaru menemukan jejak perempuan itu dan putranya, si Jaru ikut berjalan mengikuti perempuan itu dan putranya. Siriway tetap menelusuri jejak mereka sampai pada akhirnya dia menemukan istri, putra, dan anjingnya itu. Namun diantara mereka sudah ada semacam hijab yang memisahkan mereka. Setelah perempuan itu berbicara dan menangis, tiba-tiba ombak besar datang menghantam dia, putra, dan anjingnya itu.
Sekarang tampak ada batu yang menyerupai bentuk seorang perempuan, anak kecil, dan seekor anjing di perbatasan kampung Yongsu. Bahkan kadang-kadang terdengar suara manusia yang menangis dan anjing yang mengaung kalau laut dalam keadaan tenang. Batu itu juga menunjukkan bahwa sejak dulu kala anjing adalah teman yang setia bagi Suku Norotoy, karena selalu menemani tuannya dalam semua keadaan baik susah maupun senang.

menuai kearifan hidup melalui sastra lisan

Membicarakan kehidupan sastra secara keseluruhan tidak terlepas dari persoalan kesusastraan daerah, khususnya sastra lisan, yang merupakan warisan budaya daerah yang turun temurun dan mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan dalam hubungan dengan usaha menangkal efek negatif globalisasi. Menurut Koentjaraningrat, nilai budaya itu merupakan konsep hidup di dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus dianggap sangat bernilai di dalam kehidupan. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman aturan tertinggi bagi kelakuan manusia, seperti aturan hukum di dalam masyarakat. Nilai budaya itu biasanya mendorong suatu pembangunan spiritual, seperti tahan cobaan, usaha dan kerja keras, toleransi terhadap pendirian atau kepercayaan orang lain, dan gotong royong.

Yang dimaksud dengan sastra lisan adalah produk budaya lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui mulut, seperti ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, cerita rakyat, dan nyanyian rakyat. Usaha menggali nilai sastra lisan bukan berarti menampilkan sifat kedaerahan, melainkan penelusuran terhadap unsur kebudayaan daerah yang perlu dilaksanakan karena sastra daerah merupakan sumber yang tidak pernah kering bagi kesempurnaan keutuhan budaya nasional kita. Sastra lisan sebagai produk budaya sarat dengan ajaran moral, bukan hanya berfungsi untuk menghibur, melainkan juga mengajar, terutama mengajarkan nilai-nilai yang terkait dengan kualitas manusia dan kemanusiaan. Di samping itu, terkandung nilai budaya yang sifatnya universal di antaranya nilai keagamaan, nilai kesetiaan, nilai sosial, nilai historis, nilai moral, nilai pendidikan, nilai etika, dan nilai kepahlawanan.

Ada anggapan bahwa sastra tradisional pun memiliki manfaat yang tidak kalah pentingnya daripada sastra modern. Ayu Sutarto di dalam makalahnya yang berjudul "Hubungan Konsep Negara Bangsa serta Susastra Lisan Asia Tenggara" (2003) menegaskan adanya virus N-ach (Need for Achievement ’kebutuhan untuk berprestasi’) yang dapat tumbuh dari dongeng-dongeng masa lalu. Ditambahkan bahwa dongeng itu tidak hanya mengajarkan kearifan hidup kepada anak-anak, tetapi juga dapat menyuntikkan virus mental untuk membangun prestasi dalam kehidupan mereka.

Papua memiliki penduduk yang majemuk dan beragam suku bangsa. Kemajemukan dan keberagaman suku bangsa menjadikan wilayah ini kaya dengan sastra lisan. Sastra lisan mengandung nilai-nilai budaya, tumbuh dan berkembang sejalan pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya sehingga memegang peranan penting dalam pembentukan watak sosial masyarakat pendukungnya. Papua terdiri dari 248 suku bangsa yang berbeda dan memiliki kekayaan sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat termasuk nilai-nilai yang menjadi prinsip hidup masyarakatnya.

Setiap suku yang berada di Papua memiliki sastra lisan tersendiri, oleh karena itu saya akan memberikan beberapa contoh kearifan lokal dari suku Biak dan suku Sentani. Contoh pertama adalah kearifan lokal dalam cerita rakyat Biak. Banyak perilaku sosial yang dapat dijadikan pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, baik sekarang maupun untuk sekedar menengok latar belakang munculnya budaya dalam masyarakat Biak sekarang ini. Warisan budaya dalam hal pedoman berperilaku sosial dalam cerita Insrennanggi salah satunya dapat dicermati dari penyelenggaraan upacara fan nanggi. Upacara fan nanggi adalah upacara ritual yang dahulu biasa diselenggarakan apabila penduduk selesai memanen hasil kebun atau akan bepergian. Fan nanggi yang realitasnya adalah upacara yang identik dengan makan dilaksanakan sebagai tanda syukur atas hasil panen. Sebagai kearifan lokal, upacara ini baik untuk memupuk rasa sosial dalam diri masyarakat Biak. Dengan mengadakan upacara ini masyarakat dapat berbagi dengan masyarakat luas. Dalam struktur sosial yang lebih luas, upacara fan nanggi dapat menjalin rasa solidaritas dan kebersamaan sesama anggota masyarakat.
Kearifan lokal lainnya yang dapat ditemukan dalam cerita ini adalah dalam sistem mengolah makanan. Dahulu, sebelum Insrennanggi memperkenalkan api dan cara pengolahan makanan dengan menggunakan api sebagai medianya, masyarakat Biak mengkonsumsi makanan dengan pengolahan melalui sinar matahari. Setelah mendapat bimbingan dari insrennanggi, masyarakat Biak terutama Padaidori kemudian mengubah pola makan dan konsumsi makanan dengan mengolahnya terlebih dahulu sampai matang dengan menggunakan api. Cara mengolah makanan yang diperkenalkan Insrennanggi ini dikenal dengan istilah barapen.

Dalam masyarakat Sentani, kisah buyaka bure yeuboke ahuba (terjadinya danau sentani) mengungkapkan bahwa nilai hidup saling membantu merupakan naluri manusia dari dulu dan di mana saja dalam budaya apa saja, karena manusia adalah makhluk sosial yang hidupnya dalam kelompok dan saling membantu satu sama lain atau melakukan sesuatu bersama-sama.
Kisah Ebhire Kandeyre (Burung Murai dan Ikan Gabus) memiliki beberapa mutiara hikmah yang dapat dijadikan cermin agar semua pihak merenungkan makna filosofis yang terkandung dalam cerita leluhur untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari serta dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya.
1. Masalah disiplin
Cermin sikap disiplin nampak pada kebiasaan masyarakat yang selalu bangun setelah burung murai berkicau. Setiap hari burung murai berkicau menjelang munculnya fajar sehingga masyarakat harus segera bersiap-siap melaksanakan segala aktivitas dan usaha agar dapat memperoleh hasil yang maksimal. Burung murai juga menunjukkan perhitungan waktu, sehingga manusia diharapkan dapat mengatur waktu yang diberikan Tuhan untuk hal-hal bermanfaat agar memperoleh banyak berkat.
2. Masalah kerukunan
Kandey merupakan hewan kecil yang masih muda dan buaya merupakan hewan besar yang sudah tua. Kandey tidak takut terhadap buaya namun kandey menghormati buaya. Kandey berbakti kepada buaya dengan rajin membersihkan janggut sang buaya sehingga muncul rasa sayang di hati buaya. Walaupun pada dasarnya kandey dan buaya bermusuhan namun dengan adanya saling pengertian dan cinta kasih maka kerukunan dapat tercipta. Hubungan yang harmonis antara kandey dan buaya dapat kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat yang heterogen.
3. Masalah kekuasaan
Kandey merupakan lambang dari masyarakat kebanyakan sedangkan buaya mewakili orang yang kuat dan berpengaruh. Cerita tentang kebaikan kandey terhadap buaya juga dapat menjadi cermin masyarakat kecil yang tunduk kepada penguasa. Jika pemegang kekuasaan dapat mengendalikan diri dalam segala tindakan, niscaya akan timbul keharmonisan dengan masyarakat kecil. Dengan demikian akan muncul rasa percaya dari masyarakat kepada orang yang dituakan sehingga rakyat dengan sukarela akan berbakti dan melayani.
4. Masalah iri dengki
Perbedaan pendapat antara burung murai dan kandey tentang sosok buaya akhirnya menimbulkan kebencian dalam hati burung murai. Ketika kandey dan buaya dapat menjalin hubungan yang harmonis maka muncullah kebencian dan rasa iri di hati burung murai. Sikap iri dapat mucul karena keberhasilan pihak lain. Pada dasarnya perasaan iri dapat dikendalikan dengan belajar melihat suatu masalah dari sisi positif. Sedangkan untuk menghilangkan rasa dengki dari dalam hati adalah dengan tidak menganggap diri kita sebagai yang terbaik atau yang paling benar. Seandainya saja burung murai tidak iri dengki terhadap keharmonisan kandey dan buaya, pasti peristiwa kelam tentang penikaman mata kandey tidak pernah terdengar dan burung murai tetap menjadi burung cantik yang setia membangunkan masyarakat Sentani setiap pagi dengan cinta kasihnya.

Dengan mempelajari sastra lisan kita dapat memperluas wawasan dan pandangan masyarakat tentang nilai-nilai budaya Papua yang unik, dan bernilai positif. Secara politis, kearifan lokal yang terdapat dalam sastra lisan berguna bagi para pengambil kebijakan di tingkat provinsi maupun nasional, yaitu nilai-nilai sastra lisan ini dapat diperhitungkan dan dipergunakan sebagai salah satu alat pengontrol dalam kegiatan pembangunan fisik maupun nonfisik di Provinsi Papua khususnya dan di Indonesia umumnya.