Wednesday, February 24, 2010

kearifan lokal dalam cerita Persaingan antara Manusia dan Suanggi, Namblong

Abstract
Papua has multi ethnic and cultures so it needs specific threaten. Local othonomy with its implication will bring impacts on many sectors. This paper aims to analys the culture value of oral tradition from Namblong. Indeed, the local wisdoms to be the focus. Sustainable development of Namblong will be successfully if there is sufficient attention toward customary or indegenious heritages and their values. This is a Library research, and the paper presented descriptively. From this oral tradition of Namblong, there are some local wisdoms such as good governance, concept of democration, culture, and low impeachment found on it.
Key Words: Oral tradition, culture value, local wisdoms.

1. Gambaran Sosial Budaya Suku Bangsa Namblong/Nimboran
Suku bangsa Namblong berdiam di lembah Sungai Sermowai, Muaif, dan Grime di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Pada masa lalu, sebelum kedatangan pemerintah Belanda, perkampungan orang Namblong terletak di puncak-puncak bukit, antara lain di bukit Nimboran Selatan dan Nimboran Utara. Pemilihan tempat seperti ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga dari serangan musuh.tetapi sejak tahun 1924, rumah-rumah orang-orang Namblong mulai dipusatkan pada tempat-tempat tertentu di kaki bukit atau di lembah sungai. Suatu perkampungan biasanya dihuni oleh 250—330 penduduk. Gabungan berpuluh-puluh kampung membentuk desa, yang pada tahun 1951 berjumlah sekitar 23 buah.
Saat ini suku Namblong/Nimboran tersebar di tiga distrik yakni Distrik Namblong, Distrik Nimboran, dan Distrik Nimbokrang, dengan luas wilayah sekitar 1321 km2. Jumlah suku Namblong berdasarkan data SIL tahun 1987 berjumlah 3500 jiwa. Distrik Namblong terdiri dari sembilan kampung, Distrik Nimboran terdiri dari satu kelurahan dan tiga belas Kampung, sedangkan Distrik Nimbokrang terdiri dari sembilan kampung.
Tempat tinggal penduduk Namblong beriklim tropis dan dan penuh hutan tropis lebat dengan curah hujan yang tinggi. Pada masa lalu perladangan dilakukan berpindah-pindah dengan cara membuka, menebang, dan membakar hutan dan semak-semak. Bercocok tanam dilakukan pada musim hujan atau akhir musim kering; dengan tanaman ubi, keladi, singkong, sayur, pisang. Sekitar tahun 50-an, pemerintah Belanda telah memperkenalkan suatu pusat pertanian berperalatan modern, yang mengusahakan tanaman perdangangan, seperti kacang tanah, jagung, kacang kedelai, padi, cokelat, dan kopi.
Selain bercocok tanam, orang Namblong juga menangkap ikan serta udang di sungai. Pekerjaan lainnya, yang khusus dilakukan olah kaum laki-laki, adalah berburu babi hutan, burung kasuari, tikus, dan binatang kecil lainnya. Orang Namblong juga mengembangkan kerajinan anyaman tikar dan keranjang. Bahan anyaman, seperti rotan dan bambu, diperoleh di lingkunagn sekitar tempat tinggal mereka.
Pada masa lalu daerah Nimboran dikenal sebagai daerah penghasil sagu. Penduduk Nimboran yang biasa disebut suku Namblong mengenal sistem pertukaran (barter) dengan suku bangsa lain yang tinggal di pantai utara, di hulu sungai Sermowai. Hasil bumi dari pantai utara, misalnya garam, ikan kering, perhiasan kerang ditukarkan dengan sagu. Alat tukar berupa uang diperkenalkan oleh zending dan pedagang Cina yang datang ke daerah tersebut.
Sistem kekerabatan orang Namblong adalah patrilineal. Kelompok kekerabatan patrilineal, yang disebut tang, biasanya mendiamai satu desa yang sama. Pemimpin sebuah tang disebut Iram, dan ia sering kali merangkap sebagai kepala desa. Dalam menjalankan tugasnya ia dibantu oleh tekai. Iram sering dianggap keramat dan sangat dihormati. Bila Iram meninggal atau mengundurkan diri, ia digantikan oleh saudara laki-laki atau anak laki-laki tertuanya.
Perkawinan dilakukan di antara orang-orang yang secara adat masih memiliki hubungan kekerabatan dengan tang sendiri. Suatu perkawanian dilangsungkan setelah pihak laki-laki menyerahkan emas kawin dalam jumlah besar untuk dibagi-bagikan kepada semua anggota tang si gadis. Pada masa lalu emas kawin terdiri atas berbagai bentuk kapak batu, aneka warna manik-manik, tetapi sekarang mulai dikenal emas kawin berbentuk uang atau perabot rumah tangga. Adat menetap sesudah nikahnya patrilokal, yaitu untuk sementara suami-istri tinggal di rumah keluarga suami atau membangun rumah sederhana di dekat rumah kerabat suami.
Sebelum mengenal agama Protestan, orang Namblong meyakini adanya kekuasaan arwah nenek moyang. Dunia roh tempat nenek moyang disebut semen. Selain itu, mereka juga percaya pada injo, yaitu roh jahat yang berasal dari perempuan. Untuk berhubungan denagn roh-roh ini orang Namblong melakukan berbagai upacara yang bertujuan memperoleh kekuatan batin. Dalam upacara, mereka menari hingga mencapai keadan kasyep. Dalam keadaan tidak sadarkan diri inilah mereka mendapatkan rahmat dari arwah nenek moyangnya.

1.1 Penutur Cerita
Penutur cerita yang dipilih dalam cerita ini adalah orang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan suku Namblong di Kabupaten Jayapura, dengan harapan mereka dapat menyampaikan cerita dengan lengkap.
Penutur cerita terdiri dari laki-laki dan perempuan, tua dan muda. Namun pada umumnya penuturan cerita dilakukan oleh orang-orang tua. Ada beberapa persyarakan yang harus dilakukan sebelum menuturkan cerita;
Cerita yang dimiliki oleh marga lain tidak boleh dituturkan oleh penutur marga lain. Setiap marga memiliki cerita sendiri-sendiri, dan hanya dituturkan oleh marga itu sendiri.
Rahasia tentang perang, cara bercocok tanam, dan asal-usul marga tidak boleh dituturkan oleh marga lain selain marga yang memiliki cerita tersebut.
Apabila hal ini dilanggar, akan mengakibatkan si penutur akan mengalami hal-hal mistis yang dapat menyebabkan kematian.

1.2 Kesempatan Bercerita
Dalam menuturkan cerita, kesempatan disesuaikan dengan tujuan cerita yang akan disampaikan. Berbagai kesempatan tersebut sebagai berikut:
Pada waktu pelaksanaan panen umbi-umbian di kebun. Saat panen tersebut banyak anak yang berkumpul di tempat panen. Saat seperti ini dipakai oleh penutur cerita untuk menuturkan cerita kepada anak-anak.
Pada saat bulan purnama, saat anak-anak bermain dan berkumpul bersama teman-temannya menikmati cahaya bulan. Kesempatan itu dipakai oleh penutur cerita untuk menuturkan cerita kepada anak-anak.
Pada waktu santai atau mengisi waktu senggang, misalnya pada siang hari setelah kerja, mereka berkumpul di suatu tempat untuk mendengarkan cerita sebagai pelepas lelah. Penuturan di malam hari atau menjelang tidur, biasanya dilakukan oleh para orang tua dan anak-anak. Pendengar cerita hanya datang untuk mendengarkan cerita saja sebagai hiburan atau pengantar tidur.
Pada waktu seseorang menanyakan asal-usul suatu benda, nama tempat, atau sejarah perjuangan daerah.

1.3 Tujuan Bercerita
Setiap cerita selalu dituturkan dengan maksud dan tujuan tertentu. Isi cerita akan bermanfaat bagi pendengarnya, selama si pendengar mencerna isi cerita dengan baik. Namun, perlu diketahui bahwa tujuan suatu cerita tidsk hanya bergantung pada isi cerita saja, melainkan bergantung juga pada tujuan-tujuan lain yang diinginkan oleh penutur dan pendengar.
Berdasarkan wawancara dengan informan atau penutur dan dikaitkan dengan cerita-cerita yang dapat dikumpulkan, tujuan penutur antara lain sebagai berikut:
a. Agar orang mengetahui keadaan lingkungan alam kampungnya, misalnya terjadi suatu tempat atau benda asal-usul sejarah.
b. Agar cerita-cerita tersebut diwariskan secara turun temurun, sehingga tetap terjaga kelestariannya dan tidak dilupakan oleh generasi-generasi selanjutnya.
c. Agar orang mengetahui adat istiadat daerah tempat cerita dituturkan. sehingga penutur merasa khawatir dengan adanya kemajuan di bidang pembangunan yang sudah pasti membawa dampak positif dan negatif. Oleh karena itu, mereka merasa berkewajiabn meneruskan cerita tersebut kepada generasi muda dengan harapan agar mereka tidak lupa akan adat istiadat leluhur yang terdapat di daerahnya.
d. Cerita-cerita yang dituturkan penuh dengan ajaran moral, budi pekerti, serta rasa cinta terhadap sesama, cerita ini dimaksudkan untuk mendidik dan menanamkan kebiasaan positif kepada generasi muda agar dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
e. Agar orang merasa terhibur sehingga pekerjaan yang berat, cepat selesai, dan ringan setelah mendengar cerita yang dituturkan oleh penutur.

1.4 Hubungan Bercerita Dengan Lingkungannya
Masyarakat suku Namblong beranggapan bahwa cerita itu tidak hanya sekadar untuk didengar saja, dan diceritakan secara turun-temurun, akan tetapi cerita-cerita tersebut dianggap pernah terjadi pada masa lampau sehingga dapat mempengaruhi tingkah laku mereka. Jadi cerita-cerita tersebut sangat erat hubungannya dengan lingkungan, baik lingkunagan masyarakat maupun lingkungan alamnya. Penutur cerita meyakini bahwa apa yang diungkapkan dalam cerita benar-benar terjadi. Tokoh-tokoh cerita dipercayai keberadaannya dan dinggap sebagai leluhur yang menurunkan anak cucu dari generasi zaman lampau ke generesi berikutnya yang penuh keajaiban menghadapi tantangan hidup.
Kepercayaan masyarakat tentang cerita, mereka ketahui dengan besar sehingga dapat mempengaruhi tingkah laku mereka, yaitu taat pada larangan-larangan atau suruhan yang berhubungan dengan cerita itu.

2. Pembahasan Kearifan lokal dalam cerita rakyat Namblong Persaingan Antara Manusia dan Suanggi
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kearifan lokal yang terkandung dalam cerita rakyat Namblong.
Kearifan lokal yang terkandung dalam cerita rakyat ini disajikan berdasarkan tiap judul cerita. Dengan demikian, tiap judul cerita dalam bagian ini berisi paparan kearifan lokal yang terkandung dalam cerita tersebut. Adapun judul cerita rakyat tersebut adalah.
2.1 Persaingan Antara Suwanggi dengan Manusia
Keberadaan sebuah cerita rakyat tidak hanya berlaku sebagai hiburan semata, namun dalam cerita rakyat tersebut kita dapat memperoleh informasi yang dapat memperluas wawasan dan menambah pengalaman batin. Cerita rakyat Persaingan Antara Suwanggi Dengan Manusia sarat dengan pengetahuan mengenai tradisi dan dan budaya Namblong. Tradisi tersebut berupa perilaku dan kebiasaan yang berlaku dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Namblong. Adapun tradisi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Namblong yang bisa ditemui dalam cerita adalah sebagai berikut.
2.1.1 Kehidupan Yang Rukun
Kerukunan merupakan salah satu pola kehidupan yang diterapkan oleh suku Namblong. Mereka hidup berdampingan meskipun dengan makhluk halus yang berupa suwanggi.
Saat itu suwanggi dan manusia masih satu, akan tetapi masih bisa dibedakan antara suwanggi dengan manusia.

"Mereka (suwanggi dan manusia) membuat perjanjian untuk tetap hidup berdampingan satu sama lain".

Dari kutipan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa kehidupan suku Namblong antara adalah baik dengan sesama manusia maupun makhluk lai
2.1.2 Sistem Demokrasi
Sistem demokrasi bukan merupakan hal baru bagi suku Namblong hal ini terbukti dengan adanya pemilihan ondoafi. Ondoafi yang berasal dari manusia dan suwanggi dipilih oleh tim khusus. Pemilihan ondoafi dilakukan melalui seleksi yang ketat berdasarkan kecakapan yang dimiliki oleh para kandidat. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini.
"Mereka mengadakan acara adat. Mereka sepakat memilih ondoafi dari suwanggi dan manusia. Suwanggi dan manusia berlomba untuk menjadi ondoafi. Suwanggi dan manusia yang hadir pada waktu itu jumlahnya banyak. Tapi tetap ada juga tim penilai siapa yang pantas untuk diangkat menjadi ondoafi. Mereka menyeleksi anak-anak laki-laki untuk dijadikan ondoafi".

Sistem demokrasi yang diterapkan oleh suku Namblong patut dijadikan teladan oleh masyarakat saat ini.
2.1.3 Sistem Persaingan Untuk Meraih Tujuan
Manusia berusaha untuk mencapai tujuan hidup dengan berbagai cara yang sesuai dengan norma yang ada. Persaingan harus dilakukan agar tujuan tesebut dapat diraih dengan mudah dan mendapat hasil yang memuaskan. Hal ini juga dilakukan oleh suku Namblong pada zaman dahulu.

"Pada acara itu suwanggi dan manusia bertarung habis-habisan untuk menjadi ondoafi. Mereka melakukan acara dansa. Kelompok suwanggi dan manusia masing-masing berdansa, lalu mereka semua dinilai oleh tim penilai itu".

Adakalanya persaingan untuk mencapai tujuan ini diwarnai dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma yang ada dan menyebabkan persaingan tidak sehat.

"Tapi salah satu dalam kelompok itu ada anak yang membocorkan bahwa kelompok manusia yang akan menjadi ondoafi. Akhirnya anggota dari kelompok Suwanggi ini berniat jahat kepada anak itu. Karena Suwanggi ini takut kalau nanti dia dikuasai oleh kelompok manusia. Mereka kompak untuk terus mengganggu kelompok manusia. Mereka menggoda manusia lewat suwanggi-suwanggi perempuan. Mereka berusaha menjelma menjadi perempuan cantik".

2.1.4 Kejahatan Yang Terorganisir Akan Mengalahkan Kebaikan Yang Tidak Terorganisir
Dewasa ini kejahatan meraja-lela di mana-mana. Kejahatan dilakukan secara terorganisir dan terencana sehingga dapat mengalahkan kebaikan yang tidak teroganisir dengan baik. Sebagai contoh adalah perampokan bank yang dilakukan oleh kelompok yang terlatih dan telah direncanakan dengan matang dan melibatkan pihak-pihak yang berkaitan dengan bank. Perampokan itu berhasil karena perencanaannya matang dan kekalahan dialami oleh pihak bank karena tidak ada antisipasi yang baik terhadap adanya upaya perampokan.

"Akhirnya anggota dari kelompok Suwanggi ini berniat jahat kepada anak itu. Karena Suwanggi ini takut kalau nanti dia dikuasai oleh kelompok manusia. Mereka kompak untuk terus mengganggu kelompok manusia. Mereka menggoda manusia lewat suwanggi-suwanggi perempuan".

"Lalu suwanggi itu sengaja menjebak manusia-manusia itu di dalam kamar. Sehingga mereka tidak bisa keluar dari ruangan itu".

2.1.5 Kemenangan Selalu Berpihak Pada Yang Benar
Merupakan hukum alam bahwa kemenangan selalu berpihak pada kebenaran. Demikian juga dengan akhir cerita ini, kemenangan berpihak pada manusia karena manusia melakukan persaingan sehat dalam mencapai tujuannya.

"Tim penilai mengetahui bahwa suwanggi-suwanggi itulah yang menangkap dan menyekap anak-anak muda itu. Sehingga tim menilai memberikan kemenangan kepada pihak manusia".

Berdasarkan pada kutipan di atas sebagai manusia kita harus yakin bahwa kebenaran akan selalu menang walaupun harus melalui onak dan duri terlebih dahulu. Marilah kita berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan untuk menciptakan dunia yang damai.

Ringkasan Cerita
Pada zaman dahulu kala manusia dan suwanggi hidup berdampingan dengan damai. Mereka tinggal bersama dalam sebuah kampung yang aman dan terkendali. Pada suatu hari manusia dan suwanggi sepakat mengadakan pemilihan pemimpin yang dalam bahasa nimboran disebut iram atau ondoafi. Pemilihan ondoafi ini diselenggarakan dengan berbagai tahapan dan disertai oleh tim penilai. Siapa saja boleh mencalonkan diri menjadi seorang ondoafi dengan syarat adalah seorang laki-laki.
Manusia dan suwanggi memulai pemilihan ini dengan mengadakan perlombaan dansa. Persaingan semakin seru ketika manusia dan suwanggi menampilkan tarian yang hampir sama baiknya. Tim penilai telah menapkan pemenang yang berasal dari manusia tetapi belum diumumkan dan masih menjadi rahasia. Salah satu suwanggi membocorkan rahasia ini dan berusaha mempengaruhi masyarakat suwanggi untuk menggagalkan keputusan tim penilai. Para suwanggi meraka kuatir dan takut jika manusia terpilih menjadi suwanggi maka manusia akan menguasai bangsa suwanggi.
Kelompok suwanggi sepakat untuk menculik para pemuda dari golongan manusia. Suwanggi menjelma menjadi perempuan-perempuan cantik yang dengan agresif menggoda dan mengurung pemuda pada sebuah pondok. Ketika tim penilai mengumumkan siapa yang telah terpilih menjadi ondoafi, tim penilai tidak menemukan para pemuda. Setelah melakukan pencarian akhirnya tim penilai menemukan para pemuda telah diperdaya oleh suwanggi.
Di akhir cerita manusialah yang terpilih menjadi ondoafi dan manusia dan suwanggi membuat perjanjian bahwa suwanggi harus pergi dari kampung dan mencari tempat tinggal baru. Suwanggi sampai kini masih berusaha berseteru dangan manusia.

persaingan antara manusia dan suanggi

Ada sebuah keluarga di Kampung Eminon, sang istri yang berasal dari Kampung Eminon. Ibu ini melahirkan waliklein. Waliklein ini punya kuasa. Ibunya bernama Menggo. Nama ini masih nama tanah, belum memiliki nama gereja. Menggo ini turunan seorang ondoafi.
Zaman itu masih zaman penjajahan Portugis. Pada waktu itu terjadi acara pertemuan antara manusia dengan Suwanggi (setan). Saat itu suwanggi dan manusia masih satu, masih bisa dibedakan antara suwanggi dengan manusia. Acara ini diadakan pada salah satu tempat di Kampung Eminom. Mereka mengadakan acara adat. Mereka sepakat menunjuk ondoafi dari suwanggi dan manusia. Suwanggi dan manusia berlomba untuk menjadi ondoafi. Suwanggi dan manusia yang hadir pada waktu itu jumlahnya banyak. Tapi tetap ada juga tim penilai siapa yang pantas untuk diangkat menjadi ondoafi. Mereka menyeleksi anak-anak laki-laki untuk dijadikan ondoafi.
Waliklein tertarik untuk mengikuti acara ini. Setiap hari dia ke tempat itu untuk menyaksikan, lalu dia selalu pulang ke rumah untuk menceritakannya kepada ibunya. Pada acara itu suwanggi dan manusia bertarung habis-habisan untuk menjadi ondoafi. Mereka melakukan acara dansa. Kelompok suwanggi dan manusia masing-masing berdansa, lalu mereka semua dinilai oleh tim penilai itu. Waliklein itu tiba-tiba muncul dan menunjuk salah seorang dari mereka untuk dilantik menjadi ondoafi. Tapi salah satu dalam kelompok itu ada anak yang membocorkan bahwa kelompok manusia yang akan menjadi ondoafi. Akhirnya anggota dari kelompok Suwanggi ini berniat jahat kepada anak itu. Karena Suwanggi ini takut kalau nanti dia dikuasai oleh kelompok manusia. Mereka kompak untuk terus mengganggu kelompok manusia. Mereka menggoda manusia lewat suwanggi-suwanggi perempuan. Mereka berusaha menjelma menjadi perempuan cantik.
Tim penilai itu sudah menentukan siapa yang akan memenangkan perlombaan itu. Sampai pada saat penentuan, manusia-manusia itu hanya mengira kalau perempuan itu adalah ibu-ibu mereka. Selama itu, perempuan-perempuan itu selalu memberikan minuman kepada mereka. Hingga suatu waktu mereka minta minuman lagi kepada suwanggi-suwanggi yang menyamar jadi perempuan tadi. Lalu suwanggi itu sengaja menjebak manusia-manusia itu di dalam kamar. Sehingga mereka tidak bisa keluar dari ruangan itu. Tim penilai tadi menunggu manusia-manusia itu kelur dari ruangan itu, tapi mereka tidak kunjung keluar juga. Manusia-manusia itu melihat suwanggi-suwanggi itu tiba-tiba bubar. Dia mengetahui bahwa suwanggi-suwanggi itulah yang menangkap dan menyekap anak-anak muda itu. Sehingga tim menilai memberikan kemenangan kepada pihak manusia. Sejak saat itu suwanggi (setan) selalu berseteru dengan manusia. Mereka (suwanggi dan manusia) membuat perjanjian untuk tetap hidup berdampingan satu sama lain. Lalu suwanggi itu membuat tempat di sebuah kuburan yang terletak di Kampung Ibenom. Tempat itu masih ada sampai sekarang. Konon, tempat ini dianggap angker karena tempat itu menjadi tempat tinggalnya suwanggi-suwanggi tadi. Setiap ada yang melintasi tempat ini, kadang mendengar suara-suara aneh yang menakutkan.

burung garuda

Dikisahkan hiduplah di suatu kampung bernama kampung Gresi, suami istri yang memiliki seorang anak perempuan. Suatu hari mereka bertiga melakukan perjalanan lewat laut dengan perahu menuju Depapre. Dalam perjalanannya si anak meminta minum kepada bapaknya, dan bapaknya menyuruhnya meminta pada mamanya. Saat mengambil air, mama dan anak terjatuh ke laut. Tidak berapa lama mereka muncul kembali dari laut dalam bentuk yang berbeda, yakni sebelah manusia tetapi sebelah lagi berbentuk patung. Sebagian warga setempat mempercayainya sebagai hantu laut. Sang Bapak terus mendayung perahunya menuju daerah Ormu, sesampainya di tempat tujuan, ia mendapat firasat jika wanita dan anak yang saat ini bersama mereka bukanlah istri dan anaknya. Namun diabaikannya perasaan itu.
Sementara itu di kampung yang lain, masih di sekitar kabupaten Jayapura, hiduplah seekor burung Garuda, burung Garuda memiliki kebiasaan mengambil hasil kebun masyarakat sekitar, dia juga mencuri makanan penduduk seperti sagu, singkong, dan keladi serta mengambil hasil buruan yang didapat warga sekitar dari hutan. Sang burung tinggal di sebuah pohon besi yang memiliki ketinggian kurang lebih 100 meter. Ketinggian pohon yang tidak bisa ditemui saat ini. Ia membawa terbang setiap hasil curian yang didapatkannya ke pohon besi tersebut. Sehingga tidak satupun hewan maupun manusia yang bisa mengambil kembali barang dari burung Garuda.
Mama dan anak yang telah tenggelam di laut dalam perjalanannya ke Depapre, akhirnya muncul kembali ke permukaan. Mereka ditangkap oleh burung Garuda dan dibawa ke pohon kayu besi. Mereka diminta untuk tinggal bersama sang burung. Burung Garuda mencarikan mereka rumah untuk di bawa naik dan ditaruh di pohon kayu besi sebagai tempat tinggal mama dan anak. Selama tinggal bersama burung Garuda di pohon besi semua kebutuhan mama dan anak dipenuhi olehnya. Sang burung mencarikan makanan dan minuman dari bawah, membuatkan anak perempuan sebuah ayunan, serta masih banyak lagi. Mereka tinggal berbahagia di sana. Bahkan sang anak memanggil burung Garuda dengan sebutan ayah. Secara fisik burung Garuda memiliki kepala sebagaimana manusia hanya saja badannya yang berbentuk burung.
Adalah kebiasaan si anak bermain ayunan setiap hari. Secara tidak sengaja Bapak si anak sedang berburu dan memasang jebakan buruan di pohon besi. Ia mendengar ada suara anak yang sedang bermain. Ia merasa aneh ada suara anak di atas pohon. Ia mendapat firasat jika suara itu adalah suara anaknya. Kemudian pulanglah ia kerumah dan memperhatikan istri dan anaknya yang dirumah, lagi-lagi ia melihat keanehan pada diri anak dan istrinya tersebut. Ia semakin yakin jika anak dan istri yang berada dirumahnya bukanlah istri dan anaknya yang sesungguhnya, melainkan jelmaan makhluk laut. Pada hari buruan yang ketiga, sang bapak tetap mendengar suara anak yang bermain. Akhirnya ia mencoba memanggil anak tersebut. Sang anak menanyakan pada sang ibu siapa gerangan pria yang memanggilnya itu. Apa memang ia adalah ayahnya seperti yang dikatakan laki-laki itu. Melihat kejadian itu burung Garuda melarang si anak melihat kebawah lagi dan memintanya tidak menanggapi panggilan suara tersebut. Sementara sang istri mengenali jika suara itu adalah suara ayah anaknya yang menjadi suami sebelum bersama burung Garuda.
Suaminya meminta istri dan anaknya untuk kembali padanya. Kemudian istri meminta ijin burung Garuda apakah ia dibolehkan kembali pada suaminya. Sang burung Garuda membolehkan mereka untuk kembali dan ia berpesan pada suami dan ayah sang anak agar mereka disiapkan rumah dahulu sebelum ia diturunkan dan dikembalikan padanya. Burung Garuda juga berpesan jika suatu saat ada orang yang menembaknya maka si anak dibolehkan mengambil bagian perut dekat jantung yang diberikan khusus untuk anak perempuan itu. Sedangkan bagian lainnya boleh diambil oleh yang lainnya.
Benar saja, orang-orang berencana menembak burung Garuda. Karena merasa resah dengan keberadaan burung Garuda yang suka mengambil barang-barang penduduk. Pendudukpun akhirnya mencoba membuat perangkap dari batu yang berbentuk babi sehingga ketika burung Garuda hendak mengambilnya akan terasa berat, hal ini akan menghambat geraknya untuk terbang tinggi. Namun berulang kali ditembak tidak ada yang berhasil menembaknya, akhirnya seorang yang cacat mampu membidikkan tembakannya pada perut sang burung. Sebagaimana wasiat burung Garuda jika bagian perutnya hanya boleh diambil oleh anak perempuan, yang ternyata berisi berbagai macam harta kekayaan, yang menjadikan anak perempuan itu kaya raya. Ternyata beragam harta yang dikumpulkan selama hidup burung Garuda ditujukan hanya untuk satu anak perempuan itu. Masyarakat nimboran, papua, pun yakin burung Garuda ini telah dijadikan lambang Negara sekarang ini.

asal mula persebaran suku-suku di merauke

ASAL MULA PERSEBARAN SUKU-SUKU DI MERAUKE

Zaman dahulu kala di sebuah hutan yang sangat lebat hiduplah seorang kakek bersama dua ekor anjing dalam sebuah befak (rumah yang dindingnya terbuat dari pelepah sagu dan atapnya terbuat dari daun sagu). Ia tinggal seorang diri karena ia adalah orang pertama yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di daerah tersebut. Dua ekor anjing tersebut bernama Nggarembu, satu berwarna belang dan yang satu lagi berwarna hitam. Meskipun dua ekor akan tetapi nama kedua anjing itu hanya satu. Kedua ekor anjing itu selalu menemani sang kakek (tete, dalam bahasa Papua) dalam berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pada suatu hari, tete hendak pergi berburu Karena persedian hasil buruan pada hari itu telah habis. Tete memanggil Nggarembu untuk diajak berburu. Setelah memanggil berulang kali, Nggarembu tidak muncul-muncul juga. Akhirnya tete mencari di sekitar befak. Namun setalah sekian lama mencari dan tidak menemukan kedua ekor anjingnya tete memutuskan untuk tidak berburu. Karena tanpa kedua anjing tersebut tete akan mengalami kesulitan dalam berburu. Hari itu tete hanya memakan sagu bakar tanpa ada lauk. Pada sore hari kedua anjing milik tete pulang dan perutnya terlihat mengembang menandakan bahwa kedua anjing itu telah kenyang.
Pada hari berikut, tete terlambat bangun. Setelah bangun ia segera menyiapkan peralatan untuk berburu dan memanggil Nggarembu. Nggarembu datang dengan perut yang sudah kenyang, sehingga kedua anjing tersebut tidak bisa diajak untuk berburu. Tete merasa bingung dan kesal terhadap kedua anjingnya. Bagaimana anjing ini bisa kenyang padahal ia tidak memberinya makan dan di hutan ini ia hanya hidup sebatangkara. Dalam kebingunan akhirnya tete kembali makan sagu bakar saja.
Tetapi mengapa kedua anjing itu telah kenyang sebelum diberi makan oleh tete. Ternyata tanpa sepengetahuan tete, Nggarembu setiap pagi pergi ke hutan sendiri dan mendapatkan berbagai makanan yang berasal dari sekitar pohon warak (enau) yang berukuran sangat besar. Dari dalam pohon itulah Nggarembu memperoleh makanan yang berupa kotoran manusia, sisa makanan; sagu, tulang-tulang yang masih terbalut sedikit daging yang telah dibakar. Hal inilah yang membuat Nggarembu merasa kenyang dan malas untuk berburu lagi.
Setelah kejadian itu, pagi-pagi sekali tete sudah bangun dan mulai mengamati kedua ekor anjingnya yang masih tidur. Tidak lama kemudian kedua anjing itu terbangun dan segera berlari menuju pohon warak yang berada di tengah hutan tersebut. Tete segera mengikuti kedua anjingnya sambil berlari. Nggarembu tahu kalau sedang diikuti oleh tuannya. Maka ketika ia berlari terlalu cepat dan meninggalkan tete jauh dibelakang, segera saja ia berhenti untuk menunggu tete. Nggarembu sebenarnya ingin memberitahukan sesuatu kepada tuannya mengenai keberadaan pohon warak yang berisi manusia tersebut. Dan saat itulah yang paling tepat menurut Nggarembu berdua.
Setelah menjelajahi hutan rimba yang lebat dan cukup menguras tenaga tibalah Nggarembu di bawah pohon warak. Nggarembu menoleh kebelakang namun tete masih jauh tak terlihat di belakang. Sambil terengah-engah, tete baru menyadari bahwa dalam hutan itu ada jalan tikus (jalan setapak) yang telah dibuat oleh Nggarembu. Jalan tikus itu jadi licin dan seperti banyak orang yang lalu-lalang di jalan itu, padahal yang membuat adalah Nggarembu dengan mondar-mandir setiap pagi untuk mengambil makanan dari bawah pohon warak tersebut.
Ketika tete telah memasuki jarak sekitar seratus meter dari pohon warak, tete mulai mendengar suara gaduh yang ditimbulkan oleh suara orang-orang yang berada dalam pohon. Dengan tiba-tiba tete menghentikan lari dan memasang telinga dengan cermat.
“Heh…, suara apa ini. Di hutan ini kan hanya saya seorang yang tinggal. Mengapa ada suara gaduh berasal dari pohon itu.” kata tete keheranan.
Tete kemudian berjalan mendekat ke arah pohon warak. Ternyata benar pendengaran tete, suara gaduh itu adalah suara orang yang berasal dari dalam pohon warak.
“Wah, ini tidak bisa dibiarkan. Ini adalah tanah kekuasaanku. Mengapa ada orang lain yang tinggal di sini tanpa sepengetahuanku.” tete membatin.
“Aku akan mengusir mereka,” kata tete sampir memutar arah kembali ke befaknya.
Tete berlari kencang menuju befaknya untuk mengambil peralatan perang, busur, panah, dan tombak. Tete tidak lupa pula menghias diri dengan memberikan pewarna pada wajah dan tubuhnya. Hal ini mengambarkan bahwa tete tengah marah dan bersiap untuk berperang. Setelah selesai mempersiapkan diri dengan sempurna, tete kembali menuju hutan untuk membuat perhitungan dengan orang-orang yang ada di dalam pohon warak. Menurut tete, orang-orang dalam pohon tersebut tidak memiliki sopan santun karena mereka menetap di wilayah kekeuasaan tete tanpa meminta ijin terlebih dahulu.
Sesampainya di dekat pohon warak, tete berhenti dan memperhatikan kembali suara gaduh orang yang ada di dalam pohon. Melihat tuannya datang, Nggarembu berlari mengelilingi pohon warak sambil terus menggonggong. Tete kemudian mendekat dan mengintip ke dalam pohon. Tete melihat berpasang-pasang orang tinggal di dalam. Ternyata pohon warak itu seperti gedung bertingkat, di mana tiap tingkat dihuni oleh satu suku bangsa yang ada di Merauke. Setelah puas melihat-lihat, tete kemudian membongkar pintu pohon tersebut dan menyuruh semua penghuni dalam pohon tersebut untuk keluar.
Pasangan manusia yang berada dalam pohon itu telah keluar semua. Tete memerintahkan mereka untuk berkelompok berdasarkan tingkatan tempat tinggal mereka. Setelah itu, tete memarahi mereka karena telah lalai tidak memberitahu tete tentang keberadaan mereka dalam pohon yang berada di tanah ulayat milik tete. Kelompok manusia itu meminta maaf kepada tete menggunakan bahasa mereka masing-masing. Tete mengerti semua bahasa yang dimiliki oleh manusia penghuni pohon tersebut.
“Kamu tidak memiliki sopan santun, saya memaafkan kalian tetapi dengan satu syarat, mulai sekarang kalian harus pergi dari tanah ulayat saya.” kata tete memarahi mereka.
“Kamu, orang-orang yang tinggal di pohon paling bawah, kamu satu bahasa dengan saya maka kamu boleh tinggal bersama saya di wilayah ini.” Kata tete sambil menunjuk pasangan yang tinggal di pohon paling bawah.
“Kalian yang tinggal di tingkat dua, kalian memang satu suku dengan saya tapi bahasa kalian memiliki sedikit perbedaan, maka kalian harus tinggal di daerah Yanggandur (salah satu kampung di distrik Sota)”.
“Selanjutnya, wahai pasangan yang tinggal di tingkat tiga, kalian memakai bahasa Smarki Puney. Maka tempat tinggal kalian sekarang adalah kampung Yerew (sekarang kampung Rawa Biru)”.
“Kalian yang tinggal di tingkat empat pohon warak ini, tidak memiliki kesamaan bahasa dengan saya, kalian termasuk suku terasing. Nama suku kalian adalah Morori/Moraori. Dan kalian harus tinggal di kampung Wasur”. tete melanjutkan perkataannya.
Kemudian tete kembali berkata, “Kalian yang memakai perlengkapan tempat sirih, kalian sebenarnya dua suku. Karena bentuk tubuh kalian berbeda. Kalian yang berbadan tinggi besar, kamu adalah adalah suku Marind. Bahasa yang kalian pakai adalah bahasa Maru/Marind. Tempat tinggal kalian adalah di pesisir pantai; Samkai, Nasem, Ndalir, dan Onggaya.”
“Lalu kalian yang bertubuh kecil dan pendek, kalian sebenarnya masih ada hubungan saudara dengan saya dan suku marind. Maka tempat tinggal kalian adalah di Kimaam.” tete terus saja berkata.
Terakhir, tete berbicara dengan pasangan orang-orang yang berada di tingkat paling atas dari pohon warak.
“Kalian suku Yei, tempat tinggal kalian adalah di seberang kali Maro. Pergilah ke sana dan hiduplah dengan damai.”
Sejak saat itu, suku-suku bangsa yang ada di Merauke menempati daerah- daerah yang telah ditetapkan oleh tete. Mereka hidup damai dan memiliki hak ulayat yang luas. Sampai saat ini tidak seorang pun yang tahu siapa nama tete yang pertama diciptakan oleh Yang Maha Kuasa tersebut. Tetapi menurut cerita marga Ndikwan adalah keturunan tete yang masih ada sampai saat ini.